TUGAS SISTEM INFORMASI PEMASARAN
“PENGELOLAAN ETIKA & POLITIK”
OLEH Kelompok 3 GEMALA WIJAYA DANDY RAHADIAN NURHAYATI ZAINAL FIKRI IHSANI MAHENDRA
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Teknologi ibaratnya seperti pedang bermata dua. Satu sisi dari pedang dapat digunakan untuk keperluan yang bermanfaat dan satu sisinya lagi dapat mengakibatkan hal yang negatif . Manfaat teknologi di dalam sistem informasi sudah tidak diragukan lagi karena mempunyai peran membantu organisasi beroperasi dengan efisien, efektif dan kompetitif. Pada saat yang sama teknologi memberikan manfaat yang positif, teknologi didalam sistem informasi dapat menyebabkan permasalahan etika dan politik di organisasi. Permasalahan etika muncul karena kegiatan yang berhubungannya adalah legal atau belum di atur dalam hukum yang ada. Jika permasalahan yang tidak legal, maka permasalahan etika tidak akan muncul karena yang muncul adalah permasalahan hukum. Misalnya adalah tindakan menghujat presiden. Jika tindakan ini merupakan tindakan yang melanggar hukum, maka yang melakukannya akan terkena sanksi hukum dan permasalahan etika akan muncul. Jika sebaliknya tindakan tersebut tidak melanggar hukum atau diijinkan oleh hukum misalnya karena kebebasan berbicara, maka permasalahan etika akan muncul. Permasalahan politik akan muncul di organisasi pada saat informasi sangat dibutuhkan dan dapat merubah posisi kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh individu-individu di dalam organisasi. Permasalahan politik informasi yang terjadi juga perlu dikelola dengan baik. Kegagalan mengelola politik informasi membuktikan bahwa organisasi tersebut akan gagal menerapkan system informasinya.
2.1 RUMUSAN MASALAH 1.Bagaimana pengaplikasian etika dalam system informasi ? 2. Apa saja permasalahan-permasalahan etika ? 3. Bagaimana cara mengelola permasalahan etika ? 4. Apa itu politik informasi ? 5. Kenapa muncul akibat menolak perubahan ? 6. Bagaimana mengidentifikasi penolak ? 7. Bagaimana cara mengatasi penolakan perubahan ?
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Etika di Sistem Informasi Etik adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan perbuatan benar atau salah. Etika adalah perbuatan yang berhubungan dengan etik. Etis adalah perbuatan yang beretika baik. Seseorang yang tidak etis adalah yang melakukan etika perbuatan melanggar etik.Permasalahan-permasalahan etika terjadi di lingkungan sistem informasi karena sebagai berikut ini : 1. Teknologi informasi mempunyai pengaruh yang mendalam di dalam kehidupan manusia dan sesuatu yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia berhubungan dengan etika. 2. Manajer menentukan bagaimana teknologi informasai digunakan di organisasi, sehingga mereka juga bertanggung jawab terhadap permasalahan etika akibat dari penerapan teknologi informasi tersebut.
2.2 Permasalahan- permasalahan Etika Di dalam lingkungan sistem informasi, permasalahan-permasalahan etika dapat muncul di beberapa permasalahan yaitu di permasalahan privasi, permasalahan kepemilikan intelektual, permasalahan keamanan, permasalahan akurasi sistem dan permasalahan kesehatan. 2.2.1 Permasalahan privasi Privasi adalah tuntunan seseorang untuk tidak mencampuri, diawasi atau diganggu oleh orang lain atau organisasi bahkan oleh negara. Tuntutan dari privasi di beberapa negara dilindungi oleh beberapa undang-undang. Sebagaian besar undang-undang privasi di Amerika Serikat dan Eropa di dasarkan pada prinsip yang disebut dengan Fair Information Practices (FIP) Principles yang dibuat pada tahun 1973 oleh komite penasehat pemerintahan federal yang terdiri dari Departemen Kesehatan , Departemen Pendidikan dan Departemen Sosial.
Prinsip FIP ini mengatur pengumpulan dan penggunaan informasi tentang individu oleh sebagai berikut ini. Tabel Information Practices Principles 1. Seyogyanya tidak ada system-sistem pencatatan pribadi yang keberadaannya dirahasiakan. 2. Individual-individual mempunyai hak akses, inspeksi kaji ulang, merubah terhadap system-sistem yang berisi informasi. 3. Tidak diizinkan penggunaan informasi pribadi untuk keperluan-keperluan di luar tujuan pengumpulan informasi tersebut tanpa ijin. 4. Manajer dari tiap-tiap system bertanggung jawab untuk kerugian-kerugian yang disebebkan oleh reliabilitas dan sekuriti dari system-sistem itu. 5. Pemerintah mempunyai hak untuk mengintervensi hubungan-hubungan informasi dari pihak-pihak swasta.
