Fenomenologi Liyan Emmanuel Levinas--wajah Sebagai Landasan Etika

  • Uploaded by: indi aunullah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fenomenologi Liyan Emmanuel Levinas--wajah Sebagai Landasan Etika as PDF for free.

More details

  • Words: 2,689
  • Pages: 11
Fenomenologi Liyan 1 Emmanuel Levinas: Wajah sebagai Landasan Etika The Epiphany of the face is ethical (Levinas)

Tak ada yang mengingkari bahwa kita selalu hidup bersama orang lain. Tapi, seperti apakah sebenarnya hubungan Aku dan Liyan itu? Sepanjang sejarah filsafat Barat, pertanyaan semacam itu jarang sekali diajukan. Hubunganku dengan Liyan dianggap sebagai sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya sehingga tak perlu dipersoalkan. Kalaupun dibicarakan, Liyan kerap dipandang sebagai objek semacam benda-benda di sekelilingku, atau sebagai Aku yang lain yang sama denganku. Levinas justru mengajukan pertanyaan itu dan mencoba menjawabnya. Ia mempersoalkan anggapan-anggapan yang umum diterima mengenai Liyan. Baginya, Liyan tampil sebagai wajah yang telanjang, asing, dan sepenuhnya berbeda dariku. Jika belakangan, kita kerap mendengar tentang Liyan dalam perbincangan mutakhir dalam filsafat—seperti dalam multikulturalisme, sebagiannya berhutang pada Levinas. Levinas: Sketsa Biografis Emmanuel Levinas dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi, 12 Januari 1906 di Kaunas, Lithuania, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Tsar Rusia. Selain akrab dengan studi Talmud yang memang berkembang cukup baik di sana, Levinas juga membaca pengarang-pengarang klasik Rusia seperti Tolstoi (Bertens, 2001: 279). Saat PD I pecah keluarganya pindah ke Ukraina, kemudian kembali lagi ke Lithuania pada 1920. Pada 1923, Levinas muda pergi ke Prancis dan belajar filsafat di Universitas Strasbourg di bawah bimbingan Charles Blondel dan Maurice Halbwachs. Levinas sangat terkesan dengan budaya dan iklim intelektual Prancis sehingga pada 1930 ia memutuskan untuk menjadi warga negara Prancis (Bergo, 2008).

Mengikuti Goenawan Mohamad, istilah the Other diterjemahkan dengan kata pinjaman dari bahasa Jawa, Liyan. 1

Setamatnya dari Strasbourg, pada 1928-9 Levinas melanjutkan studi ke Freiburg, Jerman, dan belajar di bawah bimbingan Husserl dan Heidegger. Ia sangat terpengaruh oleh dua orang fenomenolog ini. Bahkan, dia merupakan salah satu tokoh awal yang memperkenalkan fenomenologi Jerman ke dalam dunia filsafat Prancis melalui tesisnya tentang teori intuisi Husserl yang diterbitkan di Prancis pada 1930. Berikutnya, pada 1931, ia menerbitkan terjemahan Prancis Cartesianische Meditationen, yakni ceramah Husserl di Sorbonne. Menjelang PD II, Levinas dipanggil masuk ketentaraan Prancis dan pada 1940 ia menjadi tawanan perang Jerman hingga perang usai. Sanak saudaranya di Lithuania dibunuh oleh Nazi, sementara keluarganya di Prancis berhasil menyelamatkan diri (Bertens, 2001: 279-81; Bergo, 2008). Karya-karya Levinas memiliki dua alur yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Selain karya-karya yang “murni” filosofis, ia juga menulis dan memberi ceramah mengenai Talmud dan agama Yahudi. Di antara karya-karya filosofisnya, yang dianggap sangat penting adalah Totalité et infini (1961) dan kumpulan esai Autrement qu’être ou au-delà de l’essence (1974). Levinas meninggal 25 Desember 1995 (Bertens, 2001: 281-3; Bergo, 2008). Selain fenomenologi yang sudah disebutkan, sumber inspirasi yang lain bagi filsafat Levinas adalah tradisi filsafat Yahudi seperti karya-karya Martin Buber dan Franz Rosenzweig. Selain itu, Levinas juga melakukan dialog dengan seluruh sejarah filsafat Barat, terutama Plato, Descartes, Hegel, dan para pemikir Prancis sezamannya, semisal Alexandre Kojève, Sartre, dan Merleau-Ponty (Bertens, 2001: 283-5; Desmond, 1994: 128-9). Kritik terhadap Totalitas dan Imanensi Pemikiran filsafat Levinas bisa dikatakan merupakan kritik mendasar terhadap seluruh sejarah filsafat Barat. Kritiknya itu dilakukan dalam kerangka dan metode fenomenologis. Namun demikian, seperti akan kita lihat nanti, bahkan Husserl dan Heidegger yang merupakan pendiri dan pewaris utama fenomenologi juga tak luput dari kritiknya.

