PENUAAN SISTEM URINARIA PADA LANSIA
KEPERAWATAN GERONTIK
oleh: Kelompok 3/E 2016 Linda Fitriawati
162310101241
Emha Ayu L.
162310101267
Madinatul Munawaroh
162310101272
Moch. Cahyo Almulqi
162310101294
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNUVERSITAS JEMBER 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Penuaan Sistem Urinaria Pada Lansia". Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik. Dalam menyusun makalah ini, penulis memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Ns. Latifa Aini S. selaku dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Keperawatan Gerontik 2. Ns. Hanny Rasni selaku dosen pengampu tugas makalah Penuaan Sistem Urinaria Pada Lansia 3. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasinya untuk kami dalam menyelesaikan makalah 4. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan, kelas E 2016 khususnya yang tak pernah lelah memberikan tawanya Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi untuk kedepannya.
Penyusun,
Kelompok 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena dianggap memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. IU dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. IU merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas penderitanya. Prevalensi IU pada perempuan di dunia berkisar antara 10-58%. Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB), prevalensi IU pada perempuan Asia adalah 14,6%, dimana sekitar 5,8% berasal dari Indonesia. Survei IU oleh Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo (2008) pada 793 pasien menunjukkan bahwa prevalensi IU pada perempuan 6,79%, sedangkan pada laki-laki 3,02%. Survei lainnya oleh Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (2003) pada 179 lansia menunjukkan bahwa angka kejadian IU tipe stres pada laki-laki 20,5%, sedangkan pada perempuan 32,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi IU pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (Juananda dan Frebriantara, 2017) Secara umum inkontinesia urin disebabkan oleh perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih lansia, obesitas, menopause, usia lanjut. penambahan berat dan tekanan selama hamil dapat menyebakan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehinnga dapat meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urin. Faktor jenis kelamin berperan terjadinya inkontinesia urin khususnya pada wanita karena menurunnya kadar hormon estrogen pada usia menopause akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih sehingga menyebabkan terjadinya inkontinesia urin. Gejala inkontinensia yang biasanya terjadi adalah kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, serta perasaan ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, dan kencing di malam hari (Moa et.al, 2017) Dalam Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi (2018) disebutkan bahwa Survei di 11 negara Asia termasuk Indonesia ditemukan 5.052 perempuan menderita masalah inkontinensia urin. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia merupakan negara yang mengalami peningkatan penduduk lansia yang sangat pesat. Pada tahun 1971, penduduk lanjut usia (lansia) berjumlah 5,3 juta atau 4,48% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 12,7 juta (6,56%). Sejak tahun 2002, proporsi penduduk lansia di Indonesia telah mencapai di atas 7%. Pada 2010, jumlah lansia 9,58% dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Pada tahun 2020, angka tersebut meningkat menjadi 11,20% dengan usia harapan hidup rerata 70,1 tahun. Jumlah ini berarti meningkat 3 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah lansia pada tahun 1990. Jumlah lansia saat ini, seperti diinformasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 14.439.967 orang atau 7,18% dengan usia harapan hidup rerata 64,5 tahun. Sebagian di antara mereka terlantar, mengalami penyakit menahun, tindakan kekerasan, dan perlakuan salah. Dalam jurnal juga disebutkan bahwa di Indonesia sendiri sekitar 5,8% penduduk menderita inkontinensia urin. Meningkatknya proporsi penduduk lansia juga berisiko meningkatkan resiko populasi lansia yang akan mengalami inkontinensia urin. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih lansia seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Ketika seseorang memasuki usia lanjut menginginkan tingkat kehidupan yang produktif dan berguna, salah satunya dalam menjaga kesehatan. Rata-rata lansia kebanyakan tidak ingin menjadi beban ataupun menjadi lansia yang merepotkan bagi keluarga yang merawatnya. Namun hal ini kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, karena akan membutuhkan orang lain untuk membantunya merawat diri dan hal ini yang kemudian membuat lansia merasa tidak nyaman ataupun malu. Peran perawat dalam meningkatkan kualitas kehidupan lansia akan sangat berguna, misalnya menjalankan program kesehatan. Hal ini sejalan seperti yang dituliskan dalam buku keperawatan gerontik oleh Sunaryo, dkk (2015) bahwa
program kesehatan lanjut usia yaitu dengan meningkatkan derajat kesehatan lansia agar tetap sehat, aktif, mandiri, dan dapat berperan serta dalam kehidupan masyarakat. Salah satu program atau terapi yang dapat dijalankan berkaitan dengan masalah inkontinensia urin pada lansia yaitu pemberian massage, kegel exercise. Terapi kegel exercise ini merupakan salah satu bentuk latihan otot dasar panggul yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul, sehingga dapat memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih.
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam makalah ini dirumuskan permasalahan “Bagaimana asuhan keperawatan serta intervensi yang dapat digunakan pada lansia yang mengalami inkontinensia urin”
1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, makalah ini mempunyai tujuan sebagai beriku: 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui dan menerapkan asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami inkontinensia urin
1.3.2
Tujuan Khusus a. Mengetahui konsep dasar inkontinensia urin pada lansia b. Mengetahu faktor penyebab lansia mengalami inkontinensia urin c. Mengetahu pencegahan dan penatalaksanaan inkontinensia urin d. Mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin e. Mengetahui pengaruh kegel exercise dalam meningkatkan kekuatan otot panggul sebagai intervensi untuk lansia dengan inkontinensia urin.
1.4 Manfaat 1.4.1
Bagi Mahasiswa Bermanfaat sebagai pengetahuan dan proses pembelajaran yang selanjutnya
dapat dikembangkan sebagai bahan untuk penelitian ataupu intervensi yang dapat diberikan pada pasien khususnya lansia yang mengalami inkontinensia urin. 1.4.2
Bagi Masyarakat Memberikan
informasi
tambahan
bagi
masyarakat
sebagai
upaya
peningkatan kesehatan utamanya dalam mencegah inkontinensia pada lansia. Sehingga masyarakat dapat mengetahui serta menerapkan intervensi keperawatan terkait dengan inkontinensia urin. 1.4.3
Bagi Tenaga Kesehatan Sebagai intervensi tambahan yang dapat diterapkan dalam memberikan
asuhan keperawatan, utamanya pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sfingter sehingga kesulitan dalam menahan BAK ataupun BAB ataupun pada keluarga pasien tersebut.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Inkontinensia Inkontinensia urine merupakan kondisi ketika urin keluar secara mendadak atau tanpa terkontrol pada kandung kemih dan uretra, yang menyebabkan otototot sfingter terbuka secara singkat. Pada inkontinensia ringan, tekanan dapat terjadi ketika melakukan aktivitas seperti olahraga, bersin, tertawa, ataupun batuk. Sedangkan pada inkontinensia urin yang lebih parah dapat terjadi ketika melakukan aktivitas yang ringan seperti berdiri, berjalan atau membungkuk (Urology Care Foundation. 2018) Menurut Nuari dan Widayati (2017) Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar dari buli-buli, baik disadari ataupun tidak disadari. Terdapat beberapa macam inkontinensia urine, yaitu inkontinensia true atau continuous (urin selalu keluar), inkontinensia stress (tekanan abdomen meningkat), inkontinensia urge (ada keinginan untuk kencing) dan inkontinensia paradiksa (buli-buli penuh). Inkontinensia urin banyak terjadi pada lansia yang berusia lebih dari 60 tahun dan dapat berhubungan dengan masalah lain seperti gangguan integritas kulit, ISK, dan perubahan perilaku. Inkontinensia urin tidak selalu dikaitkan dengan perubahan fisiologi dari proses menua, meskipun banyak kasus inkontinensia urin terjadi akibat proses menua sehingga menyebabkan lansia berisiko mengalami inkontinensia. Kapasitas kandung kemih lansia mengalami penurunan menjadi setengah dari kapasitas kandung kemih pada orang yang lebih muda. Ginjal mengalami penuran kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin sehingga menyebabkan frekuensi dan nokturi. Selain itu banyak lansia yang mengalami kontraksi M. Detrusor yang tidak terduga dan tiba-tiba, sehingga menimbulkan keinginan untuk berkemih. Perubahan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom menyebabkan lansia mengalami penurunan kemampuan untuk
mengkontraksikan
sfingter
eksternal
kandung
kemih.