Fair Information Practices (FIP) Principles ini mendasari 13 bentuk undang – undang di Amerika Serikat. Tabel berikut ini menunjukkan ke 13 undang – undang tersebut. Tabel. Uundang-undang Privasi di Amerika Serikat yang didasari oleh FIP 1. Undang-undang federal privasi yang umum. Freedom of Information Act, 1968 Privacy Act of 1974 Electronic Communication Privacy Act of 1968 Computer Matching and privacy Protection act of 1968 Computer Security Act of 1987 Federal mangers Financial Integrity Act of 1982
2. Undang-undang privasi yang mempunyai efek ke institusi-institusi swasta. Fair Credit Reporting Act of 1970 Family Educational Rights and Privacy Act of 1987 Right to Financial Privacy Act of 1978 Privacy Protection Act 1980 Cable Communication Policy Act of 1986 Electronic Communication Privacy Act of 1986 Video Privacy Protection Act of 1988
Isu etika muncul karena teknologi informasi dapat menjajah privasi dari individual pekerja. Teknologi informasi dapat digunakan untuk memonitor dan mengawasi informasi privat dari individual pekerja. Teknologi informasi juga digunakan untuk menyimpan informasi pribadi dari pekerja yang selanjutnya informasi tersebut dapat dijual atau digunakan tidak semestinya. Beberapa kasus etika yang dapat terjadi adalah sebagai berikut ini. 1. Memonitor e-mail. Contoh kasus ini adalah yang dialami oleh dua pekerja di Amerika Seikat yang bernama Rhonda Hall dan Bonita Bourke. Dua pekerja ini mengeluh dan protes bahwa e-mail mereka sudah dimonitor. Sebagai akibat protesnya, mereka dikeluarkan dari perusahaan. Mereka kemudian melaporkan ke pengadilan karena merasa privasi mereka sudah dilanggar oleh perusahaan dengan memonitor dan membuka e-mail mereka. Kita mungkin beranggapan bahwa mereka akan menang di pengadilan karena privasi mereka dilanggar. Kenyataannya kasus mereka kalah di pengadilan. Undang-undang Electronic Communication Privacy Act of 1986 di Amerika Serikat melarang pemonitoran e-mail oleh pihak ketiga yaitu pemerintah, polisi atau individual lainnya tanpa otorisasi khusus seperti surat ijin penggeledahan oleh kejaksaan.
Undang-undang ini tidak melarang pemilik untuk melihat isi e-mail yang komputer milik perusahaan tersebut. Karena perusahan diijinkan untuk memonitor isi dari e-mail, pertanyaannya adalah bukan pertanyaan legal lagi tetapi sudah pertanyaan etik. Apakah etis memonitoring isi email karyawan. Jawabannya adalah dengan melihat kinerja dari tindakan ini. Riset memberikan kesimpulan yang belum konklusif terhadap hal ini. Beberapa beranggapan bahwa isi e-mail akan membuat karyawan menggunakan waktunya dengan efektif tidak selalu bermain dengan e-mail. Sebaliknya beberapa bahwa memonitor e-mail akan mengurangi kinerja pekerja karena mereka merasa tertekan, stress dan takut jika mereka menggunakan e-mail. Masalah privasi e-mail juga dialami oleh Alana Shoars, seorang e-mail administrator di perusahaan Epson America Inc., di Torrance, California, Amerika Serikat. Pada bulan Maret 1990, dia mengadukan ke pengadilan di Los Angeles tentang pemonitorannya e-mail dan pemecatannya oleh perusahaannya dengan tuntutan ganti rugi $1 juta. Di bulan Juli 1990, dia mengajukan tuntutan kelas (class- action suit) untuk 700 karyawan lainnya di perusahaan Epson dan sekitar 1800 pihak luar yang e-mail mereka juga dimonitor. Banyak perusahaan beragumentasi bahwa mereka mempunyai hak untuk memonitor e-mail karyawan karena perusahaan yang memiliki fasilitasnya dan fasilitas ini digunakan hanya untuk keperluan bisnis mereka bukan keperluan pribadi karyawan seperti penggunaan e-mail (Bjerklie, 1994).
