Sejarah Reformasi Hukum Keluarga Islam di Turki. Ketika Imperium (Kerajaan) Utsmani masih berkuasa, Imperium memberlakukan sistem yudisial dan legal yang menggabungkan dengan syariah khususnya yuriprudensi mazhab Hanafi, dimana pengadilan diserahkan untuk menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang oleh lembaga keagamaan (religious institution) yang nyaris independen dari kekuasaan Sultan (kepala pemerintahan). Lembaga keagamaan kerapkali diidentikkan dengan lembaga pemerintah itu sendiri. Pada pucuk birokrasinya, lembaga ini dipimpin oleh seorang mufti (sheikh al-Islam). Meskipun lembaga mufti dipilih dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh seorang Sultan, namun kedudukan mufti relatif tinggi dan disegani dibandingkan sultan. Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah tanpa legitimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Dipihak lain, mufti memiliki kewenangan untuk memilih para hakim (kadi) yang mengatur pemberlakuan syariah diseluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa abad 19 bersamaan dengan lengsernya kekuasaa Utsmani, semua lembaga-lembaga keagamaa ini tidak lagi diberlakukan. Untuk sistematisasi serta kondifikasi system hukum, pada tahun 1839 dikeluarkan Dekrit Imperium –Hatt-i Syarif- sebagai pondasi bagi rezim legislatif modern. Selanjutnya mengantisipasi maraknya perdagangan, pada tahun 18501858dikeluarkan Undang-undang perdagangan dan pidana, yang sebagian rumusannya diambil dari hukum Mazhab Hanafi dan sebagian yang lain dari hukum prancis.
Kodifikasi dilakukakan bersamaa dengan gelombang modernisasi hukum dan westernisasi, seperti penetapan Majjalat al-Ahkam al-‘Adliyah Undangundang al-Ahkam al-‘Adliyah adalah Undang-undang sipil pertama yang ditetapkan di dunia Islam. Rumusan materi al-Ahkam al-‘Adliyah sebagian didasarkan pada mazhab syariah dan sebagian yang lain pada materi hukum Barat. Undang-undang ini tidak dapat memuat aturan yang berkaitan dengan hukum perseorangan. pada hukum yang terakhir ini memang seluruh materi hukumnya belum sempat direformasi dan belum juga diundang-undangkan sampai abad 20. Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah Imperium Utsmani dan melengserkan jabatan Khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian Undang-Undang Sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasi dengan Undang-Undang Sipil baru dilakukan pada tahun 1926. Sebelumnya,
untuk
kasus-kasus
yang
berkaitan
dengan
status
perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah Utsmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915, Perubahan terjadi karena tuntutan perubahan kondisi sosial yang terjadi, sekalipun usaha perselisihannya dilakukan secara bertahap. Legislasi Hukum Keluarga (1915-1917)
Pada tahun 1915, Kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) dalam mazhab Hanafi secara lokal terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalm dekrit tersebut digunakan prinsip takhayyur (elektik) dengan mengabul dari sumber dari mazhab hanbali dan Hanafi. Di dalam dua dekrit tahun 1915 tersebut, dinyatakan bahwa perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau karena penyakit yang dideritanya. Dua tahun kemudian, Imperium mengeluarkan UU tentang hukum matrimonial yang berjudul “Qanun-i Qarar Huquq al-‘ilah al-Utsmania” – hukum Utsmani yang mengatur hak-hak keluarga 1917, minus pasal mengenai waris- yang berisi 156 pasal. Penetapannyapun didorong semakin takhayyur, proses legislasiyang mulai menjadi trend pada era itu dan kemudian diperkenalkan keseluruh dunia muslimsebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga. Di Turki sendiri hukum ini hanya bertahan kurang lebih dua tahun dan secara resmi dirubah tahun 1919. Undang-Undang Sipil 1926. Pada tahun 1923, setelah konferensi perdamaian Lausenne, sebuah komisi reformasi hukum dibentuk untuk merancang draf hukum sipil komprehensif dan status persenal yang mendasarkan pada sumber-sumber Islam. Tetapi komite tersebut gagal memenuhi harapan karena perbedaan pendapat yang di latari oleh perbedaan visi dan misi antara sesama anggota komisi yang “modernis, turkish dan islamisis”. Alasan lain adalah karena waktunya bersamaan dengan