Wanita
postmenopouse banyak mengalami penipisan dan pelemahan otot dasar panggul dan uretra akibat penurunan estrogen (Sofia Rhosma Dewi, 2014).
Dampak fisik inkontinensia urine berupa resiko jatuh, fraktur, infeksi kulit atau iritasi, infeksi saluran kemih, dan pembatasan terhadap status fungsional. Dampak psikososial inkontinensia urine meliputi penurunan kualitas hidup, merasa malu, ansietas, depresi, isolasi sosial, dan hilangnya kepercayaan diri (Miller, C.A 2012). 2.2 Jenis Inkontinensia Urin Menurut Dewi (2014) dalam buku Keperawatan Gerontik disebutkan jenis inkontinensia urin yaitu: 1. Inkontinensia akut Inkontinensia akut atau transient adalah inkontinensia yang terjadi akibat adanya gangguan kesehatan atau muncul akibat intervensi dari suatu gangguan penyakit. Inkontinensia akut dapat disebabkan oleh D : delirium R : restricted mobility (hambatan mobilitas), rentensi I : infeksi, inflamasi, impaksi P : pharmaceutical (obat-obatan), poliuria, psikologis Adapun hal yang harus diingat sebagai perawat yaitu inkontnensia transient merupakan kondisi reversibel. Kondisi ini dapat diatasi dengan cara mengatasi penyakit yang menyebabkan inkontinensia urin ataupun obat-obatan yang dapat menyebabkan inkontinensia 2. Inkontinensi kronis Pada inkontinensia kronis dikenal juga inkontinensia persisten dibagi lagi menjadi 4 jenis. Inkontinensia persisten ini terjadi ketika penyakit utama telah diatasi namun inkontinensia tidak menghilang. Inkontinensia persisten ini biasanya terjadi secara bertahap dan semakin memburuk. a. Inkontinensia urge, merupakan bentuk inkontinensia yang paling banyak terjadi di fasilitas perawatan lansia. Inkontnensia ini kerap dihubungkan dengan penyakit stroke dan alzeimer. Lansia yang mengalami inkontinensia urge akan meraskan keinginan berkemih yang cukup kuat dan merasa tidak mampu menahan urin hingga sampai ke toilet
b. Inkontinensia stres, inkontinensia ini terjadi jika terdapat pengeluaran urin dalam jumlah kecil setelah terjadi peningkatan tekanan intraabdominal akibat batuk, bersin, tertawa atau ketika mengangkat sesuatu. Inkontinensia stres terjadi karena terdapat inkontinensi atau pelemahan sfingter kandung kemih. Inkontinensia ini banyak terjadi pada wanita dan dapat pula terjadi akibat kerusakan otot dasar panggul saat melahirkan c. Inkontinensia overflow, inkontinensia overflow terjadi akibat obstruksi outlet karena gangguan pengosongan kandung kemih. Ketika pengosongan kandung kemih tidak terjadi secara sempurna, lansia akan mengalami peningkatan frekuensi berkemih. d. Inkontinensia fungsional, inkontinensia fungsional terjadi ketika individu tidak mampu memenuhi atau melakukan eliminasi urin. Lansia memiliki fungsi kandung kemih dan uretra yang normal, namun mengalami gangguan kognitif, fisik, psikologis atau lingkungan yang menyebabkan lansia mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan eliminasi. Inkontinesia fungsional dapat disebakan jarak toilet yang terlalu jauh, tidak adanya perawat yang membantu, depresi dan juga karena ketidakmampuan menemukan toilet. 2.3 Etiologi Inkontinensia urin bukanlah sebuah penyakit, melainkan sebuah gejala. Penyebab inkontinensia urin pun beragam, mulai dari pola kebiasaan seharihari hingga adanya kondisi medis yang mendasarinya. Berikut penjelasan secara lebih rinci mengenai penyebab inkontinensia urine sesuai dengan jenisjenisnya (alodokter, 2017) a. Inkontinensia dorongan: kondisi ini berkaitan dengan otot yang melapisi dinding kandung kemih, dimana otot-otot tersebut berkontraksi secara berlebihan dan menyebabkan peningkatan rasa ingin buang air kecil pada seseorang. Pada kondisi ini biasanya disebabkan oleh beberapa hal seperti minuman beralkohol, minuman berkafein, kontstipasi, infeksi saluran kemih, atau beberapa kondisi kelainan saraf.
b. Inkontinensia stres: kondisi ini terjadi ketika tekanan dalam kandung kemih lebih kuat dibandingkan kemampuan uretra untuk menahan urine supaya tidak keluar. Hal ini biasanya disebabkan karena gangguan pada proses persalinan, obestas, penyakit Parkinson ataupun kerusakan uretra. c. Inkontinensia luapan: kondisi ini terjadi karena pembesaran kelenjar prostat, adanya batu kandung kemih, adanya kerusakan saraf, atau konstipasi sehingga menyebabkan tersumbatnya kandung kemih. Artinya urin tidak dapat keluar sepenuhnya, sehingga kondisi ini mengakibatkan penderitanya memiliki frekuensi berkemih yang lebih sering d. Inkontinensia total: kondisi ini terjadi ketika kandung kemih tidak mampu menampung urine, biasanya dikarenakan adanya gannguan pada kandung kemih sejak lahir, cedera pada saraf tulang belakang, serta munculnya lubang (bladder fistula) di anata kandung kemih dan organ sekitarnya, misalnya vagina.
2.4 Tanda dan Gejala Inkontinensia tanda dan gejala menurut Miller, C.A (2012) dan MayoClinic (2017) sebagai berikut: a. Stres inkontinensia, ditandai dengan kebocoran urin yang tidak disengaja akibat
aktivitas
yang
meningkatkan
tekanan
perut
(misalnya,
mengangkat, batuk, bersin, tertawa, atau berolahraga). b. Urge Inkontinensia, ditandai dengan kebocoran urin yang tidak disengaja karena ketidakmampuan untuk menahan urin terlalu lama. Kondisi ini mengakibatkan sering buang air kecil, termasuk sepanjang malam. Urge inkontinensia biasanya disebabkan oleh kondisi minor, seperti infeksi ataupun kondisi yang lebih parah seperti kelainan neurologis atau diabetes c. Inkontinensia Overflow, kondisi ini mengakibatkan penderitanya mengalami keinginan buang air kecil secara konstan atau terus-menerus karena kondisi kandung kemih yang tidak sepenuhnya kosong dan biasanya urin yang dikeluarga hanya sedikit.
d. Inkontinensia Fungsional, biasnya terjadi ketika penderita mengalami kerusakan fisik atau mental sehingga kesulitan untuk mencapai toilet tepat waktu. Sehingga urin keluar sebelum waktunya karena kesulitan untuk menahan buang air kecil. e. Inkontinensia urin campuran, yaitu kondisi ketika penderita mengalami lebih dari satu jenis inkontinensia urin.
2.5 Faktor resiko Inkontinensia Bebrapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang mengalami inkontinesia urin menurut MayoClinic (2017) diantaranya yaitu: a. Jenis kelamin. Wanita lebih rentan mengalami inkontinensia urin karena faktor seperti kehamilan, persalinan, menopause merupakan salah satu penyebab dari inkontinensia urin b. Usia. Seiring bertambahnya usia, otot-otot di kandung kemih dan uretra akan kehilangan sebagian kekuatannya. Hal ini kemudian yang mengakibatkan kesulitan untuk dapat menahan urin. c. Obesitas. Berat badan yang berlebih akan meningkatkan tekanan pada kandung kemih dan otot-otot disekitarnya, yang kemudian melemahkan otot-otot tersebut sehingga memungkinkan urin untuk keluar saat batuk atau bersin d. Merokok. Kandungan pada tembakau menjadi penyebab meningkatnya resiko inkontinensia urin e. Riwayat keluarga. Tidak memutus kemungkinan jika inkontinensia urin juga dapat diturunkan f. Penyakit lain. Kondisi penyerta seperti diabetes dan penyakit neurologis dapat meningkatkan risiko inkontinensia.
