KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para pembaca.Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
JAYAPURA, 05 MARET 2019
Penyusun
1 | Inkontinensia Urine
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 1 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4 1.1
Latar Belakang .......................................................................................... 6
1.2
Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3
Tujuan Penulisan....................................................................................... 6
1.4
Manfaat Penulisan ..................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7 2.1
Definisi...................................................................................................... 7
2.2
Etiologi .................................................................................................... 12
2.3
Manifestasi Klinis ................................................................................... 13
2.4
Tes Diagnostik ........................................................................................ 14
2.5
Penatalaksanaan ...................................................................................... 16
2.6
Komplikasi .............................................................................................. 20
2.7
Anatomi & Fisiologi ............................................................................... 21
2.8
Patofisiologi ............................................................................................ 34
2.9
Epidemiologi ........................................................................................... 35
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA INKOTINENSIA URIN ............. 36 3.1
Pengkajian ............................................................................................... 36 3.1.1 Identitas Klien .................................................................................... 36 3.1.2 Riwayat Kesehatan ............................................................................. 36 3.1.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 36
3.1.4 Klasifikasi Data ................................................................................... 38 3.1.5 Analisa Data ........................................................................................ 39 3.2
Diagnosa Keperawatan ........................................................................... 41
3.3
Intervensi ................................................................................................. 42
3.4
Implementasi ........................................................................................... 45
2 | Inkontinensia Urine
3.5
Evaluasi ................................................................................................... 47
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 48 4.1
Kesimpulan ............................................................................................. 48
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 49
3 | Inkontinensia Urine
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Melemahnya kekuatan otot dasar panggul (ODP) dapat menyebabkan berbagai gejala yang mengganggu kualitas hidup dan merupakan masalah umum pada wanita dalam fungsi reproduksi, bukan hanya karena perubahan anatomi ODP dalam kehamilan dan proses persalinan, namun juga karena trauma yang terjadi pada proses tersebut. Trauma dasar panggul selama persalinan sekarang diketahui sebagai faktor etiologi utama terhadap gangguan ODP seperti inkontinensia urin,prolaps organ pelvis dan inkontinensia fekal. Hampir 50 % wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ genitourinaria, 40% akan disetai dengan inkontinensia urin dan sekitar 4,2 % akan mengalami inkontinensia fekal. Evaluasi kekuatan ODP merupakan parameter yang penting dalam pokok persoalan klinik dan alamiah sehubungan dengan kelemahan dasar panggul. (Abrams P, Cardozo L, Fall M,2002; Patric H, 2002; Djuana AA, Manuaba IBGF,2004 ).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa jenis inkontinensia urin yang terbanyak pada wanita post partum adalah strees inkontinensia urin (SIU) yang didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol, disebabkan karena tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan uretra, yang berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk,tertawa, kegiatan fisik) sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi. Beberapa penelitian klinis dan epidemiologis mengindikasikan bahwa wanita yang mengalami persalinan pervaginam memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami SIU dibandingkan nulipara dan wanita yang menjalani seksiosesarea. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan terjadinya kerusakan dasar panggul akibat proses persalinan pervaginam yang menyebabkan perubahan neurologic pada dasar panggul sehingga menimbulkan efek langsung pada konduksi nerveus pudendus, mempengaruhi kontraksi vagina dan tekanan penutupan uretra. Insiden SIU post partum diperkirakan terjadi pada hampir 34 % wanita. (Abrams P, Cardozo L, Fall M, 2002 ; Reilly, 2002; Rortveit G, Kjersti A, Hannestad YS,2003; Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)
Peschers menyatakan bahwa kekuatan ODP terpengaruh segera setelah persalinan pervaginam dan akan kembali normal dalam waktu dua bulan. Pada primipara yang mengalami persalinan pervaginam didapati penurunan kekuatan ODP sebesar 22% selama kehamilan dn 35% pada post partum. Mascharenhas T mengukur kekuatan ODP dengan perineometri dan digital pada 66 primigravida antepartum, 6 minggu post partum dan 6 bulan post partum dengan hasil terdapat penurunan kekuatan ODP yang bermakna pada
4 | Inkontinensia Urine
wanita yang melahirkan pervaginam disbanding seksiosesarea (p=0,049). Persalinan pervaginam juga merupakan faktor utama yang berkontribusi untuk terjadinya SIU. Hal ini tidak hanya disebabkan karena kondisi kehamilan yang menyebabkan perubahan mekanik dan hormonal, namun juga terjadi kerusakan jaringan otot dan persyarafan. Pada persalinan pervaginam terjadi regangan kuat pada saat proses persalinan yang mengakibatkan kelemahan dan kerusakan ODP, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan tekanan penutupan uretra terhadap tekanan kandung kemih. Regangan kuat tersebut juga mengenai bladder neck,otot-otot sfingter uretra dan ligamentumnya.beberapa faktor resiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian SIU pada wanita post partum adalah usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, episiotomy, rupture perineum spontan, lingkar kepala bayi, ekstraksi vakum atau forsep. Berdasarkan International Continence Society guidelines, inkontinensia urin merupakan simptom, sign , dan juga merupakan suatu ‘kondisi’. Misal, seseorang dengan stress urinary incontinence (SUI), akan mengeluhkan kebocoran urin involunter karena suatu upaya keras seperti batuk atau bersin. Bersamaan dengan itu, kebocoran urin dari uretra yang sinkron dengan kejadian tersebut mungkin perlu diperhatikan. Sebagai suatu ‘kondisi’, inkontinensia secara obyektif terlihat selama evaluasi urodinamik jika kebocoran urin involunter muncul dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan ketiadaan kontraksi detrusor. Suatu keadaan dengan simptom maupun sign SUI disertai dengan tesobyektif, dikenal dengan istilah urodynamic stress incontinence (USI), sebelumnya disebut dengan istilah genuine stress incontinence.Wanita dengan urge urinary incontinence (UUI) akan mengalami kesulitan dalam menunda urinasi yang mendesak (urgent), dan umumnya harus tepat mengosongkan kandung kemihnya pada saat itu juga, tanpa ditunda. Jika UUI secara obyektif nampak dengan evaluasi sistometrik, kondisi ini disebut overaktivitas detrusor, sebelumnya dikenal sebagai instabilitas detrusor. Keadaan dimana SUI dan UUI muncul bersamaan disebut mixed urinary incontinence (MUI). Inkontinensia fungsional merupakan keadaan dimana seorang wanita tak dapatmencapai toilet pada waktunya karena keterbatasan fisik, psikologis atau mentasi. Sebagian besar contoh yang ada menunjukkan bahwa kelompok penderita inkontinensia fungsionalakan memiliki kontinensia yang baik, jika permasalahan tersebut di atas diatasi.
