HUKUM PERJANJIAN SYARIAH PENGERTIAN PERJANJIAN Dalam Al-qur’an, setidaknya terdapat 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata akad (al-aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu). Kata akad secara etimologis berarti perjanjian, perikatan, dan pemufakatan. Sedangkan al-ahdu, secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat kepada para pihak yang melakukan perikatan. Rumusan akad di atas merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Dan diwujudkan ke dalam 3 (tiga) hal: 1. Ijab dan qobul Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qubul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Dan diharapkan adanya sukarela timbal-balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh (2) dua belah pihak. 2. Sesuai dengan kehendak syariat Artinya bahwa seluh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, baik dari objek perjanjian, aktivitas yang dilakukan, dan tujuan diangkap sah apabila sesuai dengan ketentuan hukum Islam. 3. Adanya akibat hukum pada objek perikatan Yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan kepada pihak lain, atau pengalihan kemenfaatan. Adapun definisi lain yang memberi gambaran lebih luas cakupan dari pada akad tersebut, termasuk segala tindakan orang yang berkehendak kuat dalam hati, sekalipun dilakukan secara sepihak, dianggap sebagai akad, seperti wakaf, hibah dan sebagainya. ASAS-ASAS PERJANJIAN SYARIAH
Dalam hukum Islam terdapat asas-asas dari suatu perjanjian dan bepengaruh pada status akad dan apabila asas tersebut tidak terpenuhi akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perikatan/perjanjian. Adapun asas-asas tersebut adalah sebagi berikut: 1. Al-Hurriyah (Kebebasan) Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum Islam dan merupakan prinsip dasar pula dari hukum perjanjian, yaitu pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, baik dari segi yang diperjanjikan (objek perjanjian) maupun menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa. 2. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan) Asas ini berlandaskan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan lainnya. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan atau kesamaan. 3. Al-Adalah (Keadilan) Pelaksanaan asas ini di dalam akad, di mana para pihak yangb melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya. 4. Al-Ridha (Kerelaan) Asas ini mejelasakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antra masing-masing pihak. 5. Ash-Shidq (Kejujuran) Asas kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. 6. Al-Kitabah (Tulisan) Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 282-283. Akad harus menjadikan kebaikan kepada dua pihak. Maka akad itu harus dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan perjanjian) agar tidak terjadi kecurigaan antara kedua belah pihak. Di samping itu juga diperlukan adanya saksi-saksi (syahadah). PERANGKAT HUKUM PERJANJIAN
Perangkat hukum perjajian dalam syariah Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat dari suatu akad. Adapun rukun adalah unsur mutlak yang harus ada dalam sesautu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad yang utama adanya ijab dan qobul. Adapun syaratnya ada yang menyangkut rukun akad, menyangkut objeknya, menyangkut subjeknya. 1. Rukun Akad Pendapat jumhur Ulama sepakat bahwa ijab dan qobul merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah perjanjian. Namun, terdapat unsur-unsur lain yang juga penting dan termasuk dalam rukun akad. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikat diri) Unsur ini adalah cara bagaimana pernyataan diri itu dilakukan, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk ijab dan qobul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qobul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimannya. Para ulama mensyaratkan ada tiga 3 (tiga) hal: 1. Tujuannya harus jelas dan dapat dipahami jenis akadnya 2. Antara ijab dan qobul terdapat kesesuaian 3. Mengacu kepada kehendak masing-masing sehingga tidak ada keraguan Akan tetapi ada akad-akad tertentu yang sempurna apabila telah dilakukan serah terima objek akad dan tidak cukup hanya dengan ijab dan qobul. Akad seperti ini disebut al‘uqud al-‘ainiyyah. Dan akad seperti ini ada (5) macam, yaitu: 1. Al-Hibah (Hibah) 2. Al-‘ariyah (pinjam-meminjam) 3. Al-wadi’ah (penitipan barang) 4. Al-qiradh (pemberian modal) 5. Ar-rahn (jaminan utang)
b. Al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqd (Objek akad) Objek dalam akad adalah barang yang diakadkan, sesuai denga tujuannya. Seperti harga dalam jual beli, barang gadai dalam menggadai, manfaat yang disewa dalam sewa-menyewa, pedagang/pengusaha dan hasil yang akad diperoleh dalam perjanjian bagi hasil. Akad dapat dipandang sah, sebagai objeknya memerlukan syarat sebagai berikut: 1. Ada objek (barang) pada waktu akad diadakan 2. Dibenarkan oleh syara/nash dalam arti kata bukan barang haram dan najis 3. Dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak 4. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
c. Al-muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad) Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, menurut para ulama kecakapan orang yang melakukan akad terbagi menjadi (2) pokok, yaitu: 1. Ahliyatul Ada: layak dengan sendirinya melakukan akad untuk menerima hak dan kewajiban. 2. Awaridul Ahliyah: kewenangan perwalian yang mempunyai kecakapan sempurna. Syarat-syarat perwalian: 1. Mempunyai kecakapan untuk menjalankan tugas secara sempurna. 2. Persamaan pandangan (agama) antara wali dan yang mewakili. 3. Memiliki keteguhan dalam menjalankan agama 4. Dapat dipercaya 5. Menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya
d. Maudhu al-‘aqd (tujuan akad) Tujuan akad merupakan salah satu bidan penting dalam proses perjanjian atau syarat akad. Agar tujuan akad ini dianggap sah maka harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:
1. Ada pada saat akad diadakan 2. Adanya berlangsung hingga berakhirnya pelaksana akad 3. Harus dibenarkan syara’ PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERJANJIAN SYARIAH DALAM MEMBUAT PERJANJIAN Menurut hukum Islam, hal-hal yang harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan di dalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut: 1. Pihak yang membuat perjanjian a. Harus cakap melakukan perbuatan hukum b. Identitas dan kedudukannya para pihak di dalam perjanjian harus jelas c. Tempat perjanjian seyogyanya harus jelas disebut dalam akad 2. Tujuan dan Objek akad a. Disebutkan secara jelas tujuan akad tersebut b. Diberi kebebasan dalam menetukan objek akad c. Tidak menentukan suatu objek yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam 3. Adanya kesepakatan a. Waktu perjanjian b. Bermula atau berakhirnya perjanjian c. Jangka waktu angsuran dan berakhirnya d. Jumlah dana yang dibutuhkan e. Nisbah atau margin yang disepakati, biaya yang diperlukan dan yang memerlukan biaya lain-lain f. Mekanisme kerja, disepakati sejauh mana kebolehan melakukan operasional, pengawasan dan penilaian terhadap suatu usaha g. Jaminan, kedudukan jaminan, seberapa besar jumlah kegunaan jaminan tersebut h. Penyelesaian, bila terjadi perselisihan dan cara penyelesaiannya i.
Objek yang diperjanjikan dan cara pelaksanaanya
PERJANJIAN DALAM OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH Dalam SK DIR/BI Nomor 23/1999 tentang perbankan syariah bahwa produk/usaha yang dapat dilakukan di antaranya: Wadi’ah, Mudharabah, dan Murabahah, Ijarah, dan lain-lain.
1. Wadi’ah Wadi’ah adalah titipa murni nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja menghendakinya, wadi’ah ini merupakan bentuk produk untuk penghimpunan dana dalam bentuk giro. Dan konsekuensi prinsip wadhi’ah yad dhamanah adalah semua keuntungan dan kerugian adalah milik bank; tidak dilarang bank memberikan insentif berupa “bonus” dengan syarat, tidak disyaratkan sebelumnya; dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau presentase di depan, tetapi atas kebijakan direksi. Berdasarkan prinsip wadi’ah maka dalam aplikasi perjanjian antara bank dan nasabah pihak bank tidak dapat menentukan bonus yang akan diterima nasabah, begitu juga dengan nasabah tidak dapat menuntut untuk mendapatkan bonus dalam jumlah tertentu pada saat akad dibuat. 2. Mudharabah Mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama keuntungan yang diperoleh dibagi diantara keduannya dengan perbandingan nisbah yang disepakati sebelumnya. Prinsip mudharabah ini, dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah baik dalam bentuk tabungan atau deposito. Dan juga untuk melakukan pembiayaan. Rukun mudharabah adalah, adanya shihabul maal (modal/nasabah); mudharib (pengusaha/bank); amal (usaha/pekerjaan); hasil (bagi hasil/keuntungan); dan aqd (ijab-qobul), sedangkan syarat-syarat khususnya. Berkaitan dengan modal, maka modalnya harus dalam bentuk uang tunai atau barang yang dapat dihargakan. Dari segi keuntunngan, pembagian keuntungan antara shahibul maal
dengan
mudharib berdasarkan nisbah sesuai kesepakatan awal dan tidak dalam jumlah pasti. Nisbah bagi hasil disetujui dalam kontrak dan perbandingan bagi hasil dapat ditentukan dalam persen atau pembagian. Dari segi kerugian, kerugian finansial menjadi beban pemilik dana, sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atau usaha yang telah dilakukan. Adapun kerugian akibat slah urus atau kelalaian mudharib menjadi beban mudharib. Dalam mudhaarabah pihak mudharib dapat diberikan kuasa penuh oleh shaibul maal untuk menjalankan proyeknya tanpa larangan atau batasan yang
berkaitan dengan proyek tersebut muthlaqoh, atau shahibul maal memberikan batasan mengenai dimana, bagaimana ataub untuk tujuan apa dana tersebut diinvestasikan kepada mudharib sehingga mudharib terikat dengan waktu, tempat jenis perusahaan dan pelanggan (muqayyadah). 3. Murabahah Dalam istilah fiqh adalah jual beli atas barang tertentu, dalam transaksinya penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil. Dalam teknisnya adalah jual beli dan bank memperloleh keuntungan jual-beli yang disepakati bersama, adapun syarat-syarat lain seperti barang-barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijaksaan bank yang bersangkutan. Adapun rukun murabahah yaitu: penjual; pembeli; barang yang diperjual belikan; harga; dan ijab-qobul. Sedangkan syaratnya: sifat, jenis dan jumlahnya jelas dan tidak termasuk barang haram, keuntungan serta cara pembayarannya harus disebut dengan jelas dan dinyatakan tertulis. Dalam teknis perbankan: harga jual bank adalah harga beli dari supplier ditambah keuntungan yang disepakati bersama oleh bank.