2. Memonitor perilaku pekerja Isu etika ini mirip dengan isu etika memonitor e-mail. Perbedaannya adalah yang dimonitor untuk kasus ini adalah perilaku dari para pekerja dengan menggunakan kamera. 3. Menjual informasi pribadi pelanggan atau karyawan Permasalahan etika di isu ini muncul ketika perusahaan menjual informasi pribadi dan para karyawannya atau pelangganya kepihak lain. Informasi pribadi ini dapat dijual ke agen pemasaran yang memerlukan informasi pribadi untuk target pemasaran mereka. Pertanyaan etika yang muncul adalah apakah perusahaan dapat menjual informasi pribadi ini tanpa memberitahu dan meminta ijin terlebih dahulu dari pemiliknya. 2.2.2. Permasalahan kepemilikan intelektual Teknologi informasi dengan dunia digitalnya akan membuat informasi lebih mudah ditransmisikan, disalin sebagian atau keseluruhan dan dapat dengan mudah dirubah isinya. Jika ini dihubungkan dengan masalah hak kepemilikan intelektual maka pelanggaran hak ini akan semakin lebih meningkat. Kehadiran jaringan elektronik termasuk internet akan menambah kemudahan untuk melanggar hak-hak kepemilikan intelektual seseorang. Salah satu permasalahan etikal yang terjadi yang berhubungan dengan penerapan sistem informasi di organisasi adalah pembajakan perangkat lunak. Pembajakan perangkat lunak merupakan kegiatan yang tidak legal. Di beberapa negara kegiatan pembajakan perangkat lunak belum diatur oleh undang-undang atau sudah diatur oleh undangundang tetapi tidak pernah diterapkan, sehingga pembajakan perangkat lunak merupakan isu etikal. Pembajakan atau penyalinan perangkat lunak banyak dilakukan tidak hanya di dunia ketiga tetapi juga di negara-negara maju. Banyak dari mereka merupakan orang yang jujur tetapi masih melakukan pembajakan perangkat lunak. Banyak juga dari mereka yang kaya yang sebenarnya mampu membeli tetapi malah menyalin perangkat lunak. Beberapa alasan mengapa mereka masih menyalin perangkat lunak dapat dijelaskan sebagai berikut ini. 1. Menyalin perangkat lunak mudah dilakukan dan dapat sdilakukan dimamapun. 2. Hasil menyalin perangkat lunak akan didapatkan hasil yang sama dengan hasil jika membeli. 3. Harga perangkat lunak yang asli sangat mahal. 4. Penyalin perangkat lunak berpikir perusahaan perangkat lunak sudah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak akan rugi jika dia hanya menyalinnya.
2.2.3 Permasalahan penghentian kerja Penerapan teknologi informasi selain mempunyai efek positif seperti misalnya meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas pekerjaan dan memperkaya pekerjaan karena dapat menciptakan variatas pekerjaan, juga mempunyai dampak etikal yang negatif. Dampak negatif dari penerapan teknologi informasi terhadap pekerja adalah penggantian manusia dengan teknologi informasi untuk alasan efisiensi. Dalam penerapan teknologi informasi, manajer SI harus mempertimbangkan permasalahan etika ini. Manajer SI harus dapat mengatasi efek negatif dari penerapan teknologi informasi, misalnya bukan dengan mengganti manusia dengan teknologi informasi tetapi lebih ke realokasi manusia ke posisi dan pekerjaan lainnya. 2.2.4. Permasalahan keamanan Permasalahan keamanan sistem informasi dapat menimbulkan masalah etika. Seringkali penanganan keamanan sistem informasi sudah baik, tetapi kelalaian atau kesengajaan seseorang dapat merusak sekuriti yang sudah ada seperti misalnya sebagai berikut ini. - Meninggalkan terminal tanpa dijaga. - Menuliskan password di suatu tempat yang dapat dibaca oleh orang lain. - Memberitahukan password kepada orang lain. Permasalahan etika muncul ketika seseorang dengan sengaja merusak keamanan dari sistem informasi. 2.2.5. Permasalahan akurasi Permasalahan akurasi dapat muncul di program aplikasi ynag banyak mengandung kesalahan program dan dapat juga terjadi di datanya. Permasalahan akurasi di program aplikasi muncul karena pengetesan program masih belum optimal. Permasalahan etika yang berhubungan dengan akurasi program muncul saat program tidak akurat karena pengetesan program yang tidak optimal ini. Permasalahan akurasi juga muncul di ketidak-akuratan data. Keakuratan dari data sangat penting untuk sistem informasi. Keakuratan dari data tergantung dari rancangan dan penerapan komponen pengendalian dari sistem dan perawatan dari data. Biaya keakuratan data sangat mahal, sehingga terjadi kecenderungan untuk mengurangi biaya keakuratan data ini, misalnya dengan mengurangi biaya untuk perawatan data. Isu etika muncul saat manajer memutuskan untuk mengurangi biaya keakuratan data yang dapat menyesatkan orang lain yang menggunakan data tidak akurat tersebut.