5 | Inkontinensia Urine
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin? 1.2.2 Bagaimana penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urin? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1
Mengetahui dan mempelajari lebih dalam tentang inkontinensia urin
1.3.2
Mengetahui tatalaksana dan asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urin
1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1
Bagi mahasiswa
1. Mahasiswa dapat mengetahui segala hal tentang inkontinensia urin 2. Mahasiswa dapat mengetahui tatalaksana dan asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urin 1.4.2
Bagi Masyarakat
1. Masyarakat dapat mengetahui yang dimaksud dengan inkontinensia 2. Masyarakat dapat mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin
6 | Inkontinensia Urine
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang ti dak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006). Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali
yang dapat
didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social. Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus keperawatan). Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien ataupun keluarganya, hal ini mungkin karena adanya anggapan bahwa masalah tersebut merupakan hal yang sangat memalukan atau tabu untuk diceritakan. Inkontinensia urin mempunyai dampak medic, psikososial, dan ekonomi. Dampak medic dari inkontinensia urin antara lain dikaitkan dengan infeksi saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal. Dampak psikososial dari inkontinensia urin adalah kehilangan percaya diri, depresi, menurunnya aktifitas sosial dan pembatasan aktifitas sosial (Darmojo & Hadi Martono, 2010). Menurut Brunner & Suddart terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urin, diantaranya : 1. Inkontinensia Urine Tekanan (Stress) Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
7 | Inkontinensia Urine
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini. Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita merasaingin berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain. Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapatdisembuhkan dengan operasi kelainan
yang
dideritanya.
sistometri,sistoskopi
serta
Pemeriksaan kalibrasi
pada
ini
dapat
uretra
ditambah
untuk
dengan
menyingkirkan
kemungkinan stenosis. Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 1200. Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan. Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini
8 | Inkontinensia Urine
pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog. Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis (teknikMarshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti (teknikBurch); atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis. Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat. Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam fase pasca bedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
9 | Inkontinensia Urine
2. Inkontinensia Urine Dorongan (Urgensi) Inkontinensia dorongan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil.Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis. Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik. Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan factor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.
10 | Inkontinensia Urine
3. Inkontinensia Urine Refleks Merupakan kehilangan urin yang tidak disadari bila volume tertentu telah tercapai, terjadi pada Interval yang dapat diperkirakan. Gangguan neurologic seperti pada lesi sum-sum tulang belakang. (Barbara C. Long. 1996). Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yag terganggu seperti pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang dirangsang oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada. Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yag terganggu seperti pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang dirangsang oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada. 4. Inkontinensia Urine Fungsional Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan tidak mengalami kerusakan persyarafan yang secara langsung memengaruhi sistem perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat beberapa ketidakmampuan lain yang
mengurangi
kemampuanya
untuk
mempertahankan
kontinensia.
Contohnya, seseorang yang mempunyi keterbatasan gerak atau Inkontinensia fungsional Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan tidak mengalami kerusakan persyarafan yang secara langsung memengaruhi sistem perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat beberapa ketidakmampuan lain yang mengurangi kemampuanya untuk mempertahankan kontinensia. Contohnya, seseorang yang mempunyi keterbatasan gerak atau berada di kursi roda, mungkin tidak mampu pergi ke toilet atau berpindah ke dan dari toilet duduk. Seseorang yang menderita ini masih mampu untuk mempertahankan kontinensia dengan bantuan dan masih mempunyai keinginan kontinensia.
Klien
perlu
diberi
kesempatan
untuk
berkemih
(Siti.R
maryam,dkk.2008). Inkontinensia Urine Fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada factor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat sulit untuk mengidentifikasi
11 | Inkontinensia Urine
perlunya urinasi (misalnya demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
2.2 Etiologi Pada inkontinensia stres, otot-otot yang mendukung kandung kemih dan uretra telah melemah. Kelemahan ini mungkin disebabkan oleh persalinan, cedera ke daerah uretra, beberapa obat atau operasi di daerah panggul. Otot-otot katup (kandung kemih sphincter) tidak bisa mengontrol urin. Ketika seorang wanita hamil, membesarnya rahim dapat menempatkan tekanan ekstra pada kandung kemih. Selanjutnya, persalinan dapat mempengaruhi kemampuan kandung kemih untuk mengontrol urin seperti kandung kemih dan uretra telah pindah saat melahirkan bayi, saraf yang mengendalikan kandung kemih telah rusak. Penyebabnya juga bisa karena Otot panggul dan penopang struktural lemah, Tekanan intraabdomen tinggi (batuk kronik, obesitas, neoplasma, flatus), Pintu kandung kemih tidak kompeten, Overditensi di antara waktu berkemih, Retrokel/sistokel, Vaginitis atrofik Pada inkontinensia dorongan, kebutuhan buang air kecil dapat disebabkan oleh masalah dengan otot detrusor pada dinding kandung kemih. Otot-otot detrusor rileks untuk memungkinkan kandung kemih untuk mengisi dengan air kencing, dan kontraksi ketika ingin pergi ke toilet untuk membiarkan urin keluar. Kadang-kadang kontraksi otot detrusor yang terlalu sering, menciptakan kebutuhan mendesak untuk pergi ke toilet. Hal Ini disebut detrusor overactivity. Alasan kontraksi otot detrusor terlalu sering mungkin tidak jelas, tetapi kemungkinan penyebabnya termasuk: 1. kondisi neurologis yang mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang, seperti penyakit Parkinson atau multiple sclerosis 2. kondisi yang mempengaruhi saluran kemih bawah (uretra dan kandung kemih), seperti infeksi saluran kemih (ISK) atau tumor di dalam kandung kemih 3. terlalu banyak minum alkohol atau kafein
12 | Inkontinensia Urine
4. sembelit 5. obat tertentu Beberapa kemungkinan penyebab akan menyebabkan inkontinensia urin jangka pendek, yang lain dapat menyebabkan masalah jangka panjang. Jika penyebabnya dapat diobati, hal ini dapat menyembuhkan inkontinensia. Pada inkontinensia reflexs, penyebabnya ialah karena Pengosongan tidak komplet dengan lesi di atas pusat mikturisi di sacrum, Pengosongan komplet dengan lesi di atas pusat mikturisi di pons, Kerusakan saraf akibat radiasi, kandung kemih yang radang, pembedahan radikal pada panggul, miomeningokel Pada inkontinensia fungsional, penyebabnya ialah karena Perubahan faktor lingungan (toilet yang tidak familier atau tidak nyaman, kurang privasi, tidak ada bantuan, pola pakaian yang menghambat), Defisit mobilitas/kognitif/sensoris (gangguan penglihatan, cara berjalan/keseimbangan, keterampilan tangan, transfer, kekuatan, ketahanan), Faktor psikologis, Struktur penyokong/panggul yang lemah
2.3 Manifestasi Klinis Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada inkontinensia urine adalah sebagai berikut : 2.3.1 Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali. 2.3.2 Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam. 2.3.3 Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih. 2.3.4 Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal.