2.6 Komplikasi Inkontinensia Menurut Mariyanti (2017) Penderita inkontinensia urine dapat mengalami beberapa komplikasi seperti: a. Infeksi saluran kemih. Orang dengan inkontinensia urine memiliki risiko lebih besar untuk mengalami infeksi pada saluran kemihnya.
b. Gangguan pada kulit. Ruam, infeksi kulit dan luka dapat muncul jika kulit terus menerus dalam keadaan basah
2.7 Pencegahan Inkontinensia a. Batasi asupan alkohol dan minuman berkafein b. Perbaikan gizi dan hindari obesitas (Ambil diet seimbang yang mencakup semua kelompok makanan dan tetap dalam kisaran berat badan yang sehat) c. Sertakan cukup cairan dan serat dalam diet Anda dan berolahraga secara teratur untuk mencegah sembelit yang dapat menyebabkan kontrol kandung kemih yang buruk d. Lakukan latihan dasar panggul (senam kegel)
2.8 Penatalaksanaan Menurut dr. George Dewanto, dkk dalam buku Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksanaan Penyakit Syaraf 1. Farmakologis Terapi kandung kemih overaktif diinkasikan untuk inkontinensia urin a. Obat antikolinegrik (propantelin, oksibutinin dan hiosiamin) b. Musculotropic relaxants (oksibutinin, flavoksat, dan disiklomin) c. Antidepresan trisiklik (imipramine) d. Obat
untuk
meningkatkan
pengosongan
kandung
kemih
diindikasikan untuk retensi uri e. Prostaglandin f. Obat untuk menurunkan resistensi saluran ke luar (sfingter uretra dan sfingter kandung kemih) pada retensi urin g. Penyekat andrenaligik-β
2. Non Farmakologis Rehabilitasi yaitu a. Terapi fisik, mobilisasi dini di sarankan untuk mengurangi inkontinensia urin dan komplikasi lainnya seeprti nyeriakibat tekanan b. Terapi okupasi. Aktivitas sehari-hari dan latihan merawat diri
c. Maneuver Crede adalah kopresi manual kandung kemih yang di lakukan pada pasien fonus kandung kemih yang berkurang atau arefleksia serta resistensi saluram keluar yang rendah d. Rangsang nyeri pada tingkat dermatom lumbal dan sacral digunakan untuk menimbulkan reflex kontraksi kandung kemih e. Pengaturan waktu berkemih f. Pembersih kateter berskala 3. Pembedahan a. Prosedur
plester,
biasanya
dilakukan
pada
wanita
dengan
inkontinensia stres. Plester plastik akan diikatkan di belakang uretra, dengan tujuan untuk menopang uretra pada posisi yang benar, sehingga mengurangi kebocoran urine akibat tekanan. b. Kolposuspensi. Dalam prosedur bedah ini dokter akan menaikkan leher kandung kemih pasien, kemudian menjahitnya untuk mencegah kebocoran saat mendapat tekanan. c. Prosedur sling, dimana dokter akan memasang sling di sekeliling leher kandung kemih untuk menahannya dan mencegah kebocoran urine. Sling dapat terbuat dari bahan sintetis, jaringan tubuh bagian lain, jaringan tubuh orang lain, atau jaringan tubuh hewan. d. Urethral bulking agents, adalah bahan yang disuntikkan ke dinding uretra wanita. Bahan ini akan meningkatkan ketebalan dinding uretra sehingga lebih kuat menahan tampungan urine. e. Pemasangan otot sphincter artifisial, adalah otot berbentuk cincin yang akan selalu menutup untuk mencegah aliran urine dari kandung kemih ke uretra. f. Sistoplasti augmentasi. Pada prosedur ini, dokter dan ahli bedah akan membuat kandung kemih penderita lebih besar dengan cara menambahkan sebagian jaringan dari usus penderita ke dinding kandung kemih. Namun, usai melakukan tindakan ini, penderita hanya bisa buang air kecil melalui selang kateter. g. Pembedahan prolaps, untuk menormalkan kembali posisi organ pada penderita inkontinensia urine akibat prolaps organ panggul.
4. Non-Pembedahan a. Mengubah gaya hidup penderita. Dokter akan menyarankan penderita untuk mengurangi konsumsi kafein, menyesuaikan kadar cairan yang dikonsumsi penderita setiap hari, dan menyesuaikan berat badan penderita menjadi ideal. b. Alat bantu medis. Contohnya seperti memasukkan alat kecil sekali pakai seperti tampon ke dalam uretra sebelum melakukan aktivitas tertentu, serta pemasangan pesarium (untuk wanita) yang dapat membantu mencegah kebocoran urine. c. Melatih otot-otot panggul bawah (senam kegel). Jika penderita tidak mampu untuk membuat otot-otot tersebut berkontraksi, maka dokter bisa menggunakan alat bantu seperti stimulasi elektrik atau kerucut vagina. d. Terapi intervensi. Contohnya adalah penyuntikan zat sintetis ke dalam jaringan di sekitar uretra, penyuntikan Botox ke dalam otot kandung kemih serta stimulasi saraf yang berfungsi mengontrol kandung kemih dapat membantu menangani inkontinensia urine. e. Latihan kandung kemih. Penderita akan diajari teknik untuk menahan buang air kecil. Latihan ini biasanya membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah bulan. f. Pemberian obat-obatan. Ada beberapa obat yang bisa dikonsumsi untuk
menangani
inkontinensia
urine
seperti
obat
golongan
antimuskarinik, antikolinergik, obat penghambat alfa (alpha blocker), atau obat oles estrogen. g. Stimulasi elektrik ke beberapa saraf, seperti saraf sacralis yang terletak pada bagian bawah punggung dan saraf posterior tibialis yang menjalar dari kaki kaki hingga pergelangan kaki. h. Pemasangan kateter. Ini biasanya diterapkan untuk mengurangi terjadinya inkontinensia luapan.
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine : 1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri. 3) Riwayat Penyakit Sekarang Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan. 4) Riwayat Penyakit Dahulu Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita. 5) Riwayat Penyakit keluarga Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi. 6) Pola fungsi Gordon a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya, saat klien sakit tindakan yang dilakukan klien untuk menunjang kesehatannya. b. Nutrisi/metabolic Kaji makanan yang dikonsumsi oleh klien, porsi sehari, jenis makanan, dan volume minuman perhari, makanan kesukaan. c. Pola eliminasi Kaji frekuensi BAB dan BAK, ada nyeri atau tidak saat BAB/BAK dan warna d. Pola aktivitas dan latihan
Kaji kemampuan klien saat beraktivitas dan dapat melakukan mandiri, dibantu atau menggunakan alat e. Pola tidur dan istirahat Kaji pola istirahat, kualitas dan kuantitas tidur, kalau terganggu kaji penyebabnya f. Pola kognitif-perseptual Status mental klien, kaji nyeri dengan Provokasi (penyebab), Qualitas 9nyerinya seperti apa), Reqion (di daerah mana yang nyeri), Scala (skala nyeri 1-10), Time (kapan nyeri terasa bertambah berat). g. Pola persepsi diri h. Pola seksual dan reproduksi kaji manupouse, kaji aktivitas seksual i. Pola peran dan hubungan Kaji status perkawinan, pekerjaan j. Pola manajemen koping stress k. Sistem nilai dan keyakinan 7) Status mental dan kognitif gerontik a. Short Portable Mental Status Questioner (SPMSQ) Digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan intelektual. Pengujian terdiri atas 10 pertanyaan yang berkenan dengan orientasi, riwayat pribadi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan
perawatan
diri,
memori
jangka
panjang
dan
kemampuan matematis atau perhitungan (Pfeiffer, 2002). b.