Hal utama yang digarisbawahi oleh Levinas dalam sejarah filsafat Barat adalah kecenderungannya untuk mentotalisasi. Pada Plotinos, misalnya, sudah tampak bahwa jiwa tak pernah menuju dan berada selain pada dan dalam dirinya sendiri. Kecenderungan macam ini makin kokoh pada filsafat modern di tangan Descartes dengan rumusan terkenalnya cogito ergo sum. Dengan demikian seluruh bangunan filsafat dimulai dari subjek. Dunia adalah dunia bagi subjek. Seperti sudah tampak dalam Descartes, totalisasi kemudian mewujud dalam sesuatu yang universal dan menyerap semua yang lain ke dalam dirinya. Pada Kant, misalnya, menjadi rasional adalah mengikuti maxim yang impersonal dan universal. Selanjutnya, pada Hegel, yang universal adalah Roh yang mengejawantah dalam sejarah. Semua yang lain, yang menegasikannya, diserap ke dalam sebuah totalitas yang impersonal dan universal melalui suatu proses dialektis (Bertens, 2001: 288; Desmond, 1994: 130; bdk. Levinas, 1969: 196, 208). Gejala totalisasi macam itu bahkan juga terlihat pada para pemikir belakangan seperti Husserl, Heidegger, dan Sartre (Bertens, 2001: 288). Levinas adalah seorang pewaris fenomenologi. Ia hendak menganalisis struktur dasar kesadaran yang dihidupi manusia. Meski demikian, dengan metode fenomenologis ia justru menunjukkan hal-hal yang diabaikan Husserl dan Heidegger, dan dengan demikian menghasilkan kesimpulan yang sama sekali berbeda. Bahkan, beberapa komentator menyebut fenomenologi Levinas bukanlah fenomenologi dalam arti tradisional (Bertens, 2001: 285). Dalam semangat Cartesian yang diwarisi fenomenologi, Levinas juga berangkat dari kesadaran subjek. Ia juga sepakat dengan gagasan intensionalitas kesadaran ala fenomenologi untuk mengatasi solipsisme cogito Cartesian. Dengan intensionalitas, dimaksudkan bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Dan objek, dalam arti fenomena, adalah sesuatu yang hadir dan terberi dalam kesadaran. Dengan demikian, agar fenomena hadir dalam kesadaran dibutuhkan waktu dan tematisasi. Artinya, ‘tampak’-nya fenomena bagi kesadaran selalu terjadi dalam waktu. Selain itu, agar fenomena disadari sebagai sesuatu ia harus mengalami tematisasi, yakni identifikasi sebagai sesuatu. Jadi, selain ditandai oleh struktur sadar-akan

