REKONSTRUKSI KEBIJAKAN POLITIK DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH SERTA IMPLEMENTASINYA I.
PENDAHULUAN
Masih dalam suasana memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, hari ini tanggal 22 Agustus 2008 kita hadir dalam rangka penyampaian RAPBN 2009 dengan agenda Pembangunan Daerah. Peringatan kemerdekaan yang ke-63 tahun ini sekaligus kita peringati pula bersamaan dengan satu abad Kebangkitan Nasional dan satu dekade Reformasi. Keseluruhan semangat peringatan itu melebur dalam satu semangat yaitu semangat kebangsaan, kebangkitan, kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia. Satu abad yang lalu, di tahun 1908, bangsa ini mendeklarasikan tekad untuk bangkit sebagai bangsa yang merdeka, maju dan jaya. Selanjutnya, tahun 1928, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatera serta segenap pemuda dari berbagai daerah di bumi Nusantara dengan semangat kebangkitan, berikrar Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa yaitu Indonesia. Kemunculan pemuda-pemuda tersebut tidak lain merupakan refleksi politik dengan pijakan kedaerahan yang tersebar di Kepulauan Nusantara. Kebangkitan Nasional 1908 merupakan tonggak sejarah penting yang membawa bangsa ini hadir dalam wujud sosok negara bangsa. Selama kurun waktu dua puluh tahun yaitu sejak 1908 hingga 1928, nilai-nilai kebangkitan establish menjadi etos kebangsaan yang digemakan dalam persatuan Indonesia untuk bangkit dari kungkungan penjajahan dan kesadaran akan kebutuhan bersama akan perlindungan serta keadilan dalam memperoleh hak pendidikan dan hak kesejahteraan ekonomi. Tujuh belas tahun kemudian, tahun 1945, nilai-nilai kebangsaan itu semakin mantap dalam wujud nilai-nilai kesatuan yang diringi dengan kemampuan diplomasi dan berorganisasi. Nilai-nilai kesatuan itu telah melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
1
Sejarahpun berlanjut, pada Mei 1998, gerakan reformasi di tahun 1998 melakukan koreksi untuk menata kembali perjalanan kehidupan berbangsa. Sebuah gerakan yang dilandasi semangat untuk mengkritisi paradigma pengelolaan negara yang sentralistik, tak demokratis, kurang menunjukkan nilai-nilai keadilan dan kerakyatan. Yang diharapkan oleh gerakan reformasi adalah agar negara atau pemerintahan terkelola dengan baik, hak-hak azasi manusia dapat terjamin, kualitas pelayanan masyarakat meningkat dalam iklim yang demokratis, menuju negara kesejahteraan. Dalam kaitan itu pula maka pilihan politik berdasarkan kehendak rakyat adalah desentralisasi, dimana daerah harus menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republik. Sekarang, setelah hampir sewindu dicanangkannya agenda Otonomi Daerah pada 1 Januari 2001, ternyata kitapun mendapati bahwa Otonomi Daerah yang sebenarnya memberi harapan baru, pada kenyataannya belum terlihat nyata membawa perubahan berarti. Oleh karenanya, peringatan satu abad Kebangkitan Nasional saat ini sesunguhnya masih membawa pesan pada kita bahwa diperlukan penanganan cerdas untuk membawa negeri ini menjadi maju dan nyaman bagi semua anak bangsa. Presiden RI akan menyampaikan pidato tentang pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang diselenggarakan di daerah dalam RAPBN 2009, beserta kebijakan-kebijakan penting pemerintah khususnya yang menyangkut daerah dan dalam hal hubungan pusat dan daerah. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Saudara Presiden, demikian juga kepada Saudara Wakil Presiden, para Pimpinan Lembaga Negara, Anggota Kabinet Indonesia Bersatu serta para Duta Besar Negara Sahabat dan para undangan yang hadir dalam acara Sidang Paripurna Khusus DPD-RI ini. Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih dan selamat datang kepada para pemangku kepentingan daerah yakni para Gubernur, Bupati/Walikota; serta Pimpinan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota dari seluruh Indonesia. Kehadiran para pemimpin pemerintahan dan pemangku pembangunan di tingkat pusat maupun daerah saat ini untuk 2
mendengarkan secara langsung penjelasan Presiden mengenai rencana kebijakan pembangunan di daerah, serta berbagai kebijakan pemerintah pusat mengenai daerah. Sidang Paripurna Khusus DPD RI Tahun 2008, kali ini mengambil tema Rekonstruksi Kebijakan Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Implementasinya. Tema ini sengaja diangkat berdasarkan kesadaran terhadap realitas selama rentang waktu 8 tahun implementasi kebijakan otonomi daerah yang dipandang bukan saja masih belum optimal melainkan mengalami hambatan struktural dan kultural akibat kebijakan dan perilaku para pihak yang terkait. Dan berdasarkan permasalahan itu, DPD RI menganggap perlu dilakukan berbagai upaya perbaikan kebijakan dan implementasinya ke arah yang lebih menjamin tercapainya tujuan otonomi daerah. II.
EVALUASI KRITIS KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
Adalah kenyataan yang secara jujur harus kita akui sebagaimana kita saksikan dikeseharian yang terjadi di daerah, yang selama ini diamati, diawasi dan dicermati oleh seluruh Anggota DPD dalam tugas konstitusionalnnya, bahwa secara agregasi, yang muncul kepermukaan ialah distorsi akan makna desentralisasi. Munculnya distorsi makna dalam implementasi otonomi daerah ini lebih disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, adanya in-konsistensi antara kebijakan dasar desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan lainnya, termasuk di dalamnya pada level operasional. Setelah keluarnya UU tentang Pemerintahan Daerah (mulai dari UU No.22 Tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004), maka idealnya seluruh kebijakan (UU, PP) baik yang sudah berlaku sebelumnya maupun produk setelahnya, seyogyanya dilakukan penyesuaian dengan kebijakan dasar pengelolaan daerah itu. Namun kenyataannya masih demikian banyak produk perundangan-undangan yang belum disinkronkan. Demikian juga dengan kebijakan operasional dalam bentuk kebijakan teknis, terlebih lagi dalam implementasinya, masih menunjukkan semacam keengganan untuk menjalankan agenda pembangunan sesuai dengan prinsip dasar kebijakan otonomi daerah. Contoh inkonsistensi dalam hal kewenangan 3
secara kasat mata bisa kita lihat seperti dalam hal pertanahan, dalam hal penanaman modal juga dalam hal pembangunan infrastruktur. Kebijakan dasar desentralisasi adalah melimpahkan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah, kecuali dalam bidang-bidang tertentu yang tetap ditangani secara terpusat, yaitu bidang luar politik negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam kenyataannya, di luar itu baru sebagian saja bidang yang sudah benar-benar diserahkan kepada daerah. Akibatnya sering kali terjadi di satu pihak tumpang-tindih, di pihak lain kevakum-an kewenangan. Meskipun kanwil-kanwil telah ditiadakan, sebagai gantinya berkembang UPT-UPT pusat yang melanjutkan kewenangan instansi vertikal di daerah yang sesungguhnya telah didesentralisasikan. Kami memahami bahwa, proses pelimpahan kewenangan perlu dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, sesuai perkembangan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, karena memang daerahdaerah otonom belum semuanya memiliki kapasitas kelembagaan yang sama dan belum tentu mampu memikul tanggung jawab otonomi apabila dibebankan sepenuhnya sekarang. Namun harus ada rencana dan langkah kedepan yang jelas meskipun bertahap, ke arah otonomi, disertai dengan upaya penguatan kapasitas kelembagaan. Proses-proses penentuan kebutuhan pembangunan di daerah yang memerlukan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, kerap dirasakan masih lebih bersifat formalistik. Mekanisme bottom up yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, yang kemudian diajukan ke tingkat nasional, banyak yang terabaikan atau tidak direalisasikan. Dalam konteks ini memang pemerintah (pusat) juga memiliki keterbatasan pendanaan sehingga tak mungkin semua kebutuhan daerah bisa memperoleh fasilitas pendanaan. Sehingga bagi Pemda dirasa perlu untuk lebih mempertajam lagi rencana kebutuhan pembangunannya berdasarkan skala pririoritas bagi kepentingan rakyat dan daerah pada umumnya. Ironisnya pada saat yang sama, tak sedikit daerah yang menerima agenda-agenda pembangunan dalam bentuk
4
