BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi (Asep, 2007). Berdasarkan geologis Indonesia merupakan negara yang terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, IndoAustralia dan Mediterania), sehingga dapat diketahui bahwasamemiliki risiko yang cukup tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara (Eddy, 2006). Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan timbulnya korban, hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya (Slamet, 2004). DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun organisasi DVI di Indonesia dipelopori dengan diadakannya suatu pertemuan yaitu pada The 1st Interpol DVI Pacific Rim Meeting tanggal 25 – 27 Januari 2001 di Makassar. Beberapa kasus-kasus bencana di Indonesia dimana prosedur DVI telah diterapkan antara lain pada peristiwa Bom Bali I – Oktober 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta – Agustus 2003, Tragedi Terbakarnya Bis di Situbondo, Jatim-Oktober 2003, Bom di Kedubes Australia Jakarta – September 2004, Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias – Desember 2004
1
s/d Januari 2005, Bom Bali II – Oktober 2005, Kecelakaan Pesawat Mandala Airlines, Medan – September 2005, dan lain-lain. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya (International Criminal Police Organization, 1998). Pelaksanaan DVI yang sesuat dengan standar merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam prosesnya (Singh, 2008). Terdapat beberapa permasalahan dan keterkaitan antara keadaan negara Indonesia yang merupakan negara dengan risiko tinggi terhadap bencana dengan timbulnya korban akibat bencana tersebut sehingga menyebabkan perlunya dilakukan DVI (Disaster Victim Identification), maka dianggap perlu bagi mahasiswa untuk dapat memahami lebih lanjut menganai DVI.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Disaster Victim Identification (DVI) Disaster Victim Identification (DVI) atau identifikasi korban bencana Suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada Interpol DVI guideline (DepKes RI, 2007). B. Dasar Hukum Identifikasi Korban Bencana Pada setiap bencana tentunya ada korban baik hidup maupun meninggal,
penanggulangannya
akan
bersifat
kegawatdaruratan.
Identifikasi korban meninggal dianggap masih bagian dari pelayanan kesehatan mengingat ‘korban meninggal’ adalah korban juga (Safitry ,2011). Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan BersamaMenteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. PolKep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada BencanaMassal. PP 21 TH 2008, pasal 51 (5) Terhadap masyarakat terkena bencana yang meninggal dunia dilakukan upaya identifikasi dan pemakaman. DVI memiliki beberapa rujukan hukum. Dijabarkan sebagai berikut : 1. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 2. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri. 3. UU No.23 tentang kesehatan. 4. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
3
5. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim. 6. Identificationf. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004. 7. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Kedokteran Kepolisian. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Kedokteran Kepolisian, pada pasal 8 tentang DVI yaitu : 1. Kegiatan DVI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilaksanakan: a. Pada tingkat Mabes Polri oleh Pusdokkes Polri; b. pada tingkat Polda oleh Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda; dan c. pada tingkat Polres oleh Urusan Kesehatan (Urkes) Polres. (www.djpp.kemenkumham.go.id) 2. Untuk mendukung kegiatan DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kerjasama lintas sektor dan lintas fungsi melalui Komite DVI Nasional Indonesia (INDIVIC/Indonesian National DVI Committee).
4
3. Komite DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan DVI secara berjenjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai berikut: a. Tingkat Nasional oleh Komite DVI Nasional yang ditetapkan oleh Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan. b. Tingkat Regional oleh Komite DVI Regional yang ditetapkan oleh Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan. c. Tingkat Provinsi oleh Komite DVI Propinsi yang ditetapkan oleh Keputusan Gubernur. d. Provinsi yang belum memiliki Polda dilaksanakan oleh Komite DVI Provinsi yang bertanggung jawab atas provinsi tersebut sesuai ketentuan peraturan perundangan. 4. Kemampuan Dokpol dalam kegiatan DVI meliputi: a. Patologi Forensik. b. Antropologi Forensik. c. DNA profiling. d. Odontologi Forensik. e. Database DNA. f. Database Odontogram. g. Toksikologi Forensik. h. Farmasi Forensik. i. Psikiatri Forensik. j. Hukum Kesehatan. k. Medikolegal.
5
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan kegiatan DVI diatur dengan Peraturan Kapusdokkes Polri. DVI pun selain pada pasal 8 dibahas pula pada pasal 9 yaitu : 1. Pelaksanaan DVI meliputi: a. Bencana alam (Natural Disaster) yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor. b. bencana non alam (Unnatural Disaster) antara lain kebakaran hutan/ lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, kegagalan modernisasi, wabah penyakit, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, kegiatan keantariksaan dan tindak pidana kejahatan antara lain kejahatan konvensional, kejahatan trans nasional (terorisme, trafficking in persons). 2. Penentuan pelaksanaan DVI digelar sesuai tingkatan bencana yang ditetapkan dengan ketentuan yang berlaku. 3. Dalam pelaksanaan DVI dapat memanfaatkan kemampuan Dokpol dan kemampuan lain yang dikoordinasikan oleh Tim DVI (Kedokteran Kepolisian, 2011). C. Tugas Identifikasi Korban Bencana Tugas utama DVI secara umum adalah sebagai berikut : 1.
Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan evakuasi korban meninggal dan tempat kejadian.
6
2.
Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit tempat rujukan korban meninggal.
3.
Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada.
4.
Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
5.
Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintahan terkait (Amri, 2010). Setiap operasi respon bencana dimulai dengan pengukuran kegawatan
untuk mencegah atau mengurangi bahaya yang lebih lanjut : 1.
Pertolongan pertama bagi korban luka
2.
Pengukuran personal security
3.
Pengukuran property security Setelah gambaran awal situasi telah diperoleh di lokasi bencana, unit-unit
operasional yang berbeda harus dibentuk untuk melaksanakan langkahlangkah tanggap bencana yang tersisa. Unit ini harus diberi tugas tertentu dan tanggung jawab : 1.
Central emergency rescue unit Kebanyakan kasus tindakan darurat penyelamatan segera dimulai di lokasi bencana, sering kali dengan korban bencana atau orang lain di sekitarnya. Laporan lisan awal untuk unit penyelamatan darurat jarang sekali memberikan informasi rinci atau indikasi yang jelas tentang lingkup bencana dan jumlah korban. Oleh karena itu, ketua dari tim emergency rescue harus bekerja sama dengan polisi untuk membuat dan mengevaluasi :
7
a.