2.2.6. Permasalahan kesehatan Penerapan teknologi informasi di dalam dunia kerja dapat merusak kesehatan pemakainya. Salah satu penyakit yang dapat ditimbulkannya adalah repetitive stress injury (RSI). Repetitive stress injury terjadi karena urat-urat syaraf dipaksa untuk bekerja berulang-ulang dengan tekanan yang berat atau dengan tekanan darah rendah. Yang paling banyak terjadi adalah karena urat-urat syaraf bekerja dengan tekanan darah yang rendah yaitu dengan penekanan di keyboard yang berulang-ulang tiap-tiap harinya selama bertahun-tahun. Bentuk umum dari RSI yang umum terjadi adalah carpal tunnel syndrome (CTS). Carpal tunnel syndrome terjadi karena tekanan syaraf yang menimbulkan sakit lewat struktur tulang pinggang yang disebut dengan carpal tunnel. Carpal tunnel syndrome dapat dihindari dengan merancang letak komputer sedemikian rupa yang disebut dengan ergonomic, sehingga tidak menyebabkan sakit pinggang. Permasalahan kesehatan lainnya yang muncul adalah tentang kesehatan mata diakibatkan terlalu sering membaca di monitor. Penyakit ini disebut dengan computer vision syndrome (CVS). Gejala dari penyakit ini adalah pandangan mata yang kabur, mata pedas dan berair, kepala pusing, mata kering dan iritasi. Permasalahan kesehatan mata ini dapat diatasi atau dikurangi dengan menggunakan lensa tambahan tertentu di layar monitor. Technostress juga merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem informasi. Gejala dari technostress adalah bertindak kasar dan tidak sabar. Penyebab ini adalah karena stress penggunaan dari penggunaan komputer yang terus menerus. Permasalahan etika terhadap kesehatan penggunaan teknologi informasi ini muncul saat perusahaan sadar bahwa pemakaian komputer dapat menyebabkan penurunan kesehatan dan tidak melakukan upaya untuk mengatasi atau menguranginya. Perusahaan tidak melakukan upaya untuk mengurangi masalah penurunan kesehatan ini biasanya adalah dengan alasan efeknya ke kesehatan tidak langsung terlihat dan untuk penghematan biaya. Misalnya akan lebih mahal untuk membeli keyboard dengan bentuk yang ergonomic yang dapat mengurangi carpal tunnel syndrome, menambah layar khusus di monitor untuk mencegah computer vision syndrome atau memberikan waktu istirahat yang lebih dari cukup untuk mengurangi technostress.
2.3. Mengelola permasalahan etika Martin (1999) menjelaskan bahwa standar etik tiap orang berbeda karena latar belakangnya yang berbeda tergantung dari integritas, kejujuran, kompetensi, kehormatan, keadilan, kepercayaan, keberanian, dan tanggung jawab yang dibentuk dari masa kecil sampai sekarang. Apapun standar etik seseorang, walaupun nilainya berbeda, tetapi tetap diharapkan tidak melanggar etik yang ada. Oleh karena itu, seseorang seharusnya memikirkan isu etika yang
dapat terjadi akibat tindakan yang akan diambilnya. Jika isu etika muncul di dalam organisasi, manajer sistem informasi harus dapat menanganinya. Berikut ini merupakan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menangani isu etika yang muncul dalam organisasi. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut ini. a. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyadari permasalahan etika yang akan muncul dari tindakan yang akan diambil. Karena standar etik manusia ada di dalam hati, maka cara paling tepat untuk menyadari adalah dengan merasakannya. Jika seseorang merasa tidak benar dengan suatu tindakan, kemungkinan permasalahan etika akan terjadi.. Cara lain untuk menyadari akan terjadinya permasalahan etika adalah dengan mengacu pada kode etik yang ada. Kode etik yang berhubungan dengan sistem informasi adalah ACM (association for computing machinery) dan Ten Commandments of Computer Ethics yang diusulkan oleh Ten Computer Ethics Institute, Layola University di Chicago, Amerika Serikat. b. Jika permasalahan etika sudah disadari, maka perlu dianalisis dan dopecahkan.
Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk menganalisis dan memecahkan permasalahan etika, yaitu misalnya adalah sebagai berikut. a. Pendekatan aturan emas (the golden Rule) yang berbunyi “lakukan kepada orang-orang lain seperti apa yang kamu inginkan mereka melakukan kepadamu”. Dengan cara menposisikan diri kita di situasi orang lain dan berpikir diri kita sebagai hasil dari keputusan yang akan diambil, akan membantu melakukan tindakan yang adil dan beretika. b. Pendekatan Immanuel Kant’s Categorical Imperative yang berbunyi “ jika sesuatu tindakan tidak benar untuk dilakukan oleh setiap orang, maka itu tidak benar dilakukan untuk setiap orang.” Ajaran ini mengatakan jangan melakukan kegiatan yang tidak baik untuk seseorang. c. Pendekatan Descartes’ rule of change yang berbunyi “ jika itu tidak dapat dilakukan berulang-ulang, maka itu tidak benar untuk dilakukan pada suatu saat tertentu.” Ajaran ini mengatakan bahwa jika suatu pekerjaan sekarang dapat diterima karena memberikan perubahan yang kecil dan tidak dapat diterima di masa depan karena tidak memberikan perubahan, maka sebaliknya di masa depan tidak dilakukan. Ajaran ini juga termasuk dalam slippery-slope rule yaitu yang mengatakan bahwa sekali kita jatuh terpeleset di jalur yang licin, kemungkinan tidak akan dapat menghentikan terpelesetnya.