program dekonsentrasi, perbantuan maupun dana alokasi khusus yang lebih merupakan arahan dari instansi vertikal/teknis yang ada. Program-program seperti itu, bagi pemerintah pusat, dianggap sebagai agenda nasional yang harus dilakukan di daerah, sehingga daerah dipandang perlu memperoleh panduan teknis hingga pada tingkat operasional. Setiap daerah tentu saja berkepentingan dengan masuknya program berikut pendanaannya di daerah. Persoalannya, kerap program seperti itu menimbulkan kekakuan dalam implementasinya di lapangan, lantaran tak jarang kurang sesuai dengan kebutuhan di daerah. Karena umumnya kebutuhan pembangunan lokal sudah dirumuskan melalui proses-proses bottom up seperti yang sudah dijelaskan di atas. Akibatnya, agenda pembangunan dengan skenario instansi vertikal di Jakarta, tak jarang hanya merupakan proyek yang diselesaikan sesuai dengan tuntutan administrasi pembangunan dan anggarannya, tidak menimbulkan rasa kepemilikan bagi daerah. Kebijakan-kebijakan seperti ini ke depan perlu lebih disesuaikan dengan kebutuhan daerah, sehingga dirasa perlu dikembangkan proses pengambilan kebijakan dan implementasinya di daerah berwatak kemitraan (partnership) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang tetap harus mendasarkan pada kebutuhan lokal yang sudah teragenda dari bawah. Pada tingkat tertentu juga perlu dikaji ulang tingkat efektifitas atau keperluan dana alokasi khusus, dalam artian bila memungkinkan hal itu bisa diserahkan saja sepenuhnya untuk dikelola oleh daerah otonom berdasarkan kebutuhan daerahnya. Kita juga melihat di lapangan kelemahan dalam desentralisasi fiskal, dimana dirasakan oleh daerah kurangnya kejelasan dalam kebijakan dana bagi hasil serta transparansi dalam penghitungan-penghitungannya, juga masih belum disepakatinya berbagai ukuran parameter penentu alokasi menurut kepentingan daerah dan kepentingan nasional. Kedua, kebijakan dasar otonomi daerah sebagai bangunan yang berjenjang (hierarchical autonomy), yaitu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sekaligus mungkin saja merupakan kebijakan yang bersifat win-win. Dalam kaitan itu, kita diperhadapkan dengan permasalahan keefektifan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. 5
Setiap pemerintahan daerah otonom berupaya mewujudkan agendanya sendiri-sendiri, termasuk bersaing dalam memperebutkan “pembagian kue” berupa program pembangunan (berikut dananya) dari instansi vertikal di Jakarta. Dan ketika persaingan dari setiap pemegang otritas di daerah itu menonjol dengan arogansi para aktornya sendirisendiri, maka konflik antar pejabat utamanya antara kabupaten/kota (Bupati/Walikota) dengan provinsi (Gubernur) tak dapat dihindari. Apalagi memang kalau habitat atau latar belakang para pejabat politiknya berbeda satu sama lain, sudah pasti yang muncul adalah daerah otonom dengan wajah yang sarat ketegangan. Itu semua belum termasuk struktur kelembagaan pemerintahan daerah yang berjenjang itu dengan konsekwensi pembiayaannya, akibat adanya keperluan untuk mengisi jabatan pada struktur kelembagaan pemerintahan daerah (orientasi pada jabatan), tanpa memperhitungkan kebutuhan dan efisiensi penggunaan anggaran negara/daerah. Ke depan, barangkali saatnya perlu dilakukan kaji ulang tentang otonomi daerah kita yang berjenjang itu, dikaitkan dengan prinsip-prinsip pelayanan masyarakat lokal yang lebih efektif dan memungkinkan secara bertahap terwujudnya tujuan nasional. Tepatnya, harus dicari formula kebijakan jenjang otonomi daerah untuk satu level saja, apakah di tingkat provinsi atau kabupaten kota. Hal ini juga akan berimplikasi pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Kalau otonomi kelak dititik beratkan pada level provinsi, maka kepala daerah provinsilah (gubernur) yang harus dipilih secara langsung. Sementara di tingkat kabupaten/kota lebih merupakan ujung tombak operasional kebijakan pembangunan untuk pelayanan pada masyarakat lokal. Sebaliknya, kalau level otonominya pada tingkat kabupaten/kota, maka Bupati/Walikota-lah yang akan dipilih oleh rakyat secara langsung. Gubernur berposisi sebagai Wakil pemerintah Pusat di daerah, ditunjuk atau diangkat langsung oleh Presiden, untuk mengkoordinasikan berbagai kebijakan atau agenda pembangunan di wilayah administrasi provinsi. Kita sekarang memilliki 33 provinsi, 389 kabupaten dan 96 kota. Setiap lima tahun sekali dilakukan Pilkada gubernur, bupati dan walikota. Luar biasa besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Pertanyaannya, apakah sebanding dengan 6
manfaat yang diperoleh rakyat yang harus membiayainya? Kalau manfaatnya memang sebanding, maka itu dapat dipahami sebagai ongkos demokrasi, namun apabila tidak, maka sifatnya adalah penghamburan keuangan negara yang sesungguhnya dapat digunakan untuk tujuan lain yang lebih baik untuk rakyat. Dalam konteks pemikiran tersebut, kiranya perlu kita kaji ulang bagaimana memahami amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang pemerintahan daerah khususnya Pasal 18. Terkait dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung yang sudah dan sedang berjalan sejak dicanangkan tanggal 15 Maret 2005 hingga sekarang, masih terdapat banyak kasus Pilkada yang memerlukan perhatian serius untuk dapat ditangani dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Berdasarkan pengalaman selama ini, kasus Pilkada Maluku Utara merupakan kasus yang menjadi begitu rumit dan sulit penanganannya, memakan waktu terlama dalam sejarah penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia. Disisi lain terdapat pula masalah Pilkada Kalimantan Timur akibat interpretasi hukum yang ditunggangi pretensi politik. Hal ini patut menjadi pembelajaran bagi semua pihak khususnya Pemerintah untuk lebih mempertegas sikap, menjaga momentum penyelesaian masalah (tidak lambat, sehingga memberi kesempatan masukan politiking dan akhirnya menjadi akumulatif) serta dengan senantiasa berada dalam koridor dan penegakan hukum secara konsisten. Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah terkait dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang perlu dinaungi dengan prinsip agar otonomi secara khusus tidak menghilangkan historis yang oleh daerah dianggap penting. Ketiga, kebijakan subyek pejabat pemerintahan daerah yang menyimpang dari kepentingan publik, sekaligus menyandra prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan daerah yang baik (good local governance). Birokrasi pemerintahan daerah yang berada di bawah kendali kepala daerah, pada banyak kasus telah mengalami distorsi terkait dengan nilai-nilai profesionalisme. Tak jarang aparat yang ditempatkan pada posisi jabatan tertentu di daerah sesuai dengan kepentingan 7
pemegang otoritas lokal, kurang berdasarkan pada standar profesionalisme birokrasi yang ideal untuk efektifnya pemberian pelayanan kepada rakyat lokal. Sejumlah daerah otonom seperti kabupaten Jembrana, Sragen, Kota Tarakan, Provinsi Gorontalo, dan beberapa lainnya, secara relatif telah menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik. Best practices seperti itu sebenarnya juga sudah dicoba ditawarkan untuk diaplikasikan ke daerah-daerah lain. Namun hingga saat ini, masih belum banyak yang menerapkannya, sehingga terjadi kelambanan di sebagian besar daerah otonom dalam proses pemberian manfaat yang optimal bagi rakyat lokal. Apalagi di era pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, legitimasi kepala daerah yang diperoleh melalui proses-proses yang demikian sulit, dengan pengorbanan materi yang tidak sedikit, memungkinkan untuk terjadinya menggunakan kewenangan pada jabatan yang ada untuk kepentingan yang lebih sempit dan fragmatis. Kondisi seperti itu lebih memungkinkan terjadi ketika pemerintah pusat atau pejabat yang berwenang yang terkait kurang melakukan supervisi dengan instrumeninstrumen yang meyakinkan. Untuk itu, ke depan perlu dikembangkan kebijakan yang memungkinkan dipisahkannya antara kewenangan kepala daerah sebagai pejabat politik dengan birokrasi pemerintahan daerah yang harus dikelola secara profesional. Subyek ini telah pernah dipikirkan dan bergulir dalam pembahasanpembahasan diwaktu yang lalu terkait dengan posisi Gubernur/Bupati/Walikota dengan Sekretaris Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai pejabat karir puncak di daerah. Namun karena sikap ewuh-pakewuh serta penghormatan yang tinggi kepada pejabat politik (political appointee dan elected appointee) maka pembahasan tersebut di kalangan birokrat tidak pernah berlanjut. Yang terjadi sekarang sudah sangat memprihatinkan dan mengajak kita untuk memikirkan secara mendalam hal tersebut. Karena elemen birokrasi sama pentingnya dengan elemen politisi dalam kehidupan bernegara. Birokrasi harus memilki sosok dan nilai-nilainya sendiri (feature and values) yang semata-mata berorientasi untuk negara dan rakyat, bukan untuk politisi.
