Toss Tb.docx

  • Uploaded by: diah ayu
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Toss Tb.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,024
  • Pages: 4
Tuberkulosis sudah menjadi sebuah masalah yang besar dalam dunia kesehatan Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama penyakit ini berkeliaran di seluruh dunia dengan bebas walaupun terus berusaha dikendalikan. Penyakit yang menyengsarakan ini merupakan salah satu penyakit menular yang terbanyak menyebabkan kematian. Mirisnya, upaya pengobatan atas penyakit ini terhalang oleh banyak hal, seperti kemiskinan, gagalnya program pengendalian tuberkulosis oleh pemerintah, atau bahkan oleh mulai kebalnya bakteri penyebab tuberkulosis terhadap obat-obatan (multidrug resistance). Sekilas tentang tuberkulosis Tuberkulosis biasanya dikenal masyarakat dengan singkatan TB atau TBC. Penyakit ini dapat menular, karena disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang sistem pernapasan walaupun bisa menyerang organ lain juga. Tuberkulosis merupakan pembunuh nomor 3 di Indonesia setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut, dengan 250.000 kasus baru setiap tahunnya. Gejala utama yang nampak pada pasien tuberkulosis adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Gejala ini biasanya disertai gejala lain, seperti batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan turun, berat badan turun, keringat yang keluar saat malam hari, bahkan demam dan meriang hingga lebih dari satu bulan. Timbulnya gejala tersebut lalu dipastikan dengan pemeriksaan tuberkulosis yang terdiri dari pemeriksaan dahak dan foto rontgen paru pasien. Hingga saat ini, pengobatan atas Tuberkulosis dilakukan sesuai dengan strategi WHO yaitu melalui Directly Observed Treatment Short-course(DOTS). DOTS menuntut peran semua pihak untuk membuat pengobatan Tuberkulosis efektif. Hal ini dikarenakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sifatnya jangka panjang (6-8 bulan) dan harus dihabiskan, sehingga perlu dilakukan kontrol. Tuberkulosis dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu imunisasi dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Tetapi,pada kenyataannya, kasus tuberkulosis masih marak terjadi. Upaya pemerintah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki suatu program ajakan masyarakat untuk menanggulangi tuberkulosis, yaitu Temukan Obati Sampai Sembuh Tuberkulosis (TOSS TB). Rangkaian upaya pun telah dilakukan, mulai dari menyebar selebaran yang berisi informasi mengenai program ini, hingga iklan layanan masyarakat. Tahun ini, Kementerian Kesehatan mengangkat tema “Gerakan Masyarakat Menuju Indonesia Bebas TB” melalui aksi “Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS) di Keluarga!”. Tema ini dibawa dengan tujuan pemberdayaan lingkup kecil (keluarga) sebagai agen yang dapat membantu pemerintah mencegah dan mengobati tuberkulosis di lingkungan terdekatnya. Dengan program ini, harapan pemerintah adalah Indonesia dapat terbebas dari penyakit tuberkulosis pada tahun 2035. Sebuah masalah Cita-cita dan angan kita yang setinggi langit tidak dapat semudah itu kita capai, apalagi ketika kita masih berpijak di tanah dan tidak mempunyai prasarana untuk berjuang menuju ke sana. Kira-kira begitulah kondisi yang cukup cocok untuk menggambarkan yang terjadi pada penyakit tuberkulosis di Indonesia. Kita bercita-cita tinggi, Indonesia bebas TB 2035, namun pihak-pihak terkait belum mulai bergerak untuk mendukung cita-cita ini secara masif dan belum sempurnanya sistem yang ada untuk menyokong upaya ini.