13 | Inkontinensia Urine
2.4 Tes Diagnostik 2.4.1 Uji uro dinamik Kegagalan dalam menentukan etiologi dan diagnose inkontinensia urin terjadi pada 50% kasus yang mendasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik saja sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urodinamik sebagai uji tambahan Uro dinamik didefinisikan sebaga suatu pengujian faktor normal dan abnormal padaproses pengisian, transport dan pengosongan urin pada kandung kemih dan uretra dengan menggunakan metode tertentu. Tes dilakukan dengan cara memasang selang kateter melalui uretra menuju ke kandung kemih, kemudian diisi air. Tes ini dilakukan untuk menguji kekuatan kandung kemih untuk menampung cairan serta kekuatan otot uretra. Pemeriksaan urodinamik,meliputi:
Uroflowmetri (mengukur kecepatan aliran)
Sistometri (menggambarkan kontraktur detrusor)
Sistometri video (menunjukkan kebocoran urin saat mengedan saat pasien dengan inkontinensia stress)
Flowmetri tekanan uretra (mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih Jika penyebab inkontinensia urin pasien tetap tidak dapat ditentukan, evaluasi urodinamik merupakan langkah selanjutnya yang harus dipertimbangkan). Uji uro dinamik bermanfaat pada kondisi : 1.
Diagnosis yang belum pasti sehingga akan dapat mempengaruhi terapi,
2. Terapi empiris tidak berhasil mengatasi keadaan dan akan dicoba pendekatan terapi lain. 3. Obstruksi yang dapat dikoreksi (diduga terjadi pada pasien dengan overflow incontinence) 4. Pada pasien yang berusia lebih dari 70-75 tahun, ujiurodinamik ini mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis sebelum dilakukan terapi invasif.(Vitriana. 2002)
14 | Inkontinensia Urine
2.4.2 Analisis urine Dokter akan meneliti sampel urine pasien untuk mencari ada tidaknya tanda infeksi, kandungan darah atau kondisi abnormal lainnya. 2.4.3 Uji dipstick Dokter akan menyelupkan stik khusus yang sudah dilumuri bahan kimia khusus ke dalam sampel urine pasien. Stik ini dapat berubah warna jika ditemukan bakteri atau kandungan abnrmal lain dalam sampel urine. 2.4.4 Sistogram Dokter akan memasukkan selang kateter ke dalam uretra serta kandung kemih untuk menyuntikkan cairan warna khusus, untuk kemudian dilihat menggunakan pencitraan sinar-X. 2.4.5 Tes sisa urine Akan dilakukan untuk melihat jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil. 2.4.6 Ultrasonografi pelvis Digunakan untuk melihat ada tidaknya kelainan pada struktur saluran kemih.
15 | Inkontinensia Urine
2.5 Penatalaksanaan Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinesia urin. Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan. Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara stimulant. Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi : 2.5.1 Terapi Non- Farmakologis 1. Terapi Suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu ) 2. Intervensi tingkah laku ( latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, panjadwalan berkemih) 2.5.2 Terapi Medika Mentosa 2.5.3 Operasi 2.5.4 Kateterisasi Keberhasilan penanganan pasien inkontinensia sangat bergantung pada ketepatan diagnosis dalam penentuan tipe inkontinensia, faktor yang berkontribusi secara reversible dan problem medic akut yang dialami. Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerjasama yang baik dari pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.
16 | Inkontinensia Urine
Berikut adalah daftar hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini. 1)
Bladder training Merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang bocor.Fakta yang menarik yang penulis dapatkan ialah bila seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih, maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesagesa tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe stress maupun tipe urgensi.
2)
Latihan dasar otot panggul Merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal dengan nama Senam Kegel. Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan untuk tidak flatus. Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan 17 | Inkontinensia Urine
tidak menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin. 3)
Latihan untuk menahan dorongan berkemih Untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila dorongan tersebut muncul: a) Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih. b) Tarik napas teratur dan relaks. c) Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih. d) Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba waktunya. Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila
dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan. Sedangkan terapi biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang hiperaktif dengan baik.
18 | Inkontinensia Urine
2.5.5 Terapi Farmakologis Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inkontinensia tersebut. Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin : OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK INKONTINENSIA URIN OBAT
Hyoscamin
DOSIS
3 x 0,125 mg
TIPE INKONTINENSIA Urgensi atau Campuran
Tolterodin
2 x 4 mg
Urgensi atau OAB
Imipramin
3 x 25-50 mg
Urgensi
Pseudoephedrin
3 x 30-60 mg
Stress
Topical Estrogen Doxazosin
4 x 1-4 mg
Tamsulosin
1 x 0,4-0,8 mg
Terazosin
4 x 1-5 mg
EFEK SAMPING Mulut kering, mata kabur, glaucoma, derilium, konstipasi Mulut kering, konstipasi Delirium, hipotensi ortostatik Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Urgensi dan stress
Iritasi lokal
BPH dengan urgensi
Hipotensi postural
Penggunaan fenilpropanolamin sebagai obat inkontinensia urin tipe stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukan adanya resiko
19 | Inkontinensia Urine
stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina. Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan. Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.
2.6 Komplikasi Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan antara lain : 2.6.1 Infeksi saluran kemih 2.6.2 Ulkus pada kulit 2.6.3 Problem tidur 2.6.4 Depresi dan kondisi medis lainnya.
20 | Inkontinensia Urine
2.7 Anatomi dan Fisiologi Sistem urinarius terbagi atas 2 sistem bagian, yaitu traktus urinarius atas dan traktus urinarius bawah 1. Traktus urinarius atas terdiri atas ginjal dan ureter. Berfungsi untuk menyaring darah dan memproduksi urin. 2. Traktus urinarius bawah terdiri atas kandung kemih (blader), uretra dan spingter uretra. Berfungsi menyimpan dan mengeluarkan urin
Proses berkemih dibagi atas 2 fase, yaitu fase pengisian dan fase pengosongan
1. Kontinensia Vesika urinaria merupakan organ penyimpan urin dengan kapasitasnya mengakomodasi penambahan volume urin dengan tekanan intravesikal minimal maupun tidak. Kemampuan menjaga penyimpanan urin dan pengosongan volunter tetap baik disebut kontinensia. Kontinensia memerlukan koordinasi komplek banyak komponen yang meliputi kontraksi dan relaksasi otot, dukungan jaringan pengikatyang baik, inervasi terintegrasi serta komunikasi antar struktur tersebut. Ringkasnya, selama pengisian, kontraksi uretra dikoordinasikan dengan relaksasi vesika urinaria sehingga urin tersimpan. Kemudian selama miksi, uretra relaksasi dan vesika urinaria berkontraksi. Mekanisme ini dapat dilawan oleh kontraksi detrusor yang tak terinhibisi, sehingga tekanan intraabdominal
21 | Inkontinensia Urine
meningkat, dan mengubah berbagai komponen anatomis dari mekanisme kontinensia tersebut di atas.
