TUGAS NEUROGERIATRI
Agustus 2017
INKONTINENSIA URINE PADA GERIATRI
Oleh: dr. Supardin dr. Devina Irawan dr. Bhetaria Santoso
PEMBIMBING: DR. dr. Nadra Maricar, Sp.S(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS STASE NEUROGERIATRI ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran, baik kemunduran fisik, mental, dan sosial. Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu sistem integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan sistem urologi. Pada lanjut usia sering terjadi masalah “empat besar” yang memerlukan perawatan segera, yaitu : imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Bagi lanjut usia masalah inkontinensia merupakan masalah yang tidak menyenangkan. Masalah inkontinensia tidak disebabkan langsung oleh proses penuaan, pemicu terjadinya inkontinensia pada lanjut usia adalah kondisi yang sering terjadi pada lanjut usia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam sistem urinaria. Masalah yang sering dijumpai pada lanjut usia adalah inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan menyebabkan masalah sosial dan higienis penderitanya.1 Selain masalah sosial dan hieginis inkontinensia urin mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah dan terisolasi. Inkontinensia urin merupakan masalah yang belum terselesaikan pada lanjut usia. Inkontinensia urin pada lanjut usia dapat menimbulkan masalah baru bagi lanjut usia, oleh karena itu inkontinensia memerlukan penatalaksanaan tersendiri untuk dapat diatasi. Pembahasan tentang proses menua semakin sering muncul dengan bertambahnya populasi usia lanjut di berbagai belahan dunia. Proses penuaan secara umum terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat selular maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan kapasitas fungsional tersebut, orang lanjut usia biasanya tidak berespon pada berbagai rangsangan, baik internal maupun eksternal. Menurunnya respon tersebut cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk memelihara kestabilan homeostatis tubuh.1,3
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI Definisi Menurut International Continence Society, inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluhan berkemih secara involunter (di luar kesadaran).1,7 B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi inkontinensia urin cukup tinggi, yakni pada wanita kurang lebih 10-40% dan 4-8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Survai yang dilakukan diberbagai negara Asia didapat 3 bahwa prevalensi pada beberapa negara Asia adalah rata-rata 21,6% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dibandingkan pada usia produksi, pada usia lanjut prevalensi inkontinensia lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia sulit ditentukan dengan pasti. Hal ini karena hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subyek penelitian, metode kuesioner, dan definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1. Survei yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan sebesar 32,5%.1,2,3 C. ETIOLOGI Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat multigravida, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran 2
kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.1 Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya yang menjadi faktor pencetus inkontinensia urin. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada inkontinensia urin, antara lain, diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam inkontinensia urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya inkontinensia urin. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena tertekan selama masa mengandung. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga 3
menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.1,6,7,8 D. FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Traktus urinarius dibagi9:
Traktus urinarius atas: ginjal dan ureter
Traktus urinarius bawah: vesika urinaria, uretra, dan genital.
Gangguan degeneratif urogenital9:
Neurologik
Non- neurologik
Kombinasi
Pusat pengaturan refleks berkemih diatur di medula spinalis segmen sakral. Proses berkemih dibagi menjadi 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang menyebabkan penutupan katup leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta penghambatan saraf parasimpatis. Pada fase pengosongan, aktifitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologi berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu, fase pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urin, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing. Peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini dan pada keadaan normal tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara 4
sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin buang air kecil. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap relaksasi sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan kontraksi untuk menutup aliran ke uretra. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi relaksasi mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urin memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urin tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks). Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal.6 Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga 5
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna intraabdomen secara efektif ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.1,7 Proses menua dan inkontinensia urin pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal , namun merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan anatomis dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahanperubahan tersebut berkaitan dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lak-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen, sehingga menyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra, sehingga terjadi penurunan tekanan penutupan uretra. Dasar panggul mempunyai peran penting dalam mempertahankan miksi. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan berbagai faktor fisiologis dan patologis (trauma, operasi). Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital menyebabkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan keluar.1 Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow. Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress dimana inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa inkontinensia urin stres ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong ureter tetapi juga karena penutupan 6
leher vesika yang tidak adekuat dan gangguan pada sestem kendali kontinensia urin (neuromuskular).1,6,7 Pemahaman itu memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan inkontinensia urin harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua kasus inkontinensia urin.
E. IMPAK PROSES PENUAAN TERHADAP VESIKA URINARIA Terjadi penurunan9: Kapasitas vesika urinaria Kemampuan menunda miksi Urinary flow Wanita: 1. Maksimal kontraksi uretra 2. Panjang uretra 3. Uninhibited contraction meningkat 4. Post voiding residual meningkat 5. Frekuensi nokturia meningkat 6. Pembesaran prostat (laki laki) F. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Pada inkontinensia urin, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan kencing sehingga sering kencing di celana sebelum sampai ke kamar mandi. Pasien juga mengatakan kadang saat tertawa terbahak, tanpa sadar terkencing-kencing. Sedangkan riwayat penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.1,6 2. Pemeriksaan Fisik Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.1,6
7
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet. 3. Pemeriksaan Penunjang Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah laboratorium tambahan kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik
untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah. Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat 8
dan saat dinamis. Radiologi Imaging terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. G. KLASIFIKASI1,6 1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur pelvis, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti calcium channel blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
2. Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi :5 a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence) Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di 9
bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada lakilaki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence) Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat. c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence) Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. d. Inkontinensia urin fungsional Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
10
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
H. KOMPLIKASI Komplikasi Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset. I. PENATALAKSANAAN1,6,7,8 Tujuan Pengobatan adalah9: 1. Melindungi ginjal 2. Memperbaiki inkontinensia urin 3. Mempertahankan kapasitas fungsional vesika urinaria, urinary voiding setiap 4-6 jam. Pengobatan bersifat individual, faktor diluar traktus urinarius perlu diperhatikan, contohnya pasien dengan dimensia dan tirah baring tetap berbeda dengan pasien yang ambulatorik9. Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urine, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. 1. Terapi non farmakologi
11
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah: -
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
-
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
-
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
2. Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
3. Terapi pembedahan8 Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan 12
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Modalitas lain sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal. Pampers dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air kencing melebihi daya tampung pampers sehingga air kencing keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi. Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih. Alat bantu toilet seperti urinal digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
J. PROGNOSIS Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan / retensi urin.1,7
13
BAB III KESIMPULAN
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia stres, urgensi, luapan dan fungsional. Inkontinensia pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal , namun merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan anatomis dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lak-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen, sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra, sehingga terjadi penurunan tekanan penutupan uretra . Penatalaksanaan konservatif dilakukan pada kasus inkompeten sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
14
DAFTAR PUSTAKA 1. Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009 2. Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1) 3. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7): 258-64 4. Callaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006. 5. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC; 2005. 6. Kong TK. Clinical Guidelines on Geriatric Urinary Incontinence. Desember 2003. 7. Abrams P, et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of Urology. 2006. 8. Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardization of terminology of lower urinary tract infection: Report from the Standardization Sub-committee of the International Continence Society. Neurourol Urodyn 2002; 21:167-178. 9. Basuki A, Dian S. Neurology in daily practice. UPF ilmu penyakit saraf fakultas kedokteran universitas padjajaran. Bandung. 2010.
15