MiniMental Status Exam (MMSE) Mini mental status exam (MMSE) menguji aspek kognitif dari fungsi mental: orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa. Nilai kemungkinan ada 30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan penyelidikan lanjut. Pemeriksaan memerlukan hanya beberapa menit untuk melengkapi dan dengan mudah dinilai, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk tujuan diagnostic. karena
pemeriksaan MMSE mengukur beratnya kerusakan kognitif dan mendemonstrasikan perubahan kognitif pada waktu dan dengan tindakan. Ini merupakan suatu alat yang berguna untuk mengkaji kemajuan klien yang berhubungan dengan intervensi. Alat pengukur status afektif bdigunakan untuk membedakan jenis depresi serius yang mempengaruhi fungsi-fungsi dari suasana hati. Depresi adalah umum pada lansia dan sering dihubungkan dengan kacau mental dan disorientasi, sehingga seorang lansia depresi sering disalah artikan dengan dimensia. Pemeriksaan status mental tidak dengan jelas membedakan antara depresi dengan demensia, sehingga pengkajian afektif adalah alat tambahan yang penting. c. Pola persepsi diri perlu dikaji, meliputi; harga diri, ideal diri, identitas diri, gambaran diri. 8) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 : a) B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. b) B2 (blood) Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah c) B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh d) B4 (bladder) Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat
dari
infeksi,
apakah
klien
terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra
pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. e) B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen,
adanya
ketidaknormalan
perkusi,
adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal. f) B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. 9) Pemeriksaan Penunjang a) Urinalilsis Hematuria Poliuria Bakteriuria b) Pemeriksaan Radiografi IVP (Intravenuos pyelographi) Memprediksi lokasi ginjal dan ureter VCUG (Vciding Cysitoutherogram) Mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi UV, melihat adanya obstuksi (Terutama obstruksi prostat) Mengkaji PVR (Post Voiding Residual) c) Kultur urine Steril Pertumbuhan tidak bermakna (100.000 koloni/ml) Organisme
6. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine. 4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
7. Intervensi No.
1.
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan
Kriteria Hasil
Gangguan eliminasi
Setelah diberikan asuhan
1. Kaji kebiasaan pola
urin keperawatan selama ....x24
berhubungan dengan
Intervensi
berkemih dan
jam diharapkan klien akan
tidak bisa
melaporkan
gunakan
suatu
catatan
berkemih sehari.
adanya sensasi pengurangan/penghilangan R: Berkemih yang sering untuk berkemih inkontinensia
Dengan dapat
mengurangi
dan kehilangan Kriteria hasil: Klien dapat dorongan beri distensi kemampuan
mengatakan
untuk
kapan
menghambat
berkemih
penyebab kandung kemih
pasien
akn
2. Ajarkan
untuk
membatasi
masukan
kontraksi
cairan selama malam
kandung
hari
kemih.
R:
Pembatasan
cairan
pada malam hari dapat mencegah
terjadinya
enurasis 3. Bila
masih
terjadi
inkontinensia kurangi waktu
antara
berkemih yang telah direncanakan R: Kapasitas kandung kemih
mungkin
tidak
cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih. 4. Instruksikan
klien
batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan klien
dengan
berdiri
jika
tidak ada kebocoran yang lebih dulu. R: Untuk membantu dan melatih
pengosongan
kandung kemih. 5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien
mendapat
masukan cairan 2000 ml,
kecuali
harus
dibatasi. R:
Hidrasi
diperlukan
optimal untuk
mencegah ISK dan batu ginjal. 6. Kolaborasi dokter
dengan dalam
mengkaji
efek
medikasi
dan
tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat
untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.
2.
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan
1. Berikan
perawatan
berhubungan
keperawatan selama ...x24
perineal dengan air
dengan
jam
diharapkan
sabun setiap shift.
inkontinensia,
dapat
berkemih dengan
imobilitas
nyaman.
dalam
waktu urinalisis
yang lama.
normal,
Urine
klien
Jika
jernih,
pasien
inkontinensia,
cuci
dalam
batas
daerah
perineal
kultur
urine
sesegera mungkin.
menunjukkan tidak adanya
R:
Untuk
bakteri.
kontaminasi uretra. 2. Jika
mencegah
di
pasang
kateter
indwelling,
berikan
perawatan
kateter
2x
sehari
(merupakan
bagian
dari
mandi
waktu
pagi dan pada waktu akan
tidur)
setelah
buang
dan air
besar. R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kemih
kandung
dan
naik
ke
saluran perkemihan. 3. Ikuti
kewaspadaan
umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung,
pemakaian
sarung
tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah
yang
terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung
drainase
urine, penampungan spesimen
urine).
Pertahankan
teknik
aseptik
bila
melakukan kateterisasi,
bila
mengambil
contoh
urine
kateter
dari
indwelling. R:
Untuk
mencegah
kontaminasi silang. 4. Kecuali
dikontra
indikasikan,
ubah
posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan
sekurang-
kurangnya 2400 ml / hari.
Bantu
melakukan ambulasi sesuai kebutuhan.
dengan
R:
Untuk
mencegah
stasis urine. 5. Lakukan untuk
tindakan memelihara
asam urine.
Tingkatkan masukan sari buah berri.
Berikan
obat-obat,
untuk meningkatkan asam urine. R:
Asam
urine
menghalangi tumbuhnya
kuman.
Karena jumlah sari buah
berri
diperlukan
untuk
mencapai
dan
memelihara keasaman
urine.
Peningkatan masukan cairan sari buah
dapat
berpengaruh
dalam
pengobatan
infeksi
saluran kemih.
3.
Resiko
Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau
penampilan
kerusakan
keperawatan selama ...x 24
periostomal
integitas
kulit
kulit jam diharapkan keruskan
setiap 8 jam.
yang
integritas kulit teratasi.
R:
berhubungan
Kriteria Hasil :
mengidentifikasi
dengan irigasi
1. Jumlah
bakteri kemajuan
Untuk
atau
konstan urine
oleh
<100.000/ml. 2. Kulit
penyimpangan dari hasil
periostomal yang diharapkan.
tetap utuh.
2. Ganti
wafer
3. Suhu 37° C.
stomehesif
4. Urine jernih dengan
minggu
sedimen minimal.
setiap atau
bocor
bila
terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang yang
wafer
baru.
lubang kira lebih
Potong
wafer
kira-
setengah
inci
besar
dar
diameter stoma untuk menjamin
ketepatan
ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periostomal.
Kosongkan
kantung
urostomi bila telah seperempat
sampai
setengah penuh. R:
Peningkatan
urine
dapat
segel
berat
merusak
periostomal,
memungkinkan kebocoran
urine.
Pemajanan menetap pada kulit
periostomal
terhadap
asam
dapat
menyebabkan
kerusakan
kulit
urine
dan
peningkatan
resiko
infeksi.
4.