2.Pengisian vesika urinaria/bladder
a) Anatomi Vesika Urinaria Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : lapisan mukosa,submukosa, muskuler dan adventisial. Lapisan mukosa terdiri dari sel epiteltransisional, yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume vesikaurinaria yang kecil, mukosa berubah bentuk menjadi lipatan convoluted. Mukosa akan terbentang dan menipis saat pengisian. Epitel VU yang disebut dengan uroepithelium, tersusun atas 3 lapisan sel yang berbeda. Yang palingsuperfisial adalah lapisan sel payung. Lapisan ini impermiabel sehingga berfungsi sebagai barrier primer urin-plasma.
22 | Inkontinensia Urine
Anatomi VU. A. Sisi Antero posterior anatomi VU. Inset: Dinding VU terdiri darimukosa, submukosa, muskuler, dan lapisan adventisial. B. Fotomikrograf dindingVU. Mukosa VU kosong terlempar membentuk lipatan convoluted atau rugae. Susunan pleksiform serabut otot detrusor menyulitkan untuk membedakan ketigalapisan. C. Bentuk dan posisi VU saat kosong dan saat terisi penuh. (From McKinley,2006, with permission.) Permukaan kavitas
23 | Inkontinensia Urine
uroepitelium ditutupi oleh lapisanglikosaminoglikan (GAG). Lapisan ini mencegah perlekatan bakteri dan kerusakan urotelial dengan bertindak sebagai barrier protektif. Dalam teori digambarkan bahwa lapisan yang terdiri dari polimer karbohidrat ini dapatmengalami defek pada pasien sistitis interstisial.Lapisan muskuler yang disebut juga muskulus detrusor tersusun atas 3 lapisan otot halus yang tersusun dalam bentuk pleksiform. Susunan pleksiformyang unik selama pengisian
VU
ini dan
memungkinkan ekspansi merupakan
komponen
multidimensional kunci
dari
yang cepat
kemampuan
VU
ntuk mengakomodasi volume urin yang besar.
24 | Inkontinensia Urine
b)Sfingter Urogenital Saat VU terisi, kontraksi sinkron sfingter urogenital bergabung untuk membentuk suatu kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi : (1) sfingter uretra (SU), (2) sfingter uretrovaginal (UVS), and (3) kompressor uretra(CU). Sfingter uretra merupakan otot lurik dan membungkus melingkariuretra. Sedangkan UVS dan CU merupakan otot lurik yang melengkungventral diluar uretra dan menyisip ke jaringan fibromuskuler dinding anterior vagina.
Fungsi ketiga otot ini sebagai unit tunggal
dan
berkontraksi
efektif mendekati
uretra.
Kontraksi
ketiga
otot
ini
mengkonstriksikan 2/3 bagian atasuretra secara melingkar dan menekan 1/3 bagian bawah secara lateral. Sfingter uretra terutama tersusun atas serabut-serabut yang berkedut lambat dan tetap berkontraksi tonis, berperan dalam sisa-sisa proses kontinensia akhir.Sebaliknya, sfingter uretrovaginal dan kompressor uretra tersusun atasserabut-serabut otot yang berkedut cepat, dimana hal ini memungkinkan untuk kontraksi dan penutupan lumen uretra yang cepat dan kuat saat kontinensia dilawan oleh peningkatan tekanan intraabdominal yang mendadak.
25 | Inkontinensia Urine
c)Inervasi yang penting untuk penyimpanan urin Otot lurik sfingter urogenital menerima inervasi motorik melaluinervus pudendus. Serabut saraf somatik ini mengendalikan otot lurik sfingter ini. Dengan demikian, neuropati pudendal yang mungkin menyertai proseskelahiran lama, dapat mempengaruhi fungsi normal muskulus ini. Sebagaitambahan, riwayat pembedahan pelvis atau radioterapi pelvis dapat merusanervus, vaskularisasi dan jaringan lunak. Hal ini dapat menjurus pada aksifingter urogenital yang tidak efektif dan menimbulkan inkontinensia.
Saat VU terisi, sinyal aferen sensoris dibwa melalui nervushipogastrikus dan pelvis ke medulla spinalis, dimana mereka akan relay ke pusat mikturisi pontin via traktus spinotalamikus lateralis dan kolumnadorsalis. Stimulasi simpatis yang dibawa melalui nervus hipogastrikusmenjaga aktivitas sfingter uretra yang didasarkan pada otot polos danmembantu relaksasi detrusor
26 | Inkontinensia Urine
yang mendukung penyimpanan urin. Bersamaandengan itu, sinyal eferen somatik ke otot lurik dasar pelvis ditransfer melaluinervus pudendus, selanjutnya akan menimbulkan aktivitas sfingter uretravolunter dan augmentasi resistensi uretra yang cepat sebagai respon terhadap peningkatan
VU
yang
mendadak.
Saat
sinyal
aferen
meningkatkan
intensitas pengisian VU, ambang kesadaran tercapai pada poin yangmana dicari peluang pengosongan yang sesuai secara. Pada poin tersebut, sinyal dari pusat mikturisi pontin ke medulla sakral lewat melalui traktur retikulospinal dankortikospinal. Rangsangan kolinergik parasimpatik detrusor dan refleksrelaksasi oto lurik dasar pelvis menyertainya dan timbullah urinasi. Segi aksiagen farakologis ditunjukkan dengan lingkaran. (From Sourander, 1990, with permission.) Serabut simpatik dibawa melalui pleksus nervus hipogastrik dan berhubungan dengan reseptor α dan β didalam VU dan uretra. Rangsangan reseptor β-adrenergik di fundus VU menghasilkan relaksasi otot polos danmembantu penyimpanan urin. Sebaliknya, reseptor α-1 terutama terletak didasar VU dan uretra. Reseptor α adrenergik dirangsang oleh norepinefrin,yang menimbulkan cascade peristiwa yang khusus mengarah pada kontraksiuretra dan membantu penyimpanan urin serta kontinensia. Pengaruh stimulasi alfa ini mendasari penatalaksanaan SUI dengan menggunakan imipramine,yaitu sebuah antidepresan trisiklik dengan sifat agonis adrenergiknya(medikasi). d) Koaptasio Uretra Satu kebutuhan kunci dalam menjaga kontinensia adalah koaptasiomukosa uretra yang adekuat. Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya,uroepitelium didukung oleh lapisan jaringan ikat yang membentuk plika atau lipatan yang dalam. Jaringan yang kaya kapilarisasi berjalan didalam lapisan subepitelial ini. Jaringan vaskuler ini membantu aproksimasi mukosa uretrayang disebut sebagai koaptasio (coaptation), dengan bertindak seperti inflatable cushion. Pada wanita yang hipoestrogenik, pleksus vaskulatur submukosa ini kurang prominen. Sehingga pada hormone replacement menargetkan pengurangan vaskularisasi dan memperkuat koaptasi untuk memperbaiki kontinensia.