d. Pendekatan Utilitarian Principle yang berbunyi “ ambillah tindakan yang akan memberikan nilai lebih tinggi atau yang lebih besar.” Ajaran ini mengasumsikan bahwa kita dapat merangking hasil dari tindakan yang akan diambil dan harus memilih tindakan yang memberikan nilai terbesar. e. Pendekatan Risk Aversion principle yang berbunyi “ ambillah tindakan yang menghasilkan bahaya yang terkecil atau potensi biaya rendah.” f. Pendekatan “ no free lunch” Rule yang berbunyi “ asumsikan bahwa semua obyek tampak dan tidak tampak dimiliki oleh orang lain kecuali jika ada pernyataan sebaliknya yang spesifik. Ajaran ini mengatakan bahwa jika sesuatu dibuat atau diciptakan oleh orang lain yang berguna bagi kita, diasumsikan bahwa penciptanya menginginkan kompensasi dari pemakaian barang tersebut. g. Pilih alternatif dengan kinerja terbaik. Pemilihan pendekatan untuk mengatasi permasalahan etika akan mempunyai efek, sehingga perlu dipilih pendekatan dengan efek yang paling minimum atau mempunyai kinerja terbaik.
2.4 Politik informasi Banyak perusahaan yang menerapkan sistem informasi tetapi tidak berhasil. Kegagalan ini disebabkan adanya politik informasi di dalam organisasi Markus (1981) menyatakan bahwa sistem informasi mempengaruhi distribusi kekuasan di organisasi karena alasan-alasan sebagai berikut ini. a. Pemegang akses informasi dapat mempengaruhi hasil dari keputusan b. Sistem informasi digunakan untuk alokasi sumber-sumber daya sistem yang dapat mempengaruhi perilaku individu-individu. c. Sistem informasi digunakan untuk sistem pengendalian yang dapat mencegah atau membatasi kegiatan-kegiatan. d. Sistem informasi menyebabkan kekuasan dan kekuatan karena memberikan kesan kemampuan untuk dapat merubah hasil. Persepsi atau kesan dari memiliki kekuatan akan menimbulkan kekuatan.
2.5 Menolak perubahan Markus (1981) juga mengatakan bahwa suatu sistem informasi yang merubah distribusi kekuasaan dan kekuatan di dalam organisasi akan ditolak oleh mereka yang akan kehilangan kekuasaan atau kekuatannya. Penolakan akibat perubahan kekuasan atau kekuatan ini disebut dengan menolak implementasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kekuasaan dan kekuatan merupakan hal yang penting dari sistem informasi mempunyai peranan terhadap pergeseran kekuasan dan kekuatan tersebut. Oleh karena itu mereka yang merasa kekuasan dan kekuatannya akan tergeser oleh penerapan sistem informasi akan melakukan penolakan. Penolakan dari perubahan akan lebih besar lagi jika sistem informasi digunakan untuk melakukan proses rekayasa ulang (business reengineering). Caldwall (1994) Melakukan survey dan melaporkan bahwa penolakan terhadap perubahan menduduki rangking tertinggi dari halangan yang dihadapi oleh proses rekayasa ulang bisnis. Hambatan- hambatan terhadap proses rekayasa ulang bisnis % dari responden penolakan perubahan keterbatasan sistem yang ada 60
tidak ada konsekuensi eksekutif
50
tidak ada juara dari eksekutif…
40
ekspektasi tidak realistis
30
tidak ada proyek team lintas… keahlian team kurang
20
keterlambatan staf SI
10
project charter terlalu sempit 0
10
20
30
40
50
60
70
2.6. Identifikasi penolakan Untuk dapat mengatasi penolakan atas perubahan ini, maka orang-orang yang menolak penerapan sistem informasi yang baru perlu diidentifikasikan. Ciri-ciri orang yang menolak perubahan adalah sebagai berikut. a. Mereka yang selalu menunda-menunda proyek sistem informasi dengan melakukan penolakan demi penolakan untuk membuat proyek tidak jadi dilakukan. b. Mereka yang menyetujui proyek sistem informasi dengan membuat sistem informasi menjadi lebih luas dan lebih rumit dengan harapan akan gagal dengan sendirinya jika diterapkan.
c. Mereka yang memegang dan tidak mau melepaskan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk membangun dan menerapkan sistem informasi, sehingga proyek sistem informasi tidak dapat dilakukan.
