Ilmu Pendidikan

  • Uploaded by: Ahmed Babay
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ilmu Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 2,966
  • Pages: 13
Taksonomi of education Benjamin S Bloom Suatu teori pendidikan yang tersusun berbagai domain,setiap domain itu dibagi kembali kedalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarki. Taksonomi Bloom terdiri dari 3 domain: 1. Domain kognitif : lebih berdasar kepada perilaku-perilaku yang berdasarkan pada intelektualitas.mencakup: • Pengetahuan (knowledge) • Pemahaman (comprehension) • Aplikasi (application) • Analisis (analysis) • Sintesis (synthesis) • Evaluasi (evaluation) 2. Domain afektif: lebih berdasar kepada perasaan dan emosi. Mencakup: • Penerimaan(receiving) • Tanggapan (responding) • Penghargaan (vauling) • Pengorganisasian(organization) • Karakterisasi berdasarkan nilai-nilai(characterization by value or value complek) 3. Domain psikomotor: lebih berdasar kepada personal skill/kemampuan fisik seseorang • Persepsi (perception) • Kesiapan(set) Teori taksonomi ini penting dikarenakan •

Menciptakan suatu perencanaan belajar yang aktif,efektif dan kreatif bagi siswa



Untuk mengetahui perkembangan siswa dalam belajar.



Mengevaluasikan efektivitas pembelajaran



mengembangkan kerangka klasifikasi untuk menulis tujuan pendidikan

Dampak negative apabila pendidik/sekolah tidak menyadari teori Bloom •

Tidak akan bisa melihat keseluruhan dari siswa yang berupa kognitif,afektif, psikomotor.



Tidak bisa mengembangkan kerangka klasifikasi untuk menulis tujuan pendidikan, dikarenakan tidak mengetahui hirarki tujuan pendidikan



Tidak bisa merencanakan perencanaan belajar secara sempurna dikarenakan perencanaan tidak rinci.

Mastery learning(belajar tuntas) Suatu proses belajar semua siswa sama jika diberi waktu yang cukup dan kesempatan belajar yang memadai, dimana semua siswa berbeda dalam kecepatan memahami suatu pelajaran. Asumsi dasar Mastery learning Asumsi dasar yaitu siswa tidak ada yang pintar maupun yang bodoh, jadi tidak pembedaan antar siswa yang pintar dengan yang bodoh. Yang membedakan bagaimana kecepatan antar siswa dalam memahami suatu pelajaran. Hal-hal yang meningkatkan hasil pembelajaran menurut konsep Mastery learning yang harus dilakukan pendidik/sekolah •

Perhatian Guru kesetiap murid per individu secara keseluruhan



Tidak membedakan murid yang satu dengan murid yang lain



Memberikan jam tambahan pelajaran dikarenakan untuk memberikan waktu yang cukup untuk memahami pelajaran



Jangan melanjutkan ke materi lain jika materi sebelum siswa memahami materi itu



Memberikan kebebasan waktu dalam mengumpulkan tugas/mengerjakan tugas dikarenakan setiap siswa dalam memahami berbeda

Hal-hal yang jangan

dilakukan oleh para pendidik/sekolah untuk meningkatkan hasil pembelajaran

menurut konsep mastery learning •

Guru jangan memperhatikan

satu siswa saja/ memperhatikan siswa yang cerdas tapi harus

memperhatikan seluruh siswa •

Jangan mengejar materi apabila materi sebelumnya belum tuntas



Menekan siswa untuk mengerjakan tugas/ mengumpulkan tugas tepat waktu

Ralph W Tyler Buku laid out deceptively-struktur sederhana untuk mengevaluasi dan memberikan instruksi yang terdiri dari empat bagian yang kemudian dikenal sebagai Tyler alasan: 1.

Apa tujuan pendidikan sekolah harus berusaha untuk mencapai? ((Mendefinisikan sesuai tujuan belajar.)

2. Bagaimana pengalaman belajar dapat dipilih yang mungkin berguna dalam mencapai tujuan? (Memperkenalkan berguna pengalaman belajar.) 3. Bagaimana pengalaman belajar efektif untuk diorganisir instruksi? (Mengorganisir pengalaman untuk memaksimalkan pengaruh mereka.) 4. Bagaimana efektivitas belajar pengalaman dievaluasi (Mengevaluasi proses revisi dan daerah-daerah yang tidak efektif.) Dari buku ini bisa diambil kesimpulan Teori Ralph W TYLER tentang tahap-tahap pengembagan kurikulum dan pembelajaran •

Learning objectives: setiap kegiatan yang harus mempunya tujuan yang akan dicapai



Learning experiences: apa-apa yang harus dipersiapkan dalam setiap kegiatan



Organization of experiences: hal-hal yang harus didahulukan/ terorganisasinya kegiatan



Evalutions: evaluasi dari semua kegiatan. Tujuan menurut Ralph w tyler harus dirumuskan jelas dan spesifik karena Menggunakan

Tujuan untuk merencanakan kegiatan belajar-mengajar

untuk beberapa banyak, baik yang

dinyatakan tujuan menyiratkan jenis kegiatan belajar-mengajar yang akan sesuai untuk mencapai mereka. faktor apa yang mungkin muncul menjadi jelas hubungan antara tujuan dan kegiatan yang setiap aktivitas instruksional memiliki beberapa tujuan tujuan pengaturan proses adalah beberapa waktu s dilihat sebagai satu-ke-satu hubungan antara berbagai tingkat tujuan dan tingkat

kegiatan sekolah. Sementara rantai serupa yang terkait adalah tujuan dasar untuk

kurikulum suara perencanaan, pengembang tidak boleh menganggap bahwa kesederhanaan sepenuhnya mewakili realitas sekolah. Ketika seorang guru yang terlibat dalam mengajar membaca ia juga harus sadar dan mengajar menuju tujuan-tujuan lain: kemampuan berpikir, pengetahuan manusia prestasi, hubungan dengan yang lain, konsep diri positif, dan seterusnya.

Evaluasi harus mengacu pada tujuan karena evaluasi digunakan untuk menentukan keberhasilan/kegagalan kompetensi dasar yang merupakan indikator dari tujuan ,sebenarnya mereka diharapkan untuk memenuhi kriteria: kejelasan dan pentingnya. Para pendidik, masyarakat, dan isi yang ahli meninjau tujuan akan ditanya, "Anda memahami apa tujuan ini berarti? Penting adalah bagaimana para siswa yang belajar di sekolah ini? "Tujuan yang jelas dan sering dianggap penting walaupun mereka dinyatakan dan hanya sebentar. Bila sasaran telah diidentifikasi, penilaian nasional anggota staf atau konsultan mengembangkan latihan dirancang agar definisi operasional yang ditujukan hasilnya. Ketentuan, standar kinerja dan sebagainya ditetapkan untuk latihan, bukan untuk tujuan. Menetapkan tujuan yang sulit karena membutuhkan assembling dan beratnya semua faktor yang harus diperhatikan dalam memilih yang relatif sedikit, namun penting tujuan yang dapat dicapai dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang tersedia untuk sekolah. kebutuhan dan kesempatan masyarakat, kebutuhan siswa, sumber daya dari beasiswa, nilai demokrasi dan kondisi yang diperlukan untuk belajar efektif harus dianggap. John Dewey Hal-hal yang harus dilakukan dalam pendidikan menurut john dewey 1. Pendidikan terfokus pada anak 2. Hands on learning: menyediakan belajar dengan melakukan - membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan di luar buku dan pengajaran didalam kelas. Belajar dapat terjadi melalui bekerja, bermain dan pengalaman hidup lainnya. 3. Project based learning: semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap pelajar berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek. 4. Pembelajaran langsung 5. Tujuan pembelajaran untuk menciptakan kemampuan menyelesaikan masalah dengan kreatif Hal-hal yang jangan dilakukan dalam pendidikan menurut john dewey 1. Otoriter 2. Pembelajaran yang terlalu kaku

3. Terpaksaan murid 4. Pengetahuan baku

Menurut saya, pembelajaran yang alami/saksikan tidak menerapkan teori John dewey karena pendidikan john dewey berdasarkan minat siswa, sedangkan pendidikan yang saya saksikan dan yang saya alami tidak berdasarkan minat siswa, misalnya pendidikan berdasarkan minat siswa berarti ada yang nama penjurusan kelas yang berdasarkan minat siswa yng berlaku dari jenjang Sd,Smp dan Sma, sedangkan di Indonesia itu penjurusan kelas itu hanya di SMA saja. John Piaget C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu : 1. kematangan 2. pengalaman fisik / lingkungan 3. transmisi social 4. equilibrium Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis : 1. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun ; 2. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun ; 3. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun ; 4. tahap Operasi Formal : 11 keatas.

Sebaran umur pada seiap tahap ersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an. a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage) Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra) Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dll. Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya. b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage) Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer, 1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan

(conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan. Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja. c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage) Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan bendabenda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Smith (1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?” , anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang. Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud). d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage) Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang

abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbolsimbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini : Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api. Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi. Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127) Kesimpulan pada tahap ini adalah : Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.

Cara-cara dalam mengembangkan pendidikan Tk dan SD menurut teori jean piaget Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar. Persiapan belajar membaca mempunyai tiga unsur pokok. Yaitu minat untuk membaca, kemampuan membedakan secara visual (bentuk, warna, ukuran) dan kemampuan membedakan suara-suara. Untuk memupuk minat baca si kecil, orangtua bisa melatihnya dengan memberikan dan membacakan buku-buku cerita dengan gambar yang menarik. Berorientasi pada Kebutuhan Anak Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional. Belajar melalui bermain Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya.