(intensionalitas), kesadaran juga ditandai oleh struktur sadar-sebagai (tematisasi). Tanpa tematisasi, kesadaran akan terarah pada kabut anonim dan tak berbentuk yang disebutnya “there is” (il y a) (Peperzak, 1997: 54-6). Fenomena, yang merupakan keseluruhan dunia subjek, hadir dalam kesadarannya. Dengan demikian, realitas bersifat imanen dalam kesadaran subjek. Di sinilah kecenderungan totalisasi dalam filsafat kembali muncul dalam fenomenologi Husserl. Duniaku adalah apa yang hadir dan terberi dalam kesadaranku. Duniaku adalah dunia yang berhingga namun memadai dalam dirinya sendiri (self sufficient). Jika solipsisme Cartesian mengurung diri subjek dalam kesadarannya dan menemukan kesulitan membuat jembatan antara “Aku yang berpikir” dan “kenyataan di luar pikiranku”, fenomenologi transendental Husserl mengurung Aku dalam duniaku sendiri dan mendapat—atau bahkan mengabaikan—masalah untuk menghubungkan duniaku dan dunia orang lain. Ini, menurut Levinas, disebabkan karena bias intelektualistik dalam konsepsi Husserl mengenai intensionalitas kesadaran. Keterarahan kesadaran semata dipahaminya sebagai sikap teoretis (Bertens, 2001: 286). Ini bisa dipahami karena fokus perhatian Husserl memang pada epistemologi dan tujuan utama proyek filsafatnya adalah membangun sebuah filsafat yang rigoris dan tanpa pengandaian (presuppositionless). Dalam mengkritik Husserl Levinas mengikuti alur yang dirintis Heidegger. Filsuf yang disebut terakhir ini memahami intensionalitas kesadaran sebagai keterbukaannya terhadap Ada melalui keterlibatan langsung dalam dunia. Namun demikian, pemikiran Heidegger juga dikritik Levinas karena menekankan Ada yang anonim dan impersonal dengan mengabaikan singularitas pengadapengada yang konkret. Sebenarnya, dalam pemikiran Heidegger sudah disadari adanya keterbukaan subjek terhadap dunia, namun hal ini tidak diteruskan hingga titik penghabisannnya, yakni keterbukaan terhadap Liyan (Bertens, 2001: 287; Desmond, 1994: 128). Dari pemikiran-pemikiran yang dikritiknya, Levinas menyebutkan bahwa sejarah filsafat Barat melupakan satu hal yang mendasar dalam struktur kesadaran dan pengalaman manusia, yaitu Liyan. Kalaupun Liyan masuk dalam

pertimbangan, umumnya ia dianggap sebagai alter ego, bentuk lain atau salinan dari Aku, bukan sesuatu yang lain sepenuhnya dari Aku. Pandangan demikian disebut Levinas sebagai “filsafat tentang yang sama” (philosophy of the same) atau ontologi. Dengan demikian, kritik yang hendak dibangun Levinas adalah dengan menganalisis perjumpaan Aku dengan Liyan yang benar-benar berbeda atau yang disebutnya wajah. Cara berpikir yang memasukkan liyan disebutnya metafisika—yang dibedakannya dengan ontologi—yang tak bisa dipisahkan dengan etika. Bahkan, baginya, etika merupakan filsafat pertama (the first philosophy). Menyambut Liyan, Meraih Transendensi Dalam pandangan Levinas, totalitas dan imanensi dunia subjek seperti digambarkan fenomenologi akan ambruk dan pecah berantakan ketika ia berjumpa dengan Liyan, dengan wajah. Tentu saja, Levinas tidak memaksudkan wajah sebagai bagian tubuh fisik manusia. Yang ia maksudkan adalah wajah sebagai struktur mendasar Liyan yang dipahami melalui analisis fenomenologis, yakni Liyan yang sepenuhnya lain, sepenuhnya berbeda, dan tak bisa direduksi serta dimasukkan ke dalam duniaku. Wajah yang dibicarakannya adalah wajah yang telanjang (visage nu), wajah yang “mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks” (visage signifiant) (Bertens, 2001: 289; Wyschogrod, 2000: 90). Jika objek hadir bagiku dalam kesadaranku, untuk dimasukkan ke dalam duniaku, disatukan dalam totalitas yang bisa kukuasai, wajah tidaklah demikian. Ia bukan objek. Ia tidak bisa kuketahui, karena mengetahui berarti memasukkannya ke dalam kesadaranku dan menyerapnya ke dalam totalitas duniaku. Wajah adalah sesuatu yang sepenuhnya asing dan berbeda. Liyan adalah sesuatu yang eksterior, transenden, berada di luar dan mengatasi totalitas kesadaran dan duniaku (Levinas, 1969: 194-5). Strktur liyan yang demikian bisa dipahami dari struktur bahasa. Di atas sudah disebutkan bahwa kesadaran ditandai oleh tematisasi untuk memahami makna fenomena. Hal ini hanya bisa terjadi dalam dan melalui bahasa (dalam arti