Langkah-langkah untuk memastikan bahwa tenaga medis dapat segera dikenali.
b.
Penyelamatan dan perawatan medis korban yang selamat
c.
Membentuk kesiapan darurat dengan berjaga di rumah sakit setempat (rencana krisis)
d.
Tentukan kapasitas rumah sakit; mengkoordinasikan transportasi korban luka-luka
e.
Membuat tempat perawatan medis sementara di sekitar lokasi bencana yang diperlukan. Dan penentuan jumlah korban telah meninggalkan situs dalam panik karena shock.
f.
Siapkan dokumentasi pada kondisi jumlah dan identitas orang cedera sebagai dasar untuk pelaporan terus menerus ke komando operasi bencana.
g.
Penyediaan informasi untuk pengumpulan korban terluka, rumah sakit dan klinik rawat jalan.
h.
Pembentukan sebuah rumah sakit pertolongan pertama/lapangan staf dengan dokter dan asisten medis sebagai tempat transit untuk semua korban yang diperlukan.
i.
Tanggung jawab berubah setelah korban telah dihapus dari lokasi bencana. Operasi penyelamatan terus berlanjut, namun para ahli teknis dan ahli identifikasi korban sekarang dapat melakukan tugas masing-masing di bawah otoritas mereka sendiri.
j.
Jika selama operasi penyelamatan, perlu untuk memindahkan mayat, adalah penting untuk mengetahui yang pindah dan dari dan ke mana.
8
Hindari membuka baju atau penghapusan perhiasan di tubuh.
k.
Untuk dapat mempersiapkan daftar orang hilang (PM), itu adalah keharusan untuk tahu persis di mana para korban terluka telah diambil.
2.
Central investigation unit Berikut adalah tugas dari central investigation unit : a.
Penahanan daerah situs bencana, seperti keamanan yang lengkap, sangat penting dalam rangka untuk memastikan kemajuan yang optimal dari operasi penyelamatan darurat dan untuk melindungi bukti dan masyarakat.
b.
Survei lokasi bencana/daerah yang diperlukan (GPS, peralatan survei leser, dokumentasi fotografi, fotogram survei metrik).
c.
Mengamankan lokasi bencana untuk mencegah akses oleh orang yang tidak sah (pagar, hambatan, jika perlu penjaga).
d.
Memastikan keselamatan sebelum akses ke lokasi bencana pengadaan wide-area foto, peta dan/atau layout dari situs bencana (bernomor lantai bangunan).
e.
Penyusunan grid direkomendasikan untuk bencana luar ruangan (kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api dan sejenisnya), dalam rangka untuk memastikan pemrosesan yang lebih lengkap dan efektif dari sektor terkait. Pengaturan sektor dalam pola papan catur akan memudahkan pencarian berikutnya untuk bukti.
f.
Pembentukan jalur tetap dengan pintu masuk yang spesifik dan exit point sedapat
mungkin. Melakukan pemeriksaan identitas individu 9
masuk atau keluar pada titik-titik. g.
Penugasan tanggung jawab khusus untuk sukarelawan sipil yang sesuai.
h.
Individu tanpa perlu atau otorisasi untuk hadir di lokasi bencana harus diperintahkan
untuk meninggalkan situs.
i.
Pengadaan data pribadi dari para saksi mungkin.
j.
Pendirian pusat kontrol transportasi, area parkir, masuk dan jalan keluar, landasan
helikopter, dan lainnya.
3.
Victim identification unit Dalam rangka untuk memastikan pencarian menyeluruh dan dokumentasi
fotografi,
tim
identifikasi
korban
dan
pemulihan
memerlukan peta yang akurat dari daerah bencana. Sejauh mungkin, lokasi bencana harus dilapis dengan grid dalam rangka untuk memfasilitasi operasi pencarian. Metode ini telah terbukti sangat efektif untuk daerah bencana relatif besar. Grid terdiri dari garis dasar yang hasil dari atau berjalan antara titik tetap diidentifikasi pada tanah serta garis paralel ditarik pada interval misalnya 10 m (tapi tergantung situasi), sehingga membentuk bagian persegi di mana pencarian dapat metodis dilakukan. Sejauh mungkin, grid harus menutupi seluruh daerah bencana (INTERPOL, 2009). Tugas spesifik dan tanggung jawab DVI : a)
Identifikasi dan penyediaan sumber daya personil untuk unit.
b) Pembuatan jadwal operasional.
10
c)
Koordinasi saluran komunikasi dan arus informasi.
d) Pengadaan informasi mengenai bencana. e)
Pelaporan ke otoritas operasional yang relevan.
f)
Pengadaan kendaraan operasional untuk personil.
g) Pembentukan
dan
pemeliharaan
kontak
dengan
lembaga-lembaga
domestik dan asing
yang terlibat dan organisasi lainnya (misalnya agen perjalanan, maskapai penerbangan). h) Hubungan masyarakat dan pers. i)
Penentuan aliran informasi dari identifikasi korban penerbitan sertifikat kematian.
j)
Dukungan teknis untuk identifikasi dan dokumentasi.
k) Hubungan dengan kedutaan besar, antar-lembaga, organisasi internasional, dan lainnya (INTERPOL, 2009). D. Prosedur Identifikasi Korban Bencana 1. Struktur Organisasi Organisasi
pelaksanaan
DVI
dilakukan
secara
berjenjang
dan
berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan di Provinsi dengan Badan Daerah Penanggulangan Bencana (BDPB). Berikut skema organisasi TIM VDI :
Bencana
TIM VDI Regional
TIM VDI Nasional
Menimbulkan Korban Masal
TIM VDI Provinsi
TIM VDI Internasional
Gambar 2.1 Skema Organisasi DVI 11
TIM DVI bersifat professional, lintas sektoral dan lintas disiplin yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut : a. Kesehatan (Depkes, Dinkes, Rumah sakit) b. Kepolisian (Dokpol, Puslabor, NCB Interpol dll) c. TNI (Tim kesehatan TNI) d. Perguruan tinggi e. Profesi (dokter dan dokter gigi) f.
