BAB II PEMBAHASAN A. Latar Belakang Sejarah, Sosial dan Budaya Republik Turki (bahasa Turki: Türkiye Cumhuriyeti) adalah sebuah negara besar di kawasan Eurasia, terbentuk pada tanggal 29 Oktober 1923 berdasarkan Keputusan Majelis Kebangsaan Turki di bawah pemerintahan presiden Mustafa Kemal Ataturk setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani. Pada tanggal 3 Maret 1924 institusi sultan (khalifah) secara resmi dihapuskan dan sejak itu ibukota negara Turki dipindah dari Istanbul ke Ankara.1 Wilayahnya terbentang dari Semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara. Turki berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah utara; Bulgaria di sebelah barat laut; Yunani dan Laut Aegea di sebelah barat; Georgia di timur laut; Armenia, Azerbaijan, dan Iran di sebelah timur; dan Irak dan Suriah di tenggara; dan Laut Mediterania di sebelah selatan. Laut Marmara yang merupakan bagian dari Turki digunakan untuk menandai batas wilayah Eropa dan Asia, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental. Turki terletak pada koordinat 39°00′LU- 35°00′BT., dengan luas negara 783,562 km2 (756,816 km2) berada di Asia Barat (Anatolia) dan 23,764 km2 berada di Eropa Tenggara). 2 Berdasarkan sensus perduduk tahun 2009, jumlah penduduk Turki kurang lebih mencapai 72.561.312 jiwa.
1 Apipudin. Jurnal Arabia: “Meredupnya Sinar Imperium Turki Usmani”, Vol. VII, Nomor 14, Oktober 2004 – Maret 2005, h. 96 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Turki, di akses tanggal 08 Mei 2016
3
Turki memiliki motto nasional “Yurtla Sulh Cihandra Sulh” (bukan negara agama, tapi menjamin kebebasan beragama). Sekalipun demikian, dari seluruh jumlah penduduk Turki, 98 % diantaranya beragama Islam dan sisanya 2 % terdiri dari berbagai kelompok Yahudi, Katolik, Roma dan pengikut beberapa ortodoks Timur.3 Bangsa Turki mulai bermigrasi ke daerah yang dinamakan Turki pada abad ke-11. Mulai abad ke-13, Ottoman menyatukan Anatolia dan membentuk kekaisaran yang daerahnya merambah kebanyakan Eropa Tenggara, Asia Barat, dan Afrika Utara. Setelah Kekaisaran Utsmaniyah runtuh dan kalah pada perang dunia I, sebagian wilayahnya diduduki oleh para Sekutu yang memenangi perang dunia I. Mustafa Kemal Atatürk kemudian mengorganisasikan gerakan perlawanan melawan sekutu. Pada tahun 1923, gerakan perlawanan ini berhasil mendirikan Republik Turki Modern dengan Atatürk menjabat sebagai presiden pertamanya.4 Ibu kota Turki berada di Ankara namun kota terpenting dan terbesar adalah Istanbul. Disebabkan letaknya yang strategis di persilangan dua benua, budaya Turki merupakan campuran budaya Timur dan Barat yang unik dan disebut sebagai jembatan antara dua buah peradaban. Dengan adanya kawasan yang kuat dari Adriatik ke Tiongkok dalam jalur tanah di antara Rusia dan India, Turki memperoleh kepentingan strategis yang semakin tumbuh.5
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Turki, diakses tanggal 08 Mei 2016 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 38 5 Isputaminingsih, Negara Turki Modern ala Mustafa Kemal Ataturk, ( Bandung: Iris Press, 2009), h.115-116. 4
4
B. Profil Hukum Turki Pembaharuan hukum Islam di negara-negara Islam di mulai sejak abad ke13 Hijriah, yang diprakarsai oleh Turki, dengan mengodifikasikan berbagai masalah hukum Islam dalam suatu buku agar mudah dirujuk dan diambil hukumnya oleh para hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Kodifikasi ini berhasil disusun oleh panitia yang ditunjuk oleh sultan pada tahun 1285-1293 H/ 1869-1876 M yang materinya sebagian diambil dari kitab-kitab di kalangan mazhab Hanafi dan sebagian lainnya dari materi hukum Barat, terkenal dengan majalah al-Ahkam al-Adliyah.6 Undang-undang hukum Islam ini berisi 1851 pasal dan 16 bab yang terdiri dari bab jual beli, sewa menyewa, pemeliharaan anak, pemindahan piutang, jaminan atau gadai, titipan, perampasan dan perusakan, hibah, pengampunan, pemaksaan dan syufah, perkongsian, perwakilan, perdamaian dan pembebasan, pengakuan, dakwaan, pembuktian dan sumpah serta hal-hal yang bersangkutan dengan peradilan. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1880 M, Undang-undang ini disempurnakan dengan mencantumkan masalah eksekusi dalam hukum acara perdata. Undang-undang ini diberlakukan untuk semua Pengadilan Umum Turki dan semua daerah perlindungannya.7 Pada tahun 1917, pemerintah Turki Ottoman mengeluarkan undangundang Hukum Keluarga yang disebut dengan Ottoman Law Of Family Right (Qanun Qarar al-Huquq al-‘Aillah al-Uthmaniah). Selanjutnya pada tahun 1923
6 H. M. Atho’ Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor), Hukum Keluarga Di dunia Islam, Sub judul; Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, Oleh: Israqunnajah, (Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003 ) h. 36 7 Ibid.