pra-linguistis, yakni bahasa primordial yang mendahului bahasa-bahasa partikular) (Wyschogrod, 2000: 91). Dan bahasa pada hakikat primordialnya merupakan ekspresi. Artinya, ia selalu dihadirkan untuk orang lain. Dalam katakata Levinas (1969: 202), bahasa berarti “seseorang menandakan (signifies) sesuatu bagi orang lain.” Dengan demikian, dalam bahasa itu sendiri sudah tertanam tanggung jawab terhadap Liyan, bahkan jika perjumpaan dengan wajah tak disertai oleh perbincangan aktual sekalipun. Sebab, struktur kesadaran manusia selalu sudah ditandai oleh bahasa. Bagi Levinas (1969: 200), ada ikatan antara ekspresi dan tanggung jawab yang merupakan prasyarat etis atau hakikat bahasa. Penampakan wajah tidak hadir bagiku dalam modus pengalaman inderawi, melainkan sebagai bahasa dalam makna otentiknya (Wyschogrod, 2000: 93). Tentu saja, bahasa dapat diperlakukan sebagai sarana untuk bertindak dan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Levinas membedakan secara radikal antara bahasa dan aktivitas, serta antara ekspresi dan kerja. Menurutnya, struktur yang mendasar adalah bahasa sebagai ekspresi, bukan sebagai aktivitas atau kerja (Levinas, 1969: 202, 205). Liyan adalah kawan bicaraku (interlocutor); Aku mempersembahkan sesuatu kepadanya. Dengan begitu, ketika Aku hendak menjadikannya objek, hendak menguasai dan menyerapnya ke dalam totalitas duniaku, aku mengingkari struktur hakiki Liyan sekaligus struktur hakiki bahasa itu sendiri. Tentu saja, aku bisa mengobjekkan orang lain, tapi dengan begitu bukan dia sebagai wajah, sebagai Liyan, yang kutangkap. Aku bahkan bisa membinasakan dan membunuh orang lain sebagai makhluk hidup, namun tindakan itu tidak dapat mengenai wajah. Liyan secara prinsipil selalu mengelak untuk diketahui, ditangkap, dan dikuasai. Kekuatanku tak berdaya dan menjadi lumpuh di hadapan Liyan, bukan karena dia memiliki kekuatan yang lebih dahsyat, tapi karena ia benar-benar berbeda. Karena itulah, aku tidak bisa menguasainya. Resistensi wajah bukanlah dengan kekuatan, melainkan dengan sesuatu yang sepenuhnya lain dan berbeda, yaitu “perlawanan sesuatu yang tak punya perlawanan—perlawanan etis” (Levinas, 1969: 199).

Penampakan wajah merupakan sebuah momen etis. Penampakannya menyampaikan panggilan primordial: “janganlah engkau membunuh” (Levinas, 1969: 199). Wajah menampilkan dirinya bagiku dan ‘memaksakan’ dirinya bagiku, dalam arti “menyeruku dengan kekurangan dan ketelanjangannya— kelaparannya—tanpa aku mampu mengabaikan seruan itu”. Dengan begitu, tampilnya wajah yang “memaksakan” dirinya padaku tidak membatasi, justru memperluas, kebebasanku dengan membangkitkan kebaikanku (Levinas, 1969: 200). Dalam arti ini, “kebebasan terbatasi, bukan karena dihadang oleh perlawanan, tapi karena sifatnya semena, bersalah (guilty), dan rapuh; namun dalam rasa bersalahnya itu kebebasan meningkat menuju tanggung jawab” (Levinas, 1969: 203). Dalam penampakan wajah, Aku ‘disandera’ oleh Liyan sehingga aku tak bisa mengabaikan panggilannya. Aku ‘dipaksa’ bertanggung jawab padanya. Dalam arti ini, tanggung jawab tidak membatasi kebebasanku, melainkan justru menjaminnya dan memberinya legitimasi. 2 Liyan bagi Levinas menduduki posisi yang sangat mendasar. Ia tidak tampil dengan kekerasan sebagaimana Liyan bagi Sartre, yang disamakannya dengan neraka. Dalam penggambaran Desmond (1994: 134), kalau saja tatapan bisa membunuh, Liyan dalam gagasan Sartre pastilah jadi pembunuh massal karena ia merupakan objektivasi yang penuh kekerasan. Sebaliknya, tatapan Liyan bagi Levinas menawarkan ketelanjangan, kepolosan, dan panggilan etis: janganlah membunuh. Dengan demikian, lanjut Desmond, etika dalam filsafat Levinas bukanlah sebuah kontrak antarsubjek untuk melindungi diri mereka dari kekerasan pihak lain, melainkan perwujudan dari struktur dasariah pengalaman dan kesadaran manusiawi. Liyan tak sekadar jadi landasan kebermaknaan bahasa, seperti sudah kita lihat. Ia juga menjadi fondasi bagi penalaran dan objektivitas, sejauh keduanya 2