27 | Inkontinensia Urine
Gambar
anatomi
uretra.
Sebagian koaptasi uretra dhasilkan oleh pengisian pleksus subepitelial yang kaya vaskularisasi. Uretra tersusun ataslapisan otot halus yang berbeda dengan sfngter lurik urogenital (tidak diilustrasikan). (diambil dari Craig, 1995.)
28 | Inkontinensia Urine
3. Pengosongan VU a) Inervasi yang berkaitan dengan pengosongan Saat tiba waktu pengosongan VU yang tepat, rangsangan simpatis berkurang dan rangsangan parasimpatis terpicu. Secara spesifik, impuls neural yang dibawa sarafsaraf pelvis, merangsang pelepasan asetilkolin danmenimbulkan kontraksi muskulus detrusor. Bersamaan dengan stimulasi detrusor, asetilkolin merangsang reseptor di uretra dan mengakibatkan relaksasi outlet untuk pengosongan. Di dalam sistem parasimpatis, reseptor asetilkolin secara luasdidefinisikan sebagai muskarinik dan nikotinik. VU dipadati oleh reseptor muskarinik. Dari reseptor-reseptor muskarinik, 5 glikoprotein yang menyusun M1 sampai M5 telah teridentifikasi. Subtipe reseptor M2 dan M3 diketahui sangat berperan dalam kontraksi otot polos detrusor. Sehingga terapi dengan medikasi antagonis muskarinik dapat melemahkan kontraksi detrusor sehingga dapat memperbaiki kontinensia. Lebih spesifik lagi, obatobatkontinensia yang hanya menargetkan reseptor M3, dapat memaksimalkan efikasi obat namun meminimalkan aktivasi reseptor muskarinik yang lain danefek samping obat.
b) Aktivitas Muskuler dengan Pengosongan Sel-sel otot polos di dalam detrusor bergabung satu dengan yanglainnya sehingga terdapat jalur elektris beresistensi rendah dari satu sel otot keotot selanjutnya. Dengan demikian potensial aksi dapat menyebar cepatmelalui muskulus detrusor dan selanjutnya menimbulkan kontraksi cepatkeseluruh VU. Sebagai tambahan, susunan pleksiform serabut-serabut detrusor VU memungkinkan kontraksi multidireksional dan sangat ideal untuk kontraksi konsentris yang cepat selama pengosongan VU.Selama pengosongan, seluruh komponen sfingter lurik urogenital berelaksasi. Penting diketahui bahwa kontraksi VU dan relaksasi sfingter harus terkoordinasi baik supaya pengosongan efektif. Terkadang kontraksitonis VU dan relaksasi sfingter tidak sinkron (disinkronisasi) dengan relaksasiuretra. Dengan adanya disinergia sfingter, uretra gagal berelaksasi selamakontraksi detrusor dan terjadilah retensi. Wanita dengan keadaan seperti inikadang diterapi dengan agen farmakologis seperti
29 | Inkontinensia Urine
muscle relaxants. Obat inikonon merelaksasi sfingter uretra dan muskulus levator ani sehingga pengosongan dapat terkoordinasi lebih baik. 4. Teori kontinensia Ada banyak teori kontinensia dan melibatkan konsep yang berhubungan dengan transmisi tekanan, support anatomis, dan integritas uretra. Tiap teori memiliki bukti ilmiah pendukung yang berbeda-beda. Namun saat ini teori-teori tersebut mendasari terapi uroginekologis saat ini. Sulit untuk mengurai mekanisme yang ada di balik inkontinensia,
sehingga
separasi
etiologi
artifisial
bisa
sedikit
berguna
untuk praktisi umum. Dengan demikian, secara sederhana kontinensia dapat dikonsepkandalam segi support dan integritas uretra. 5. Transmisi Tekanan Dalam traktus urogenital yang tersupport ideal, peningkatan tekananintraabdominal ditransmisikan sama ke VU, dasar VU, dan uretra. Pada wanita yang kontinensia, peningkatan tekanan yang mengarah ke bawah seperti misalnya dari batuk, tertawa, bersin dan manuver valsava ditahan oleh tonus jaringan pendukungdari muskulus levator ani dan jaringan ikat vagina. Pada orang yang memiliki ‘backboard’ suportif yang lemah, kekuatan yang menekan ke bawah tersebut tidak tertahan. Hal ini akan menjurus pada peristiwa patent urethra, penyaluran keurethrovesical junction, dan selanjutnya kebocoran urin (urine leakage). Teori mekanistik ini merupakan dasar untuk surgical re-establishment. Prosedur seperti Burch colposuspension digunakan untuk menciptakan kembali tahanan tersebut.
30 | Inkontinensia Urine
Gambar di atas mendeskripsikan teori transmisi tekanan. Pada wanita normal, peningkatan tekanan intra abdominal didistribusikan merata ke sisi kontralateral VU dan uretra. Namun pada wanita yang jaringan penahannya lemah, peningkatan tekanan intra abdominal ini mengubah sudut uretrovesikal, dan selanjutnya kontinensia terganggu. 6. Urethral Support Urethral support terintergrasi dalam kontinensia. Support ini berasal dari : (1) ligamentum sepanjang sisi lateral uretra; (2) vagina dan kondensasi fasial lateralnya; (3) arcus tendinous fascia pelvis; and (4) muskulus levator ani. Dengan hilangnya uretral support, maka kemampuan uretra untuk menutup melawan a firm supportive backboard suportif yang kuat akan menurun. Ini akan mengakibatkan menurunnyatekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan dalam menahan tekanan bladder yangmeningkat, sehingga kontinensia terganggu.
a) Restorasi Urethral Support Terapi untuk memperbaiki urethral support meliputi latihan otot dasar panggul (Kegel exercises) dan penggunaan pesarium vaginal (latihan penguatan dasar panggul). Prosedur urethropexy seperti Burch and Marshall- Marchetti-Kranz (MMK) colposuspensions berperan dalam membangun kembali support anatomis urethrovesical junction dan urethra proksimaltersebut.