Resiko
Setelah dilakukan tindakan 1. Awasi TTV
kekurangan
keperawatan selama .....x R: Pengawasan invasive
volume cairan 24 jam diharapkan volume diperlukan tubuh
cairan seimbang
berhubungan
Kriteria
Hasil
untuk
mengkaji
volume
: intravascular, khususnya
dengan intake pengeluaran urine tepat
pada
yang
fungsi jantung buruk.
adekuat
tidak
pasien
dengan
2. Catat pemasukan dan pengeluaran R:
Untuk
menentukan
fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan
resiko
kelebihan cairan 3. Awasi
berat
jenis
urine R:
Untuk
mengukur
kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine 4. Berikan yang
minuman disukai
sepanjang 24 jam R:
Membantu
tanpa
periode cairan,
meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus 5. Timbang BB setiap
hari R:
Untuk
status cairan
mengawasi
BAB 3. PEMBAHASAN
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan mengontrol eliminasi urin. Inkontinensia urin banyak terjadi pada lansia berusia lebih dari 60 tahun. Inkontinensia urin banyak terjadi pada lansia, namun inkontinensia urin bukan merupakan bagian fisiologis dari proses menua meskipun banyak perubahan yang terjadi akibat proses menua menyebabkan lansia mengalami inkontinensia. Kapasitas kandung kemih lansia mengalami penurunan menjadi setengah dari kapasitas kandung kebih orang yang lebih muda. Ginjal mengalami penurunan kemampusan untuk mengkonsentrasikan urin sehingga menyebabkan frekuensi dan nokturi. Selain itu banyak lansia yang mengalami kontraksi M. Detrusor yang tidak terduga dan tiba-tiba, sehingga menimbulkan keinginan untuk berkemih. Perubahan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom menyebabkan lansia mengalami penurunan kemampuan untuk mengkontraksikan sfingter eksternal kandung kemih. Wanita postmenopouse banyak mengalami penipisan dan pelemahan otot dasar panggul dan uretra akibat penurunan ekstrogen (Dewi, S.R. 2015) Intervensi yang dapat dilakukan pada lansia dengan inkontinensia urin salah satunya yaitu kegel exercice, latihan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat otot-otot dasar panggul menjadi lebih kuat diantaranya yaitu kandung kemih ataupun kekuatan otot sfingter.
3.1 Analisis Jurnal Nama Jurnal, Edisi/Volume, Nomor dan Tahun Judul Jurnal Penulis Jurunal Tujuan Penelitian
Metodologi
Journal of The Indian Academy of Geriotrics, 2015; 11:165-170 Assessing Information on Kegel Exercises Provided to Elderly Women with Urinary Incontinence M Ozcan, S Kapucu Penelitian ini mengkaji keefektifan informasi tentang senam Kegel untuk wanita lansia dengan inkontinensia urine Subjek penelitian adalah 31 wanita di atas 65 tahun dengan ganguan inkontinensia urine dan berada di unit-unit gerontik. Data dikumpulkan menggunakan Activities od Daily Living Scale, Instrumental Activities of Daily Living
Hasil dan pembahasan
Implikasi keperawatan
Scale, Mini-Mental State Examination and Incontinence Severity Index. Survey dilakukan di wawancara pertama dan informasi tentang senam kegel diberikan pada pasien pada wawancara kedua. Tingkat keparahan gangguan inkontinensia urine diukur menggunakan Incontinence Severity Index pada akhir bulan pertama dan kedua. Data dianalisis serta pengkorelasian telah dilakukan Hasil penelitian menunjukkan 38,7% pasien memiliki inkontinensia urine sedang sebelum diberikan informasi tentang senam kegel. Lalu persentase menurun ke 35,5% dan 19,4% pada akhir bulan pertama dan akhir bulan kedua, tepat setelah diberikan informasi tentang senam kegel dan pengaplikasian senam. Perbedaan nilai Incontinence Severity Index pada waktu pemberian informasi dan pada akhir bulan pertama dan kedua dapat dinilai signifikan (p < 0,05). Perlu diketahui, 35,5% pasien secara teratur mengaplikasikan senam kegel selama penelitian. Pemberian informasi tentang senam kegel secara efektif dan adekuat terbukti dapat membantu menurunkan tingkat keparahan inkontinensia urine pada wanita lansia dengan inkontinensia urine. Senam kegel terbukti bisa dilakukan secara mandiri dan dengan penelitian ini diharapkan senam kegel dapat diberikan sebagai salah satu intervensi keperawatan pada pasien lansia dengan inkontinensia urine.
3.2 Jurnal Pendukung 1. Dalam jurnal “Difference Urinary Incontinence Before And After Conducted Massage, Kegel Exercise In Elderly Patients At Public Hospitals Sembiring Deli Tua” oleh Rahmad Gurusinga dan Elsaria Br Sembiring, didapatkan hasil bahwa terdapat efek dari pijat dan senam kegel terhadap pasien lansia dengan inkontinensia urine. Metode penelitian
dilakukan
dengan
menggunakan
eksperimen
quasy,
menggunakan teknik desain kontrol grup pretest dan posttest. Sampel penelitian ini adalah 15 lansia dengan inkontinensia urine, didata dengan accidental sampling dan hasil dihitung dengan menggunakan T-test dengan T-test sampel berpasangan. 2. Dalam jurnal “Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi BAK pada Lansia dengan Inkontinensia Urine”oleh Milya Novera, didapatkan hasil
bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi senam kegel terhadap inkontinensia urine sebelum dan sesudah dilakukan senam kegel pada lansia. Penelitian ini dilakukan dengan meneliti 12 lansia sebagai sampel dipilih dengan teknik sampel total dari 110 populasi lansia. Data didapatkan
dari
menggunakan
quesioner
univariasi
dan
dan
lembar
bivasiasi
ceklist. t-test
Data
dependen
dianalisis statistik
menggunakan Shapiro Wilk te normalitas. 3. Dalam jurnal “The Influence of Kegel Exercise on Urine Incontinension Reduction in Elderly” oleh Tien Hartini, Endang Banon Sri Bharaty, dan Titi Sulastri, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada inkontinensia urine sebelum dan sesudah pemberian terapi inkontinensia urine. Penelitian dilakukan dengan meneliti 23 sampel lansia dengan inkontinensia urine, dipilih secara non-random di Yayasan Tresna Werdha Budi Mulia Nursing Home, Ciracas, Jakarta Timur. Data dikumpulkan menggunakan instrumen observasi secara observasi aktif dan menggunakan ceklist tentang urinasi 24 jam, diisi langsung oleh lansia setiap hari selama studi. Data dianalisis menggunakan statistik non parametrik dengan t-test berpasangan atau Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil menunjukkan P-calue 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat efek terhadap terapi.