kehancuran khalifah Islam dan adanya deklarasi Turki sebagai republik. Akibatnya, pimpinan baru sibuk mengurusi pembagian wilayah bebas Imperium. Dibawah pemerintahan Mustafa Kemal Pasha, usaha kodifikasi kembali dilakukan. Hasilnya pada tahun 1924 konstitusi nasional baru ditetapkan dengan mengadopsi sistem hukum Sipil, Adopsi tersebut ditempuh karena perbedaan internal ahli-ahli hukum agama yang gagal mengusahakan UU yang didasarkan pada syariah. Sekalipun begitu adopsi hanya dilakukan terhadap pesoalan-persoalan yang sesuai dengan situasi dan kondisi Turki. misalnya UU Sipil dan UU Pidana yang diterbitkan tahun1926, yang diadopsi dari UU Kriminal Itali tahun 1889 dan UU Sipil Swiss tahun 1920. Dengan demikian UU Sipil Turki yang baru tersebut tidak sepenuhnya mengadopsi UU Sipil Swiss, melainkan hanya beberapa bagian saja. Hal ini menegaskan pernyataan bahwa “terdapat potensi dan kemungkinan yang inheren bahwa hukum islam telah dijadikan pertimbangan sebelum menetapkan UU baru”. UU Sipil Turki 1926 tersebut memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewarisan, di samping kontrak dan obligasi. Langkah ini menunjukan ketertinggalan hukum keluarga sebagai kesatuan yang didasarkan atas aagama dan penyatuannya ke dalam UU Sipil modern. Untuk mengadaptasi perundang-undangan dengan tradisi Islam Turki, dilakukan amandemen terhadap UU Sipil tahun 1926 tersebut hingga enam kali dari tahun 1933-1965. setelah hukum keluarga dan waris diamandemen serta digabungkan dengan UU.
Sipil ternyata ditemukan penyimpangan yang signifikan dari hukum islam yang ada. Secara khusus hal ini ditunjukan oleh ketetapan UU yang berhubungan dengan kekayaan matrimonial, legitimasi kewarisan dan hukum kewarisan tanpa wasiat yang diambil In toto dari UU Swiss tahun 1912 yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian hukum perkawinan dan perceraian dal UU sipil Turki tidak bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam sebagaimana yang secara liberal ditafsirkan oleh ahli hukum. Oleh karena itu, bagian dari UU ini dianggap sebagai bentuk yang dimodifikasi dari sistem Islam klasik. dan beberapa ketetapan Uuyang dianggap bertentangan dengan konsep islam tradisional, beberapa mazhab mempertimbangkannya sebagai ekses yang tidak diingikan. Untuk memperbaiki berbagai ekses yang dimaksud, dilakukan amandemen hukum setelah penetapan UU tersebut. Matei Hukum Keluarga Turki. 1. Hukum Perkawinan. a. Pertunangan (khitbah). Hukum keluarga Turki mendorong Pengadilan untuk tidak mengadakan perjanjian khusus pernikahan. Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan. Ulama Hanfiyah menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama
suka. Tidak secara ekplisit dijelaskan harus diselenggarakan secara seremonial kecuali pada pelaksanaan akad nikah yang disunnatkan untuk diekspos dengan simbol-simbol seperti umbul-umbul. Tujuan seremonial pada akad nikah agar diketahui oleh khalayak umum. Jika ada hadiah yang diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun. Lain halnya jika kegagalan tersebut disebabkan kematian salah satu pihak. Dalam kasus ini pemberian tersebut dianggap hilang. Sementara menurut Hanafiyah, hadiah-hadiah diberikan saat khitbah merupakan hibah (pemberian) dimana sang pemberi dibolehkan menarik kembali hibah tersebut kecuali materi yang diberikan telah aus atau segaja dirusak. b. Umur Pernikahan (Umr al-Zawaj, Marriage-Age). Dalam Undang-Undang Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki 17 tahun bagi perempuan. Dalm kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi lakilaki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. UU yang mengatur umur nikah ini sudah diamandemen pada tahun 1938. Saat ini (tahun 1972) dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan masih boleh mengijinkan pada usia 15 tahun bagi laki-lakidan 14 tahun bagi perempuan. Dalam Figh Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah berakal dan baligh, sebagimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi oprasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. karena itu baligh hanyalah syarat bagi
kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan. c. Orang-Orang Yang Dilarang Melakukan pernikahan (Man’ al-Zawaj, Prohibitet Degrees In Marriage). UU Turki Menginventarisir kategori hubungan yang dapat menetapkan halangan penyatuan melalui ikatan Pernikahan. Larangan itu meliputi hubungan darah dalam garis langsung hubungan laki-laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, seayah- dan juga melalui perkawinan. Pengadilan juga secara khusus mengenalkan adopsi.