2.7. Mengatasi penolakan perubahan Penerapan sistem informasi yang baru yang menyebabkan perubahan di organisasi sering ditolak oleh manusia di dalam organisasi. Suatu sistem manajemen perubahan perlu diterapkan untuk mengatasi penolakan karena perubahan. Martin (1999) mengingatkan bahwa untuk menerapkan sistem manajemen perubahan ini, ada dua hal dasar yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut ini. a. Ketika mengenalkan perubahan di dalam suatu organisasi, kita tidak dapat mengasumsikan bahwa manusia akan berubah sendiri karena mereka diberitahu untuk berubah. b. Jika mereka berubah, kita tidak dapat mengasumsikan bahwa manusia akan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Seringkali mereka berubah dengan cara dan hasil yang tidak diharapkan. Dari penjelasan Martin di atas, jika terjadi penolakan perubahan , maka perlu dianalisis apa yang menyebabkan terjadinya penolakan ini. Penolakan itu sendiri hanya merupakan gejala bukan permasalahannya. Yang harus diperbaiki adalah penyebab terjadinya penolakan tersebut bukan gejalanya. 2.7.1 Teori-teori penolakan perubahan Terdapat tiga teori untuk mengetahui penyebab adanya penolakan perubahan dan cara mengatasinya terhadap penerapan sistem informasi yang baru.
a. Teori orientasi sistem Teori ini menjelaskan bahwa yang menyebabakan penolakan perubahan adalah karena sistemnya bukan manusianaya. Manusia menolak karena sistem yang akan diterapkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sistem banyak mengandung kesalahan, sistem tampak masih asing bagi mereka. Jika benar yang menjadi penyebab penolakan adalah sistemnya, maka kualitas dari sistem harus diperbaiki dengan cara : 1) Pemakai sistem dilibatkan dalam pengembangan sistem untuk meningkatkan kualitas dari sistem. 2) Pengetesan sistem harus tuntas dan dilakukan untuk menemukan semua kesalahan. 3) Sosialisasi pengenalan sistem harus dilakukan sebelum diterapkan 4) Pelatihan penggunaan sistem harus dilakukan supaya memahami sistem lebih lanjut. .
b. Teori orientasi manusia Teori ini bahwa yang menyebabkan penolakan adalah sikap manusianya bukan sistemnya. Diasumsikan sistemnya sudah baik dan berkualitas tetapi masih tetap ditolak oleh pemakainya. Jika penolakan ini terjadi, untuk mengatasinya maka sikap manusianya perlu dirubah. Teori orientasi manusia konsisten dengan student (1978) yang menjelaskan sikap terhadap perubahan dan cara mengatasinya sebagai berikut ini.
1. Manusia tidak akan menolak perubahan sebesar mereka menolak untuk dirubah. Ini merupakan arti bahwa sebenarnya manusia di dalam organisasi mau saja menerima terjadinya perubahan asal mereka memahaminya tanpa dipaksa untuk dirubah. Manusia kan cenderung mendukung perubahan tentang apa yang mereka dapat membantu. Keterlibatan dalam perubahan itu dan merasa mempunyai tanggung jawab keberhasilannya perubahan itu. 2. Perubahan terhadap perasaan dan sikap tidak dapat dilakukan sesaat. Oleh karena itu mereka yang melakukan perubahan mendasar perlu cukup waktu untuk merubah penolakan awal dan memberikan kesempatan 3. Penerimaan terhadap perubahan yang akan dilakukan jika mereka merasa mendapatkan manfaat dari perubahannya.oleh karena itu sosialisasi dan pelatihan sistem yang menunjukan manfaat dari system perlu dilakukan. 4. Penerimaan terhadap perubahan juga akan meningkat dengan keseriusan pihak yang melakukan perubahan . 5. Faktor ketegangan menyebabkan penolakan dari perubahan penolakan (stress) muncul karena ketidakpastian yang akan terjadi dengan sistem yang baru. c. teori interaksi menunjukan bahwa yang menyebabkan penolakan bukan sistemmaupun manusianya tetapi lebih ke interaksi diantaranya. Penolakan ini disebabkan oleh penghubungnya (interface) yang tidak berteman. Cara untuk mengatasi penolakan : a. Meningkatkan penghubung (interface) antara pemakai dengan sistem b. Mendorong partisipasi pemakai sistem di dalam pengembangan dan penerapan sistem supaya lebih memahami dalam berhubungan dengan sistem.