3.3 Kasus 1. Identitas Klien a) Identitas diri klien : Nama Klien : Ny.S Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 89 tahun TB/BB: 150cm/30kg Status Perkawinan : Cerai mati Golongan darah : Agama : Islam Suku : Jawa
Alamat : Jl.Kalimantan 10 No 26 b) Identitas Penanggung jawab Nama Klien : Tn. P Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 50 tahun Status perkawinan : Kawin Suku : Jawa Pendidikan : S2 Pekerjaan : Dosen Alamat : Jl.Kalimantan 10 No 26 2. Riwayat Usia Lanjut a) Pekerjaan : SKKA (Guru SMK) b) Riwayat masuk panti :c) Jumlah dan hubungan keluarga yang masih ada: Ny. S masih memiliki seorang putra yang merawatnya saat ini, 6 cucu, dan 4 cicit. Genogram
Keterangan : Perempuan : Laki-laki
/
: meninggal
: Klien/pasien
: tinggal serumah
: garis pernikahan
: garis keturunan
3. Riwayat kesehatan : a) Keluhan Utama yang dirasakan saat ini: Saat ini pasien mengeluh pusing yang hilang timbul dibagian belakang kepala, klien mengalami gangguan pola tidur dengan durasi tidur bangun tidur kembali selama waktu kurang lebih 2 jam. Pasien juga mengeluh tidak dapat mengkontrol sensasi BAK dan terkadang juga tidak mampu menahan BAB pasien. b) Riwayat penyakit yang pernah diderita :hipertensi 4. Status Fisiologis dan pengkajian fisik a) Tekanan Darah : 90/60 mmHg b) Suhu : 36,8oC c) Nadi : 89 x/m d) Respirasi: 20 x/m e) Pengkajian Fisik 1) Kepala Inpeksi : simetris, rambut pendek agak keriting, rambut putih lebih dominan dominan, tidak ada jejas, tidak ada lesi, kulit rambut tampak bersih, distribusi rambut tidak rata Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada nyeri, rambut kering dan tidak rontok 2) Leher Inpeksi : warna integritas kulit merata (kuning langsat), bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan 3) Dada Inspeksi : simetris, portur agak membungkuk, tidak ada tanda distres pernapasan Palpasi : simetris, tidak ada nyeri tekan/benjolan Perkusi : rensonan (paru), pekak (jantung) Auskultasi : vesikular, tidak ada suara napas tambahan 4) Abdomen Inspeksi : tidak ada lesi Auskultasi : bising usus 16 x/dtk
Perkusi : timpani Palpasi : soepel, tidak ada nyeri tekan, tidak ada penonjolan 5) Ekstermitas atas dan bawah Atas: kulit keriput, crt < 2 dtk, kulit kering, warna kulit kuning langsat, kuku bersih Bawah : kuku tampak panjang, kulit agak kotor. Kekuatan otot 4 4 4 4
3.4 Pola Kebiasaan a) Kebiasaan makan dan Minum Kebiasaan Makan
Kebiasaan Minum
2 kali dalam sehari dengan porsi
Pasien hanya mengkonsumsi
6 sendok sekali makan
air putih dan minum ketika
Pagi : Bubur tim
haus
Siang/Sore : Nasi
b) Pola Eliminasi Kebiasaan BAK
Kebiasaan BAB
Pasien mengatakan dapat pergi
Pasien mengatakan terkadang
ke kamar mandi sendiri
tidak dapat mencapai kamar
menggunakan kruk, namun saat
mandi ketika ingin BAB,
ingin BAK pasien kesulitan
sehingga pasien BAB
untuk menahan BAKnya
disembarang tempat
sehingga perlu menggunakan popok. c) Pola Toileting 1) Mandi : Pasien mampu mandi sendiri secara mandiri 2) Gosok Gigi : Pasien juga mampu gosok gigi secara mandiri 3) Keramas : Pasien mengungkapkan keramas saat mandi, namun tidak terlalu sering
3.5 Pola Tidur dan Istirahat Klien mengalami gangguan pola tidur dengan durasi tidur bangun tidur kembali selama waktu kurang lebih 2 jam
3.6 Pola Perseptual a) Penglihatan : Pasien mengalami ganguan penglihatan sebelah kanan dengan identifikasi penglihatan kabur dan untuk mata sebelah kiri mengalami penurunan fungsi penglihatan (tidak dapat melihat objek jauh) b) Pendengaran : Pasien mengalami penurunan fungsi pendengaran dengan identifikasi tidak menjawab ketika suara terlalu pelan tetapi mampu merespon ketika sumber suara keras dan tegas c) Sensasi : Pasien mampu merasakan sensasi ketika dirangsang nyeri 3.7 Pola Persepsi Diri a) Gambaran diri : pasien mengganggap dirinya sebagai lansia yang dapat menerima keadaan kondisi saat ini. pasien menganggap bahwa ini merupakan proses dari kehidupannya. b) Ideal Diri : Pasien mengganggap semua impian selama hidup telah tercapai dimasa tuanya tetapi pasien berharap dapat memiliki lebih banyak waktu untuk bermain bersama keluarga dan cucu-cucunya. Pasien juga mengatakan telah mempersiapkan diri untuk kematiannya, pasien menginginkan kematian yang baik dan tidak merepotkan bagi keluarganya. c) Harga Diri: pasien mengatakan tidak merasa rendah ataupun kurang terhadap kondisinya saat ini, karena sudah merupakan suatu proses yang akan dijalani setiap orang. Pasien juga mengatakan bahwa saudara dan teman-temannya telah meninggal, namun ia masih memiliki seorang anak yang merawatnya sehingga pasien tidak merasa kurang. d) Identitas Diri : pasien mampu menyebutkan nama dan mengatakan sebagai wanita yang sudah berumur tua, pasien mengatakan dia seorang ibu dan nenenekbagi cucu-cucunya.
e) Peran Diri :pasien mengatakan memiliki dua orang anak, namun salah satu anaknya telanh meninggal. Pasien juga mengatakan memiliki cucu. Sehingga pasien merupakan seorang ibu sekaligus seorang nenek. Pasien mengatkan jarang melakukan kegiatan diluar rumah karena kondisinya yang semakin lemah, sehingga pasien juga jarang melakukan sosialisasi dengan lingkungan sekitar. 3.8
Pola Hubungan dan Peran : pasien mengatakan bahwa hubungan dengan anak dan cucunya masih baik. Pasien juga mengatakan bahwa anaknya rutin menengoknya setiap hari dan membelikannya makan. Keluarga pasien juga memperhatikan kondisi kesehatan pasien.
3.9
Pola Manajemen dan Koping Stress :pasien mengatakan sering jalan-jalan sebentar keluar rumah untuk relaksasi, seperti menjemur pakaian dan hanya sekedar jalan (namun tidak terlalu jauh, hanya di sekitar rumah saja)
3.10 Sistem Nilai dan Keyakinan : pasien memiliki nilai dan keyakinan yang baik dengan identifikasi pasien tetap melakukan ibadah walaupun dengan cara berbaring 3.11 Riwayat Pengobatan Pasien pernah mengalami jatuh dikamarnya saat bangun tidur kemudian dibawa ke rumah sakit di daerah jember
Analisa data No. 1.
Data Penunjang Ds:
Etiologi
Masalah
Kelemahan fisik
Inkontinensia
Pasien mengatakan tidak dapat merasakan sensasi ingin harus
BAK,
sehingga
Melemahnya neuromuskular
menggunakan
popok
Melemahnya sensasi
Do: Pasien
urinarius dorongan
BAK terlihat
menggunakan popok
Menurunnya
kemampuan menahan keluarnya urine 2.
DS: -
Usia >80 tahun
Pasien
Sindrom lansia lemah
mengatakan
membutuhkan bantuan untuk dapat Mengalami penurunan duduk
dari
posisi
kekuatan otot
berbaring -
Pasien
mengatakan
terkadang
merasa
Kelemahan
takut akan kematian dan
merasa
karena
sedih merasa
kesedihan
waktunya kurang DO: -
Pasien membutuhkan tongkat/kruk
untuk
berpindah -
Usia 89 tahun
-
Pasien tampak lemah
-
Pasien
mengalami
penurunan
kekuatan
otot Ds:
Penurunan indra
Pasien
mengatakan
penglihatan
dan
penglihatan dan pendengaran
pendengarannya mengalami
penurunan
fungsi
Kelemahan fisik
Do: Pasien terlihat memakai kruk
saat
berpindah
Resiko jatuh
Resiko Cedera
tempat
meningkat
Ds:
Adanya gangguan
Pasien
mengatakan
mengalami waktu
gangguan
tidur,
interval
lebih setiap 2 jam
eksternal di lingkungan pasien
sering
terbangun di malam hari dalam
Gangguan pola tidur
kurang
Pasien sensitif terhadap perubahan lingkungan saat tidur
Pasien mudah terbangun
Diagnosa Keperawatan: 1. Inkontinensia urinarius dorongan b.d kelemahan struktur panggul d.d sensasi ingin berkemih, berkemih sebelum mencapai toilet 2. Sindrom lansia lemah b.d penurunan kekuatan otot d.d penggunaan alat bantu untuk berpindah, mudah letih dan lemah, pasien merasakan kesedihan. 3. Resiko cedera b.d difungfungsi integritas sensori 4. Gangguan pola tidur b.d gangguan lingkungan eksternal d.d tidak dapat mempertahankan tidur, mudah terbangun setiap 2 jam.
Intervensi Keperawatan No.