Adopsi dalam
pengadilan disebut juga sebagai salah satu penghalang pernikahan, walaupun fiksi legal adopsi tidak dikenal dalam yuriprudensi islam. Dalam mazhab Hanafi konsensus tentang penyebab keharaman pernikahan disebutkan karena musaharah (ikatan pernikahan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu, pemilikan, musyrik dan pernikahan dengan orang merdeka dan hamba sahaya. Dari statemen ini dapat diketahui bahwa anak hasil adopsi tidak dapat menegaskan bahwa adopsi tidak dapat mencegah pernikahan. Pasal 121 dari UU tersebut menegaskan bahwa adopsi dapat dihenyikan oleh fakta pernikahan dan mengilustrasikan sebuah pernikahan pernah terjadi. sementara itu dua ketetapan UU tersebut berbenturan satu sama lain, yaitu posisi lgal adopsi dalam islam sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur’an. d. Poligami (Ta’addud al-Zawjat, Polygamy).
UU Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan pertama bubar karena kemataian, perceraian atau pernyataan pembatalan. Pernikahan yang kdeua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan dasar bahwa orang tersebuttelah berumah tangga saat menikah. Diperbolehkannya poligami oleh al-qur’an dalam kondisi tertentu telah dirubah secara sukarela oleh muslim Turki. alasannya sebagaimana dinyatakan oleh beberapa intelektual Turki, bahwa legislasi qur’ani mengenai persoalan ituadalah “suatu perbaikan yang besar atas poligami yang tak terbatas. pada jaman Arab pra Islam melalui cara monogami”. kondis sosial yang telah berubah di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat dilakukan. Mazhab Hanafi sebagaimana Mazhab yang lain memperbolehkan praktik poligami dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu yang desebutkan sepertimampu berbuat adil terhadadap semua isterinya, baik aspek materal maupun immaterial. e. Resepsi Pernikahan (Walimat al-Urs, Salaomnization of Marriage). UU sipil Turki menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan. Dalm figh Hanafi disebutkan bahwa secara dfinitif walimah berarti makanan pengantin atau
makanan yang dihidangkan untuk semua jamuan atau lainnya. menurut Jumhur ulama penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkad, sementara menghadiri undangan menurut Hanafiyah adalah sunnah. Pandangan Hanafi ini berbeda dengan Jumhur ulama yang mewajibkan. f. Pembatalan Pernikahan (Nullity of Marriage). Suatu pernikahan harus dibatalkan dibawah UU Sipil Turki dalam kondisi berikut : (1) Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah; (2) Salah satu pihak pada saat menikah menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain; (3) Pernikahan termasuk yang dilarang; Menurut hanafiyah, pernikahan dinaggap batal jika ada rukun atau syarat dalam pernikahan yang tidak dipenuhi, seperti pernikahan seorang anak yang belum berusia tamyiz (usia belum baligh); pernikahan dengan sighat (ungkapan ijab kabul) yang mengindikasikan untuk masa yang akan datan; pernikahan dengan salah seorang mahram; pernikahan dengan salah seorang wanita yang masih berstatus isteri orang lain; pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau sebaliknya. Konsekwensinya tidak halal disetubuhi, tidak wajib membayar mahar, nafkah dan tidak wajib taat serta tidak menetapkan hubungan musaharah. Jika kedua pasangan seperti disebutkan sempat berkumpul