2.7.2 Model –model adopsi perubahan Model-model adopsi perubahan akan memberikan cara lebih terinci bagaimana mengatasi perubahan diantaranya : 1. Model Lewin/Schein yang terdiri atas tiga tahapan : Mencairkan kekakuan (unfreezing) -membuat kebutuhan -membuat lingkungan yang aman
Mengarahkan (moving) -menyediakan informasi yang perlu -mengasimilasi pengetahuan dan mengembangkan keahlian
Membekukan kembali (refreezing) -mengintegrasikan perilaku baru ke kegiatan rutin -memasukan perubahan baru ke lingkungan sosial
Tahap 1: Pencairan (unfreezing) Tahap unfreezing mungkin merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam memahami model perubahan hingga saat ini. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk berubah. Atau suatu kesadaran dan pemahaman bahwa perubahan mulai diperlukan, serta bersiap-siap untuk mulai menjauh dari zona kenyamanan yang ada saat ini. Tahap pertama ini sering disebut sebagai tahap persiapan diri baik secara individual maupun tim kerja, sebelum suatu perubahan dilakukan, atau menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya suatu perubahan. Semakin kita merasa bahwa suatu perubahan mendesak diperlukan, maka kita akan semakin termotivasi untuk secepatnya membuat
perubahan. Lambat atau cepatnya proses pencairan menuju perubahan ini akan bergantung pada sejauhmana perimbangan kekuatan antara orang yang ‘pro’ dan ‘kontra’ dengan ide perubahan. Oleh karena itu Kurt Lewin mengembangkan teori tentang analisis medan kekuatan (force field analysis). Dalam hal ini bahwa banyak faktor kekuatan yang berbeda-beda baik yang menentang maupun yang mendukung perubahan yang perlu dianalisis. Jika faktor dukungan untuk melakukan perubahan ternyata lebih besar ketimbang faktor yang menentang, maka kita dapat mulai membuat suatu perubahan. Sebaliknya, jika ide suatu perubahan ternyata banyak menemui tantangan, maka mungkin suatu perubahan dapat dilokalisir di suatu unit atau departemen organisasi tertentu yang lebih siap menerima suatu perubahan. Dengan demikian Force Field Analysis sangat berguna dalam memahami dinamika perilaku proses perubahan dan akan memberikan masukan tentang bagaimana suatu perubahan dapat dilakukan dengan baik.
Tahap 2: Perubahan (moving) – atau fase transisi Kurt Lewin menyadari bahwa perubahan bukanlah suatu sensasi spektakuler sesaat, melainkan sebuah proses yang ia sebut sebagai proses transisional. Banyak orang yang mengatakan bahwa fase ini merupakan tahap yang paling sulit karena seringkali orang tidak yakin atau bahkan takut dengan ketidak pastian dari arah perubahan. Seumpama orang yang melakukan terjun payung, ketika masih di dalam pesawat mungkin seseorang telah berhasil membulatkan keberanian untuk melakukan penerjunan, dan sudah meyakini manfaatnya. Namun ketika sejenak dalam detik-detik yang menegangkan tiba saatnya giliran kita untuk melompat, yaitu pada saat berada di bibir pintu dan pandangan kita diarahkan kebawah, maka rasa ketakutan dan was-was bisa menyerang kita kembali. Tetapi ketika akhirnya kita melakukan lompatan, pada gilirannya kita banyak belajar tentang diri kita sendiri. Tentu saja hal ini bukanlah fase yang mudah, karena seseorang butuh waktu untuk belajar dan memahami perubahan serta bekerjasama dengan orang lain dalam menempuh suatu perubahan. Oleh karena itu suatu dukungan sangat dibutuhkan, baik berupa pelatihan, pembinaan, umpan-balik yang kesemuanya merupakan bagian dari suatu proses. Menggunakan model simulasi atau role-playing akan menggugah orang untuk mengembangkan solusi atau resolusi mereka sendiri untuk membantu membuat perubahan. Begitu juga memberikan gambaran yang jelas tentang perubahan dan tetap mengkomunikasikan tentang perubahan akan sangat bermanfaat bagi setiap orang, sehingga mereka tidak melupakan arah perubahan yang dituju.
Tahap 3: Pembekuan ( freezing or refreezing) Sebagaimana tersirat dalam pengertian freezing atau refreezing maka tahap ini adalah tentang membangun stabilitas kembali setelah perubahan dibuat. Demikian pula halnya bahwa perubahan yang telah terjadi mulai diterima sebagai norma baru. Demikian pula selanjutnya setiap orang akan membentuk hubungan baru dan menjadi nyaman dengan rutinitas mereka, yang kesemuanya berjalan dalam waktu. Namun dalam dunia saat ini, perubahan baru berikutnya bisa terjadi dalam beberapa minggu atau kurang, sehingga adanya fase pembekuan mulai menuai kritik, mengingat tidak adanya cukup waktu untuk memulihkan keadaan pada kondisi rutinitas yang nyaman. Sehingga adanya tahap pembekuan dianggap tidak sesuai dengan pemikiran modern tentang adanya perubahan yang terus menerus, dan kadang-kadang terjadi dalam proses yang kacau sehingga fleksibilitas yang besar sangat dituntut. Dengan kata lain, pemikiran populer saat ini mulai mempertanyakan tentang konsep pembekuan. Sebaliknya, kita harus berpikir dan menyikapi tahap akhir ini secara lebih fleksibel, seperti kita memikirkan adonan “milkshake” atau es krim yang lembut dengan rasa favorit saat ini, bukan lagi berfikir tentang es balok yang beku