Lingkungan yang kondusif Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. Menggunakan pembelajaran terpadu Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak. . Mengembangkan berbagai kecakapan hidup Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri dan bertanggungjawab serta memiliki disiplin diri. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahanbahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru. Dilaksanakan secara bertahap dan berulang –ulang Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya guru menyajikan kegiatan–kegiatan yang berulang-ulang.

Paulo Freire TUJUAN akhir setiap manusia sejatinya adalah humanisasi atau menjadi lebih humanis. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia senantiasa menggali potensinya dengan suatu proses kontinyu yang dinamakan dengan belajar. Sayangnya proses tersebut selalu disederhanakan dengan sekolah dari SD dan akan berhenti setelah sarjana. Slogan belajar sepanjang hayat telah berubah menjadi belajar sampai sarjana. Maka tidak mengherankan jika setiap individu berpacu untuk sekolah yang tinggi dengan harapan mampu menjadi manusia yang humanis. Tanpa kita sadari sesungguhnya pendidikan yang terbatas pada ruang segi empat yang kita namakan kelas itu telah mereduksi sisi kemanusiaan kita (dehumanisasi). Pendidikan telah menjadi arena pemaksaan untuk mempelajari konsep-konsep ilmu yang begitu banyak, yang mungkin sudah usang, dan tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan peserta didik. Pendidikan

hanya

menjadikan

individu-individu

untuk

beradaptasi

dengan

lingkungannya, bukannya merubah realitas yang ada. Maka tidaklah mengherankan jika kita seringkali mendengar istilah: sulit menjadi orang baik di lingkungan tidak baik. Hal ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa ada keengganan untuk mengubah keadaan yang ada (sistem), tetapi sebisa mungkin menyesuaikan dengan sistem yang ada. Jika hal ini berjalan terus-menerus maka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi cita-cita yang menggantung di langit, utopis, dan tidak pernah tercapai. Paulo Freire, paedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses konsientisasi. Konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik dan merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem. Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Pendidikan kritis tidak mungkin atau susah direalisasikan jika guru sebagai ujung tombak pembelajaran tidak memahami hakikat pendidikan kritis itu sendiri.

Daya kritis guru terlanjur digadaikan dengan juklak dan juknis dari atasan dan disibukkan dengan administrasi-administrasi yang menumpuk. Realitas yang ada menggambarkan bahwa pendidikan kritis tidak mungkin segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya. Langkah pertama yang paling strategis adalah memperbaiki konsep kurikulum lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan calon guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan problem kehidupan yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator. Kecenderungan yang ada selama ini adalah terbatasnya kualitas lulusan pada kemampuan sebagai administrator, sehingga guru kurang berhasil memerankan peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik. Langkah kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari paedagogik ke andragogik. Pembelajaran yang bercorak paedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence). Di situ peserta didik diposisikan sebagai objek yang harus menuruti kemauan guru. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri. Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa di - uwongke . Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian. Langkah ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal. Kurikulum lokal yang selama ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum lokal diposisikan sebagai pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai sebuah keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap sekolah di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus konservasi terhadap keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan terhadap globalisasi yang semakin liar. Fleksibel Langkah yang terakhir adalah kemauan dari Dinas Pendidikan Nasional untuk tidak lagi memosisikan diri sebagai God Father yang dapat membatasi daya kritis sekolah-sekolah di daerah. Dinas Pendidikan Nasional harus lebih fleksibel dalam menentukan kurikulum yang berlaku. Yang sangat penting adalah mengubah bentuk kegiatan ujian menjadi evaluasi.

Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini sangat menguras tenaga dan pikiran guru dan terlebih peserta didik. Keberhasilan ujian menjadi sasaran akhir setiap peserta didik, dengan mengesampingkan aspek lainnya. Bahkan banyak sekolah yang terpaksa mengorbankan mata pelajaran

lainnya

demi

sukses

di

mata

pelajaran

yang

diujikan

secara

nasional.

Sesungguhnya evaluasi dapat dilakukan setiap saat untuk mengetahui daya serap siswa atau ketercapaian kompetensi yang dicapai, akan tetapi hasil yang dicapai bukan menjadi alat untuk memvonis lulus tidaknya siswa. Evaluasi dijadikan pijakan langkah berikutnya guna lebih baik dalam proses pembelajaran dan penyelenggaraan sekolah. Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil dan reaktif terhadap perubahan yang terusmenrus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan (11).

Related Documents


More Documents from "Dian Anggara"

Pengantar Geo 1
May 2020 20
Qasdussabiel
May 2020 12
Teori Pendidikan
May 2020 28
Pengantar Geo 2
May 2020 15