Pemerintah Daerah (Dinsos, kependudukan dll)
g. Pencarian dan penyelamatan (SAR) h. Pemadam kebakaran i. NGO (National Government Organization) j. Volunter atau sukarelawan, dll. Tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah. a. Tingkat Pusat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri yang memiliki fungsi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencan dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai tugas :
12
1) Memberikan
pedoman
dan
pengarahan
terhadap
usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. 2) Menetapkan
standardisasi
penanggulangan
bencana
dan
kebutuhan
berdasarkan
penyelenggaraan
Peraturan
Perundang-
undangan. 3) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat. 4) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana. 5) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional. 6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundangundangan. 8) Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Tugas dan kewenangan Departemen Kesehatan adalah merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik dalam tahap sebelum, saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah, LSM,
13
Lembaga
Internasional,
organisasi
profesi
maupun
organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain
itu
Departemen
Kesehatan
secara
aktif
membantu
mengoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain. Dalam
operasional
pemberian
bantuan
bagi
daerah
yang
memerlukan, Departemen Kesehatan membentuk 9 (sembilan) Pusat Bantuan Regional Penanganan Krisis Kesehatan yang berperan untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dan masingmasing dilengkapi dengan SDM Kesehatan terlatih dan sarana, bahan, obat serta perlengkapan kesehatan lainnya, yaitu : 1) Regional Sumatera Utara berkedudukan di Medan, dengan wilayah pelayanan Provinsi NAD, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sumatera Barat. 2) Regional Sumatera Selatan berkedudukan di Palembang, dengan wilayah pelayanan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Bengkulu. 3) Regional DKI Jakarta kedudukan di Jakarta, dengan wilayah pelayanan Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Kalimantan Barat. 4) Regional Jawa Tengah di Semarang, dengan wilayah pelayanan Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. 5) Regional Jawa Timur di Surabaya, sebagai Posko wilayah tengah dengan wilayah pelayanan Jawa Timur.
14
6) Regional Kalimantan Selatan di Banjarmasin, dengan wilayah pelayanan Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan. 7) Regional Bali di Denpasar dengan wilayah pelayanan Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 8) Regional Sulawesi Utara di Manado, dengan wilayah pelayanan Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Maluku Utara. 9) Regional Sulawesi Selatan di Makasar, sebagai Posko Wilayah Timur, dengan wilayah pelayanan Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Maluku. 10) Sub Regional Papua di Jayapura, dengan wilayah pelayanan Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Pusat Regional Penanganan Krisis Kesehatan berfungsi: 1) Sebagai pusat komando dan pusat informasi (media centre) kesiapsiagaan dan penanggulangan kesehatan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya. 2) Fasilitasi buffer stock logistik kesehatan (bahan, alat dan obatobatan) 3) Menyiapkan dan menggerakkan Tim Reaksi Cepat dan bantuan SDM kesehatan yang siap digerakkan di daerah yang memerlukan bantuan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya.
15
b. Daerah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat daerah
yang
dibentuk
untuk
melaksanakan
tugas
dan
fungsi
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah. BPBD terdiri dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. BPBD mempunyai fungsi : 1) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien 2) Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. BPBD mempunyai tugas : 1) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.
16
2) Menetapkan
standardisasi
penanggulangan
bencana
serta
kebutuhan
berdasarkan
penyelenggaraan
Peraturan
Perundang-
undangan. 3) Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. 4) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana. 5) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya. 6) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana 7) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang. 8) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Undangundangan. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai salah satu anggota
Unsur
Pengarah
Penanggulangan
Bencana
merupakan
penanggungjawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana dibantu oleh unit teknis kesehatan yang ada di lingkup Provinsi dan Kabupaten Kota. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas
Kesehatan dengan surat
keputusan.
Tugas
dan
kewenangan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, memberikan standar dan
17
arahan serta mengkoordinasikan kegiatan penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya. Dalam hal memerlukan bantuan kesehatan karena ketidak seimbangan antara jumlah korban yang ditangani dengan sumber daya yang tersedia di tempat, dapat meminta bantuan ke Depkes dan Pusat Penanggulangan Krisis maupun ke Pusat Bantuan Regional. c. Unit Pelaksana Teknis Depkes Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular merupakan unit-unit pelaksana teknis Depkes di daerah. KKP berperan dalam memfasilitasi penanganan keluar masuknya bantuan sumber daya kesehatan melalui pelabuhan laut/udara dan daerah perbatasan, karantina kesehatan. BTKL berperan dalam perkuatan sistem kewaspadaan dini dan rujukan laboratorium (DepKes RI, 2007). 2. Prinsip dan Alur Kerja a. Prinsip Prioritas awal selama masa tanggap darurat adalah penanganan gawat darurat medik terhadap korban luka dan identifikasi korban mati di sarana kesehatan. b. Alur Kerja Alur kerna DVI dalam penatalaksanaan korban mati dibagi menjadi 4 tahap yaitu : 1) Tahap I, penanganan di tempat kejadian perkara (TKP), dilaksanakan oleh Tim DVI, unit TKP. Kegiatan : a) Memberi tanda dan label di TKP
18
(1) Membuat sektor/zona pada TKP dgn Ukuran 5x5 m yang disesuaikan dengan kondisi geografis. (2) Memberikan tanda pada tiap sektor. (3) Memberikan label orange pada jenasah & potongan jenasah, label diikatkan pada tubuh/ibu jari kanan jenasah. (4) Memberikan label putih pada barang-barang pemilik yg tercecer. (5) Membuat sketsa dan foto tiap sektor. b) Evakuasi dan transportasi jenasah dan barang (1) Memasukkan jenasah dan potongan jenasah dalam karung plastik dan diberi label sesuai label jenasah. (2) Memasukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban dan diberi label sesuai nama jenazah. (3) Diangkat ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah dan dibuat berita acara penyerahan kolektif 2) Tahap IIa, Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit data post mortem. Kegiatan : a) Menerima jenazah dan potongan jenazah serta barang dari unit TKP. b) Meregistrasi ulang, mengelompokkan jenazah utuh, tidak utuh dan barang. c) Membuat foto jenazah. d) Mencatat ciri-ciri korban sesuai dengan formulir yang tersedia. e) Mengambil sidik jari dan golongan darah.