Sebuah ilustrasi, yang diberikan Haryatmoko dalam kuliahnya, barangkali bisa membantu memperjelas hal ini. Suatu ketika, saat Aku dalam keadaan terburu-buru untuk menyelesaikan urusanku sendiri, ada seseorang yang sama sekali tak kukenal mengalami kecelakaan di depanku. Tepat pada saat itulah, sang korban menyapaku, ‘menyanderaku’, dan ‘memaksaku’ untuk bertanggung jawab membantunya. Dalam kondisi demikian, bisa saja aku berlalu dan memilih menyelesaikan urusanku sendiri, karena toh Aku bebas untuk melakukannya. Aku tak terikat kewajiban apa pun pada korban. Namun, kebebasanku justru mendapat legitimasinya ketika aku bertanggung jawab terhadapnya.

berkait erat dengan bahasa. Menalar—dan dalam arti yang lebih luas, belajar— bagi Levinas, adalah entah memiliki gagasan ketakberhinggaan (infinity) atau diajari. Kemungkin pertama jelas tidak mungkin karena struktur dasariah kesadaran manusia adalah berhingga. Jadi, yang tersisa adalah kemungkinan kedua, yakni diajari, dalam arti menerima sesuatu yang tidak berada dalam diriku. Hal ini hanya bisa terjadi dalam perjumpaanku dengan Liyan yang menampilkan dan memaksakan ke-liyan-annya bagiku. Ini mengakhiri egoismeku dan imanensiku, keterkungkunganku dalam duniaku. Dengan membuka diri dan menyambut Liyan, aku memasuki ketakberhinggan, mencapai transendensi, mengatasi dan melampaui duniaku (Levinas, 1969: 203-4). Begitu juga, objektivitas dipahami dalam terang yang sama. Dalam menunjuk sesuatu, Aku menunjukkannya bagi Liyan. Bahasa atau tanda, bagi Levinas (1969: 209), “memungkinkanku

mengubah

benda-benda

menjadi

sesuatu

yang

bisa

ditawarkan, melepaskannya dari penggunaanku sendiri, mengasingkan mereka, membuat mereka jadi eksterior.” Hal ini tidak bermakna negatif sebagai Aku kehilangan sesuatu dari duniaku. Sebaliknya, ia memiliki makna positif, yakni masuknya benda itu ke dalam wilayah Liyan. Aku menawarkan duniaku bagi Liyan dalam dan melalui bahasa. Artinya, objektivitas bukanlah suatu kualitas yang melekat dalam subjek yang terisolasi, melainkan dalam hubungannya dengan Liyan. Hal lain yang juga ditekankan Levinas adalah hubungan Aku dan liyan tidaklah ditandai oleh resiprositas maupun simetri. Sudah kita lihat bahwa bahasa, makna, penalaran, dan objektivitas bersumber dari Liyan. Karena itu, Liyan tampil bagiku dari ‘ketinggian’. Ia adalah ‘guru’ dan ‘tuan’ bagiku. Hubungan Aku dan Liyan ditandai oleh asimetri. Aku bertanggung jawab atas perbuatanku padanya, tetapi aku tidak bisa menuntut pertanggungjawaban serupa darinya. Bahkan, aku bertanggung jawab atas perbuatannya (Bertens, 2001: 294-5; Desmond, 1994: 136). Inti dari subjektivitas, atau kesubjekanku, adalah tanggung jawabku. Bagi Levinas, bukan lagi ‘aku berpikir, maka aku ada’, melainkan ‘aku bertanggung jawab, maka aku ada.’