8
Sehubungan dengan itu DPD memandang perlu adanya penegasan hubungan antara pejabat publik yang dipilih melalui proses politik dengan birokrat yang disatu pihak harus mendukungnya, tetapi di lain pihak birokrat harus terbebas dari perangkap politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan demikian proses demokrasi di daerah tidak diikuti dengan politisasi birokrasi yang dapat mengakibatkan demoralisasi pada pejabat-pejabat karir. Aparat birokrasi haruslah tetap profesional dan non-partisan, siapapun pejabat yang dipilih oleh rakyat sebagai pimpinan puncak di daerah. III. LANGKAH-LANGKAH MENUJU REKONSTRUKSI Kami menyadari bahwa terhadap segala permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentu saja terdapat gradasi dalam penyelesaiannya, apakah itu penyelesaian pada tingkatan UUD, demikian pula pada tingkat UU, juga pada tingkat implementasi bahkan hanya pada lingkup tugas teknis kementerian atau direktorat jenderal saja misalnya. Namun adalah juga kenyataan bahwa bagi masyarakat khususnya yang ada di daerah-daerah, di gunung-gunung, di pinggir hutan, di pojok pesisir, yang dibutuhkan adalah pemenuhan kebutuhan hidup esensial yang pelayanannya diperoleh dari pemerintah, tanpa harus mereka tahu bagaimana mekanisme ataupun sistem pemerintahan itu berlangsung. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tak bisa dilepaskan dengan agenda good governance dan clean government. Hal ini amat penting karena pada dasarnya nasib rakyat, utamanya yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup baik dari segi ekonomi maupun sosial dan budaya, di era otonomi daerah ini lebih tergantung pada bagaimana kebijakan dan perilaku para stakeholders di daerah. Dalam konteks ini, DPD menganggap perlu terus diupayakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang memungkinkan terwujudnya agenda pemerintah yang baik yang berorientasi pada rakyat daerah/lokal itu. Kita menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik baru bisa terwujud apabila terjadi transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan kebijakan dan implementasinya. Aspirasi, 9
kepentingan atau kebutuhan rakyat lokal yang selalu sinerjik dengan tuntutan regional, nasional maupun internasional, haruslah menjadi dasar dan sekaligus orientasi dalam segala kebijakan era otonomi daerah. Dalam kaitan itu, DPD menganggap perlu terus dilakukannya supervisi dari pemerintah pusat dalam kaitan dengan proses-proses penganggaran dan alokasi pembiayaan di daerah, termasuk di dalamnya mencegah terjadinya penyimpangan dan atau penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Pihak BPK dan KPK diharapkan bisa selalu melakukan koordinasi supervisi dan pembinaan kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah sehingga diharapkan secara bertahap bisa mengeliminir pelanggaran administrasi anggaran, dan atau pencegahan korupsi. DPD sendiri sekarang ini telah membangun kelembagaan yang bertugas khusus untuk melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus penyimpangan anggaran atau korupsi di daerah, bekerjasama dengan KPK. Pada tanggal 15 Agustus 2008, dalam Sidang Paripurna DPR, Presiden telah menyampaikan keterangan Pemerintah atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (RAPBN) Tahun 2009 beserta nota keuangannya. Didalamnya, Presiden juga telah menyampaikan berbagai kondisi nyata yang tengah dihadapi oleh Pemerintah dan bangsa Indonesia beserta proyeksi-proyeksinya ke depan yang secara umum cukup memberikan gambaran optimistik terutama pada rangkuman-rangkuman ekonomi makro yang mempesona. Kondisi ekonomi makro tampak mengalami perbaikan. Namun demikian, situasi makro ekonomi yang membaik itu harus pula didukung oleh kondisi mikro ekonomi yang sehat. Lebih dari itu, pada kondisi mikro ekonomi inilah sebenarnya realitas ekonomi masyarakat berlangsung. DPD tidak pernah henti-hentinya mengingatkan kepada Pemerintah untuk dapat membangkitkan sektor riil melalui pendekatan kebijakan yang tepat guna agar roda ekonomi dapat berlangsung lebih cepat. Pemerintah juga telah menyampaikan bahwa sektor riel telah digenjot dan membaik. Yang penting selanjutnya adalah daya coverage berbagai kegiatan sektor riel tersebut di tengahtengah masyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan 10
pekerjaan dan sekaligus penghasilan. Pembangunan ditengah masyarakat harus berselimut martabat rakyat, bukan charity dan berakibat melemahkan inovasi dan motivasi rakyat. Oleh karenanya berbagai program yang bersifat open menu seperti contohnya PNPM harus lebih disosialisasikan dengan baik hingga ke pelosok tanah air dan para Bupati/Walikota agar lebih responsif terhadap program open menu PNPM tersebut dan terus menumbuhkan kreativitas masyarakat. Masyarakat terutama yang kami pantau di daerah sangat mengharapkan secercah cahaya, dibalik mendungnya awan itu akan makin terang sinarnya, bahwa ekonomi kita sudah kembali pada momentum pertumbuhan seperti sebelum krisis. Namun untuk betul-betul kita bisa mewujudkannya, memang banyak kerja yang harus kita lakukan, kemajuan yang telah dicapai harus dikonsolidasikan, dan kebijakan-kebijakan yang tercerai-berai harus diserasikan. Masyarakat di daerah yang ingin mengikuti perkembangan di pusat, sering bertanya kepada anggota-anggota DPD, tentang berbagai kebijakan pemerintah, dan terkesan risau apabila mendengar ada perbedaan apalagi pertentangan antar-pejabat atau antarsektor di pemerintahan. Alangkah baiknya apabila selama masih ada perbedaan atau sebelum ada kesepakatan, janganlah sebuah kebijakan ditampilkan, sehingga bukan hanya akan menjadi bulan-bulanan dan spekulasi, tetapi terlebih lagi membingungkan rakyat yang jauh dari pusat yang hanya bisa mengikuti perkembangan dari apa yang dibaca, dilihat atau didengarnya dari media. Selain dari pada itu, seperti telah kami sampaikan diwaktu yang lalu dalam forum ini juga, rakyat di daerah sangat mengharapkan sektor riil dapat bergerak lebih cepat, untuk membuka kegiatan ekonomi diakar rumput masyarakat. Seperti dicontohkan oleh negara-negara yang sekarang ekonominya berkembang pesat kegiatan ekonomi haruslah bersumber dari daerah, dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus berada di daerah. DPD mengharapkan pemerintah lebih meningkatkan ikhtiar pemberdayaan ekonomi daerah, dengan terobosanterobosan strategis sehingga kondisi ekonomi makro yang telah cukup baik itu, dapat benar-benar ditransfer ke dalam kegiatan ekonomi di tingkat masyarakat.
11
Energi adalah bagai oksigen yang diperlukan oleh tubuh ekonomi. Dalam kunjungan ke daerah, para anggota DPD seringkali memperoleh keluhan bukan hanya oleh ketidakpastian pasokan listrik, tetapi juga kesulitan memperoleh bahan bakar minyak di berbagai daerah, yang bukan hanya menyangkut soal harga tetapi kelangkaannya, serta tidak mudahnya konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Oleh karena itu, kami menyambut baik penekanan Saudara Presiden tentang pentingnya menjaga keamanan energi (energy security) di tanah air. Maka bersama dengan para menteri dan instansi yang terkait, DPD akan mempelajari upaya pemerintah untuk meningkatkan pasokan energi dan efisiensi pemanfaatan energi, dalam perspektif daerah. Mengingat besarnya investasi yang diperlukan untuk bidang energi, maka tidak dapat dihindari ikut sertanya swasta dalam memasok energi. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang jelas dan konsisten serta kepastian hukum yang dilandasi oleh peraturan perundangan yang tegas, dan prosedur yang transparan. Kesemuanya itu diharapkan akan menjadi panduan bagi para pelaksana di lapangan, investor, dan masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan itu, kami juga mendorong pembangunan pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan batubara di muka tambang (mine mouth), sehingga bagi daerah ada nilai tambah, disamping juga menghindari masalah-masalah transportasi, fasilitas penampungan batubara dan sebagainya. Untuk itu memang jaringan transmisi listrik harus diperluas termasuk antar-pulau seperti Sumatera-Jawa. Selain energy security, bagi Bangsa Indonesia yang besar jumlah penduduknya dan tersebar luas di bumi Nusantara, persoalan ketahanan pangan (food security) adalah juga masalah yang penting. DPD menyambut gembira bahwa Indonesia sekarang sudah kembali swa-sembada pangan, khususnya beras. Namun, agar supaya swa-sembada itu dapat terus berlanjut, pemerintah harus senantiasa waspada, karena banyak faktor mempengaruhi produksi pertanian. Selain faktor iklim dan cuaca, juga ketersediaan sarana produksi dan kelancaran sistem distribusi. Misalnya DPD mendapat laporan dari beberapa daerah, antara lain di Provinsi Sumatera Utara,
12
Kalimantan Timur dan Riau tentang terjadinya kelangkaan pupuk. Meletakkan otonomi daerah pada suatu tingkatan pemerintahan tertentu merupakan pilihan dengan konsekuensi dalam kewenangan, alokasi anggaran serta ketatalaksanaan unit manajemen pemerintahan. Pemerintah pusat saat ini mengatur alokasi anggaran melalui SKPD berdasarkan peraturan perundangan, dan terindikasi adanya persepsi politik lokal bahwa mengembangkan unit formal manajemen pemerintahan daerah akan berbanding lurus dengan peningkatan alokasi anggaran pemerintah. Akibatnya, sangat kuat aspirasi politik yang muncul dan dijustifikasi kemudian dalam aspirasi dan mekansime teknis untuk pengembangan daerah-daerah otonom baru. Hal spektakuler terjadi dimana pertambahan jumlah kabupaten kota di Indonesia mengalami peningkatan jumlah yang sangat siginifikan, yakni dari jumlah sekitar 300 ditahun 1998 menjadi berjumlah hampir 500 di tahun 2008. Upaya Pemerintah mengendalikan pemekaran daerah dilakukan melalui pengetatan persyaratan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007, tetap saja tidak mengubah keinginan daerah untuk memekarkan daerahnya. Sejumlah usulan dari daerah untuk membangun unit pemerintahan daerah otonom baru sekarang ini ada di meja pemerintah, DPR dan DPD, pada kita semua; memang kita memiliki kewajiban konstitusional untuk menindak lanjuti aspirasi masyarakat daerah dalam upaya membangun daerah otonom, kendati ke depan perlu lebih mendasarkan pada perencanaan yang menyeluruh sebagai kebijakan dasar (grand design) dalam rangka penataan daerah-daerah di Indonesia. Kebijakan dasar ini seyogyanya akan menjadi landasan dalam rangka pengendalian dan pembahasan usulan pemekaran daerah bagi penguatan implementasi otonomi daerah di Indonesia. Tentu saja sebelum pemerintah pusat berhasil merampungkannya perlu terlebih dahulu penyusunannya dilakukan pada tingkat pemerintahan provinsi dalam bentuk master plan yang secara sistematis dan metodis dirancang berdasarkan situasi dan kondisi daerah.