19
f) Mencatat gigi-geligi korban. g) Melakukan otopsi. h) Mengirim data-data ke unit pembanding data. 3) Tahap IIb, Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit data ante mortem. Kegiatan : a) Mengumpulkan data-data korban semasa hidup. b) Memasukkan data-data yang ada ke formulir. c) Mengelompokkan Mengelompokkan data berdasarkan berdasarkan jenis kelamin kelamin dan umur. d) Mengirim data-data ke unit pembanding data 4) Tahap III, Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit pembanding data. Kegiatan : a) Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban antara unit TKP, unit data ante mortem, dan unit data post mortem. b) Mengirimkan data-data korban yang dikenal dikenal untuk dikirim ke Tim Identifikasi. c) Mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP, post mortem dan ante mortem untuk korban yang belum dikenal. 5) Tahap IV, Pengolahan dan hasil akhir oleh Tim DVI. Kegiatan : a) Check and recheck hasil unit pembanding data. b) Mengumpulkan hasil identifikasi korban. c) Membuat
Membuat
surat
keterangan
keterangan
kematian
kematian untuk korban yang dikenal dan surat-surat lain yg diperlukan.
20
d) Menerima keluarga korban. e) Publikasi yang benar dan terarah (DepKes RI, 2007) 3. Metode Identifikasi Identfikasi merupakan merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identfikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidik karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan (Budiyanto, Arif. 2013) Identifikasi primer adalah Jenis metode identifikasi primer dan yang paling dapat diandalkan, yaitu identifikasi sidik jari, analisis komparatif gigi dan analisis DNA. Jenis metode identifikasi sekunder meliputi deskripsi personal, temuan medis serta bukti dan pakaian yang ditemukan pada tubuh. Jenis identifikasi ini berfungsi untuk mendukung identifikasi dengan cara lain dan biasanya tidak cukup sebagai satu-satunya alat identifikasi (Budiyanto, Arif. 2013)
Gambar 2.2. Identifikasi Primer
21
Gambar 2.3. Identifikasi Sekunder a. Identifikasi Primer 1) Sidik Jari a) Definisi Sidik jari adalah suatu impresi dari alur-alur lekukan yang menonjol dari epidermis pada telapak tangan dan jari-jari tangan atau telapak kaki dan jari-jari kaki, yang juga dikenal sebagai “dermal ridges” atau “dermal papillae”, yang terbentuk dari satu atau lebih alur-alur yang saling berhubungan. Dari bayi pun, kita semua sudah mempunyai sidik jari yang sangat identik dan tidak dimiliki orang lain. Alur-alur kulit di ujung jari dan telapak tangan dan kaki mulai tumbuh di ujung jari sejak janin berusia empat minggu hingga sempurna saat enam bulan di dalam kandungan. Daktiloskopi adalah suatu sarana dan upaya pengenalan identitas diri seseorang melalui suatu proses pengamatan dan penelitian sidik jari, yang dipergunakan untuk berbagai keperluan/kebutuhan, tanda bukti, tanda pengenal ataupun
sebagai
pengganti
tanda
tangan
(cap
Jempol)
(Ashabaugh, David R. Ridgeology, 2012).
22
Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik (Ashabaugh, David R. Ridgeology, 2012). Menurut Ashabaugh, David R. Ridgeology. (2012) ada tiga alasan mengapa sidik jari merupakan indikator identitas yang dapat diandalkan: (1) Sidik jari unik: Tidak ada kecocokan mutlak antara papiler ridges pada jari dari dua individu yang berbeda atau pada jari yang berbeda dari orang yang sama. (2) Sidik jari tidak berubah: papiler ridges terbentuk pada bulan keempat kehamilan dan tetap tidak berubah bahkan setelah mati. Sidik jari tumbuh kembali dalam pola yang sama setelah luka ringan. Luka yang lebih parah mengakibatkan jaringan parut permanen. (3) Sidik jari dapat diklasifikasikan: Karena sidik jari dapat diklasifikasikan, maka dapat diidentifikasi dan didata secara sistematis dan dengan demikian dapat diperiksa dengan mudah untuk tujuan perbandingan.
23
Gambar 2.4. Anatomi kulit
Gambar 2.5 Contoh Pola yang Paling Umum untuk Dermal Ridges b) Sifat – sifat Sidik Jari Biometrik merupakan cabang matematika terapan yang bidang garapnya untuk mengindentifikasi individu berdasarkan ciri atau pola yang dimiliki oleh individu tersebut, misalnya bentuk wajah, sidik jari, warna suara, retina mata, dan struktur DNA. Sidik jari merupakan salah satu pola yang sering digunakan untuk mengindentifikasi indentitas seseorang karena polanya yang unik, terbukti cukup akurat, aman, mudah, dan nyaman bila dibandingkan dengan sistem biometrik yang lainnya. Hal ini dapat dilihat pada sifat yang dimiliki oleh sidik jari yaitu guratanguratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia seumur hidup, pola ridge tidaklah bisa menerima warisan, pola ridge
24
dibentuk embrio, pola ridge tidak pernah berubah dalam hidup, dan hanya setelah kematian dapat berubah sebagai hasil pembusukan. Dalam hidup, pola ridge hanya diubah secara kebetulan akibat, luka-luka, kebakaran, penyakit atau penyebab lain yang tidak wajar. Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar satu telur. Dalam dunia sains pernah dikemukakan, jika ada 5 juta orang di bumi, kemungkinan munculnya dua sidik jari manusia yang sama baru akan terjadi lagi 300 tahun kemudian, atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang terpenting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui
jati
diri
seseorang
(Ashabaugh,
David
R.