31 | Inkontinensia Urine
b) Integritas Uretra 1. Faktor yang mempengaruhi integritas Uretra memelihara kontinensia melalui kombinasi koaptasio mukosa uretra, kaakter viskoelastis epitel uretra, pleksus vaskuler uretra yang mendasar, serta kontraksi yang baik dari muskulus sekitarnya. Defek salah satu komponen ini akan mengarah pada kebocoran urin. Sebagai contoh, riwayat tindakan surgikal regio suprapubis dapat menyebabkan denervasi dan pembentukan jaringan parut pada uretra dan jaringan pendukungnya. Pengaruh ini selanjutnya akan menghambat penutupan uretra dan menjurus ke arah inkontinensia. Keadaan uretra yangseperti ini disebut sebagai defek sfingter intrinsik (DSI). DSI biasa di istilahkan sebagai " lead pipe " urethra. Pada DSI sering ditemukan denervasi dan atau devaskularisasi. Ada banyak macam
kausa
spesifik,
meliputi:
pembedahan
rekonstruktif
pelvis
sebelumnya, radioterapi pelvis, hipoestrogenisme, neuropati diabetik dan penyakit degeneratif neuronal. Pada wanita dengan atrofi traktus genital bawah, perubahan vaskuler didalam pleksus yang mengelilingi uretra, memiliki koaptasio yang jelek dan resiko inkontinensia yang lebih besar. Karena itu terapi replacement estrogen ditujukan pada sistem vaskuler ini dan sering berhasil dalam meningkatkan koaptasio mukosa dan memperbaiki inkontinensia. Trauma yang berhubungan dengan proses kelahiran dapatmengubah inervasi traktus urinarius bagian bawah hingga dapa tmengakibatkan inkontinensia yang potensial persisten dan segera. Pada situasi ini, disfungsi syaraf yang menyertai trauma lahir menjurus pada fungsi sfingter defektif. Sebagai tambahan, proses melahirkan biasanya juga melukai fascial support ke uretra. Contoh klinis ini menunjukkan hubungan yang mendalam antara urethral support dengan integritas uretra.
32 | Inkontinensia Urine
2. Restorasi integritas uretra Terapi yang diarahkan pada restorasi integritas uretra meliputi injeksi bulking agent transuretral, prosedur surgical sling, dan penguatanotot dasar pelvis. Bulking agent seperti misalnya kolagen, diberikan di bawah muskularis uretra urethrovesical junction untuk meningkatkan epitel dan mendukung koaptasio. Alternatifnya bisa dilaksanakan prosedur pubovaginal sling pada keadaan obstruktif parsial untuk memperkuat integritas uretra. Yang terakhir, karena uretra keluar melalui hiatusurogenital, melatih muskulus levator ani dengan latihan otot dasar panggul dapat menyokong integritas uretra. Otot-otot ini dapat berkontraksi disekitar uretra saat kontinensia dilawan oleh peningkatan tekanan intra abdominal yang mendadak.
33 | Inkontinensia Urine
2.8 Patofisiologis WOC INKONTINENSIA URIN : Multiparitas (Penurunan otot dasar panggul) Ketika Batuk, bersin, tertawa, mengejan
Tekanan kandung kemih > uretra
Peningkatan tekanan intraabdominal
Obstruksi kandung kemih
Otot detrusor tidak stabil
Tekanan intravesika ↑
Kontraksi kandung kemih involunter
Otot sfingter uretra melemah
INKONTINENSIA URIN STRESS
Lesi spinal cord dibawah S2
Lansia
Penurunan otot detrusor
Kehilangan fungsi/kognitif
Tidak dapat mengontrol keluaran urin
Penurunan fungsi otot detrusor
INKONTINENSIA URIN REFLEKS
INKONTINENSIA URGENSI
INKONTINENSIA URIN FUNGSIONAL
INKONTINENSIA URINE MK : INKONTINENSIA URINE
GENITALIA EKSTERNA BASAH URINE TERSISA DI CELANA
Urin yang bersifat asam mengiritasi kulit
MK : GANGGUAN INTEGRITAS KULIT
Tubuh berbau pesing
Keluar malam/siang hari
Malu saat bersosialisasi
Menggangu aktifitas tidur
MK : HAMBATAN INTERAKSI SOSIAL
MK : GANGGUAN POLA TIDUR
34 | Inkontinensia Urine
2.9 EPIDEMIOLOGI Inkontinensia urine adalah masalah kesehatan yang signifikan di seluruh dunia dengan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomis pada individu dan lingkungannya. Hu dan rekan memperkirakan biaya total dari inkontinensia di Amerika Serikat pada tahun 2000 adalah sekitar 19,5 juta dollar. Inkontinensia memiliki pengaruh ekonomis yang lebih besar daripada penyakit kronis lainnya.Inkontinensia urine lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat banyak penelitian epidemiologis mengenai inkontinensia pada wanita. Prevalensi inkontenensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10-58%. Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB) menetapkan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah 14,6 % sedangkan wanita Indonesia 5,8 %. Prevalensi pada pria Asia menurut APCAB sekitar 6,8 % sedangkan pada pria Indonesia 5 %. Survey inkotinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02 % sedangkan pada wanita 6,79 %. Survey ini menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo,2009).
35 | Inkontinensia Urine
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN INKONTINENSIA URINE
3.1 PENGKAJIAN 1. IDENTITAS KLIEN Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal MRS, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis. 2. RIWAYAT KESEHATAN a. Riwayat Kesehatan Sekarang Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan
eliminasi
klien,
apakah
pernah
terjadi
trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. c. Riwayat Kesehatan Keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
36 | Inkontinensia Urine
3. PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan Umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia.
b. Pemeriksaam Sistem 1. B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. 2. B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah 3. B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh 4. B4 (bladder) -
INSPEKSI : Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
-
PALPASI : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5. B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. 6. B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
37 | Inkontinensia Urine
4. KLASIFIKASI DATA Data Subyektif
Data Obyektif
1. Klien mengatakan kencing1. TTV: lebih
dari
10
kali
dalam
TD:160/90mmHg S : 37oC
sehari.
RR:18x/menit N:90x/menit
5. Pengkajian skala Norton dengan skor 14.
2. Klien mengatakan lecet-lecet Nampak kemerahan pada kulit sekitar pada kulit disekitar paha dan paha dan bokong. bokong.