13
Perencanaan yang menyeluruh ini harus dimiliki oleh setiap pemerintah daerah provinsi dalam bentuk master plan tersebut. Melengkapi upaya itu perlu diawali evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan klasifikasi yang memuat tingkat kemampuan manajemen pemerintahan. Dengan hasil yang faktual dan rasional itu, pemerintah dapat segera mengambil langkah antara lain mendorong dan memfasilitasi daerah untuk mencapai kemajuan, mengembangkan kerjasama antar daerah dalam satu kawasan menurut kategori tertentu termasuk pada akhirnya apabila terpaksa juga didorong untuk harus melakukan penggabungan daerah-daerah otonom baru yang gagal dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Efektifitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum tergantung pada dua hal pokok yaitu: pertama, adanya dukungan dari parlemen dalam bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah antara lain dalam bentuk legislasi; dan kedua, dukungan jajaran birokrasi yang baik. Sejalan dengan itu, maka efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah juga sangat membutuhkan dukungan dalam hal legislasi. Hubungan pemerintah secara vertikal-horizontal dalam bidang legislasi dengan demikian perlu mendapatkan perhatian. Dalam hubungan vertikal, pusat dan daerah di bidang legislasi, masih dirasakan cukup banyak persoalan. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal legislasi, diantaranya daerah harus berkonsultasi ke pusat dan disamping itu legislasi daerah dapat dibatalkan oleh pusat. Pola hubungan legislasi seperti ini sesungguhnya kurang tepat karena secara nyata jelas menunjukkan ketidakpercayaan pusat kepada daerah disatu sisi dan disisi lain, pemerintah pusat (eksekutif pusat) berindikasi melakukan intervensi dan delegitimasi terhadap produk wakil rakyat daerah (PERDA). Dalam kaitan ini, setidaknya pemerintah pusat melakukan koordinasi preventif dengan pembinaan terhadap para pihak pengambil kebijakan di daerah (DPRD dan eksekutif terkait) sehingga bisa mencegah lahirnya produk-produk kebijakan di daerah yang tidak sejalan dengan ruh NKRI dan atau
14
menghambat proses akselarasi pelaksanaan pembangunan dan kemajuan daerah. Dalam hubungan strata pemerintahan (eksekutif) sendiri hal seperti inipun mengandung ekses yang kurang baik, karena komunikasi pusat-daerah (eksekutif) kemudian dapat berkembang dalam bentuk-bentuk kontra produktif seperti pola birokrat pelobi (lobbying-bureaucrats). Pola yang demikian menunjukkan perkembangan yang kurang sehat dan berindikasi rent-seeking. Sebetulnya yang dibutuhkan ialah kebersamaan dan prilaku kemitraan dalam penyelenggaraan pemerintahan antar berbagai strata pemerintahan. Yang penting sebagai pegangan sesungguhnya adalah prinsip bahwa membangun daerah itu merupakan kerangka dasar dari pembangunan nasional secara umum, karena kemajuan secara nasional sangat ditentukan oleh kemajuan daerah-daerah otonom. Juga sebaliknya, kita membangun nasional dan membangun daerah dengan prinsip keseimbangan keadilan distributif untuk nasional dan untuk daerah. Seperti telah kami uraikan terdahulu bahwa elemen birkrokasi menjadi salah satu diantara tiga faktor penentu atas apa yang terjadi sekarang dalam implementasi otonomi daerah. DPD sangat menaruh perhatian pada reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah. Gambaran perkembangan birokrasi di daerah yang mengemuka adalah kerancuan dalam hal pengelolaan birokrasi dimana terjadi campur aduk (mix-up) antara jabatan politik dan jabatan karir (elected appointee, political appointee dan carrier appointee). Kerancunan dalam kepemimpinan birokrasi terjadi dan semakin menjadi-jadi belakangan ini dalam hal mutasi pejabat yang dilakukan dengan pendekatan politik, bukan melalui assessment atau judgemnet profesional. Perkembangan ini apabila dibiarkan akan membahayakan sisi kehidupan komunitas bikorasi di daerah-daerah. Memang betul bahwa kewenangan pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) ada ditangan Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan pelimpahan wewenang dari Presiden menurut UU Nomor 43 Tahun 1999. Tetapi yang berkembang di lapangan, sudah berindikasi buruk dimana setiap kali musim Pilkada, maka terjadi tekanan dan ganguan pada sistem kerja birokrasi dan para pejabat, pegawai negeri sipil, khususnya dalam kaitan penempatan pada jabatan15
jabatan strategis. Usul kami cukup tegas yaitu kita tinjau kembali dan reka ulang tentang posisi antara pejabat politisi dan birokrat, jangan tercampur aduk. Sangatlah sulit dipahami dengan kebijakan dasar desentralisasi dan pelimpahan hampir semua kewenangan kepada daerah dimana hanya tersisa kewenangan tingkat pusat yaitu bidang luar negeri, moneter, yustisia, pertahanan dan agama, ternyata organisasi tingkat pusat semakin besar dan gemuk; berkembang pula UPT-UPT pusat di daerah yang semakin banyak jumlahnya. Mengguritanya organisasi pusat seperti ini perlu dievaluasi secara jernih dan pemerintah pusat sudah harus mengurangi cara-cara penyelesaian masalah dengan pendekatan solusi melalui pemekaran organisasi kerja. Dalam ketatalaksanaan juga cukup banyak persoalan. Adalah kenyataan bahwa tidak pada semua daerah terjadi koordinasi yang baik dan harmonis dalam penyelenggaraan pemerintahan, antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Ini kembali menunjukkan pada kita bahwa ada permasalahan, dalam mekanisme perijinan misalnya. Kasus-kasus seperti ini tampak seperti misalnya dalam kaitan dengan kegiatan BUMN dalam pengelolaan pertambangan umum dan galian. Indikasi yang muncul ialah kesulitan hubungan ketatalaksanaan juga antara pusat dan daerah. Harus diakui bahwa dalam berbagai kegiatan pembangunan, terjadi kelemahan supervisi oleh pemerintah pusat (departemen) kepada daerah-daerah). Tentu banyak sebab bisa diutarakan dalam hal ini, namun yang penting ialah bahwa meskipun dalam semangat otonomi daerah, berkaitan dengan standarisasi teknis dan keberhasilan program, agenda, dan sasaran secara menyeluruh di wilayah tanah air, tentulah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah secara nasional sebagaimana pesan tujuan negara. Oleh karena itu, kegiatan supervisi dan pengawasan menjadi sangat penting diperhatikan. Unit pengawasan di daerah sudah waktunya untuk di-injeksi dari pusat baik untuk tingkat ketajaman profesional pengawasannya, maupun untuk tingkat kekuatan posisi/statusnya yang mengait dengan pemerintah pusat, setidaknya dalam kaitan standard dan
16
perlakuan yang mendukung posisi mereka sebagai pengawas untuk tidak dengan mudah terkooptasi. Hadirnya Ombudsman Daerah mungkin akan dapat menolong dalam mencapai sasaran fungsional politis tersebut. Dalam hal sumberdaya manusia aparatur, yang perlu menjadi perhatian adalah berkaitan dengan penyelesaian tenaga honorer. Sesuai rencana Kabinet Indonesia Bersatu untuk menyelesaikan seluruh tenaga honorer seperti tleha diutarakan pemeirntah waktu-waktu yang lalu. Hal ini perlu ditekankan, karena data tentang tenaga honorer ini masih banyak yang tersisa di daerah, yang sampai saat ini masih belum ditangani sebagaimana diharapkan dalam upaya memberdayakan mereka dan sekaligus mengangkat mereka menjadi CPNS sebagaimana janji pemerintah untuk menuntaskannya tahun 2009 yang akan datang. Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan tugas konstitusionalnya juga terus mendorong daerah serta menjaga dalam kaitan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Yang menjadi pegangan dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah prinsip membangun dengan menjaring nilai tambah sebesar-besarnya untuk manfaat pada masyarakat terbanyak; serta prinsip kesinambungan. Prinsip kesinambungan atau sustainability maknanya adalah bahwa apa yang kita lakukan terhadap sumberdaya alam saat sekarang ini, akan tetap memberikan jaminan bahwa anak cucu generasi penerus kita nantinya juga akan memiliki kesempatan yang sama seperti yang kita miliki atas sumberdaya alam dan lingkungan tersebut bahkan mungkin lebih baik dari yang kita miliki sekarang ini. Sustainability janganlah hanya menjadi jargon perencanaan dan harus disiplin menjadi pegangan. Menurut agenda-21 Rio de Janeiro cakupan untuk menjaga sustainability meliputi: Pertama, dimensi sosial (yaitu tangani kemiskinan, ikuti perkembangan dinamika demografi, kembangkan pendidikan dan kesadaran publik, lindungi kesehatan manusia dan kembangkan lingkungan pemukiman yang sehat); Kedua, dimensi ekonomi (yaitu perubahan pola konsumsi dan pengelolaan mekanisme serta sumber-sumber keuangan); Ketiga, dimensi lingkungan (yaitu kembangkan pembangunan pertanian dan perdesaan, tangani deforestasi,
17
konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan atmosfir dan pengelolaan bioteknologi yang berorientasi lingkungan); serta Keempat dimensi kelembagaan (yaitu kembangkan terus pengetahuan tentang pembangunan yang sustainable, ketersediaan informasi dalam pengambilan keputusan dan penguatan peran kelompok-kelomok yang terkait). Terkait dengan itu, maka kegiatan-kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan seperti pariwisata haruslah digalakkan. Tidak pantas rasanya jumlah wisatawan asing yang datang ke negara kita yang begitu luas, indah dan beragam budaya dan alamnya, lebih sedikit dibanding yang ke negara-negara tetangga. Demikian pula pengembangan kegiatan ekonomi yang tidak memerlukan banyak bahan baku alam dan tidak berpengaruh pada lingkungan, yaitu ekonomi yang berbasis pengetahuan, seperti IT, dan berbasis kreativitas dan budaya masyarakat perlu lebih digalakkan, dengan basis daerah-daerah yang sesuai untuk pengembangan kegiatan ekonomi tersebut. Kebijakan dan insentif untuk mendorong bidang-bidang tersebut perlu terus diupayakan oleh pemerintah. Persoalan pencemaran lingkungan juga menjadi lebih serius beberapa tahun terakhir seperti pencemaran air di Demak, Jawa Tengah juga pencemaran perairan di Kepulauan Riau. Beberapa hal dalam aspek sumberdaya alam dan lingkungan hidup menjadi perhatian DPD, termasuk keterlibatan DPD dalam agenda perubahan iklim dan konsistensinya dengan langkah-langkah tindak lanjut. Terhadap ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah perlu segera dilakukan langkah-langkah penataan yang benar. Banyak kasus sengketa tanah yang terus berkembang sementara penanganan terhadap kasus tersebut berjalan relatif sangat lamban. Pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan terlihat belum berjalan sebagaimana mestinya. Urusan pertanahan yang sudah didesentralisasikan kepada daerah dalam implementasinya banyak mengalami kendala. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya seperti penegasan semangat otonomi daerah bidang pertanahan, pentahapan dalam distribusi urusan/kewenangan, rincian urusan/kewenangan dan kegiatannya serta SDM aparatur profesional.