Secara terang-terangan, buku pedoman nasional pengendalian tuberkulosis keluaran Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa terdapat 5 aspek internal dan 3 aspek eksternal yang berpotensi mengganggu upaya penanggulangan tuberkulosis, seperti program yang terdapat pada fasilitas kesehatan, kurangnya tenaga kesehatan terlatih, distribusi OAT, pembiayaan, dan halhal yang bersifat teknis. Masalah lain yang tidak kalah penting adalah masalah kemiskinan dan resistensi obat. Kemiskinan menimbulkan keraguan masyarakat untuk berobat, terlebih lagi bagi masyarakat yang tidak mengetahui bahwa pengobatan tuberkulosis diberikan cuma-cuma alias gratis di puskesmas terdekat. Masalah kemiskinan ini juga berkaitan erat dengan determinan sosial lainnya, seperti pengangguran dan tingkat pendidikan, yang membuat masyarakat yang termasuk di dalamnya dapat kita katakan sebagai kelompok yang rentan. Isitlahnya, “boro-boro berobat, makan aja susah.” Masalah resistensi obat juga merupakan hal yang perlu perhatian khusus. Pasalnya, tidak semudah itu mengobati tuberkulosis, terutama karena jangka waktu pengobatan yang lama sehingga menimbulkan beban bagi pasien. Sering pasien lupa minum obat, bahkan mungkin ditinggalkan, sehingga menimbulkan potensi bagi bakteri untuk berkembang lebih jauh dan menjadi resisten atas berbagai obat. Fakta di lapangan memang cukup baik, yaitu 90% pengobatan tuberkulosis dikatakan berhasil sampai pasien sembuh. Namun, 10% bukanlah angka yang kecil untuk kita abaikan. Tantangan yang wajib diselesaikan Masalah-masalah di atas merupakan lebih tepat disebut tantangan, karena masalah tersebut harus diselesaikan. Bukan hanya diselesaikan, tetapi juga melibatkan seluruh elemen terkait, terutama lingkungan terdekat di masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan terkecil, terdekat, dan terspesifik bagi pasien untuk berinteraksi sehari-hari. Untuk itu, tidak salah memang jika Kementerian Kesehatan mencanangkan program dimulai dari lingkup terkecil. Mulai dari lingkup keluarga inilah kita bisa mengatasi berbagai masalah. Masalah kelalaian dalama minum obat, contohnya, dapat diatasi dengan Pengawas Menelan Obat (PMO) seperti pada iklan layanan masyarakat. Pengawas ini tentunya sangat tepat apabila merupakan anggota keluarga pasien sendiri. Dengan menargetkan keluarga, kita juga dapat memberi dampak pada lingkup menengah. Keluarga merupakan kelompok dengan anggota yang cukup banyak yang apabila kita berikan kesempatan untuk menjadi kader-kader kesehatan di lingkungannya akan menimbulkan dampak berupa pencerdasan lingkungan tersebut. Contoh mudahnya, kita mencerdaskan seorang ibu yang aktif mengikuti arisan, maka ibu-ibu arisan akan tercerdaskan dan menyebarkannya ke keluarganya masing-masing. Masalah yang lingkupnya diluar lingkup keluarga bukan berarti terabaikan begitu saja. Perbaikan dalam berbagai sektor sangatlah penting. Masalah seperti penyamarataan program di fasilitas kesehatan, distribusi OAT, pembiayaan dari anggaran daerah, dan hal lain yang juga sudah penulis sebutkan di atas memang bukan bagian dari peran masyarakat yang cukup awam tentang birokrasi seperti kita untuk menyelesaikannya. Namun, setidaknya kita dapat mendukung dengan mengawal terus masalah ini agar ketika keluar buku pedoman nasional pengendalian tuberkulosis edisi berikutnya, poin masalah ini sudah berkurang setidaknya dua hingga tiga poin. Tak lupa bahwa tenaga kesehatan sendiri sebagai agen yang mengusahakan perubahan lingkungan menjadi lebih sehat juga berperan serta pada penanggulangan masalah tuberkulosis ini. Tenaga kesehatan merupakan lini kedua sebagai kelompok kedua yang posisinya terdekat

dengan pasien setelah keluarga pasien sendiri. Tenaga kesehatan saat ini juga terkadang lalai, seperti dikatakan guru penulis pada tulisannya dimana tenaga kesehatan lupa menganjurkan pasien untuk berobat di puskesmas, padahal terdapat OAT gratis di sana. Sebagai lini kedua juga tenaga kesehatan dapat berperan lebih dalam mengontrol pasiennya layaknya seorang dokter keluarga. Dengan begitu, ada lapisan ganda yang senantiasa memastikan bahwa satu orang lagi akan sembuh ditangannya. Bukan tidak mungkin Menggapai cita-cita Indonesia bebas tuberkulosis pada tahun 2035 bukanlah angan belaka. Syaratnya, semua pihak bekerjasama, satu tujuan, satu arah, tanpa ego masing-masing dan bergerak bersama dalam menanggulangi penyakit yang amat meresahkan ini. Mungkin saja, suatu saat nanti, apabila masyarakat sudah terbiasa bahu-membahu untuk menanggulangi suatu masalah, semua masalah kesehatan terkait komunitas di Indonesia dapat diselesaika

Related Documents


More Documents from "Billy S Soenoe"

Test.doc
May 2020 17
Makalahakl2.docx
May 2020 14
Toss Tb.docx
December 2019 20