Diagnosa Keperawatan
1
Inkontinensia urinarius Tujuan dorongan
ingin
NIC Perawatan Inkontinensia Urine
b.d Diharapkan dalam 7x24 gangguan eliminasi urine
kelemahan panggul
NOC
1. Identifikasi faktor penyebab
struktur pasien dapat teratasi d.d
inkontinensia pada pasien
sensasi Kriteria hasil
2. Monitor eliminasi urin, meliputi
berkemih, Kontinensia urine
berkemih mencapai toilet
sebelum
frekuensi, konsistensi, bau, volume
Kriteria
1
2
3
4
dan warna urine
5 *
Mengenali keinginan
3. Modifikasi pakaian dan lingkungan untuk mempermudah akses ke toilet
untuk berkemih Respon
berkemih
4. Bersihkan kuliat sekitar are genetalia
*
secara teratur
sudah tepat waktu Memulai
dan
*
urine
kantong sepenuhnya
kemih
Batasi intake cairan 2-3 jam sebelum tidur
menghentikan aliran
Mengosongkan
5.
*
TTD
Bisa
menggunakan
*
toilet sendiri Keterangan: 1: Sangat terganggu 2: Banyak terganggu 3: Cukup terganggu 4: Sedikit terganggu 5: Tidak terganggu 2.
Sindrom Lansia Lemah
Tujuan:
Peningkatan latihan
b.d penurunan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, integritas
1. dukung ungkapan perasaan mengenai
kekuatan otot d.d
hidup pasien dapat meningkat
latihan atau kebutuhan untuk melakukan
penggunaan alat bantu
KH:
latihan
untuk berpindah,
1. Ikut serta dalam latihan untuk meningkatkan
2. informasikan individu mengenai
mudah letih dan lemah,
kekuatan secara optimal
manfaat kesehatan dan efek fisiologi
pasien merasakan
2. Kekuatan otot dapat dioptimalkan
latihan
kesedihan
3. Menyatakan penerimaan terhadap situasi
3. bantu pasien untuk meningkatkan motivasi diri dan penguatan Dukungan emosional 1. dorong pasien untuk mengekspresikan
perasaan cemas, marah, atau sedih 2. Fasilitasi pasien untuk mengidentifikasi pola respon yang biasanya dipakai ketika menghadapi rasa takut. Penghargaan 1. berikan umpan balik positif untuk mendorong dan memperatankan perilaku baru 2. berikan motivasi 3
Resiko cedera b.d
Tujuan
Terapi latihan: ambulasi
menurunnya
Diharapkan dalam 3x24 resiko cedera pasien dapat
1. Bantu pasien untuk menggunakan alas
penglihatan dan
teratasi
kaki yang memfasilitasi pasien untuk
pendengaran pasien.
Kriteria hasil
berjalan dan mencegah cedera
Kontrol resiko
2. Sediakan tempat tidur berketinggian
Kriteria Mengenali
1 faktor
2
3
4 *
resiko individu
rendah, yang sesuai 3. Bantu pasien untuk berpindah, sesuai kebutuhan
resiko individu Memonitor
5
faktor
*
4. Terapkan/sediakan alat bantu untuk ambulasi, jika pasien tidak stabil
Mengenali
faktor
5. Monitor penggunaan kruk pasien atau
*
alat bantu berjalan lainnya.
resiko di lingkungan Mengembangkan
*
6.
batas aman
strategi yang efektif dalam
Dorong pasien independen dalam
mengontrol
resiko Berkomitmen strategi
akan
*
kontrol
resiko Keterangan: 1: Tidak pernah menunjukkan 2: Jarang menunjukkan 3: Kadang-kadang menunjukkan 4: Sering menunjukkan 5: Secara konsisten menunjukkan 4.
Gangguan pola tidur
Tujuan
Terapi relaksasi
b.d gangguan
Diharapkan dalam 3x24 gangguan pola tidur pasien
lingkungan eksternal
dapat teratasi
intervensi relaksasi yang dipilih
d.d tidak dapat
Kriteria hasil
2. Dorong klien untuk mengambil
1. Berikan deskripsi detail terkait
mempertahankan tidur,
Tidur
posisi yang nyaman dengan pakaian
mudah terbangun setiap
Kriteria
2 jam.
Kualitas tidur
*
Pola tidur
*
(misalnya, dengan meminta saran
*
perubahan)
Perasaan
1
2
3
segar
4
5
3. Spesifikkan isi intervensi relaksasi
4. Minta klien untuk rileks dan
setelah tidur
merasakan sensasi yang terjadi
Keterangan:
5. Tunjukkan dan praktikkan teknik
1: Sangat terganggu
relaksasi pada klien
2: Banyak terganggu
6. Antisipasi kebutuhan penggunaan
3: Cukup terganggu
relaksasi
4: Sedikit terganggu 5: Tidak terganggu Kriteria Kesulitan
1
2
3
4
memulai
Tidur yang terputus
1: Berat
5 *
tidur
Keterangan:
longgar dan mata tertutup
*
2: Cukup berat 3: Sedang 4: Ringan 5: Tidak ada
DAFTAR PUSTAKA
Alodokter. 2017. Inkontinensia Urin. https://www.alodokter.com/inkontinensiaurine (diakses pada 22 Maret 2019) Anderson, S. 2019. Kegel exercise: A visual manual of kegel exercise, tips, benifits for men and woman, and how to master the techniques perfectly for a huge result. PublishDrive Buku ajar Boedhi–Darmojo Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ) Balai penerbit UI. https://id.pdfcoke.com/doc/198771799/Penatalaksanaan-DanPencegahan-Inkontinensia-Urine Dewi, S.R. 2015. Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 1. Yogyakarta: Deepublis Fatmawati, T.Y. dan Agustina. 2017. The Effect of Health Education Toward Knowledge of The Elderly in Management Risk Of Urinary Incontinence. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi. 7(2) : 100-107 Gurusinga, R. Dan E.B. Sembiring. 2018. Difference Urinary Inkontinance Before and After Conducted Massage, Kegel Exercise in Elderly Patients at Public Hospitals Sembiring Deli Tua. 1(1): 26-31 Hartini, T., E.B.S. Bharaty., dan T. Sulastri. 2018. The Influence og Kegel Exercise on Urine Incontinension Reduction in Elderly. Asian Journal of Applied Sciences. 6(5): 386-389 Juananda, D. Dan D. Febriantara. 2017. Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Wedha Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu. 20-24 MayoClinic. 2017. Urinary Incontinence. https://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/urinary-incontinence/symptoms-causes/syc-20352808(diakses pada 22 Maret 2019) Miller, C.A. (2012). Nursing For Wellness in older adult: theory and practice. Philadelphie: Lippincott Williams & Wilkin Moa, H.M., S. Milwati., dan Sulasmini. 2017. Pengaruh Bladder Training Terhadap Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia Desa Sumberdem Kecamatan Wonosari Malang. Nursing News. 2(2): 514-423
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC. NHS
Choise UK. 2016. Urinary Incontinence.https://www.nhs.uk/conditions/urinary-incontinence/ (diakses pada 22 Maret 2019)
Novera, M. 2017. Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi BAK pada Lansia dengan Inkontinensia Urine. Jurnal Ipteks Terapan. 11(3): 240-245 Nuari, N.A. dan D. Widayati. 2017. Gangguan pda Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish. Ozcan, M. Dan S. Kapucu. 2015. Asssessing Information on Kegel Exercises Provided to Elderly Woman with Urinary Incontinence. Journal of The Indian Academy of Geriatrics. 11 : 165-170 Sunaryo, et.al. 2015. Asuhan keperawatan gerontik. Yogyakarta: ANDI Urology
Care Foundation. 2018. Urinary Incontinence.https://www.urologyhealth.org/urologic-conditions/stressurinary-incontinence-(sui) (diakses pada 22 Maret 2019)
1. Pengkajian Fungsional Klien a. KATZ Indeks b. Modifikasi dari bartel indeks No
Kriteria
1
Dengan Bantuan
Mandiri
Keterangan
Makan
10
2
Minum
10
3
15
6
Berpindah dari satu tempat ketempat lain Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut, gosok gigi). Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka tubuh, meyiram) Mandi
Frekuensi: 2 kali sehari Jumlah: 6 sendok makan Frekuensi: tidak terkaji (Minum ketika haus) Jumlah: ½ gelas ukuran 300 ml Jenis: air putih Mandiri
7
Jalan dipermukaan datar
10
8 9
Naik turun tangga Mengenakan pakaian
10
Kontrol Bowel (BAB)
10
11
Kontrol Bladder (BAK)
10
12 13
Olah raga/ latihan 0 Rekreasi/ pemanfaatan waktu 0 luang
4 5
5 5
15
0
Keterangan: a. 130
: mandiri
b. 65-125 : ketergantungan sebagian c. 60
: ketergantungan total
10
Frekuensi: 2 kali sehari Frekuensi: 3 kali sehari Frekuensi: 2 kali sehari Frekuensi: 6 kali sehari Frekuensi: Frekuensi: 2 kali sehari Frekuensi: 2 kali sehari Frekuensi: tidak terkaji (Pasien menggunakan popok) Jenis: Jenis: -
Setelah dikaji didapatkan skor : 130 yang termasuk dalam kategori mandiri 2. Pengkajian Status Mental Gerontik a. Short Portable Status Mental Questioner (SPSMQ) Benar Salah √
No 01
Pertanyaan Tanggal berapa hari ini?