(melakukan berhubungan suami isteri), hakim harus memisahkannya secara paksa dan tidak berlaku iddah bagi sang wanitanya. g. Pernikahan yang tidak sah (Voidable). Pengadilan menurut UU Turki diberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan sesuai alasa-alasan yang telah ditetapkan, yaitu (1) Bahwa pada saat nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa melekat pada kasus-kasus yang bersifat sementara; (2) bahwa salah satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau menikahi pasangannya; (3) Bahwa salah salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang diinginkan sehingga membuat kehidupan perkawinan tidak dapat ditoleriruntuk terus dilembagakan; (4) Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter dan moralnya; (5) Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia kanak-kanak;
(6)
salah
satu
pihak
dipaksa
menikah
dengan
ancaman
yang
membahayakan kehidupan, kesehatan, finansial atau membahayakan kerabat dekat. Para ulama menetapkan sepeluh (10) persyaratan bagi keabsahan suatu pernikahan, kesepuluh persyaratan tersebut sebagian disepakati dan sebagial lain diperdebatkan. Persyaratan yang dimaksud adalah : 1. Calon mempelai wanita tidak mahram (yang haram dinikahi) bagi calon mempelai laki-laki, baik dalam waktu tertentu maupun selamanya. 2. Sighat ijab kabul tidak temporal. 3. Ada dua orang saksi yang adil. 4. Pernikahan dilakukan dengan suka rela oleh kedua belah pihak atau dengan paksaan. 5. Kedua calon mempelai jelas jati dirinya. 6. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah. 7. Mempelai laki-laki dan para saksi tidak merahasiakan pernikahan. 8. Pernikahan dilakukan dengan memberikan maskawin (mahar). 9. Salah satu dari kedua calon mempelai tidak sedang sakit membahayakan.
10. Ada wali yang menikahkan. 2. Perceraian dan Pemisahan (Divorce and Separation). Menurut UU Turki ada 6 hal yang diperbolehkan suami isteri menuntut pengadiln mengeluarkan dekrit perceraian, dengan catatan meskipun dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh memberikan pemilihan yudiasial jika rekonsiliasi di antara pasangan memungkinkan. Jika pemilihan yudisian diberikan dan tiadak ada rekonsiliasi yang terjai di antara keduanya sampai berakhir priode yang diberikan salah satu pihak boleh meminta cerai. Keenam hal tersebut adalah : 1. Salah satu pihak telah memutuskan. 2. Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain. 3. Salah satu pihak telah melakukan tindakan kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir untuk dilanjutkan. 4. Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan. 5. Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam priode sekurang-kurangnya 3 bulan. 6. Hubungan suami isteri sedmikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir.