5
Pemerintah Turki membentuk panitia untuk membuat draf undang- undang baru. Akan tetapi panitia yang diserahi tugas tidak berhasil menyusun undang-undang sebagaimana yang diharapkan meskipun telah bekerja selama 5 tahun. Akhirnya pemerintah Turki mengadopsi The swiss Civil Code tahun 1912 yang dijadikan Undang-undang Sipil Turki (The Turki Civil Code of 1926) dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki.8 Undang-undang Sipil Turki 1926 tersebut memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewarisan, di samping kontrak dan obligasi. Langkah ini menunjukan ketertinggalan hukum keluarga sebagai kesatuan yang didasarkan atas aagama dan penyatuannya ke dalam Undang-undang Sipil modern. Untuk mengadaptasi perundang-undangan dengan tradisi Islam Turki, dilakukan amandemen terhadap Undang-undang Sipil tahun 1926 tersebut hingga enam kali dari tahun 1933-1965.9 C. Matei Hukum Keluarga Turki. a. Hukum Perkawinan. a. Pertunangan (khitbah)10. Hukum keluarga Turki mendorong Pengadilan untuk tidak mengadakan perjanjian khusus pernikahan. Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata 8
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World, (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972), h. 17 9 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) h. 68 10 Dalam wacana fiqh klasik, khitbah secra umum didefenisikan sebagai ekspresi seseorang yang menghendaki seorang wanita pilihannya untuk dinikahi dan menginformasikan kehendak itu kepada wanita tersebut atau kepada walinya, baik langsung maupun melalui kerabatnya. Lihat Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 10
6
perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan.11 Ulama Hanfiyah menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka. Tidak secara ekplisit dijelaskan harus diselenggarakan secara seremonial kecuali pada pelaksanaan akad nikah yang disunnatkan untuk diekspos dengan simbol-simbol seperti umbul-umbul. Tujuan seremonial pada akad nikah agar diketahui oleh khalayak umum. Jika ada hadiah yang diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun. Lain halnya jika kegagalan tersebut disebabkan kematian salah satu pihak. Dalam kasus ini pemberian tersebut dianggap hilang. Sementara menurut Hanafiyah, hadiah-hadiah diberikan saat khitbah merupakan hibah (pemberian) dimana sang pemberi dibolehkan menarik kembali hibah tersebut kecuali materi yang diberikan telah aus atau rusak. b. Umur Pernikahan (Umr al-Zawaj, Marriage-Age). Dalam Undang-Undang Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi lakilaki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. UU yang mengatur umur nikah ini sudah diamandemen pada tahun 1938 12 . Dalam Figh Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit
11 12
Naskah Hukum Keluarga Turki ,1952 pasal II ayat I. Muhammad Amin, al-shahir ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar, (Beirut : Dar al-
fikr),h.599
7
menyebut umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah berakal dan baligh, sebagimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi oprasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. karena itu baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan. c. Orang-Orang Yang Dilarang Melakukan pernikahan (Man’ al-Zawaj, Prohibitet Degrees In Marriage). UU Turki menginventarisir kategori hubungan yang dapat menetapkan halangan penyatuan melalui ikatan pernikahan. Larangan itu meliputi hubungan darah dalam garis langsung hubungan laki-laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, seayah dan juga melalui perkawinan. Pengadilan juga secara khusus mengenalkan adopsi. Adopsi dalam pengadilan disebut juga sebagai salah satu penghalang pernikahan, walaupun fiksi legal adopsi tidak dikenal dalam yuriprudensi Islam. Dalam mazhab Hanafi konsensus tentang penyebab keharaman pernikahan disebutkan karena musaharah (ikatan pernikahan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu, pemilikan, musyrik dan pernikahan dengan orang merdeka dan hamba sahaya. Dari statemen ini dapat diketahui bahwa anak hasil adopsi tidak dapat mencegah pernikahan. 13 d. Poligami (Ta’addud al-Zawjat, Polygamy). UU Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. 14 UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah,
