Hukum Perkawinan Adat Persiapan.docx

  • Uploaded by: erni
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Perkawinan Adat Persiapan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,277
  • Pages: 4
Hukum Perkawinan Adat A. Pengertian Perkawinan Adat Perkawinan adat adalah Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat. B. Asas- asas Perkawinan Adat. 1. Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut : a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat. c. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat. d. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat. e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat. f. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah pihak. g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga. 2. Asas- asas perkawinan menurut UU No. 1 th 1974 Asas- asas yang terkandung dalam UU perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UU ini harus dapat mewujudkan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pancasiladan UUD 1945, dan harus dapat menampung segala yang hidup dalam masyarakat. Asas- asas ini tercantum dalam pada penjelasan umum tiga UU perkawinan. Asas- asas yang tercantum adalah : a. Bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, keduanya dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat material dan spiritual. b. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan yang berlaku. c. Perkawinan harus memenuhi administrasi dengan jalan mencatatkan diri pada kantor pencatatan yang telah ditentukan oleh perundang- undangan. d. Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat mutlak karena masih ada kemungkinan untuk beristri lebih dari seorang, bila dikehendaki olehpihak- pihak yang bersangkutan dan ajaran agamanya mengijinkan untuk itu ketentuan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang- undang.

e. Perkawinan dilakukan oleh pihak yang telah matang jiwa raganya atau telah dewasa, kematangan ini sesuai dengan tuntutan jaman di manabaru dilancarkan keluarga berencana dalam rangka pembangunan nasional. f. Memperkecil dan mempersulit perceraian. g. Kedudukan suami istri dalam kehidupan perkawinan adalah seimbang baik kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat. C. Bentuk- bentuk perkawinan adat Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu a. Perkawinan Pinang Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan. b. Perkawinan Lari Bersama Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk menghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan. c. Kawin Bawa Lari Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa. D. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat Dalam perkawinan sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan agar teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri seperti apa?. Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami. 1. System Endogamy Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental. 2. Sistem Exogami Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri. Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. 3. System Eleutherogami Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu. E. Subjek Hukum Perkawinan. Pembahasan tentang subjek hukum perkawian, pada dasarnya berarti membicrakan mengenai siapa yang boleh melangsungkan perkawinan dengan siapa. Perkataan siapa mengandung arti bahwa yang dapat melangsungkan perkawinan itu hanyalah subjek hukum yang dinamakan

pribadi kodrati. Tetapi, kiranya tidak setiap peribadi kodrati yang dapat melangsungkan perkawinan. Pribadi kodrati mana saja yang dapat diketahui, misalnya. a. Pada masyarakat Bugis-Makassar. Pada masyarakat ini, dalam hal mencari jodoh, adat menetapkan bahwa sebagai perkawinan yang ideal adalah (Muttulada 1974:267) 1. Perkawinan yang disebut assialang marola (Makassar=passialeang baji’na) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu. 2. Perkawinan yang disebut asialanna memang (Makassar: passialleanna) ialah perkawinan antara saudarah sepupu sederajat Kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu. 3. Perkawinan antara ripaddeppe’mabelae (Makassar: nipakambani bellaya) ialah perkawinan antara saudarah sepupu sederajat ketiga, juga dari kedua belah pihak. Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tarsebut diatas walaupun dianggap ideal, bukan merupakan suatu keharusan. Dengan demikian seseorang dapat saja kawin dengan gadis yang bukan saudara sepupunya. Adapun perkawinan yang dilarang kerana dianggap sumbang (salimata) adalah: a. b. c. d. e.

Perkawina antara anak dengan ibu atau ayah, Antara saudara-saudara sekandung, Anatara menantu dengan mertua, Antara paman, bibi dengan kemenakannya, dan Antara kakek dan nenek cucu-cucunya.

b. Pada masyarakat F. Perceraian dalam Hukum Adat Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si istri menjadi ninik (nenek) yaitu orang yang sudah bercucu dan becicit (Djodjodigoeno, 1957: 56). Namun idealisme yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujukan, perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat, dan putusan hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena didorong oleh kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan terjadinya perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami)- (Payug Bangun 1976: 105). Alasan-alasan terjadinya perceraian itu sangatlah bervariasi. Tetapi dari variasi itu terdapat hal yang sama, yaitu pada umumnya alasan daripada terjadinya perceraian adalah karena

a. zinah yang dilakukan oleh pihak istri. Selain alasan umum di atas juga ada alasan-alasan lain, yaitu: b. Tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal suaminya- Batak). c. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu dipertahankan lagi (Lampung). d. Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka (Aceh). Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukum adat pada umumnya dan menurut hukum Adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakukan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Menurut Mahkamah Agung maka pihak isteri dapat memintakan perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. (Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6Januari dan No. 75 K / Sip / 1963). Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang kongkrit. Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi. Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak isteri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan seterusnya.

Related Documents


More Documents from ""

Tb.docx
December 2019 35
Leaflet Tb.docx
December 2019 28
Emerintah Kota Palopo.docx
December 2019 33
Daftar Pustaka.docx
December 2019 25