Pada dasarnya talak adalah hak suami, tetapi menurut Hanafiyah talak dapat jatuh dari pihak selain suami dengan izinnya, yakni dengan cara memasrahkan, mewakili atau lewat surat. Selanjutnya dijelaskan bahwa keharusan cerai didasarkan pada : (1)
Penolakan seorang isteri masuk Islam setelah suami sebelumnya
non-muslim masuk Islam; (2)
Jika salah seorang dari pasangan suami isteri murtad;
(3)
Jika kedua betempat tinggal didua daerah yang berbeda, daerah
muslim dan daerah non-muslim; (4)
Jika salah satu belum cukup umur, atau mengidap penyakit, atau
secara fisik tidak sempurna sehingga dapat mengganggu hubungan suami isteri; (5)
Jika salah satu diketahui statusnya sebagai budak (hamba sahaya)
maka persoalan ini boleh meneruskan atau menghentikan perkawinan; (6)
Jika keduanya tidak sepadan (kufu) atau jumlah mahar yang
diberikan tidak cukup. 3. Kompensasi. Dalam UU Turki dan Ciprus ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibayar salah satu suami isteri untuk pasangan yang disakiti. Terkait dengan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud, jika kerugian terjadi dalam bentuk suami tidak dapat dilayani isteri, nafkah isteri
menurut ahli figh empat mazhab adalah gugur. Sebaliknya, jika sang isteri dirugikan kareana tidak dapat dilayani oleh sang suami, sang isteri tetap mendapat nafkah. 4. Hukum Waris. Buku ketiga dari UU Sipil Turkiberkaitan dengan kewarisan. Buku ini mengenalkan semua skema kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU sipil Swizerland. Hukum Hanafi tentang kewarisan sebelumnya telah diikuti di Turki sampai pada tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru. Salah satu bagian terpenting ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kewarisan. Al-Qur’an menunjukan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan laki-laki harus terjadi dalam pembagian dua kali dari perempuan. UU Sipil Turki menetapkan bahwa anak-anak yang ditinggal mato oleh ayah harus mendapatkan warisan yang sama dengan. Penutup. Dinamika hukum pemikiran Islam di Turki berkembang jauh lebih awal disbanding negara-negara muslim lainnya karena dimulai dengan munculnya Hatt-I Syarif, sebuah Dekrit Imperium Turki yang diterbitkan tahun 1839 dan dimaksudkan sebagai pegangan untuk legislasi hukum modern. Setelah itu pebaruan terus bergulir merespon perubahan kondisi social, politik serta budaya.
Dinamika tersebut memberi inspirasi cerdik cendekian di negara-negara muslim lainnya untuk mengadakan usaha yang sama. Mengamati metode yang dipakai oleh pembaruan hukum Islam di Turki jika dikonfirmasikan dengan metode reformasi hukum yang ditawarkan Tahir Mahmood, dapat dijelaskan sebagai berikut : (1). Pertunangan, tampak ada upaya kondifikasi hukum Islam klasik da adopsi cara-cara yang digunakan oleh adat setempat. (2). Umur pernikahan, batasan umur yang ditetapkan di Turki tidak sekadar mengunakan indikasi baligh secara biologis, tetapi juga pada aspek psikologis, seperti kematangan berpikir. Maka penetapan batasan umur ini merupakan interpretasi dari sumber ajaran Islam (hadits)yang menyebut baligh sebagai syarat pernikahan. Cara seperti ini dikategorikan sebagai ekstra doctrinalreform. (3). Larangan pernikahan yang ditetapkan merupakan kondifikasi, karena mengangkat hukum Islam sebagai bagian-bagian hukum yang dipositifkan. (4). Poligami yang dilarang di Turki merupakan interpretasilebih dari teksteks ajaran agama dengan mendasarkan bahwa setting historis yang menyebabkan ayat poligami diturunkan tidak sama dengan kondisi riil orang-orang Turki, sekalipun mestinya tidak harus dengan menetapkan pelarangan, maka hal ini termasuk ekstra doctrinal-reform.
(5). Resepsi yang diatur sedemikian rupa di Turki, tidaklah menyentuh aspek hukum yang substansial. Oleh karena itu pengaturan resepsi di Turkik hanya bersifat administratif. (6). Pembatalan pernikahan yang ditetapkan di Turki adalah kondifikasi hukum Islam klasik menjadi bagian hukum positif. (7). Pernikahan dinyatakan tidak sah juga berdasar kondifikasi hukum. (8).
Mengenai
konpensasi
ditetapakna
berbeda
dengan
orientasi
konpensasi yang ditetapkan dalam hukum Islam klasik sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka penetapan hukum ini bersifat ekstra doctrinalreform. Demikian juga. (9). persoalan hukum waris yanmg ditetapkan dan diperundang-undangkan tetapkan bersifat ekstra doctrinal reform.