13
Ibid. Divisi Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia, (Jakarta, 7 Juni 2013)
14
8
jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan pertama bubar karena kematian, perceraian atau pernyataan pembatalan. Pernikahan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan dengan dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah. Diperbolehkannya poligami oleh Al-Qur’an dalam kondisi tertentu telah dirubah secara sukarela oleh muslim Turki. Alasannya sebagaimana dinyatakan oleh beberapa intelektual Turki, bahwa legislasi Qur’ani mengenai persoalan itu adalah “suatu perbaikan yang besar atas poligami yang tak terbatas. pada jaman Arab pra Islam melalui cara monogami”. Kondisi sosial yang telah berubah di Turki telah membuat kondisi Qur’ani poligami tidak dapat dilakukan.15 Mazhab Hanafi sebagaimana Mazhab yang lain memperbolehkan praktik poligami dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu yang disebutkan seperti mampu berbuat adil terhadap semua isterinya, baik aspek material maupun immaterial.16 e. Resepsi Pernikahan (Walimat al-Urs, Salaomnization of Marriage). UU sipil Turki menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan. Dalm figh Hanafi disebutkan bahwa secara definitif walimah berarti makanan pengantin atau makanan yang dihidangkan untuk semua jamuan atau lainnya. Mmenurut Jumhur ulama penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkad, sementara menghadiri 15
Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS), 2002), h. 245 Bandingkan dengan John L. Elposito, Momen in Muslim Family Law), ( New York: Syracusy University Press, 1982), h. 92 16
9
undangan menurut Hanafiyah adalah sunnah. Pandangan Hanafi ini berbeda dengan Jumhur ulama yang mewajibkan.17 f. Pembatalan Pernikahan (Nullity of Marriage). Suatu pernikahan harus dibatalkan dibawah UU Sipil Turki dalam kondisi berikut : (1) Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah; (2) Salah satu pihak pada saat menikah menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain; (3) Pernikahan termasuk yang dilarang; Menurut Hanafiyah, pernikahan dianggap batal jika ada rukun atau syarat dalam pernikahan yang tidak dipenuhi, seperti pernikahan seorang anak yang belum berusia tamyiz (usia belum baligh); pernikahan dengan sighat (ungkapan ijab kabul) yang mengindikasikan untuk masa yang akan datang; pernikahan dengan salah seorang mahram; pernikahan dengan salah seorang wanita yang masih berstatus isteri orang lain; pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau sebaliknya. Konsekwensinya tidak halal disetubuhi, tidak wajib membayar mahar, nafkah dan tidak wajib taat serta tidak menetapkan hubungan musaharah. Jika kedua pasangan seperti disebutkan sempat berkumpul (melakukan berhubungan suami isteri), hakim harus memisahkannya secara paksa dan tidak berlaku iddah bagi sang wanitanya.
g. Pernikahan yang tidak sah (Voidable). 17
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.61
10
Pengadilan menurut UU Turki diberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan sesuai alasan-alasan yang telah ditetapkan, yaitu: (1) Bahwa salah satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau menikahi pasangannya; (2) Bahwa salah salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang diinginkan sehingga membuat kehidupan perkawinan tidak dapat ditolerir untuk terus dilembagakan; (3) Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter dan moralnya; (4) Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia kanak-kanak; (5) Salah satu
pihak dipaksa menikah dengan ancaman
yang
membahayakan kehidupan, kesehatan, finansial atau membahayakan kerabat dekat.18 2. Perceraian dan Pemisahan (Divorce and Separation). Menurut UU Turki ada 6 hal yang diperbolehkan suami isteri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian. Keenam hal tersebut adalah : a. Salah satu pihak telah memutuskan. b. Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain. c. Salah satu pihak telah melakukan tindakan kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir untuk dilanjutkan.
18
Ibid.
11
d. Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan. e. Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam priode sekurang-kurangnya 3 bulan. f. Hubungan suami isteri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir. Pada dasarnya talak adalah hak suami, tetapi menurut Hanafiyah talak dapat jatuh dari pihak selain suami dengan izinnya, yakni dengan cara memasrahkan, mewakili atau lewat surat. Selanjutnya dijelaskan bahwa keharusan cerai didasarkan pada 19: 1) Penolakan seorang isteri masuk Islam setelah suami yang sebelumnya nonmuslim masuk Islam; 2) Jika salah seorang dari pasangan suami isteri murtad; 3) Jika keduanya bertempat tinggal didua daerah yang berbeda, daerah muslim dan daerah non-muslim; 4) Jika salah satu belum cukup umur, atau mengidap penyakit, atau secara fisik tidak sempurna sehingga dapat mengganggu hubungan suami isteri; 5) Jika salah satu diketahui statusnya sebagai budak (hamba sahaya) maka persoalan ini boleh meneruskan atau menghentikan perkawinan; 6) Jika keduanya tidak sepadan (kufu).
19
Muhammad Amin, al-shahir ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar, (Beirut : Dar al-
fikr),h.599
12
3. Kompensasi. Dalam UU Turki ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibayar salah satu suami isteri untuk pasangan yang disakiti. Terkait dengan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud, jika kerugian terjadi dalam bentuk suami tidak dapat melayani istri, nafkah isteri menurut ahli figh empat mazhab adalah gugur. Sebaliknya, jika istri dirugikan karena suami tidak dapat melayani istri, maka isteri tetap mendapat nafkah. 4. Hukum Waris. Mengenai waris ini dimuat dalam buku III Undang-undang Hukum Perdata Turki (Turkish Civil Code). Sebelum menggunakan Undang-Undang Hukum Perdata Swiss ini, Turki menggunakan hukum waris Islam berdasarkan mazhab Hanafi, karena mayoritas masyarakat Turki memang menganut mazhab Hanafi. Namun, sejak berubah menjadi negara sekular, Turki sedikit pun tidak lagi menggunakan sistem waris Islam, dan menggunakan sistem waris Hukum Perdata Swiss 1912 tersebut.20 Ketentuan yang paling mencolok dalam sistem hukum waris Turki yang baru ini adalah adanya kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam perolehan bagian harta waris. Hal ini sebagai konsekuensi logis adanya kesamaan kedudukan mereka dalam hukum keluarga secara umum. Ini dapat dipahami, karena Swis memang menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan di dalam Undang-Undang. Sistem seperti ini berbeda sama sekali dengan sistem
20 Atho’ Muzdhar , Dr. Khairuddin Nasution (Editor). Hukum Keluarga Di dunia Islam, Sub judul ; Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, Oleh: Israqunnajah, (Jakarta selatan: Ciputat Press) Hal. 43-51
13
hukum waris Islam yang diambil dari al-Quran, yang menyatakan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Ketetapan ini sudah menjadi ijma’ kalangan ulama mazhab, karena pada umumnya mereka menganggap bahwa ayat terkait dengan waris merupakan ayat yang sudah diatur secara rinci di dalam Al-Quran. Buku III Turkish Civil Code juga menyebutkan bahwa anak-anak yang ditinggalkan oleh pewaris, mendapatkan bagian yang sama antara yang satu dengan yang lain. Tidak adanya pembedaan bagian berdasarkan gender atau kedudukan anak. Namun, di dalam undang-undang ini tidak menjelaskan status anak angkat. Undang-undang hukum waris dalam Turkish Civil Code ini terus digunakan sampai akhirnya Turki melakukan amandemen yang disetujui oleh Majelis Nasional Turki pada 27 November 2001 dan diumumkan oleh Presiden Ahmet Necdet Sezer dan disosialisasikan melalui Surat Kabar Harian Turki pada 8 Desember 2001. Amandemen ini memuat 1030 pasal. Isi amandemen ini yang terkait dengan hukum waris di Turki antara lain : 1. Suami dan Istri mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga, dan salah satu dari mereka bisa merepresentasikan keluarga di hadapan hukum atau pengadilan ; 2. Bagi anggota yang mempunyai gangguan mental, pemabuk, atau kelainan mental lainnya yang mengancam keluarga, atau orang-orang sekitarnya, maka dengan ketetapan Pengadilan ia dapat di tempatkan di pusat pemulihan (rehabilitasi) untuk mendapatkan pengobatan dan perlindungan; dan dia juga berhak mendapatkan bagian waris sebagaimana hali waris sehat ;
14
