BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami sampai dari organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut. Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit,mukosa,dan sklera berubah warna menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur dan BBLR. Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi sebagai pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna layaknya bayi cukup bulan. 1 Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2 Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3
2.2 Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui 2
membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.1 Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1 Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 5,6
3
Gambar 1. Metabolism Bilirubin
4
2.3 Etiologi, Faktor Risiko, Klasifikasi 1. Etiologi Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena: a. Meningkatnya produksi bilirubin Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. b. Penurunan ekskresi bilirubin i.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) sehingga terjadi penurunan uptake dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati.
ii.
Peningkatan meningkat
sirkulasi karena
bilirubin
masih
enterohepatikus
berfungsinya
enzim
glukuronidase di usus dan belum ada nutrien. 2. Faktor Risiko 4 Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum: a. Faktor Maternal i. Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani) ii. Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) iii. Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI. b. Faktor Perinatal i. Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) ii. Infeksi (bakteri, virus, protozoa) c. Faktor Neonatus i. Prematuritas ii. Faktor genetik iii. Polisitemia 5
iv. Obat
(streptomisin,
kloramfenikol,
benzyl-alkohol,
sulfisoxazol) v. Rendahnya asupan ASI vi. Hipoglikemia vii. Hipoalbuminemia 3. Klasifikasi 4,5,6 Ada 2 macam ikterus neonatorum:
Ikterus Fisiologis 4,5,6 • Ikterus yang timbul pada hari ke 2-3 • Tidak mempunyai dasar patologis • Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak mempunyai potensi menjadi kern ikterus • Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi • Ikterus tampak jelas pada hari ke 5 dan 6 dan menghilang pada hari ke 10
Ikterus patologik Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah: 4,5,6
Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
Ikterus yang disertai oleh:
Berat lahir <2000 gram
Masa gestasi 36 minggu
6
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
Infeksi
Trauma lahir pada kepala
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB) Ikterus di katakan patologik jika pigmennya, konsentrasinya dalam serum, waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebut pada Ikterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik. Ikterus patologik dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu:8
Ikterus Prahepatik Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi seperti malaria, sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.
Ikterus Pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam 7
saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
Ikterus Hepatoseluler Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
2.4 Patofisiologi 1. Inkompalbilitas Rh Ibu dengan Rh (-) dapat terpapar dengan antigen Rh melalui 2 cara yaitu tranfusi fetomaternal dan tranfusi darah. Resiko terjadinya tranfusi fetomaternal meningkat pada abrupsi plasenta, abortus, toksemia, seksio sesaria, kehamilan ektopik, serta beberapa prosedur seperti amniosintesis dan kordosintesis. Pada paparan pertama, sebanyak 0,1mL darah Rh(+) dapat memicu terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar berupa IgG. Terjadinya sensitisasi ulang dapat memicu terbentuknya lebih banyak IgG. Akibatnya terjadi hemolisis pada darah bayi. Hemolisis besar-besaran menyebabkan tingginya pemecahan eritrosit dalam hepar, sehingga meningkatkan produksi bilirubin dalam hepar.8
2. Inkompabilitas ABO Sensitisasi maternal pada ibu dengan golongan darah O oleh antigen A dan B janin anak memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang dapat menembus plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan hemolisis. Ibu dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B berupa IgM, yang dapat menembus plasenta. Kondisi ini sering merupakan penyebab hiperbilirubinemia tetapi jarang mengakibatkan anemia yang bermakna.8
8
3. Breast feeding jaundice Breast feeding jaundice adalah icterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI . biasanya timbul hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonates cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian, keadaan ini dapat memicu terjadinya hyperbilirubinemia. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologi.12
4. Breast milk jaundice Breastmilk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh ASI. Insiden pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breastmilk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan naik kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Baik menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati yang normal, dan tidak terdapat bukti hemolysis. Breastmilk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya.12
9
2.5 Penegakan Diagnosis
Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon yaitu:7
Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus fisiologis.
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
Polisitemia
Hemolisis
perdarahan
tertutup
(perdarahan
subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis)
10
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G6PD
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi
Hipotiroidisme
“Breast milk jaundice”
Infeksi
Neonatal hepatitis
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan penyaring G6PD
Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern icterus. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut: 9
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
11
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus 9 Usia
Hari 1 Hari 2 Hari 3 dan seterusnya
Kuning terlihat pada: Bagian tubuh manapuna Lengan dan Tungkaia Tangan dan Kaki
Tingkat Keparahan Ikterus Berat
a
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.4
Tabel 2. Penegakan diagnosis icterus neonatorum berdasarkan waktu terjadinya
12
Gambar 2. Pembagian ikterus menurut Kramer4
Tabel 3. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterus menurut Kramer Daerah
Penjelasan
ikterus
Kadar bilirubin (mg/dL) Prematur
Aterm
1
Kepala dan leher
4–8
4–8
2
Dada sampai pusat
5 – 12
5 – 12
3
Pusat bagian bawah sampai lutut
7 – 15
8 – 16
13
4
Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai
9 – 18
11 – 18
> 10
> 15
pergelangan tangan 5
Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan
2.6 Penatalaksanaan 1.) Ikterus Fisiologis Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut: 4 -
Minum ASI dini dan sering
-
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
-
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan
kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning). Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO): 9
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs: o Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar. o Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
14
o Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
Mengatasi hiperbilirubinemia
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:11
bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.
bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :11 15
Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Tabel 4. Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin Bilirubin serum
<24 jam <2500
>2500
24-48 jam <2500
>2500
49-72 jam <2500
>72 jam
>2500 <2500 >2500
(mg/dL) <5
Tidak perlu terapi-observasi
5-9
Terapi sinar bila hemolisis
10-14
Transfusi tukar
Terapi sinar
bila hemolisis 15-19
Transfusi tukar
>20
Terapi sinar Transfusi tukar
Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II
Terapi suportif, antara lain : 12
Minum ASI atau pemberian ASI peras.
Infus cairan dengan dosis rumatan.
Monitoring 12
Monitoring yang dilakukan antara lain:
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.
16
Strategi Pencegahan 4 Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi. Pencegahan Sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
2.7 Komplikasi Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus. Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu. Gambaran klinis kern icterus antara lain:1
17
Bentuk akut :
Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis, demam.
Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
Bentuk kronis :
Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor), gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: 1
Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
Penilaian berkala pendengaran
Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
18
BAB III KESIMPULAN
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena meningkatnya produksi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa
cara berikut minum ASI dini dan sering, terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO, pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia: WB Saunders Company. 2. Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada bayi Ny “D” dengan Ikterik grade IV. Padang: Poltekes Depkes. 3. Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes. 4. Sudigdo dkk. 2004.
Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: HTA
Indonesia. 5. Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI 6. Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes. 7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. ”Perinatologi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 8. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 114:297-316. 9. WHO. 2003. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research. Geneva: World Health Organization. 10. Martin CR, Cloherty JP. 2004. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 11. Hamid, H.A. 2000. “Ikterus Neonatorum”, dalam: Suraatmaja, S., Soetjiningsih (eds), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II, Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah. 20
12. Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal.296300, 61-63.dan hal 170-187 13. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-663. 14. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page was
last
modified
20th,
June
2011.
Page
available
at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247 15. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph ’s Pediatrics, Buku Ajar Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta : EGC, 2006, hal 601-610. 16. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October 2009.
Page
available
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
21
at