18
Kemauan politik pemerintah pada saat ini sangat diharapkan untuk dapat mendukung pelaksanaan UU PA yang bermanfaat bagi masyarakat petani. Yang perlu mendapat perhatian bersama dari implementasi UU PA adalah bagaimana keberadaan UU PA dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjamin kepastian hukum bagi pemilikan tanah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di segala bidang. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjamin kepastian hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh persekutuan masyarakat hukum adat. Di dalam kesatuan masyarakat hukum adat, terdapat kepemilikan kolektif atas tanah dan apa-apa yang ada dan tumbuh di atasnya, seperti hak ulayat atas tanah, hak ulayat atas hutan, hak ulayat atas rumput dan savana, dan juga ikan-ikan di sungai dan danau serta semua unsur pembentuk bentang alam atau ekosistem daerah. Karena itu, meskipun hak ulayat itu berada di atas atau di bawah tanah-tanah yang dimiliki persekutuan masyarakat hukum adat, maka dalam proses pemindahannya, diberlakukan dengan ketentuan yang lebih khusus, agar keadilan masyarakat terlindungi. Presiden juga telah menjelaskan berkaitan dengan energy security, upaya menyiapkan cadangan listrik dan sebagainya dalam Sidang Paripurna DPR. Pada kesempatan ini, kami sampaikan pandangan bahwa salah satu prasyarat utama untuk menerapkan tata kelola yang lebih baik dalam membangun sektor ketenagalistrikan nasional dimana tenaga listrik diakui sebagai kebutuhan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak ialah dengan kepastian hukum berupa peraturan perundang-undangan yang disusun secara transparan, dapat dilaksanakan, dan mendorong tercapainya maksud dan tujuan yang diharapkan. Dengan kata lain, pengelolaan energi nasional memerlukan suatu roadmap yang akan selalu menuntun pelaku kebijakan, investor dan masyarakat secara luas dan transparan serta akuntabel. Melekat dengan persoalan energi ialah pembangunan pertambangan umum dan galian yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan. Ijin pertambangan umum dan galian seperti batubara, dan nikel misalnya di Sulawesi ataupun bahan galian
19
lain seperti zirkonia, emas dll di Kalimantan menjadi persoalan yang cukup serius. Masalahnya bukan hanya pada persoalan tumpang tindih dalam perizinan atas suatu lokasi, akan tetapi lebih rawan lagi karena telah nyata menjadi bentuk kegiatan ekspor material dasar bongkahan tanah dan pasir yang jelasjelas mengubah bentang alam dan lingkungan di mana secara kasat mata mempertontonkan pula pada kita tentang translokasi “tanah” ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Yang ingin didorong disini ialah agar usaha-usaha pertambangan galian dilakukan dengan prinsip menjaring nilai tambah yang maksimal, misalnya pabrik harus didirikan dan berada di lokasi/daerah yang bersangkutan. Intinya adalah agar membangun nilai tambah sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat daerah yang sebanyak-banyaknya. Dalam kaitan RUU Minerba, daerah mengharapkan agar direvisi dengan baik karena tidak ada keseimbangan antara pendapatan dan kerusakan lingkungan. Daerah meminta keadilan dari pembagian royalti dari sumberdaya energi dan mineral yaitu 50% untuk pusat dan 50% untuk daerah. Terkait dengan kasus penunggakan utang royalti oleh enam perusahaan besar pertambangan batubara dengan jumlah sekitar Rp 7 triliun seperti yang sedang banyak dibicarakan sekarang, DPD meminta perhatian agar pemerintah segera menyelesaikan masalah tunggakan utang royalti tersebut karena cukup berarti bagi penerimaan pusat dan khususnya daerah serta untuk keadilan bagi daerah. Dalam kaitan itu, daerah juga mendorong pemerintah pusat segera mengeluarkan kebijakan untuk mengevaluasi segala bentuk kontrak karya, kontrak kerja dan kerjasama lainnya yang tidak memberikan manfaat bagi kepentingan daerah. Era otonomi daerah memang memberi ruang yang begitu luas kepada Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan eksploitasi sumberdaya alam yang berada dalam wilayah administrasi pemerintahannya. Namun perlulah selalu diingatkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, sesuai dengan amanat UUD 1945, haruslah diorientasikan untuk pemenuhan kemakuran rakyat. Konsep pengelolaan sumberdaya alam di daerah, dengan sendirinya, haruslah dibangun di atas paradigma yang secara perlahan bisa
20
memastikan rakyat sebagai penerima manfaat yang besar dan secara langsung menunjang kemajuan pembangunan daerah secara umum. Para pihak yang diberi kesempatan untuk mengelola atau mengeksploitasi sumberdaya alam, dengan sendirinya harus memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip yang bernilai manfaat dan berkesinambungan (sustainable) seperti itu. Konsekwensinya, kebijakan dan agenda CSR (Corporate Social Responsibility) atau berupa dana-dana pembangunan masyarakat (community development fund) dari setiap perusahaan yang mengelola atau mengeksploitasi sumberdaya alam haruslah memiliki kepastian yang memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat daerah. Sangatlah disadari bahwa berkaitan dengan itu, mutlak adanya kebutuhan untuk jaminan infrastruktur dasar, jaringan jalan dan kemudahan dalam usaha di daerah. Bentang geografis Indonesia yang luas dari Sabang di bagian barat hingga Merauke di bagian timur dan dari Miangas di Kepulauan Talaud di utara hingga Rote di bagian selatan merupakan gambaran jelas mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai urat nadi pembangunan perekonomian. Belum lagi masalah demografi dan etnis yang cukup unik dengan sebaran yang tidak merata. Pola pengembangan infrastruktur bagi bangsa ini jelas harus dilaksanakan secara adil dan merata sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku pemangku kepentingan. Pola penanganan infrastruktur dengan pengelolaan pelaksanaan pembangunannya secara terpusat haruslah segera ditinggalkan karena tidak banyak memberi manfaat besar bagi masyarakat setempat. Yang perlu dikembangkan kemudian adalah pengembangan infrastruktur yang berbasis pada pengembangan kebutuhan daerah dan masyarakat dalam satu sistem transportasi nasional seperti penyelesaian trans Kalimantan dan trans Sulawesi serta pemantapan pemulihan trans Sumatera. Peran pemerintah pusat masih cukup besar dalam hal pengambilan kebijakan yang lebih integratif dan holistik, namun tataran pelaksanaannya kemudian harus lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan pemaknaan daerah sebagai suatu yang unik sebagai basis pengembangan wilayah maka terdapat 3 (tiga) bidang rujukan yang dianggap strategis untuk dimaju 21
kembangkan. Tiga bidang tersebut adalah bidang pertanian, perikanan dan kehutanan. Alasan perlu dikembangkannya ketiga bidang tersebut paling tidak ada 2 (dua) hal yaitu: alasan historis sosiologis; dimana menjadi suatu kenyataan bahwa pola bentukan budaya di Indonesia adalah pola masyarakat agraris dan pola masyarakat pesisir. Kedua pola ini banyak mewarnai corak dan cara berpikir masyarakat di Indonesia selama ratusan bahkan ribuan tahun. Alasan lain ialah alasan ekonomis; dimana ketiga bidang tersebut merupakan bidangbidang yang menyerap angka tenaga kerja paling besar. Namun disisi lain ketiga bidang tersebut kurang memberikan sumbangsih yang signifikan dalam perekonomian secara nasional yang dampaknya antara lain terlihat bahwa para pekerja di bidang tersebut (petani, nelayan) merupakan salah satu faktor penyumbang terbesar pada angka kemiskinan di Indonesia. Menyikapi kondisi yang terjadi pada masyarakat petani dan nelayan, diperlukan suatu kebijakan pembangunan secara komprehensif yang dilakukan secara bersama dan berkesinambungan antara unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah serta unsur stakeholders lainnya. Pola kebijakan revitalisasi terhadap bidang pertanian, kehutanan dan kelautan yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada hakikatnya cukup baik dan perlu mendapat dukungan secara politis. Namun tentu saja diharapkan bahwa pola kebijakan ini tidak hanya dalam tataran konsep belaka tanpa ada implementasi yang konsisten dan berkesinambungan. Sampai dengan saat ini sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Namun ironisnya, sumber daya tersebut mengalami ancaman serius dari maraknya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, kesamaan pemahaman dan peningkatan pengayaan dalam operasional pengawasan dan pengendalian serta peningkatan kualitas teknis pengawasan melalui pemanfaatan sistem, prosedur, dan teknis, harus segera diakomodasikan. Bidang kehutanan juga sama beratnya, masalah pengelolaan hutan dan kewenangan pemberian ijinnya, HPH, penggundulan hutan, kebakaran hutan dan kabut asap, sengketa pengelolaan hutan dengan masyarakat adat dan 22