3. Apabila ada bagian yang sudah ditentukan, ketentuan tersebut dapat dibatalkan agar memperluas hak ahli waris yang lain ; 4. Dengan mengambil pertimbangan tradisi struktur keluarga di Turki, dalam keadaan apapun, bibi atau paman yang mengurusi anak pewaris maka dapat mengambil sebagian tanah peninggalannya ; 5. Apabila Istri atau suami meninggal, untuk menjaga kelangsungan hidup ahli waris yang ditinggalkan, maka suami atau istri yang masih hidup dapat mengklaim warisan yang ditinggalkan. Apabila alasannya hanya untuk menjaga kelangsungan dan kesejahteraan pihak pasangan yang ditinggalkan atau ahli waris lain yang sah untuk dapat memiliki tempat tinggal, maka hal itu dapat dipenuhi sebagai kepemilikan ; 6. Apabila harta waris berupa pertanian maka diserahkan kepada ahli waris yang berkompeten agar dapat menghasilkan profit, berdasarkan permintaan pihak yang hendak mengelola; dan apabila memungkin untuk dibagi, maka dibagi kepada yang mampu mengurusinya agar dapat menghasilkan profit ; 7. Mengenai kepemilikan bersama antar ahli waris hendaknya mereka membuat sebuah ketentuan yang disepakati bersama untuk menghindari ketidakpuasan salah satu pihak dan meminta pembagian harta ; 8. Untuk mengimplementasikan ini agar menjadi pertimbangan, maka pihak yang mendapatkan hak lebih dulu harus ditetapkan oleh pengadilan; 9. Untuk menjamin keamanan harta cash atau sedang dalam pinjaman atau penukaran dengan luar negeri atau lembaga kredit luar negeri, maka hal ini akan diatur dalam undang-undang tersendiri;
15
Apabila cermati, hasil amandemen di atas, bisa diambil kesimpulan: Pertama, dalam hal ahli waris, yang menjadi ahli waris adalah keluarga inti, yaitu suami atau istri yang ditinggalkan dan anak (nuclear family) sedangkan kerabat di luar keluarga inti dapat menjadi ahli waris apabila berjasa ikut memelihara ahli waris atau harta warisan. Kedua, mengenai status laki-laki dan perempuan, masih ditetapkan bahwa status laki-laki dan perempuan dalam keluarga sama, sehingga tidak membedakan mereka dalam perolehan harta peninggalan. Ketiga, Undangundang di atas sudah membuat ketentuan tentang harta warisan cash dan dalam bentuk simpanan. hal ini merupakan suatu bentuk kemajuan hukum waris diera modern seperti sekarang.
16
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Turki adalah sebuah negara besar di kawasan Euroasia dengan meyoritas penduduk beragama Islam. Turki dikenal sebagai negara pertama yang melakukan pembaharuan hukum Islam khususnya hukum keluarga, kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya. Pembaharuan Hukum Islam di Turki di mulai sejak abad 13 Hijriah, sekitar tahun 1285-1293 Hijriah yang materinya diambil dari kitab-kitab dikalangan Mazhab Hanafi. Peraturan yang berhasil dikodifikasi adalah Majalah al-Ahkam al-Adliyah. Setelah itu, Turki melakukan banyak perubahan dalam hukum keluarga yang disesuaikan keadaan masyarakat setempat. 2. Bahwa Materi hukum keluarga Turki terdiri dari aturan perkawinan yang meliputi pertunangan, umur pernikahan, orang-orang yang dilarang melakukan
pernikahan,
poligami,
resepsi
pernikahan,
pembatalan
pernikahan, pernikahan yang tidak sah. Kemudian perceraian dan pemisahan, Kompensasi (dalam hal nafkah) dan Hukum Waris. B. Saran Bahwa dalam mereformasi hukum Islam Khususnya hukum keluarga, sebaiknya tidak meninggalkan hukum yang telah digariskan dalam al-Qur;an dan Hadis. Yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan hukum-hukum tersebut dengan mengidifikasi tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syari;ah.
17
DAFTAR PUSTAKA Apipudin. Jurnal Arabia: “Meredupnya Sinar Imperium Turki Usmani”, Vol. VII, Nomor 14, Oktober 2004 – Maret 2005 https://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Turki, di akses tanggal 08 Mei 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Turki, diakses tanggal 08 Mei 2016 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011 Isputaminingsih, Negara Turki Modern ala Mustafa Kemal Ataturk, Bandung: Iris Press, 2009 H. M. Atho’ Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor), Hukum Keluarga Di dunia Islam, Sub judul; Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, Oleh: Israqunnajah, Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003 Tahir
Mahmood, Family Law Reform in Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972
the
Moslem
World,
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989 Naskah Hukum Keluarga Turki ,1952 pasal II ayat I. Divisi Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia, Jakarta, 7 Juni 2013 Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, Jakarta : INIS, 2002 John L. Elposito, Momen in Muslim Family Law), New York: Syracusy University Press, 1982
18
19