Beberapa Catatan Bergo (2008) mencatat bahwa etika Levinas tidak bisa dipahami sebagai etika tradisional, yakni kebebasan atau legislasi-diri rasionalistik ala deontologi, kalkulasi kebahagiaan ala utilitarian, atau pengembangan keutamaan. Memang benar, seperti dikemukakan Derrida (dalam Bergo, 2008), Levinas tidak mengemukakan seperangkat aturan atau prinsip moral. Levinas, lanjut Derrida, menulis etika tentang etika (ethics of ethics), yakni eksplorasi syarat-syarat kemungkinan adanya minat terhadap tindakan dan hidup yang baik. Lebih jauh, Wyschogrod (2000: 231) mengajukan simpulan bahwa etika Levinasian adalah etika heteronomi yang merupakan pembalikan dari etika Kantian yang mendasarkan bangunannya pada otonomi subjek. Bagi Kant, moralitas berlandaskan pada rasio yang universal. Bertindak sesuai dengan tuntutan hukum moral dengan memperturutkan kecenderungan afektif, bagi Kant tidak cukup untuk membuat tindakan itu disebut bermoral; untuk menjadi bermoral, tindakan harus semata dilandasi rasa kewajiban. Karena itulah, dalam etika Kantian afeksi justru merupakan penghalang bagi tindakan moral. Sebaliknya, bagi Levinas, moralitas justru lekat dengan afeksi. Dalam pandangannya, afektivitas merupakan modus moralitas. Dengan begitu Levinas memadukan kembali motif dan kewajiban yang dipisahkan oleh Kant. Moralitas tidak lagi menjadi semata aturan kewajiban yang kering dan kaku, melainkan sebuah pengalaman hidup yang dihayati dengan segala kepenuhannya. Hal lain yang juga sering dikritik pada pemikiran Levinas adalah asimetri Aku dan Liyan dan pernyataan bahwa tanggung jawabku bukan hanya atas tindakanku tapi juga atas tindakan Liyan. Desmond (1994: 136) menilai klaim ini sebagai hiperbolis. Bahkan, ia menyebutkan “secara ironis, hal ini bisa mengarah pada kecongkakan etis, di mana Aku menempatkan diriku dalam peran Yang Mutlak, menempatkan diriku sebagai pengganti Tuhan.” Namun demikian, terlepas dari kritik di atas, ruang yang diberikan Levinas bagi kelainan Liyan dan kritiknya terhadap tendensi totalisasi sangat relevan bagi kenyataan kontemporer. Seringkali kita jumpai gerakan-gerakan pembebasan yang justru memberangus Liyan, sesuatu yang berbeda dengan dirinya, atas nama

kebebasan itu sendiri. Tak gerakan Marxis, tak kapitalisme neo-liberal, dan tidak pula gerakan-gerakan keagamaan, dengan pretensi pembebasan manusia, semuanya justru kerap menindas dan menyeragamkan. Dan Levinas telah mengingatkan kita bahwa di sana, pada wajah, dalam diri Liyan, ada sesuatu yang menghimbau, menolak, dan mengelak untuk dikuasai dan diseragamkan.

Daftar Pustaka Bergo, Bettina, 2007, “Emmanuel Levinas”, dalam Edward N. Zalta (Ed.), Stanford Encyclopedia of Philosophy, [http://plato.stanford.edu/ entries/levinas/], revisi terakhir 18 Maret 2007, diakses pada 20 Desember 2008. Bertens, Kees, 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), cet. ke-3, edisi perluasan. Desmond, William, 1994, “Philosophies of Religion: Marcel, Jaspers, Levinas”, dalam Richard Kearney (ed), Routledge History of Philosophy Vol. VIII: Twentieth-Century Continental Philosophy, (London: Routledge). Levinas, Emmanuel, 1969, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis, (The Hague: Duquesne Univ. Press). Peperzak, Adriaan Theodoor, 1997, Beyond: The Philosophy of Emmanuel Levinas, (Illinois: Northwestern Univ. Press). Wyschogrod, Edith, 2000, Emmanuel Levinas: The Problem of Ethical Metaphysics, (New York: Fordham Univ. Press).

Related Documents


More Documents from "Febby Pratama"