Ridgeology, 2012). Dibawah ini merupakan sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari: (1) Perennial nature, yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia seumur hidup. (2) Immutability, yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius. (3) Individuality, pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang. (Ashabaugh, David R. Ridgeology, 2012). c) Klasifikasi Sidik Jari Sebelum
komputerisasi
menggantikan sistem
pendataan
manual di operasi-operasi pemrosesan sidikjari yang besar, klasifikasi sidik jari manual digunakan untuk mengkatagorikan
25
sidik jari berdasarkan formasi alur-alur tonjolan secara umum (seperti ada atau tak adanya pola-pola sirkular pada jari-jari), oleh karena itu pendataan dan pengambilan catatan laporan dalam jumlah besar berdasarkan pola-pola tersebut, yang terlepas dari pertimbangan nama, tanggal lahir, dan data biografis. Sistem-sistem klasifikasi sidik jari yang paling populer diantaranya sitem Roscher, sistem Vucetich, dan sistem Henry. Dari sistem-sistem ini, sistem Roscher dikembangkan di Jerman dan diaplikasikan di Jerman dan Jepang. Sistem Vucetich dikemkangkan di Argentina dan diimplementasikan di seluruh Amerika Utara, dan sistem Henry dikembangkan di India dan diimplementasikan di kebanyakan negara-negara berbahasa Inggris (Ashabaugh, David R. Ridgeology, 2012). Sistem Henry berasal dari pola ridge yang terpusat pola jari tangan, jari kaki, khusunya telunjuk. Metoda yang klasik dari tinta dan menggulung jari pada suatu kartu cetakan menghasilkan suatu
pola
ridge
yang unik
bagi
masing-masing digit
individu.Dalam sistem klasifikasi Henry, terdapat tiga pola dasar sidik jari: Arch (lengkungan), Loop (uliran), dan Whorl (lingkaran) (Ashabaugh, David R. Ridgeology. 2012). (1) Tipe Arch, Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di tengah, dan berakhir di ujung yang lain.
26
(2) Tipe Loop, Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul. (3) Tipe Whorl, Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat dari jari.
Gambar 2.6 Pola Dasar Sidik Jari d) Cara Pengambilan Dan Pemeriksaan Sidik Jari Dari sembilan metode identifikasi yang dikenal hanya metode penetuan jati diri dengan sidik jari (daktiloskopi), yang tidak lazim dikerjakan oleh dokter, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan oleh dokter, dokter masih mempunyai kewajiban yaitu untuk mengambilkan atau mencetak sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya yang telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari yang keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prosedur standar yang harus diketahui dokter (Ashabaugh, David R. Ridgeology, 2012).
27
Cara pengangkatan sidik jari yang paling sederhana adalah dengan metode dusting (penaburan bubuk). Biasanya metode ini digunakan pada sidik jari paten / yang tampak dengan mata telanjang. Sidik jari laten biasanya menempel pada lempeng aluminium, kertas, atau permukaan kayu. Agar dapat tampak, para
ahli
dapat
menggunakan
zat
kimia,
seperti
lem
(sianoakrilat), iodin, perak klorida, dan ninhidrin. Lem sianoakrilat digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari dengan cara mengoleskannya pada permukaan benda aluminium yang disimpan di dalam wadah tertutup, misalnya stoples. Dalam stoples tersebut, ditaruh juga permukaan benda yang diduga mengandung sidik jari yang telah diolesi minyak. Tutup rapat stoples. Sianoakrilat bersifat mudah menguap sehingga uapnya akan menempel pada permukaan benda berminyak yang diduga mengandung sidik jari. Semakin banyak sianoakrilat yang menempel pada permukaan berminyak, semakin tampaklah sidik jari sehingga dapat diidentifikasi secara mudah (Ashabaugh, David R. Ridgeology. 2012) 2) Identifikasi gigi Forensik Odontologi dapat merupakan suatu penerapan ilmu gigi dalam system hukum. Ilmu kedokteran gigi forensik memiliki nama lain yaitu forensic dentistry dan odontology forensic. Forensik odontologi adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta
28
cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan (Idris Abdul, 2010). Ruang lingkup forensik odontologi meliputi : a) Identifikasi terhadap jenazah korban yang tidak diketahui melalui gigi, rahang dan tulang-tulang kraniofasial b) Analisa jejak bekas gigitan c) Analisa trauma orofasial yang berhubungan dengan kekerasan d) Dental jurisprudence, termasuk menjadi saksi ahli (Idris Abdul, 2010). Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut: a) Gigi
merupakan
jaringan
keras
yang
resisten
terhadap
pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrim. b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. c) Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis. d) Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis, yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
29
e) Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar. f) Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400ºC. g) Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan giginya masih utuh (Idris Abdul. 2010). 3) DNA Bukti DNA merupakan jenis bukti fisik, bukti ilmiah yang digunakan dalam menyelidiki, pemecahan, dan penuntutan kasuskasus kriminal, termasuk kasus-kasus pemerkosaan. Ketika lembaga penegak hukum dan pengacara memanfaatkan bukti DNA, hal itu seperti "silent witness" yang membantu untuk mengidentifikasi atau menghilangkan tersangka tertentu. Asam deoksiribonukleat (DNA) adalah rantai kode informasi genetik yang terdapat di dalam inti sel, yang menentukan karakteristik keturunan individu. Hal ini seperti blueprint genetik dan identik di setiap sel individu. Penggunaan bukti DNA dalam investigasi kriminal dan penuntutan berpusat pada teori bahwa tidak ada dua manusia, kecuali untuk kembar identik, memiliki DNA yang sama persis, meskipun teori ini belum benarbenar terbukti (Djaja Surya Atmaja, 2012).
30
a) Definisi Asam
deoksi-ribonukleat
(Deoxyribonucleic
Acid
=
DNA), yang biasanya dimaksud “the blueprint of life” membawa informasi geneetik yang dibutuhkan oleh suatu organisme untuk berfungsi. Struktur DNA adalah “untaian ganda” (double helix), yaitu dua untai bahan genetik yang membentuk spiral satu sama lain. Setiap untaian terdiri dari satu deretan basa (juga disebut nukleotida), yang terdiri dari 3 grup bahan kimia yang berbeda: basa, gula (deoxyribose), dan fosfat. Basa dimaksud adalah salah satu dari keempat senyawa kimiawi berikut: Adenin, Guanin, Cytosine dan Thymine (Djaja Surya Atmaja. 2012). Struktur kimiawi DNA dari setiap orang adalah sama, yang berbeda hanyalah urutan atau susunan dari pasangan basa yang membentuk DNA tersebut. Ada jutaan pasangan basa yang terkandung dalam DNA setiap orang, di mana urutan/susunan basa-basa tersebut berbeda untuk setiap orang. Berdasarkan perbedaan urutan/susunan basa-basa dalam DNA tersebut, setiap orang dapat diidentifikasi. Namun demikian, karena ada jutaan pasangan basa, pekerjaan tersebut akan membutuhkan waktu yang lama. Sebagai penggantinya, para ahli dapat menggunakan metode yang lebih pendek, yaitu berdasarkan adanya pola pengulangan urutan/deretan basa dalam DNA setiap orang (Djaja Surya Atmaja. 2012).
31
b) Pengambilan Sampel (1)
Ante Mortem Sampel Diperhitungkan risiko untuk informasi palsu pilihan sampel maka referensi DNA Ante Mortem harus : I.
Kerabat dekat pertama, jika mungkin lebih dari satu. DNA profil dari tingkat pertama kerabat akan selalu memberikan
informasi
yang
memadai
untuk
pencocokan. Dalam kebanyakan kasus itu juga akan mungkin untuk menemukan dan mengambil sampel dari lebih dari satu relatif. Donor yang cocok tercantum dalam urutan preferensi di bawah ini: II.
Monozigot / kembar identik.
III.
Ibu dan ayah biologis dari korban.
IV.
Ibu biologis atau ayah biologis dari korban dan jika mungkin saudara kandung.
V.
Anak-anak biologis dan pasangan korban.
VI.
Saudara kandung dari korban (beberapa) Sampel yang biasa dipilih adalah apusan mukosa
bukal dan tetes darah yang diambil dari ujung jari. I.
Darah atau biopsi sampel dari korban potensial. Lain situasi yang ideal, DNA sampel referensi diperoleh dari sampel yang diambil untuk pemeriksaan medis atau analisis yang sama sebelum kematian almarhum dan disimpan dalam bio-bank atau lainnya
32
bio-medis sumber DNA (seperti rumah sakit, unit patologi, dan ayah dan darah laboratorium transfusi). II.
Pribadi benda-benda yang telah digunakan oleh almarhum. Hal ini juga mungkin untuk mendapatkan sampel referensi dari benda-benda yang telah digunakan oleh almarhum. Penting untuk membangun sejak awal apakah obyek diproses milik dan digunakan secara eksklusif oleh individu yang bersangkutan. Jika suatu benda (misalnya sikat rambut) tidak digunakan hanya oleh orang yang bersangkutan, identitas orang kedua harus ditentukan, dan sampel DNA harus diambil dari orang untuk tujuan perbandingan. Sebagai obyek sebanyak mungkin harus diperoleh untuk tujuan pengumpulan DNA AM, karena mungkin bahwa item individu dari bukti tidak akan menghasilkan hasil analisis yang diinginkan. Contoh barang-barang yang dimungkinkan untuk mengekstrak DNA: pisau cukur, gelas, sikat gigi, sisir, lipstik, deodoran rol, cangkir dan gellas yang digunakan, puntung rokok, helm dan topi, headphone, kacamata, perhiasan, dan jam tangan.
33
Tabel 2.1. Bahan pengambilan sampel untuk profil DNA (Djaja Surya Atmaja, 2012)
(2) Post Mortem Sampel Tingkat keberhasilan untuk sidik DNA tergantung pada seberapa cepat sampel diperoleh dan dipelihara. Selama pengumpulan sampel, ahli genetika forensik atau patologi dengan pengetahuan dasar tentang genetika forensik harus hadir untuk memberikan bimbingan untuk koleksi DNA sampel. Tergantung pada kondisi korps, berbagai jenis jaringan dikumpulkan: Tabel 2.2 Pemilihan sampel berdasarkan keadaan mayat (Djaja Surya Atmaja, 2012). Keadaan Tubuh Lengkap, mayat membusuk
belum
Termutilasi, mayat belum memusuk
Rekomendasi Sampel Darah (pada kertas FTA atau apusan) dan apusan mukosa ukal Jika memungkinkan: jaringan otot dalam.
darah
dan
34
Lengkap, mayat sudah membusuk atau termutilasi
Sampel dari tulang kompak panjang (bagian 4-6 cm, bagian jendela, tanpa pemisahan shaft) Atau. Gigi sehat (sebaiknya molar) Atau. Setiap tulang lain yang tersedia jika mungkin; sebaiknya tulang kortikal dengan jaringan padat)
Mayat yang terbakar hebat
Semua sampel yang tercantum di atas dan gigi yang impaksi atau akar gigi jika ada atau Apusan dari kandung kemih
b. Identifikasi Sekunder Identifikasi meliputi deskripsi pribadi, temuan medis serta bukti dan pakaian yang ditemukan pada tubuh. Tujuan identifikasi ini adalah mendukung metode identifikasi lainnya dan biasanya tidak cukup kuat jika dipakai sebagai satu-satunya metode dalam identifikasi. Identifikasi sekunder jika dikombinasikan dapat memberikan informasi memadai untuk membuat identifikasi pada kasus-kasus tertentu, dan pada kasus dimana identifikasi primer dapat dilakukan dengan terbatas atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu data-data sekunder ini tidak boleh diabaikan saat mengumpulkan data (INTERPOL, 2014). 1) Deskripsi pribadi Deskripsi pribadi terdiri dari data dasar (usia, jenis kelamin, tinggi badan, etnis) dan kekhasan tertentu. Temuan medis, seperti bekas luka dan operasi pengangkatan organ dapat mendapatkan informasi penting tentang
riwayat
kesehatan
korban.
Jenis-jenis
operasi
yang
memperlihatkan beberapa karakteristik individu (misalnya usus buntu)
35
harus diperhatikan.. Tato dan tahi lalat juga dapat berfungsi sebagai indikator identitas (INTERPOL, 2014). a) Properti Kategori ini mencakup semua yang ditemukan pada tubuh korban (misalnya perhiasan, barang dari pakaian, dokumen identifikasi pribadi, dll). Item yang terukir pada perhiasan dapat memberikan petunjuk penting mengenai identitas korban. Penting untuk dipertimbangkan, bahwa item tertentu mungkin tidak benarbenar bukti milik tubuh tertentu (misalnya surat-surat identitas dapat dilakukan oleh orang yang berbeda, barang perhiasan atau pakaian mungkin telah dipinjamkan sengaja untuk individu lain, selama
pengambilan,
item
mungkin
tidak
sengaja
telah
ditempatkan dalam saku kantong mayat) (INTERPOL. 2014). b) Temuan Medis Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, cacat atau kelainan khusus. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak atau kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya (INTERPOL, 2014).
36
4. Peralatan dan Tahap –Tahap Identifikasi Korban Bencana Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah. Proses DVI terdiri dari 5 fase (ANZPAA, 2018) sebagai berikut : a) Fase 1 : fase TKP Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 1) Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI. 2) Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang. 3) Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan. 4) Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat. 5) Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya.
37
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1) Membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP. 2) Memberikan tanda pada setiap sektor. 3) Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah; 4) Memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer. 5) Membuat sketsa dan foto setiap sektor. 6) Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya; 7) Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM halaman B dengan keterangan sebagai berikut : (1) Pada
setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan
umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP. (2) Selanjutnya
tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap,
dapat dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan. (3) Diskripsikan
keadaannya
apakah
rusak,
terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas. (4) Keterangan
informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir
38
Interpol DVI PM halaman B. 8) Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah; 9) Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek. 10) Masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti. 11) Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif. b) Fase 2: Fase post mortem
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut: 1)
menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP.
2)
mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang‐barang.
3)
mebuat foto jenazah.
4)
mengambil sidik jari korban dan golongan darah.
5)
melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia.
6)
melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat.
7)
melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban.
39
8)
membuat rontgen foto jika perlu.
9)
mengambil sampel DNA.
10) menyimpan jenasah yang sudah diperiksa. 11) melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak
melekat di mayat yang ditemukan di TKP. 12) mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding
data. Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik. c) Fase 3: Fase Ante Mortem
Kegiatan : 1) Menerima keluarga korban. 2) Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan
lain‐ lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut. 3) Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban
bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil. 4) data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
(1) data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat.
40
(2) sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari: a)
klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta;\
b)
lembaga‐lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta;
c)
praktek pribadi dokter gigi.
5) Mengambil sampel DNA pembanding. 6) Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data
Ante Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat). 7) Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM. 8) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding
Data. d) Fase 4: Fase Rekonsiliasi
Kegiatan : 1) Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem. 2) Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi. 3) Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal. 4) Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem. 5) Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data. 6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban. 7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk
41
korban yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan. 8) Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat. e) Fase 5: Fase Debriefing
Kegiatan: 1) Melakukan analisa dan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi dari awal hingga akhir. 2) Mencari hal yang kurang yang menjadi kendala dalam operasi DVI untuk diperbaiki pada masa mendatang sehingga penanganan DVI selanjutnya dapat menjadi lebih baik. 3) Mencari hal yang positif selama dalam proses identifikasi untuk tetap dipertahankan dan ditingkatkan pada operasi DVI mendatang. Tim DVI dalam bekerja menurut Departemen Kesehatan RI (2011) haruslah dilengkapi dengan peralatan dan fasilitas seperti: 1) Kantong jenazah 2) Kantong tempat properti korban 3) Label mayat tahan air 4) Alat tulis menulis 5) Formulir antemortem dan postmortem 6) Kamera digital 7) Perlengkapan perorangan (1) sepatu laras karet (2) sarung tangan
42
(3) masker 8) Sarana dan fasilitas seperti lemari pendingin atau tempat agar mayat tidak cepat membusuk (cold storage). 9) Fasilitas tempat pemeriksaan jenazah, kantung jenazah, insektisida, peralatan otopsi dan alat pendukung lainnya; 5. Perwatan dan Penyerahan Jenazah Korban yang telah melawati prosedur identifikasi, sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah, antara lain: a)
Perbaikan/rekonstruksi tubuh jenazah.
b)
Jenazah (bila memungkinkan).
c)
Perawatan sesuai agama korban.
d)
Dalam peti jenazah. Jenazah diserahkan kepada keluarga oleh petugas khusus dari Tim
Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan. Pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah, antara lain: a) Tanggal/jam. b) Registrasi jenazah. c) Kepada siapa, alamat lengkap, hubungan d) Keluarga dengan korban. e) Dibawa ke mana/akan dimakamkan di mana. Jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinkes terkait dibantu oleh keluarga korban (DepKes RI, 2007). sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik.
43
Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (misalnya Interpol) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian (Singh, 2008). 6. Sejarah dan Perkembangan DVI di Indonesia DVI di Indonesia dipelopori dengan diadakannya suatu pertemuan yaitu pada The 1st Interpol DVI Pacific Rim Meeting tanggal 25 – 27 Januari 2001 di Makassar. Selanjutnya DVI Indonesia diperkenalkan dan menjadi salah satu materi pokok dalam Program Post Graduate Training on Clinical Forensic Medicine, Human Rights and Medical Jurisprudence untuk mendapatkan gelar DFM ( Diploma on Forensic Medicine ) selama 4 periode yang bekerjasama antara Polri, Universitas Hasanuddin dan Groningen University, Netherland. Pada tanggal 25-28 Juli 2003 diadakan The 2nd Interpol DVI Pacific Rim Meeting di Denpasar, yang pada kesempatan itu pula turut ditandatangani Memorandum of Understanding antara Departemen Kesehatan RI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Pusdokkes Polri juga telah mengirimkan personelnya untuk mengikuti DVI Course AFP – PDRM di Kuala Lumpur bulan Oktober 2003, dan menyelenggarakan DVI Course AFP – Polri di Jakarta dan Bali pada bulan Juli 2004 dan Agustus 2004. Pada tanggal 29 September 2004 dilakukan Memorandum of Understanding yang kedua antara Departemen Kesehatan RI dan Polri tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bancana Massal yang juga disepakati terbentuknya Tim DVI Indonesia Nasional serta pembagian wilayah Regional DVI di Indonesia.
44
Beberapa kasus-kasus bencana di Indonesia dimana prosedur DVI telah diterapkan antara lain pada peristiwa Bom Bali I – Oktober 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta – Agustus 2003, Tragedi Terbakarnya Bis di Situbondo, Jatim-Oktober 2003, Bom di Kedubes Australia Jakarta – September 2004, Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias – Desember 2004 s/d Januari 2005, Bom Bali II – Oktober 2005, Kecelakaan Pesawat Mandala Airlines, Medan – September 2005, Peristiwa Penangkapan DR. Azahari Batu Malang – November 2005, Peristiwa Penangkapan Teroris di Wonosobo – April 2006, Gempa Bumi di Yogya dan Jateng – Mei 2006 dan Tsunami di PangandaranJuli 2006, Kecelakaan pesawat Adam Air – Januari 2007, Kecelakaan KM Senopati, KM Tristar dan KM Levina, Kecelakaan pesawat Garuda – 2007, Jatuhnya pesawat TNI AU di Bogor – 26 Juni 2008, Kasus pembunuhan berantai oleh Ryan – Juli 2008, Tenggelamnya KM Teratai Prima di perairan Sulawesi Barat – Januari 2009, Penanganan Kasus Kebakaran Hutan di Victoria Australia – Pebruari 2009, Musibah Jebolnya Tanggul di Situ Gintung – Maret 2009, Kecelakan Pesawat F 27 TNI AU di Lanud Husein Sastranegara, Bandung – 6 April 2009, Jatuhnya pesawat C-130 Hercules TNI Audi Magetan – 20 Mei 2009, Kasus Peledakan Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton – 17 Juli 2009, kasus tertangkapnya gembong teroris Noordin M. Top di Solo dan terakhir kasus tertangkapnya “the most wanted terrorist in the world DULMATIN” di Pamulang, Tangerang Selatan – 9 Maret 2010. Di dalam perkembangannya Pusdokkes Polri sudah membuat software ’Plassdata Indonesia’, yaitu program Plassdata yang menggunakan bahasa Indonesia untuk memudahkan bagi pengguna dalam mengolah dan
45
memasukkan data entry baik data post mortem maupun data ante mortem serta memudahkan dalam melakukan proses rekonsiliasinya. Adapun software tersebut telah diberi nama ’DEVINA’. Kemudian juga telah dibuat film pendidikan simulasi tentang DVI yang akan berguna untuk memudahkan bagi pihak terkait yang ingin mempelajarinya. Dalam perkembangannya Tim DVI Nasional Indonesia sudah melaksananakan Sosialisasi DVI ke masing-masing Provinsi serta sudah membuat produk berbagai piranti lunak tentang Penatalaksanaan Operasi DVI, Penatalaksanaan pemeriksaan kedokteran gigi forensik, formulir Ante dan Post Mortem, label Ante dan Post Mortem, kit DVI, kantong jenazah, dan lain-lain. Selanjutnya Sekretariat Tim DVI Nasional Indonesia juga merencanakan akan membangun Pusat Database Orang Hilang dan kedepan membangun sebagai Pusat Data Ante Mortem untuk seluruh Indonesia (https://ipurworejo.wordpress.com).
46
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam maupun karena ulah manusia hingga kedaruratan kompleks. Semua hal tersebut jika terjadi akan menimbulkan krisis kesehatan antara lain timbulnya korban massal. DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu
definisi
yang
diberikan
sebagai
sebuah
prosedur
untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan BersamaMenteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. PolKep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada BencanaMassal. PP 21 TH 2008, pasal 51 (5) Terhadap masyarakat terkena bencana yang meninggal dunia dilakukan upaya identifikasi dan pemakaman. Pelaksanaan DVI meliputi korban akibat bencana alam (Natural Disaster) berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor dan bencana non alam (Unnatural Disaster) antara lain kebakaran hutan/ lahan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakan
transportasi,
kegagalan
konstruksi/teknologi,
kegagalan modernisasi, wabah penyakit, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, kegiatan keantariksaan dan tindak pidana kejahatan antara lain kejahatan konvensional, kejahatan trans nasional (terorisme, trafficking in persons). Tugas utama DVI secara umum adalah
47
koordinasi dengan tim medis, aparat keamanan , rumah sakit setempat atau rumah sakit tempat rujukan korban meninggal, selain itu melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada dan membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan serta melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintahan terkait. Alur kerna DVI dalam penatalaksanaan korban mati dibagi menjadi 4 tahap yaitu tahap I penanganan di tempat kejadian perkara (TKP), tahap IIa Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit data post mortem, tahap IIb Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit data ante mortem, tahap III Penanganan di pusat identifikasi (Rumah Sakit) oleh unit pembanding data, dan Tahap IV, Pengolahan dan hasil akhir oleh Tim DVI. B. Saran Dengan adanya penyusunan referat ini menjadi wadah mahasiswa untuk mempelajari lebih dalam terkait beberapa materi yang telah disampaikan, terutama dalam referat ini mahasiswa kelompok 5 lebih mendalami “Peranan DVI Dalam Penanganan Korban Bencana Massal” dan akan menjadi bahan diskusi dengan kelompok lain. Diharapkan dengan adanya diskusi antar kelompok dengan referat ini dapat menjadi sumber informasi dan memacu mahasiswa untuk lebih giat dalam belajar.
48
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A. (2010). Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Ramadan; ANZPAA (Australian NewZealand Policing Asvisory Agrncy). 2018. Explaining the disaster victim identification process. Available at: https://www.afp.gov.au/what-we-do/operational support/forensics/explaining-disaster-victim-identification-process Asep M. Himpunan Peraturan PerundangUndangan Penanggulangan Bencana. Bandung: Fokus Media; (2007). h.1-6 2. Ashabaugh, David R. Ridgeology. (2012). Journal of forensic Identification Vol. 41; Budiyanto, Arif. 2013. Ilmu Kedokteran Forensik : Identifikasi Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Hal 197-202 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Indonesia : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Edisi Revisi). Jakarta : Depkes RI Djaja Surya Atmaja. (2012). Peranan analisis DNA pada penanganan kasus Forensik. Jakarta: FKUI. Hal : 2; 200 Eddy S. (2006). DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop. Bandung Henky, Oktavinda Safitry. (2011). Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan Kenyataan. Indonesia : Indonesian Journal Legal and Forensic science. Idris Abdul. (2010). Penerapan Ilmu kedokteran forensik dalam penyidikan. Jakarta. Hal: 287-9 International Criminal Police Organization. (1998). Disaster Victim Identification Guide, GB Version. INTERPOL. (2014). Disaster Victim Identification Guide [Internet]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15003161%5Cnhttp://cid.oxfordjourn als.org/lookup/doi/10.1093/cid/cir991%5Cnhttp://www.scielo.cl/pdf/udecad a/v15n26/art06.pdf%5Cnhttp://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2s2.0-84861150233&partnerID=tZOtx3y1. www.djpp.kemenkumham.go.id
49
https://ipurworejo.wordpress.com/2011/04/11/sejarah-disaster-victimidentification-dvi/ INTERPOL. (2009) Disaster Victim Identification Guide. Chapter 3 pp 11-14. London: INTERPOL. Kedokteran Kepolisian (2011) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011. Singh Surjit. (2008). Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Medan : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1– 23
50