‘isy kariiman au mut syahiidan : sebuah usulan Sering sekali, kita dengar kalimat ini diucapkan oleh kalangan santri yang ‘bersemangat’. Memang, kalimat ’isy kariiman au mut syahiidan’ ini adalah sebuah kalimat sederhana, tapi kesederhanaan kalimat ini rupanya tak sebanding dengan apa yang dihasilkannya. Kalimat ini merupakan motivasi paling mantap dan dahsyat dari Asma’ binti Abu Bakr kepada putranya, Abdullah bin Zubair, yang kala itu mendapatkan sedikit ketakutan di hati ketika akan menghadapi pasukan Hajjaj yang menyerbu Makkah. Kalimat ini berhasil meluluhlantakkan ketakutan Abdullah yang segera melepaskan baju besinya dan menyongsong musuh, dna akhirnya, mati di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebenarnya, apa makna dari ‘isy kariman au mut syahiidan’ ini? Apa maksud Asma’ ketika mengucapkannya pertama kali? Saudaraku, ada dua penggalan dalam kalimat ini, ‘hidup mulia’ dan ‘mati syahid’. Kedua kalimat ini sangat kontras. Antara hidup dan mati. Satu hal menyenangkan dan dicari banyak orang dan satu hal yang hampir setiap orang menghindarinya. Namun, jika ditilik ada kesamaan di antara keduanya. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang yang berjuang di jalannya semakin bersemangat, yaitu, mulia. Hidup mulia, yang diwakili oleh kemenangan dalam peperangan, dan mati syahid, gugur di medan laga. Kedua hal tersebut baik. Masing masing baik, dan tak ada yang lebih baik di antara keduanya. Hidup mulia, itu merupakan hal yang baik – baik untuk islam, maupun untuk diri sendiri-. Dan mati syahid, itu juga hal yang baik. Namun, mari kita merenung sejenak. Kalau kita sudah menggembar gemborkan keduanya. Meneriakkannya hampir setiap tadrib. Atau bahkan menggunakannya sebagai motto hidup. Adakah kita sudah siap untuk menghadapi keduanya? Rata rata kaum muslimin berjihad dan brjuang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala maju berperang hanya dengan kesiapan mental yang “tidak takut mati”. Hal ini menyebabkan mereka berani menghadapi musuh yang jutaan kali banyaknya dan hampir seabad jaraknya dari mereka. Tapi sayangnya, sangat jarang ada di antara kita yang siap untuk menjalani “hidup mulia” sebagaimana yang dimaksud oleh Asma’. Hal ini sangat terlihat dari minimnya jumlah kaum muslimin yang mempelajari hal hal yang bersifat kauni. Ilmu akherat, itu fardhu ‘ain, tapi mengamalkannya jauh lebih dibutuhkan dari sekedar ‘tahu’. Dan ternyata, mengamalkan isi Qur’an dan Sunnah nabi itu hampir semuanya menggunakan wasilah ilmu kauni. Begitu juga dengan berbagai hal yang berhubungan dengan keduniaan. Kaum muslimin seakan menutup mata mereka dari segala hal yang berhubungan dengannya. Mereka menafikan pentingnya dunia. Yang mereka pikirkan hanya akherat saja. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah berkata : “bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya.” Kenapa hidup selamanya? Karena dengan hidup selamanya, kita akan semakin giat bekerja dan belajar. Mengharap manfaatnya di masa yang akan datang. Akhirnya, banyak kaum muslimin yang mentalitasnya “siap gugur tidak siap menang”. Atau lebih kasarnya lagi, siap mati, tidak siap hidup! Menyedihkan? Ya,
memang! Kita lebih siap untuk mati syahid, ketimbang tetap hidup dan mengusahakan kejayaan islam. Coba pikirkan! Kenapa kita lebih siap syahid? Karena sayhid untuk diri kita sendiri, sementara hidup dan membawa kemenangan adalah untuk kaum muslimin seluruhnya, untuk orang lain. Manusia memang makhluk yang egois, lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada orang lain. Begitu juga dalam hal ini. Lebih banyak manusia yang mengharap bisa masuk jannahnya Allah dengan hanya satu atau dua kali berperang. Apakah itu salah? Ya! Berarti mereka berperang untuk surganya Allah dan tidak untuk Ridhanya Allah subhanahu wa ta’ala! Kita berperang untuk membela islam, bukan mencarimati saja tapi mencari kemenangan. Syahid adalah hadiah yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia yang betul betul ikhlas dan gigih memperjuangkan agamanya. Lihat kholid bin walid, apakah beliau tidak syahid? Sosok yang telah mengepalai berpuluh perang yang membuahkan kemenangan tapi wafat di atas ranjangnya sendiri. Apakah beliau tidak mati syahid? Kita tidak tahu, tapi insya Allah beliau masuk jannah Allah yang sangat mahal itu. Beliau menginginkan kesyahidan, tapi ternyata di atas ranjang Allah berikan kematian, bukan di ma’rokah. Kenapa bisa begitu? Karena dia hidup untuk islam. Bayangkan jika dia mati pada perang pertama pembebasan palestina, apa yang akan terjadi? Begitulah saudaraku, persiapkanlah kematian, tapi jangan lupakan kehidupan. Islam tak akan tegak jika seluruh orang hebat di barisan kaum muslimin syahid dalam sebuah pertempuran. Khilafah tak akan tegak, tanpa persiapan yang baik di bidang keilmuan duniawy. Kita tak akan bisa membagikan harta waris dengan benar tanpa matematika. Kita tak akan bisa membuat bangunan yang kokoh tanpa ilmu arsitektur. Kita tak akan bisa membunuh musuh kita dengan menembak ngawur. Saksikanlah saudaraku, para salafussholeh adalah umat yang paling maju di bidang ilmu pengetahuan pada zamannya. Ketika eropa tenggelam dalam kegelapan yang pekat, jalan jalan di Baghdad terang benderang oleh lampu yang terpasang. Kuasai ilmu pengetahuan. bersiaplah untuk gugur di medan perang. Tapi jangan bingung ketika mendapat kemenangan. Kita butuh rentetan kemenangan yang gemilang untuk menegakkan kembali islam yang kini jatuh ke dalam jurang kehinaan. Kita lebih butuh menang 10 kali daripada 100 orang syahid. Karena kesyahidan mereka tidak berefek bagi kaum muslimin kecuali mengurangi jumlah pasukan. Sementara kemenangan membuahkan kejayaan islam. Yang pasti kan berguna buat seluruh umat manusia dan penghuni alam semesta. Yang akan membuktikan, bahwa islam adalah rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam.