INYIK UTIH Karya : HAMKA
,,Isah”, kedengaran suara dari luar memanggil namanya. Dia pun masuk. ,,Isah, rupanya pertunanganmu dengan si Halim tak jadi dilangsungkan. Orang telah mengantarkan kata putus, dan segala tanda-tandatelah dikembalikan”. Demikianlah perkataan Sidi Nasir, paman tempat Isah menumpang itu, memberi tahu kepadanya bahwa pertunangannya putus sudah. Isah tegak dan diam : pada wajahnya terbayang bahwa dia masih menunggu-nunggu ujung perkataan itu ; tetapi tidak ada ujungnya lagi, tak ada keterangan tentang putus pertunangan itu. Apakah akan jawabnya tentang keputusan itu, dan apakah ujung perkataan yang diharapkannya, pada hal sudah nyata pertunangannya putus. Dia tegak sebentar, kemudian ia pun kembali ke belakang, diturutkan oleh makciknya dengan mata belas kasihan. Putus atau bertunangan baginya sama saja, dan pikirannya dalam perkara itu tak pernah diminta orang. Ia tidak pernah dibawa musyawarat dalam hal menentukan siapa yang akan jadi jodohnya. Dan iapun tidak merasa perlu akan musyawarat itu : asal dapat saja dia hidup dalam rumah itu, sudah cukuplah baginya, sebab dia sudah lama kematian ayah dan ibu. Hanya belas-kasihan oranglah yang menyebabkan dia masih hidup menumpang di dalam rumah itu. Meskipun sudah demikian nasibnya, dari sebulan kesebulan timbul jugalah angan-angan dalam hatinya. cita-cita, yang mesti timbul dalam hati tiap-tiap anak gadis yang telah akil balig, yaitu tentang hal bersuami. Bagaimana gerangan rasanya jadi pengantin, bagaimana perasaan pada hari nikah, ketika ia dikelilingi oleh gadis-gadis yang cantik molek, sedang dikepalanya lekat sunting mas, bertutup dengan kain kasa halus, berselendang kain berlambak benang mas, duduk bersanding dengan pengantin laki-laki? Bagaimana gerangan rasanya, kalau kemudian mereka itu telah hidup berdua mengemudikan rumah tangga yang kecil dan beroleh permainan, - - anak? Dia tegak ke muka cermin besar yang telah tua di dalam kamarnya. Diperhatikannya mukanya yang laksana bulan penuh itu; iapun tersenyum simpul melihat mukanya sendiri. seraya berkata di dalam hatinya: ,,Ah, tentu aku akan berbahagia, jika telah kawin!” Tetapi pertunangan dengan Halim telah diputuskan. Sayang ! kepada siapakah dia hendak mengadukan halnya? Sedangkan dapat nasi sesuap pagi sesuap petang, disediakan kamar tempat menumpang, sudah sangat besar jasa orang kepadanya. Sebab itu sedih hatinya disimpannya saja. Dia berdukacita bukan karena tunangannya itu dicintainya, bukan karena telah berkenalan. Yang didukakannya hanya sebuah, yaitu tak jadi datang hari yang diharapkan-harapkannya, hari kawin, hari ,,kain berlambak mas”, pakaian anak dara, akan ditutupkannya ke punggungnya. Apakah sebabnya tak jadi Halim bertunangan dengan dia? Ah, tentu ada gadis yang lebih kaya dari padanya, atau yang masih hidup orang tuanya. Tentu Halim lebih suka kepada gadis itu daripada akan dirinya. gadis yatim piatu yang hanya menumpang di rumah orang. Tentu gadis itulah yang akan duduk di sisi Halim memakai kain berlambak mas, pakaian anak dara, di atas puadai pada malam perkawinan.
Tiga tahun kemudian. Anak sulung Sidi Nasir, bernama Habibah, telah dipinang orang. Pinangan itu diterima, karena uang antaran telah cukup , mahar telah sedia dan peralatan akan segera dilangsungkan. Maka tibalah hari kawin yang ditunggu-tunggu itu. Sehabis nikah di muka tuan Kadi, dan tamu-tamu telah pulang ke tempat masing-masing tinggallah pengantin laki-laki duduk seorang dirinya menunggu akan dipersandingkan menurut adat yang terpakai, dengan pengantin perempuan. Dan pengantin perempuan telah dikerumuni oleh tukang hias dan anak-anak gadis; semuanya tertawa beriang-riang. Setelah sampai waktunya, dan berhiaspun telah selesai, tangan pengantin laki-laki itupun dibimbing ke atas puadai, didudukkan bersanding dengan pengantin perempuan. Kipas bersambung kiri-kanan, beras kunyit diserakkan di cerpu kaki masing-masing. Perempuan tua yang gembira selalu memuji-muji kedua pengnatin itu : ,, Bagai bulan dengan matahari ……….”. Isah bersama-sama beberapa orang temannya, anak-anak perwan yang telah besar-besar, duduk pula berkeliling puadai itu, sambil menentang wajah kedua pengantin yang beruntung itu. Habibah sendiri menekurkan mukanya, amlu tersipu-sipu, dan kain berlambak mas tersandang di punggungnya. Kain itulah yang senantiasa dilihat oleh Isah. “Bila gerangan kain itu akan tersandang pula di punggungku?” katanya di dalam hatinya. Sudah larut tengah malam, dan orang masih bercumbu-cumbuan juga di dekat puadai, terutama anak-anak gadis. Maka datanglah seorang perempuan dari dapur; dengan suara marah tetapi berisi gurau iapun berkata:
“Hai gadis-gadis, jangan duduk juga di sana , pergilah ke
tempat tidur masing-masing, nanti datang waktunya kamu akan dipersandingkan pula.” Dengan tersenyum simpul kemalu-maluan gadis-gadis itupun keluarlah dari tempat itu. Ganjil benar hari dalam kehidupan ; masa yang akan ditempuh tersa lambat, tetapi masa yang telah dijalani cepat saja rasanya. Isah telah bertahun-tahun hidup sedemikian. Tetapi perangainya yang keanak-anakkan itu, telah dapat meringankan tanggungan batinnya. Pada halo rang lain agaknya tidak sanggup menanggungnya. Dia bersanda-gurau, bermain-main, berlari-lari, berkucing-kucingan di dalam kebun rumah pamannya dengan anak-anak kecil, laki-laki dan perempuan. Padahal 10 tahun yang lalu dia bermain dengan ibu-ibu mereka itu. Kalau teman-temannya bermain itu telah kawin pula kelak, ketika itu hidup pula lah kenangannya kembali : bila gerangan kain berlambak mas itu akan disandangkan orang ke punggungnya? Itulah yang sangat dirindukannya ! Hubaya-hubaya selama hidupnya, agak sekali dapat jugalah dia berianai berhitam kuku, berhias bulu mata, berkain berlambak mas, bersunting emas, di kepala ... jadi pengantin. Bilakah? Musim beralih juga, keadaan tambah lama tambah berubah. Sidi Nasir sudah lama meninggal karena penyakit tua. Yang tua-tua telah di antarkan ke kubur, seorang demi seorang. Yang jadi kepala di dalam rumah itu tinggal lagi Mak Habibah, yang telah beranak 7 orang. Anaknya yang tua sekali perempuan telah bersuami pula, dan Mak Habibah telah bercucu laki-laki seorang. Pada suatu hari Isah berlari-lari dengan anak itu di dalam kebun, berkejar-kejaran. Maka marahlah Mak Habibah dan memaki-maki : “Hai gadis tua yang tak bermalu, cobalah cermini
rambutmu, telah beruban, engkau masih berlari-lari seperti anak-anak! Tidakkah engkau tahu bahwa umurmu telah 45 tahun ? Engkau sangka, engkau masih anak-anak juga?” Waktu itulah dia insyaf akan dirinya, barulah segala kegirangannya hilang laksana disapu awan. Rupanya bukan tempat anak-anak itu lagi tempatnya. Maka dengan muka yang bertunduk ke bumi, dengan langkah yang tertahan-tahan dia naik ke rumah, terus ke dapur mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, mencuci kain anak-anak, membasuhi piring dan lain-lain. Sekarang ia telah sunyi. Di dalam kesunyian itu siapakah lagi akan temannya? Anak-anak kecil itu jugakah? Padahal umurnya telah 45 tahun? akan berteman dengan gadis-gadis pulakah? Padahal dia orang tua? Akan berkawan dengan perempuan yang telah bersuami? Mustahil mereka akan sudi berteman dengan dia ! Dia pergi ke dapur, dicucinya pinggan, periuk dan sebagainnya. Setelah itu dia mengeluh, teringat akan ibunya ... dan iapun menarik napas panjang karena terpikir pula olehnya, bilakah dia menyandang kain berlambak mas itu? Setelah selesai pekerjaannya, dan anak-anak telah selesai pula makan tengah hari pulang dari sekolah, Isah masuk ke dalam kamarnya; dilihatnya pula mukanya tenang-tenang dalam cermin yang telah tergantung di sana semenjak 40 tahun dahulu. Masih tampak sisa-sisa kecantikannya semasa muda, bibirnya masih agak merah, keningnya masih licin dan baru sedikit saja kerenyut pada pipinya. Tetapi, ah, rambutnya telah banyak yang putih, rambut dalam umur 45 tahun . . . “Masih adakah harapan saya akan memakai kain berlambak mas?” Sejak hari itu bertambah sunyilah dia dalam rumah, tidak ada temannya lagi. Ahli bait telah pergi dan telah datang gantinya, dari nenek turun ke anak, dari anak turun ke cucu. Anakanak yang datang kemudian telah mendapati juga “orang tua” itu di dalam rumah. Mereka itupun tak teringat lagi hendak menyuruh dia pindah kerumah lain, karena dia telah dipandang orang tua penghuni rumah. Kadang-kadang ia jadi penjaga anak-anak,kadang-kadang mengerjakan pekerjaan dapur. Dan dia sangat kasih kepada anak-anak itu. Kasihnya kepada anak-anak, tegasnya kepada empunya rumah, telah di balas pula oleh mereka itu dengan kasihan. Tiap-tiap hari raya dia dibelikan pakaian baru. Mana-mana yang pulang dari pekerjaan memberi uang setali, lima puluh sen dan kadang-kadang sampai satu rupiah. Uang itu dimsukkannya ke dalam celengan bambu yang digantungkannya di dekat tempat tidurnya. Rambutnya telah mulai putih semuanya, - putih dan bersih sekali. Salah seorang anak-anak itu telah melihat pada suatu hari rambutnya sedang terbuka. Sebab dia sedang bersisir. “Ah, putih benar rambut inyikku ini.” - Sejak hari itu, karena namanya tidak dikenal betul oleh anak-anak, dan yang dewasa pun merasa kurang hormat memanggil namanya saja, tertaplah dia digelarkan: “Inyik Utih.” Semenjak ia berusia 50 tahun, dia tidak kerap kali ke luar dari rumah, kalau tidak ada keperluan yang penting. Kalau ahli bait pergi kenduri, atau kerumah orang kematian, dialah yang disuruh menghuni rumah. Tetapi heran, pada suatu hari, pagi benar, “Inyik Utih” tak ada lagi di dalam rumah. Anakanak tidak tahu ke mana ia pergi. Dilihatnya celengan bambunya telah pecah.
“ Ke mana Inyik Utih?” tanya yang seorang kepada yang lain. “ Ke mana Inyik Utih?” Mereka menunggu-nunggu sampai pukul 11 tengah hari, ketika itu barulah kelihatan “ Inyik Utih “ turun dari atas bendi. Tangannya memegang sebuah bungkusan kecil. Anak – anak itu berlari-larian ke dekatnya, mempergantungi dia: “Ke mana Inyik Utih tadi ? Dari mana Inyik Utih?” Dengan lemah lembut tangan anak-anak dilepaskannya dari bajunya dan adari badannya; dengan segera dia masuk ke dalam rumah dan terus ke kamarnya. Ketika anak-anak akan masuk pula, ditahannya. Kamar itupun ditutupnya dari dalam. “Ai, apa yang dibawah Inyik Utih?”kata seotrang anak laki-laki. “Entahlah, agaknya dioa membeli roti kismis, kita tak diberinya,” kata yang seorang pula. “Ayoh, kita pergi melihat ke loteng dengan diam-diam, kita lihat dari lubang kaca, apa yang dimakan Inyik Utih.” Dengan perlahan-lahan anak-anak itu pun naiklah ke atas loteng, akan melihat apakah pekerjaan “ Inyik Utih” di dalam kamarnya itu. “Inyik Utih tak da di dalam kamar; yang kelihatan hanyalah seorang pengantin perempuan yang sedang duduk di muka cermin, memakai kain sarung berlambak mas dan berselendang kain yang serupa itu. Di kepalanya ada bunga sanggul dari pada perak bersepuh mas. Inyik Utih sedang asyik mengatur pakaiannya, sehinga ketika anak-anak masuk dengan diam-diam ke dalam kamar itu, dia tidak tahu. Ketika anak-anak itu tahu apa yang dekerjakan “Inyik Utih” oleh orang tua dan muda, laki-laki dan perempuan, orang besar dan anak-anak. Cita-cita “Inyik Utih” hendak memakai pakaian pengantin kain sutera berlambak mas, sampailah sudah! Kain pengantin itu sudah tersandang di punggungnya ; bulu matanya tebal putih sudah diperhalusnya dan kuku-kukunya sudah merah . . . . dengan inai ! Rupanya “memperhalus alis mata” dan “berinai” itu sudah lebih dahulu dilakukannya ! Cita-citanya telah sampai, ia telah jadi “pengantin”. Tetapi apa-apa yang telah dirasainya itu rupanya tidaklah seindah
yang dikenang-kenangkannya selama ini. Sebab pakaian itu
dipkaiannya sesudah lepas zaman yang indah itu.mula-mula ia berkata kepada orang yang mengelilinginya, bahwa dia hanya main-main saja. Tetapi lehernya bengkak berkata demikian, karena beberapa orang yang tegak berkeliling di aitu telah menitikkan air mata. Tertawa anakanakpu berhenti dengan sendirinya, demi dilihatnya orang tua-tua itu menangis. Waktu itulah baru “Inyik Utih”insaf bena-benar apa artinya “kain berlambak mas” yang disandangkan pada punggung pengantin perempuan. Sekarang ia tengah menunggu-nunggu bilakah pula masanya kain berlambak mas yang dibelinya dengan uang pemberian ahli bait yang dikumpulkannya dalam celengannya itu, akan dipergunakan orang penutup usungannya ke kubur, sebab telah diresainya, ketika kain itu disandangnya, tidak seenak yang disangka – sangkanya . . . .