dan kaku. Dengan pola pikir yang fleksibel ini akan lebih memudahkan kita dalam melakukan langkah ‘unfreezing’ berikutnya. Namun demikian jauh hari Kurt Lewin telah menulis, bahwa sebuah perubahan menuju tingkat yang lebih tinggi seringkali berumur pendek, dan biasanya kinerja tim kerja akan segera kembali ke tingkat sebelumnya. Kurt Lewin juga mengingatkan bahwa perubahan yang dilakukan perlu diperkuat, guna memastikan bahwa perubahan yang diinginkan dapat diterima dan dipertahankan di masa depan. Kurt Lewin pun berpendapat agar pembekuan yang dilakukan dapat mendukung perubahan lebih lanjut dan perlu dipastikan bahwa perubahan tersebut tidak menguap begitu saja. Model ADKAR adalah model yang lebih modern tentang perubahan yang secara eksplisit menganjurkan tentang langkah penguatan sebagai salah satu fase yang perlu dilakukan. Disamping itu suatu pembekuan perlu dikunci sebagai langkah terakhir. Selama ini kita selalu berfikir, bahwa bicara mengenai perubahan merupakan sebuah perjalanan yang memiliki awal, tengah, dan akhir. Namun ada baiknya sekarang kita berpikir dan menerima kenyataan bahwa perjalanan tersebut tidak memiliki akhir. Perlu beristirahat dan berhenti sejenak masih dimungkinkan! Namun perlu disadari bahwa saat ini kita tengah menempuh suatu perjalanan perubahan yang tiada akhir. Karenanya perlu berhati-hati dalam berpikir seolah proses perubahan memiliki akhir yang pasti, dan nampaknya model manajemen perubahan dari Kurt Lewin seolah-olah menyarankan hal demikian. Namun, model Kurt Lewin tetap berguna dalam membingkai suatu proses perubahan yang lebih mudah dimengerti. Tentu saja setiap tahap dapat diperluas untuk membantu pemahaman yang lebih baik tentang proses perubahan. Memahami konsep unfreezing sekaligus menguasai analisis medan kekuatan, tentunya akan menambah wawasan dan membantu kita agar lebih memahami tentang bagaimana kita berurusan dengan suatu perubahan.
2. Model adopsi inovasi Menurut Rogers (1983), proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental dimana seseorang/individu berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Pada awalnya Rogers (1983) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu: 1.Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2.Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut. 3.Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi. 4.Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru. 5.Tahap Adoption(Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut. Untuk kesuksesan adopsi dari inovasi tergantung dari beberapa factor : -
-
-
-
Persepsi dan keuntungan relatip Kelebihan keuntungan dibandingkan dengan yang diberikan oleh sistem yang lama.persepsi lebih menjurus kea pa yang dipercayai oleh individu tersebut. Kompabilitas Merupakan tingkat seberapa besar inovasi tersebut konsisten dengan nilai,opini, kelakuan,atau pengalaman individu yang akan mengadopsi inovasi tersebut. Kerumitan yaitu tingkat kesulitan inovasi.semakin mudah dipahami maka akan semakin mudah inovasi tersebut diadopsikan. Komunikabilitas Yaitu tingkat komunikasi hasil dari inovasi yang dapat disebarkan ke calon pengadopsi inovasi lainnya. Semakin tinggi tingkat
-
komunikabilitasnya dari hasil inovasi, semakin mudah dan cepat diadopsikan. Juara Menurut Martin juara adalah orang yang mau berkorban waktu dan tenaganya untuk menerima inovasi dan menyebarkannya.
BAB III PENUTUP 1.KESIMPULAN Teknologi ibaratnya seperti pedang bermata dua. Satu sisi dari pedang dapat digunakan untuk keperluan yang bermanfaat dan satu sisinya lagi dapat mengakibatkan hal yang negatif . Manfaat teknologi di dalam sistem informasi sudah tidak diragukan lagi karena mempunyai peran membantu organisasi beroperasi dengan efisien, efektif dan kompetitif. Pada saat yang sama teknologi memberikan manfaat yang positif, teknologi didalam sistem informasi dapat menyebabkan permasalahan etika dan politik di organisasi. Permasalahan etika muncul karena kegiatan yang berhubungannya adalah legal atau belum di atur dalam hukum yang ada. Jika permasalahan yang tidak legal, maka permasalahan etika tidak akan muncul karena yang muncul adalah permasalahan hukum. Misalnya adalah tindakan menghujat presiden. Jika tindakan ini merupakan tindakan yang melanggar hukum, maka yang melakukannya akan terkena sanksi hukum dan permasalahan etika akan muncul. Jika sebaliknya tindakan tersebut tidak melanggar hukum atau diijinkan oleh hukum misalnya karena kebebasan berbicara, maka permasalahan etika akan muncul. Permasalahan politik akan muncul di organisasi pada saat informasi sangat dibutuhkan dan dapat merubah posisi kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh individu-individu di dalam organisasi. Permasalahan politik informasi yang terjadi juga perlu dikelola dengan baik. Kegagalan mengelola politik informasi membuktikan bahwa organisasi tersebut akan gagal menerapkan system informasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Jogiyanto (Ed.1). Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta: Andi.