masyarakat sekitar hutan serta illegal logging selalu menghantui bidang kehutanan ini. Persoalan lain seperti masalah penyuluhan yang berkesinambungan, ketersediaan pupuk dan pestisida, pemberian kredit murah bagi petani dan nelayan serta hal lain seperti pendidikan, sanitasi dan kesehatan serta infrastruktur pertanian dan perikanan/kelautan menjadi hal yang perlu pula menjadi perhatian utama bagi proses revitalisasi tersebut. Berbagai permasalahan seputar kemiskinan dan pengangguran di Indonesia hingga kini sudah digambarkan oleh Presiden pada Sidang Pairpurna DPR yang lalu dengan catatan yang optimisik. Untuk itu DPD ingin mempertegas saja bahwa kebijakan ekonomi makro, terutama kebijakan fiskal perlu dikaitkan dengan upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran, kesenjangan antar daerah dan memacu pertumbuhan ekonomi bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga regional. Guna mewujudkan pertumbuhan tersebut, maka sektor bisnis yang harus dimaksimalkan perannya adalah sektor usaha mikro kecil dan menengah yang tersebar di seluruh Indonesia. Aspek lain dalam desentralisasi yang tidak kalah penting terkait dengan peningkatan investasi daerah. Daerah-daerah perlu menciptakan iklim investasi dan iklim berusaha yang sehat. Berbagai peraturan daerah yang tumpang tindih dan berpotensi mengurangi minat investasi sudah saatnya secara sensitif diperbaiki. Demikian pula pelayanan birokrasi, terutama yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menegaskan bahwa potensi, tugas dan kemampuan untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi suatu daerah/wilayah adalah sektor usaha yang digerakkan masyarakat secara dinamis. Pemerintah lebih berfungsi sebagai lembaga yang memperkuat, menjaga dan mengarahkan dalam proses pembangunan perekonomian yang berlangsung tersebut. Dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi dipandang dapat menjadi titik tolak pertumbuhan ekonomi; dengan ekonomi yang bertumbuh diharapkan persoalan keuangan negara akan dapat teratasi oleh mekanisme hubungan timbal balik/interaksi yang terjadi. Dengan investasi yang bertumbuh juga ekonomi akan 23
menggeliat, daya beli meningkat, dan masyarakat tidaklah menjadi enggan untuk memenuhi kewajibannya kepada negara. Sedangkan negara juga dapat memenuhi kewajibannya berupa pelayanan kepada negara sehingga siklus keuangan pun dapat berjalan baik. Dalam kerangka pengembangan investasi itu, tentu daerah memiliki hal-hal yang perlu dijaga seperti berbagai kearifan lokal dan budaya turun temurun yang harus tidak terkikis, seperti misalnya Bali yang telah menjadi primadona wisata Indonesia dengan daya tarik investasi yang luar biasa, diharapkan untuk senantiasa terjaga ciri budayanya dalam kehidupan keseharian. Terkait dalam bidang kepariwisataan, yang harus dihindari adalah pariwisata yang sebenarnya memiliki ciri-ciri khusus dan dikembangkan secara spesifik berubah menjadi daerah tujuan wisata massal, yang tidak terkendalikan. Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah manusia yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Bahwa global competitiveness menuntut kita untuk makin produktif, makin terampil, memiliki etos kerja yang makin kuat, serta berdisiplin tinggi, sehingga bisa tetap survive dalam percaturan masyarakat internasional. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2005 berada di posisi 108 dari 177 negara, menurun dari posisi tahun 2008 yang berada di peringkat 107 dari 177 negara. Posisi ini hampir sama dengan Vietnam yang berada di peringkat 105 (2005) dan 109 (2006). Hal ini sungguh perlu menjadi renungan kita semua mengingat kondisi Vietnam yang belum terlalu lama terbebas dari konflik, bahkan negara tersebut pernah menimba ilmu di negara kita pada banyak bidang di berbagai daerah di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Kualitas manusia unggul tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Kemajuan suatu negara dapat diukur dari tingkat pendidikan masyarakatnya. Kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan. Merupakan tugas besar dari DPD untuk mendorong agar pendidikan menempati tempat terdepan dalam upaya pemulihan kembali dan pembangunan bangsa kita. Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 telah disikapi oleh Pemerintah dengan pemenuhan budget 24
pendidikan 20 persen dan konsekuensi bahwa akan terjadi penambahan kucuran dana pendidikan sekitar 46 triliun rupiah. DPD berpandangan bahwa konsep pembangunan bidang pendidikan haruslah bersifat substantif, bukan sekedar aspek administratif. Agenda dan program pelayanan di bidang pendidikan yang substantif akan menghasilkan anak-anak generasi yang baik dalam arti sesungguhnya dan kompetitif di era global. Oleh karena itu, besarnya dana APBN untuk pendidikan harus lebih diorientasikan untuk peningkatan kualitas guru, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kualitas kurikulum serta media dan sarana. Terkait dengan implementasi UU tentang Guru dan Dosen yang selama ini hanya diatur dengan Permendiknas, kiranya perlu aturan yang lebih tinggi dan mengikat lintas sektoral seperti PP atau Peraturan Presiden sehingga pelaksanaannya dapat dijamin dalam payung hukum yang lebih tegas. Bagaimanapun juga guru betul-betul harus menjadi profesi yang terhormat, bermartabat dan menjadi ujung tombak pembangunan bangsa. Apabila kita menyebut guru, hendaknya tidak dibedakan apakah itu guru sekolah-sekolah negeri atau swasta; juga jangan dibedakan guru sekolah umum dan guru madrasah, yang berdasarkan undang-undang adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Sekarang ini karena sistem otonomi, guru di sekolah umum mendapat bantuan dari pemerintah daerah, disamping gaji pokoknya, sedangkan guru madrasah tidak memperolehnya, karena bidang agama bukan tanggung jawab pemerintah daerah. Dikotomi ini harus dihilangkan, demi untuk keadilan, karena sekolah-sekolah agama itu mendidik anak-anak bangsa juga, yang akan menjadi kader-kader pembangunan seperti yang lain. Semua program substantif-komprehensif di bidang pendidikan ini harus menjadikan daerah sebagai basis pengembangannya dengan karakter lokal masing-masing dan dalam identitas nasional bangsa Indonesia. Mungkin sudah saatnya secara konseptual dipikirkan oleh pemerintah untuk reka-ulang desain sistem pendidikan dasar kita dalam satu paket pendidikan dasar sembilan tahun baik secara substantif maupun administratif dengan orientasi pendidikan karakter anak dan karakter bangsa yang kemudian siap menerima
25
pendidikan keilmuan pada jenjang pendidikan lanjutannya. Pola seperti ini cukup berhasil dalam konsep pembangunan di China. Dalam kaitan itu semua, DPD akan terus berupaya melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan alokasi anggaran di bidang pendidikan, yang diharapkan secara bersama dapat mendorong terwujudnya agenda penbangunan manusia Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing global. Dimensi lain pembentuk kualitas manusia disamping pendidikan ialah kesehatan. DPD memberikan pehatian pada dimensi kesehatan terutama dalam hal jaminan kesehatan masyarakat dan pemenuhan gizi anak balita dan ibu hamil, sebagai dasar-dasar pembentukan generasi muda yang yang secara agregat akan menjamin ketahanan masyarakat. Masalah lain yang perlu disoroti adalah mengenai jaminan kesehatan yang masih sangat diperlukan oleh masyarakat miskin. Akses yang sangat terbatas bagi masyarakat miskin terhadap jaminan kesehatan sangatlah memprihatinkan kita semua. Lebih jauh lagi, hal ini memperlihatkan akan keterbatasan Negara dalam menciptakan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin berupa program ASKESKIN sesungguhnya merupakan terobosan yang sangat bagus dari pemerintah guna lebih memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di seluruh tanah air yang jumlahnya cukup besar. Namun, perangkat pendukungnya berupa alas hukum seperti peraturan dan administrasi keuangan belum diatur secara memadai. Akibatnya, di daerah-daerah timbul banyak sekali persoalan. Penolakan rumah sakit terhadap pasien yang menggunakan kartu ASKESKIN terindikasi kerap terjadi. Oleh karena itu, DPD terus mencermati perkembangannya di daerah-daerah di tanah air. Dimensi pendidikan dan kesehatan secara simultan resultantenya menjadi sangat penting sehingga ketahanan masyarakat akan semakin tumbuh serta menguat; dan berbagai penyakit masyarakat serta perilaku menyimpang yang sekarang sudah dalam taraf memprihatinkan seperti penggunaan narkoba, HIV/AIDS akan semakin teratasi.