02
Hari apa sekarang?
√
03
Apa nama tempat ini?
√
04
Dimana alamat anda?
√
05
Berapa umur anda?
√
06
Kapan anda lahir?
√
07
Siapa presiden Indonesia sekarang?
√
08
Siapa presiden Indonesia sebelumnya?
09
Siapa nama ibu anda?
10
Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka baru, semua secara menurun
√
√ √
Interpretasi hasil: a. Salah 0-3: fungsi intelektual utuh b. Salah 4-5 : kerusakan intelektual ringan c. Salah 6-8 : Kerusakan intelektual sedang d. Salah 9-10: Kerusakan intelektual berat
SOP SENAM KEGEL NO DOKUMEN: -
PROSEDUR TETAP 1.
TANGGAL TERBIT: 26 November 2013
PENGERTIAN
HALAMAN:
NO. REVISI: -
2-4
DITETAPKAN OLEH: Kelompok5
Suatu latihan otot dasar panggul Puboccoccygeus (PC) atau Pelvic Floor Muscle yang digunakan untuk terapi pada seseorang yang tidak mampu mengontrol keluarnya urine.
2.
TUJUAN
a. Menguatkan otot-otot yang mengontrol aliran urine (air seni) b. Untuk
mengatasi
urgo
incontinence/inkontinensia urgensi (keinginan berkemih yang sangat kuat sehingga tidak dapat mencapai toilet tepat pada waktunya) c. Lansia dapat mengontrol berkemih d. Menghindari resiko jatuh pada lansia akibat air kencing (urine) yang tercecer. 3.
INDIKASI
Klien lansia yang mengalami permasalahan miksi dalam pengontrolan otot dasar panggulnya.
4.
KONTRAINDIKASI Klien
lansia
yang
sudah
tidak
memiliki
kemampuan mengontrol eliminasi karena akan menambah frustasi pada lansia. 5.
PERSIAPAN
a. Berikan salam, perkenalkan diri anda.
KLIEN
b. Bina hubungan saling percaya c. Jelaskan
kepada
klien
tentang
prosedur
tindakan yang akan dilakukan d. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya e. Atur posisi klien sehingga merasakan aman dan nyaman
6.
PERSIAPAN ALAT
a. Pakaian olah raga atau pakaian yang longgar b. Arloji c. Matras/Karpet/kursi d. Tape Recorder + lagu (pelengkap) e. Peralatan eliminasi jika memungkinkan f. Ruangan yang nyaman dan tenang
7.
TAHAP KERJA 1. Berisalam, perkenalkan nama dan tanggung jawab perawat. 2. Panggil klien dengan nama kesukaan klien. 3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan. 4. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya. 5. Atur posisi klien sehingga merasakan aman dan nyaman. 6. Posisikan klien duduk tegak pada kursi dengan panggul dan lutut tersokong dengan rileks (dapat pula dengan tidur terlentang di atas matras/karpet dengan lutut di tekuk) 7. Badan sedikit membungkuk dengan lengan menyangga pada paha. 8. Konsentrasikan otot dasar panggul seperti menahan buang air besar dan berkemih. 9. Rasakan kontraksi otot dasar panggung. 10. Pertahan kankontraksi sebatas kemampuan lansia (kurang lebih 10 detik). 11. Rileks, rasakan otot dasar panggul yang rileks selama kurang lebih 10 detik. 12. Kontraksikan
otot
panggul
kembali,
pastikan
otot
panggul
berkontraksi dengan benar tanpa ada kontrkasi otot perut, (misal: jangan menahan nafas) dengan meletakkan tangan pada perut lansia. 13. Rileks, rasakan kembali perbedaan saat berkontraksi dan rileks. 14. Sesekali kontraksi dipercepat dan pastikan tidak ada kontraksi otot yang lain. 15. Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada latihan awal, lakukan tiga kali pengulangan karena otot yang lemah akan mudah lelah.
16. Latih
untuk
mengkontraksikan
otot
dasar
panggul
dan
mempertahankannya sebelum dan selama aktivitas tertawa, batuk, bersin, mengangkat benda, bangun dari kursi atau tempat tidur dan jogging. 17. Target latihan ini adalah 10 kali kontraksi lambat dan 10 kali kontraksi cepat. Tiap kontraksi dipertahankan 10 hitungan. Latihan dilakukan selama 6-8 kali sehari atau setiap saat dapat melakukannya minimal selama 6 minggu, sehingga akan didapatkan hasil yang optimal dari program latihan. 18. Evaluasi respon klien. 19. Berikan reinforcement positif. 20. Lakukan kontrak untuk latihan atau exercise selanjutnya. 21. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik. 8.
HASIL: a. Lansia mampu mengontrol berkemih. b. Lansia tidak beresiko jatuh akibat air kecing yang tercecer.
9.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN a. Tekankan bahwa senam ini merupakan latihan otot dasar panggul secara aktif. b. Senam kegel dapat dilakukan pada saat lansia berkemih yaitu dengan cara menghentikan aliran air seni sampai beberapa kali. c. Senam kegel dapat dilakukan dalam posisi apapun, yaitu coba untuk mengkontraksikan otot dasar panggul dengan merasakan peningkatan kekuatan otot sambil menghitung 1-10 kemudian rileks kembali.
LAMPIRAN III. FORM PENILAIAN TUGAS MAKALAH
No
Komponen
Bobot
Skor 1
1
Pendahuluan berisi
alasan
(latar
2
Nilai 3
4
5
belakang 15
pemilihan
dan
kepentingan) 2
Isi (sesuai dengan topik dan judul, 30 analisis aplikasi dalam praktik keperawatan)
3
Pembahasan menggunakan teori 25 dan konsep yang relevan
4
Kesimpulan dan saran relevan 15 dengan isi dan judul makalah
5
Referensi yang digunakan dan 15 tehnik penulisan Jumlah
100
Jember, ................................... 2019 Pembimbing,
(................................................) NIP.
Ket
LAMPIRAN IV. FORM PENILAIAN PRESENTASI
No
Komponen
Bobot
Skor 1
1
Penggunaan waktu presentasi
10
2
Penggunaan bahasa
5
3
Penguasaan situasi/lingkungan
5
4
Respons terhadap pertanyaan 10
2
Nilai 3
4
5
dan penguasaan emosi 5
Sistematika dan rasionalitas 20 penyampaian jawaban
6
Penggunaan AVA
10
7
Penyampaian ide-ide
10
8
Kemampuan
menanggapi 20
secara teoritis/konseptual 9
Kemampuan menyampaikan
10
Jumlah
100
Jember, ................................... 2019 Pembimbing,
(................................................) NIP.
Ket