3. Klien
mengatakan
malu Klien nampak berdiam diri dirumah.
apabila keluar rumah karena Penilaian mengompol
dan
bau
MMSE
menunjukkan
air kerusakan aspek fungsi mental ringan.
kencingnya yang menyengat.
38 | Inkontinensia Urine
5. ANALISA DATA No.
Klasifikasi Data
Etiologi
Problem
1.
DS :
Penurunan
system Inkontinensia
- Klien mengeluh ingin perkemihan buang
air
kecil
urine
(BAK) Terjadi
pengisihan fungsional
terus menerus dan tidak kandung kemih bias ditahan sampai ke Otot distruksi relaksasi toilet.
Volume
daya
tamping
DO:
membesar
TTV:
Distrimulasi lewat serabut
TD: 160/90mmHg
refleks eferen
N : 90x/menit
Spingter
S : 37oC
relaksasi
R : 18x/menit
Isi kandung kemih keluar
eksterernal
Inkontinensia urine
2.
Pengeluaran DS:
Klien
urine
yang Kerusakan
mengatakan sering
integritas kulit
lecet-lecet pada kulit paha dan bokong.
Kulit menjadi lembab
DO: Skala Norton dengan Adanya gesekan skala 14. Terjadi
lecet-lecet
pada
kulit
Kerusakan integritas kulit
39 | Inkontinensia Urine
3.
DS:
Klien
mengatakan
Hambatan
malu apabila keluar rumah Pengeluaran
urine
yang interaksi
karena mengopol dan bau sering air
kencingnya
menyengat
sosial
yang
sehingga Perasaan malu
sering diam diri dirumah. Hambatan interaksi sosial DO:
Penilaian
menunjukkan
MMSE
kerusakan
fungsi mental ringan.
40 | Inkontinensia Urine
1.1 DIAGNOSA 1.1.1
Inkontinensia urine fungsional berhubungan dengan kelemahan otot pelvis di tandai dengan: DS: Klien mengeluh ingin buang air kecil (BAK) terus menerus dan tidak bias ditahan sampai ke toilet. DO: TTV: TD: 160/90mmHg S : 37oC
1.1.2
N : 90x/menit R : 18x/menit
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya gesekan di tandai dengan: DS: Klien mengatakan lecet-lecet pada kulit disekitar paha dan bokong. DO: Nampak kemerahan pada kulit sekitar paha dan bokong.
1.1.3
Hambatan interaksi social berhubungan dengan perasaan malu di tandai dengan: DS : Klien mengatakan malu apabila keluar rumah karena mengopol dan bau air kencingnya yang menyengat DO : - Penilaian MMSE menunjukkan kerusakan fungsi mental ringan. - Klien nampak berdiam diri dirumah.
41 | Inkontinensia Urine
1.2 INTERVENSI No 1.
Diagnosa Inkontinensia berhubungan kelemahan otot pelvis
INTERVENSI Intervensi urine Lakukan latihan dengan otot dasar panggul
Tujuan: a. Menunjukkan kontinensia urin. b. Kedekuatan waktu untuk mencapai kamar kecil antara urgensi dan pengeluaran urin. c. Pakaian dalam tetap kering sepanjang hari d. Mampu berkemih secara mandiri.
Lakukan perawatan inkontinensia urin
Identifikasi penyebab inkontinensia multifaktorial
Rasional Memperkuat otot pubotogsigeal dengan kontraksi volunteer berulang.
Untuk meningkatkan kontinensia urin dan untuk mempertahankan intregitas kulit perineal. Untuk mengetahui penyebab inkontinensia urin
Kriteria Hasil: Kontinensia urin. Mempertahankan frekuensi berkemih lebih dari 2 jam.
42 | Inkontinensia Urine
2.
Kerusakan integritas kulit Kaji keadaan kulit berhubungan dengan adanya terhadap perubahan gesekan warna, turgor dan adanya kemerahan Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan Pantau penampilan perbaikan keadaan turgor kulit periostomal dan mempertahankan setiap 8 jam keutuhan kulit
Untuk mengetahui keadaan kulitdan dapat membantu dalam melakukan perbandingan terhadap hasilnya
Jaga agar kulit Kriteria evaluasi: - Jumlah bakteri tetap kering < 100.000/ml - Kulit periostomal tetap utuh - Urin jernih dengan sedimen Berikan perawatan kulit termasuk minimal kebersihan pada kulit
Kulit atau daerah lipatan yang lembab mudah terjadi tumbuhnya kuman
Ubah posisi setiap 2 jam sekali
Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
Berikan pakaian dari bahan yang dapat menyerap air atau anjurkan klien untuk memakai pakaian longgar.
Mencegah iritasi dermal dan meningkatkan kelembaban pada kulit.
Mengidentifikasi kemajuan serta melihat adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit.
Kulit yang kotor dapat menimbulkan rasa gatal sehingga timbul keinginan untuk menggaruk.
43 | Inkontinensia Urine
Hambatan interaksi social berhubungan dengan perasaan Tujuan: a. Menunjukkan penampilan peran b. Menunjukkan keterlibatan sosial
3.
Tingkatankan sosialisasi
Untuk meningkatkan interaksi pasien dengan orang lain
Kaji pola interaksi antara pasien dengan orang lain
Untuk mengetahui pola interaksi pasien dengan orang lain
Kriteria Hasil: Keterampilan interaksi sosial: penggunaan perilaku interaksi sosial yang efektif. b. Keterlibatan sosial:interaksi sosial individu yang sering dengan orang lain, kelompok atau organisasi a.
44 | Inkontinensia Urine
1.3 IMPLEMENTASI No 1.
IMPLEMENTASI Diagnosa Implementasi Inkontinensia urine Lakukan latihan fungsional berhubungan otot dasar panggul dengan kelemahan otot pelvis Tujuan: a. Menunjukkan kontinensia urin. b. Kedekuatan waktu untuk mencapai kamar kecil antara urgensi dan pengeluaran urin. c. Pakaian dalam tetap kering sepanjang hari d. Mampu berkemih secara mandiri.
Lakukan perawatan inkontinensia urin
Identifikasi penyebab inkontinensia multifaktorial
Rasional Memperkuat otot pubotogsigeal dengan kontraksi volunteer berulang.
Untuk meningkatkan kontinensia urin dan untuk mempertahankan intregitas kulit perineal. Untuk mengetahui penyebab inkontinensia urin
Kriteria Hasil: Kontinensia urin. Mempertahankan frekuensi berkemih lebih dari 2 jam.
45 | Inkontinensia Urine
2.