26
Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian DPD adalah masalah haji. Pengelolaan ibadah haji merupakan masalah yang cukup kompleks. Kuantitas jamaah dengan rentang wilayah yang sangat luas boleh jadi merupakan salah satu penyebabnya. Yang penting segera membenahi persoalan penyelenggaraan ibadah haji mengingat bahwa ibadah haji menyangkut berbagai aspek sosial masyarakat dan keagamaan. Yang kita harapkan adalah upaya menciptakan pelaksanaan ibadah haji yang lebih nyaman, aman, efektif dan efisien yang didalamnya mencakup persoalan persiapan keberangkatan, pemondokan, kesediaan makanan, pelayanan kesehatan sampai pada saat kembalinya jemaah haji ke tanah air. Selanjutnya DPD juga melihat pentingnya dimensi pluralitas. Pluralitas pada hakikatnya merupakan esensi kebangsaan kita atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa perbedaan adalah fitrah bangsa Indonesia. Masalah pluralitas juga kembali mengemuka akhir-akhir ini. Perbedaan atas tafsir agama, eksistensi suku bangsa, perbedaan paham politik dan golongan seringkali memicu timbulnya sengketa diantara masyarakat. Sengketa tersebut acapkali berakhir dengan bentrokan antar elemen masyarakat. Hal tersebut sungguh patut disayangkan, sehingga oleh karenanya diperlukan upayaupaya khusus dan sekaligus diharapkan menjadi agenda pemerintah di bidang pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang sesuai dengan kultur lokalitas masing-masing komunitas daerah dengan tetap dalam jiwa anak bangsa Indonesia. Dalam hal terjadi potensi aturan daerah dengan indikasi konstitusional kiranya pemerintah dan pemerintah daerah dapat lebih sensitif dan segera mengambil langkah terutama berkaitan dengan keagamaan. Perda merupakan bagian dari produk hukum nasional yang tertulis dan oleh sebab itu penyusunan sebuah Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Untuk itu, DPD mendorong daerah lebih menaruh perhatian apabila terdapat Perda yang bertentangan dengan konstitusi negara, maka DPD merekomendasikan Perda tersebut untuk dicabut. Pada sisi yang lain upaya-upaya pembinaan, supervisi dan dukunga terus menerus pada daerah-daerah Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NAD dan Sulawesi Tengah
27
serta Kalimantan agar tetap terjaga dalam kohesi sosial dan ketahanan masyarakat di bawah naungan jiwa NKRI. Terkait dengan anggaran daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang paling penting ialah sinergitas antara APBD dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Bahwa APBD merupakan bagian integral dari APBN, dan APBD pada konteks politik tertentu merupakan konsekuensi logis kebijakan pemerintah pusat untuk menerapkan dan melaksanakan prinsip desentralisasi. Sesuai dengan arti dan makna desentralisasi yang melimpahkan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, maka besaran dana-dana penerimaan APBD (baik Dana Alokasi Umum - DAU, Dana Alokasi Khusus - DAK dan Dana Bagi Hasil-DBH) merupakan konsekuensi pelimpahan kewenangan tersebut atau money follows function. Implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 telah memberikan atribusi realitas pelaksanaan anggaran daerah. Naungan UU 33 Tahun 2004 terbukti hanya mengatur tentang masalah pembagian ‘jatah’ keuangan bagi daerah lewat DAU, Dana Bagi Hasil (DBH), dan DAK. Namun secara prinsip, UU 33 Tahun 2004 tidak memisahkan aturan penggunaan dana-dana tersebut (prioritas pemisahan penggunaan DAU, DBH dan DAK). Sepintas lalu, gambaran tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan, tetapi jika dikaji lebih dalam akan menunjukkan ketidakmampuan sumber daya manusia di daerah. Sumber dari permasalahan ini bisa jadi dikarenakan kurangnya transfer informasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terkait dengan aturan pelaksanaan UU 33 Tahun 2004. Hal ini berhubungan dengan macetnya transfer informasi dan prosedur mekanisme penggunaan dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. Minimnya informasi ke daerah tentang garis-garis kebijakan penggunaan dana DAU, DBH dan DAK menyebabkan sumber daya manusia di daerah kehilangan daya kreatifitas dan inovasi dalam memaksimalkan pemanfaatan dana-dana tersebut. Jika ditilik lebih jauh, maka akibat yang (mungkin) timbul adalah, tidak fokusnya penggunaan dana-dana DAU, DBH dan DAK dalam rangka pembangunan daerah. Sejalan dengan upaya untuk mendalami hal-hal itu maka perlu dipikirkan untuk melihat kembali keselarasan kebutuhan pusat dan kebutuhan daerah 28
dalam formualsi baru melalui revisi UU 33 Tahun 2004 secara paralel dengan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semuanya harus dilaksanakan tanpa menghitung kemampuan di daerah. Korelasinya adalah, bahwa urusan-urusan itu hanya bersifat taken (penyerahan) saja tanpa melihat kemampuan daerah dalam melaksanakannya, sehingga pembiayaan semua urusan-urusan wajib tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab daerah. Dalam penalaran rasional yang wajar, daerah yang dibebani dengan tugas dan tanggung jawab itu (seharusnya) diikuti dengan kewajiban pemerintah pusat untuk share pembiayaannya. Hal inilah yang masih belum terlihat, sehingga proses penentuan DAU, DBH dan DAK tidak terjadi secara transparan. Daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional seolah-olah belum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat, karena proses penentuan dan mekanisme dana-dana DAU, DBH dan DAK diatur secara sepihak oleh pemerintah pusat. Money follows function sebagai akibat dari desentralisasi merupakan keniscayaan yang harus segera diberlakukan. Pertanyaannya adalah, sebatas apakah pembiayaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk didistribusikan kepada daerah? Hal inilah yang masih belum terjawab. Belum cukup jelas aturan implemnetasi penentuan dana-dana DAU, DBH dan DAK. Prioritas DAU (terutama) untuk pembiayaan belanja pegawai merupakan atribusi minimnya political will pemerintah pusat dalam melaksanakan konsekuensi desentralisasi. Untuk validasi temuan seluruh Anggota DPD di lapangan dalam pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya di daerah, Pimpinan DPD telah melakukan konfirmasi atas berbagai permasalahan berkenaan dengan DAU, DAK, DBH, Dana dekonsntrasi dan Tugas Pembantuan dengan dikomunikasikan langsung selama tiga hari pada bulan Juli lalu dengan para pejabat daerah yang bergelut dalam persoalan tersebut. Hasil rangkumannya telah disampaikan pula kepada Pemerintah cq
29
Sekretrais Negara. Secara overview permasalahan tersebut antara lain meliputi :
pokok-pokok
Pertama, dalam kaitan DAU. Secara menyeluruh sebagian besar DAU dipergunakan untuk belanja pegawai yang dilandaskan pada ketentuan UU 32 Tahun 2004. Oleh karenanya kebijakan pemerintah untuk pengurangan DAU bagi daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi pada konteks ini menjadi tidak tepat. Daerah juga mengharapkan parameter dan formulasi DAU direka-ulang karena dibutuhkan untuk beberapa kriteria seperti provinsi, kabupaten dan kota dengan wilayah kepulauan. Kedua, dalam kaitan DAK. Secara menyeluruh daerah mengangkat perlunya kejelasan dan harmonisasi dalam perencanaan DAK termasuk format, mekanisme, konsistensi, keterlibatan daerah dan dalam juklak-juknis DAK. Seleksi daerah dan penerapan kriteria juga harus konsisten dan transparan, tidak dengan justifikasi yang tak terukur (lobbylobby, tertutup, tinjauan politis, dsb). Kriteria DAK dan formulasi, persyaratan perlu dipertimbangkan dengan tambahan kriteria untuk kewilayahan pesisir, wilayah tertinggal, lemahnya daya saing, posisi daerah pemekaran dan wilayah perbatasan serta wilayah konservasi. Dalam hal ketatalaksanaan mekanisme alur DAK agar melalui Gubernur untuk dapat terekam dalam program dan dalam upaya pembinaan hubungan strata pemerintahan dari provinsi kepada kabupaten dan kota di bidang penganggaran guna mencapai optimalisasi sasaran pembangunan daerah secara keseluruhan dalam satu wilayah provinsi. Ketiga, dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH). Beberapa daerah mengusulkan reka-ulang formulasi dalam penentuan DBH. Dalam kaitan kebijakan kenaikan harga BBM dan pengaruhnya terhadap DBH daerah membutuhkan kejelasan. Daerah juga membutuhkan keterbukaan informasi data, skala dan besaran sumber dan produksi serta penghitungan-penghitungannya. Selain itu juga daerah meminta untuk pengaturan pencairan dana DBH sesuai dengan kebutuhan dan program kerja pembangunan daerah. Keempat, terkait Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Yang paling prinsip dalam persoalan ini ialah berkaitan dengan 30
perencanaan dan pemrograman. Daerah seperti hanya mendapatkan kucuran kegiatan yang tidak dapat diatur dalam kerangka perencanaan makro pembangunan daerah yang sistematis. Selain itu akibat dana dekonsentrasi, telah tumbuh unit-unit kerja kepanjangan tangan pusat yang diharapkan oleh daerah. Mungkin sudah harus serius perlu dipertimbangkan untuk dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara bertahap dialihkan menjadi anggaran-anggaran yang langsung dialokasikan kepada daerah . Sebagai satu kesatuan dalam sistem negara, pemerintah pusat seharusnya juga bertanggung jawab terhadap proses pengendalian dan pengawasan atas pemanfaatan APBD. Hal itu telah diawali dengan langkah-langkah konsultatif pra-APBD oleh daerah kepada pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri. Disinilah sebetulnya peran dan arti konsultatif tersebut yaitu sebagai bagian dari tanggung jawab membangun nilainilai secara menyeluruh dalam satu negara. Sehingga konsultasi tidak semata-mata dirasakan oleh daerah sebagai instrumen penghambat atau membuat terlambatnya pembahasan RAPBD di DPRD. Lebih parah lagi, keberadaan juklak dan juknis diantaranya berpotensi memposisikan aparat daerah terjerap pada aspek hukum. Pemerintah pusat harus dapat menumbuhkan pengertian dan pemahaman bahwa, APBD atau dana-dana yang dilimpahkan ke daerah merupakan satu kesatuan yang utuh dari APBN, sehingga kerangka berpikirnya dapat menimbulkan empati untuk (bersama-sama) bertanggung jawab terhadap pemanfaatan dan penggunaan dari dana-dana di daerah tersebut guna mewujudkan pembangunan nasional. Posisi hubungan pusat dan daerah dalam konteks keuangan selama ini terindikasi lebih bersifat administratif dan mekanistik. Padahal yang sesungguhnya harus terjadi ialah bahwa dengan instrumen keuangan daerah, justru harus terbangun sistem nilai kekuatan membangun negara dan membangun daerah sekaligus dalam satu kesatuan (yaitu sebagai values establishment dan goals establishment). IV. RANGKUMAN KONSTITUSIONAL
PELAKSANAAN
31
TUGAS
Sampailah pada bagian akhir, yaitu pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai apa yang telah lakukan selama empat tahun masa bakti DPD RI. Sebisa mungkin, DPD berusaha mengartikulasikan harapan masyarakat dengan berbagai keterbatasan. Kami perlu menyampaikan laporan ini, karena bagi sementara kalangan, sepertinya ada anggapan bahwa kerja DPD hanya memperjuangkan kewenangannya melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Anggapan itu tidaklah tepat. Sampai dengan tahun keempat ini, DPD telah menghasilkan 154 buah keputusan yang terdiri dari 10 buah usul RUU, 78 buah pandangan dan pendapat, 5 buah pertimbangan dan 38 buah hasil pengawasan serta 23 buah pertimbangan yang berkaitan dengan anggaran. Tentu saja ukuran ini bukan sekedar angka-angka statistik, melainkan bagaimana muatan atas hal-hal yang dihasilkan itu. Dari sebanyak 10 buah RUU yang telah disampaikan kepada DPR, dan pada saat sekarang satu RUU ditindak lanjuti oleh DPR yaitu RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DI Yogyakarta. Itupun masih terus kami montior tindak lanjutnya karena masih dirasakan sangat lamban menurut kebutuhan daerah. RUU lain yang banyak diserap oleh DPR dari masukan DPD diantaranya ialah RUU tentang Pemerintahan Aceh, RUU tentang pelabuhan, disamping RUU menyangkut pemekaran wilayah yang cukup banyak jumlahnya. Selain mengolah RUU dalam fungsi legislasi, DPD juga menyampaikan hasil pandangan, pendapat, pertimbangan serta secara rutin menyampaikan kepada DPR tentang hasil pengawasan pelaksanaan UU di daerah untuk ditindak lanjuti; dan atas inisiatif DPD hasil pengawasan juga disampaikan kepada Pemerintah dan diantaranya telah ditindak lanjuti oleh pemerintah. Selain itu juga DPD memberikan pertimbangan berkaitan dengan anggaran (RAPBN). Pada segmen dinamika politik nasional. Beberapa issue sebagai contoh, terkait kenaikan harga BBM, DPD mengusulkan kepada Presiden dan Pimpinan DPR. DPD juga telah mendorong Presiden RI untuk segera menyelesaikan RUU Tipikor. Berkaitan dengan issue korupsi, DPD telah melakukan penyerapan khusus aspirasi berkaitan dengan korupsi di daerah berdasarkan Nota Kesepahaman DPD dan 32
KPK tanggal 15 Agustus 2006. DPD juga telah menghasilkan dokumen dalam rangka perubahan iklim global yang menjadi issue penting bagi Indonesia selain bagi dunia. Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, DPD telah melakukan penghimpunan aspirasi baik yang masuk melalui surat atau melalui situs (web) dan melalui kegiatan Anggota DPD-RI secara langsung. Beberapa contoh aspirasi yang direspons dengan tindak lanjut meliputi: masalah Alas Tlogo, masalah Lumpur Lapindo di Jawa Timur, masalah kelangkaan listrik di Sumatera Utara, rencana terpadu pengembangan kawasan Teluk Bone di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara serta agenda Indonesian Regional Investment Forum (IRIF) untuk mendorong jaringan investasi daerah dan dorongan ciri wirausaha dalam kepemimpinan daerah melalui agenda penghargaan untuk spirit Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Daerah (RTTI Award). Seiring dengan dinamisnya praktek sistem ketatanegaraan, tentu saja kita harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan dengan tetap berpijak pada hal-hal dan ciri Indonesia sebagai negara bangsa dengan paham dasar yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan prinsip musyawarah mufakat. Oleh karenanya amandemen konstitusi dipandang sebagai suatu keniscayaan. DPD melalui Kelompok DPD di MPR dengan dukungan pakar Hukum Tata Negara telah menghasilkan kajian komprehensif UUD 1945. Dalam kerangka itu dipersiapkan desain sistem ketatanegaraan Indonesia (grand design) secara komprehensi yang secara lengkap Naskah Usulan Amandemen UUD 1945 beserta dasar-dasar pemikirannya. Kami juga terus meminta tanggapan kepada para pakar/ahli, akademisi, tokoh, ormas, LSM, dan semua elemen masyarakat atas materi usulan amandemen UUD 1945 tersebut. Dalaim kaitan itu, gagasan Presiden yang disampaikan dalam Sidang Paripurna Khusus DPD pada tanggal 23 Agustus 2007 yang lalu mengenai pembentukan komisi/panitia nasional yang bertugas menelaah sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranata hukum yang tertuang dalam konstitusi perlu mendapat dukungan kita semua.
33
Kita dapat memahami realitas situasi sekarang yang sudah memasuki tahapan agenda Pemilu 2009 sejak tanggal 5 April 2008. Kita juga memahami cukup banyak persoalan dalam implementasi UUD 1945 yang berpangkal dari UUD 1945 itu sendiri. Kita melihat cukup banyak permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh masyarakat, juga oleh DPD. Permohonan gugatan oleh DPD atas UU Nomor 10 Tahun 2008 sesungguhnya merupakan catatan atas sistem ketatanegaraan yang implementasinya sangat berpotensi rancu. Dan yang paling penting adalah bahwa DPD sematamata ingin mendudukkan sistem ketata-negaraan yang mempertegas hak-hak daerah dalam kancah nasional. Kita juga melihat permohonan gugatan dari elemen-elemen bangsa lainnya. Sangat jelas ini memberikan indikasi pada kita bahwa ada persoalan dalam ketatanegaraan kita yang bukan tidak mungkin justeru berpangkal dari UUD itu sendiri. Sebagai laporan kami kepada seluruh daerah di Indonesia, telah kami persiapkan dokumen resmi gugatan dan Putusan MK serta sekaligus memori rangkuman proses selama persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi, kegiatan judicial review yang dilakukan oleh DPDRI semata-mata atas dasar semangat keberpihakan DPD RI kepada daerah-daerah di seluruh tanah air di Indonesia. V.
PENUTUP
Sebagai catatan penutup, menjawab tema Sidang Paripurna kali ini, dorongan kami kepada pemerintah ialah untuk kita refleksikan bersama hal-hal yang perlu disempurnakan baik pada tingkatan yang paling mendasar dalam konstitusi, maupun pada tingkatan kebijakan operasional serta implementasinya. Kita juga akan bersamasama terus mendorong kemajuan daerah guna menjawab semangat asli otonomi daerah yaitu untuk pemberdayaan daerah dan ketangguhan berdaya saing. Konsep daya saing mengandung arti kompetitif secara damai dan komplementer. Artinya upaya yang dilakukan dalam membangun daerah harus bersifat kompetitif kewilayahan dan komplementer secara kewilayahan dan secara hirarkis termasuk bersama-sama masyarakat, karena pada dasarnya kehadiran penyelenggara negara adalah untuk rakyat. Kemampuan daerah berotonomi 34
juga mengandung makna sensitif serta akomodatif terhadap globalisasi yaitu proses yang memungkinkan kejadian disatu belahan dunia berakibat penting bagi individu dan komunitas di bagian belahan dunia yang lain; berbeda dari hanya sekedar internasionalisasi yang merupakan arus pertukaran barang, jasa dan ide; juga berbeda dari multinasionalsiasi yang berarti transfer terutama sumberdaya alam dan kapital dari satu ekonomi nasional ke ekonomi nasional yang lain. Otonomi daerah juga harus diiringi dengan konsep NKRI yang utuh dalam prakteknya melalui perencanaan, pengawasan dan pengendalian (RENWASDAL) serta supervisi yang kokoh antar strata pemerintahan. Di atas segalanya itu ialah semangat dasar kedaerahan dalam bentuk keanekaragaman dan kemajemukan bangsa Indonesia sebagai modal dasar berdiri kokohnya bangsa dan negara Indonesia.
Jakarta, 22 Agustus 2008 STEERING COMMITTEE
DAFTAR ISI
35
I. PENDAHULUAN............................................................. 1 II. EVALUASI KRITIS KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI 2
OTONOMI
DAERAH...........................
III. LANGKAH-LANGKAH MENUJU REKONSTRUKSI.......
8
IV. RANGKUMAN PELAKSANAAN TUGAS KONSTITUSIONAL............................................................
31
V. PENUTUP..........................................................................
34
36