Kerusakan integritas kulit Kaji keadaan kulit berhubungan dengan adanya terhadap perubahan gesekan warna, turgor dan adanya kemerahan Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan Pantau penampilan perbaikan keadaan turgor kulit periostomal dan mempertahankan setiap 8 jam keutuhan kulit
Untuk mengetahui keadaan kulitdan dapat membantu dalam melakukan perbandingan terhadap hasilnya
Jaga agar kulit Kriteria evaluasi: - Jumlah bakteri tetap kering < 100.000/ml - Kulit periostomal tetap utuh - Urin jernih dengan sedimen Berikan perawatan kulit termasuk minimal kebersihan pada kulit
Kulit atau daerah lipatan yang lembab mudah terjadi tumbuhnya kuman
Ubah posisi setiap 2 jam sekali
Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
Berikan pakaian dari bahan yang dapat menyerap air atau anjurkan klien untuk memakai pakaian longgar.
Mencegah iritasi dermal dan meningkatkan kelembaban pada kulit.
Mengidentifikasi kemajuan serta melihat adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit.
Kulit yang kotor dapat menimbulkan rasa gatal sehingga timbul keinginan untuk menggaruk.
46 | Inkontinensia Urine
Hambatan interaksi social berhubungan dengan perasaan Tujuan: a. Menunjukkan penampilan peran b. Menunjukkan keterlibatan sosial
3.
Tingkatankan sosialisasi
Untuk meningkatkan interaksi pasien dengan orang lain
Kaji pola interaksi antara pasien dengan orang lain
Untuk mengetahui pola interaksi pasien dengan orang lain
Kriteria Hasil: Keterampilan interaksi sosial: penggunaan perilaku interaksi sosial yang efektif. b. Keterlibatan sosial:interaksi sosial individu yang sering dengan orang lain, kelompok atau organisasi a.
1.4 EVALUASI S : Pasien mengatakan bahwa tidak mengeluarkan urin pada saat bersin dan tertawa. O: Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urin pasien tidak menetes. Pasien mengeluarkan urin lebih dari 2 jam sekali. A: Masalah teratasi P: Masalah teratasi pasien pulang.
47 | Inkontinensia Urine
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat dijumpai pada semua umur, khususnya pada perempuan dengan derajat dan variasi perjalanan penyakit. Inkontinensia urin terjadi ketika ada disfungsi baik dalam fungsi penyimpanan atau kadangkadang dalam fungsi pengosongan saluran kemih bawah. Penegakan diagnosis inkontinensia urin itu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Klasifikasi inkontinensia urin dapat dibagi menjadi lima secara garis besar, yaitu stress inkontinensia urin, urge inkontinensia urin, overflow inkontinensia urin, mixed inkontinensia urin, dan fungsional inkontinensia urin. Untuk mendiagnois inkontinensia urin kita dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan inkontinensia urin dapat secara konservatif, behavioural, dan operatif.
48 | Inkontinensia Urine
DAFTAR PUSTAKA 1.
Setiati Siti, Dewa I Putu P. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Sudoyo Aru W,dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal: 139299.
2.
Jenis inkotinensia urin. [cited on 2013] . [online on
marc 2013]. http://www.news-
medical.net/health/Types-of-Urinary-Incontinence 3.
Iman, B susanto. Inkontinensia Urin pada Perempuan. Dalam : Maj Kedokt indon. Volume 58 No 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. H. 258-64
4.
Buku ilmu kandungan biru hal 460-7
5.
Iman, B susanto. Definisi Klasifikasi dan Panduan Tatalaksanaa Inkontinensia Urine. Dalam : 3rd International Consultation on Incontinence Monaco. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2004
6.
Urinary Incontinence: Epidemiology, Pathophysiology, Evaluation, and Management Overview. In: Victor W. Nitti MJGB, MD, editor. Campbell-Walsh Urology. 9th ed: Saunders, An Imprint of Elsevier; 2007.
7.
Epidemiology of Urinary Incontinence. In: Horst-Dieter Becker AS, Diethelm Wallwiener and Tilman T. Zittel, editor. Urinary and Fecal Incontinence. New York: Springer Berlin Heidelberg; 2005. p. 1-10.
8.
Lower Urinary Tract Anatomy and Physiology. [cited on 2012] . [online on descember 2012]. http://www.life-tech.com/education/urology-education/introductionto-urodynamics/lower-urinary-tract-anatomy-and-physiology/
9.
Robinson K., Cardozo L., Urinary Incontinence. In: Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7th edition. London: Queen Charlotte and Chelse Hospital;2007
10. Faiz O., Moffat D., Pelvis II Isi Dalam Panggul. In: At a Glance Series Anatomy. Jakarta: Erlangga;2008 11. Diktat anatomi system UROGENITALIA. Prof. Abd Razak Datu, PhD,PAK. Bagian anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
49 | Inkontinensia Urine
12. What
is
the
uretral.
[cited
on
2012]
.
[online
on
descember
2012].
http://www.wisegeek.com/what-is-the-urethral-sphincter.htm 13. Amithia Sarah. Anatomi Makroskopis dan Mikroskopis Vesika Urinaria dan Uretra. [cited on 2011] . [online on descember 2012]. http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/medicine-history/2240925-anatomi-makroskopis-dan-mikroskopis-vesika/ 14. Furqan., Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap : Pertama Kali fan Berulang. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2007 15. A. Schröder, P. Abrams, Et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of Urology. 2010.P:1-10 16. Santiagu Stanley K, Arianayagam Mohan,
Wang Audrey. Urinary incontinence
Pathophysiology and management outline. Reprinted from Australian Family Physician Vol. 37, No. 3; 2008. P:1-5. 17. American Urological Association. Urinary Incontinence. [cited on august 2012] . [online on descember 2012]. www.aua.org/urinaryinkontinence.pdf 18. Urinary Incontinence. In: Emil A. Tanagho M, Anthony J. Bella, MD, & Tom F. Lue, MD, editor. Smith's General Urology. 17th ed. New York McGraw-Hill Companies; 2008. p. 486-502. 19. Geriatric Medicine.
Harrison's Internal Medicine. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2005. 20. INKONTINENSIA URIN. [cited on august 2012] . [online on descember 2012]. http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf 21. Jackowski Leslie, Rowett Debra, Scheurer Danielle. Diagnosing and treating urinary incontinence. Pennsylvania. 2010. P:1-56 22. Welsh Andrew. Urinary incontinence the management of urinary incontinence in women. Chapter 3 and 4. London; RCOG Press: 2006. P:21-85. 23. Robert Magali, Ross Sue. Conservative Management of Urinary Incontinence. 2006. P: 1-6
50 | Inkontinensia Urine