Hukum Adat Warisan sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah : 1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang. 2.Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam. 3.Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan. Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila. Kesimpulan warisan berdasarkan hukum adat
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya,asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
Pertanahan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
PENGERTIAN HUKUM ADAT Hukum Tanah Nasional tunggal yang berdasarkan Hukum Adat. Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah. Hukum Adat dalam UUPA Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA, Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16, Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA. Hukum Adat Mana? Karena adanya berbagai definisi mengenai Hukum Adat dan juga secara sederhana Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda, maka Hukum Adat yang mana? C. Van Vollenhoven menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum adat golongan timur asing (Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1 mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Unsur-Unsur dan Pengejahwantahan Hukum Adat Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. KONSEPSI dan SISTEM HUKUM ADAT Konsepsi Hukum Adat Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama. Dan dengan demikian maka tanah ulayat, selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum publik. Hak Ulayat ini memungkinkan adanya hak Milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat. Sistem Hukum Adat Sistem hak-hak penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat ternyata membentuk
hirarki yang biasanya terjadi pada Tanah Ulayat adalah : (1) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, (2) Hak kepada Adat dan para tetua adat, (3) hak atas tanah. HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT Hak Ulayat Hak Ulayat (UUPA), Pertuan (Ambon), paer (Lombok), Beschickkingsrech (van Vollenhoven), atau sebuah tanah masyarakat hukum adat tidaklah dapat dikatakan sebagai tanah res nullius, Karena hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat ialah wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya. Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat. Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya. Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai. Hak Ulayat dalam UUPA Hak ulayat jelas sekali diakui dalam UUPA, dengan syarat mengenai eksistensinya dan sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Yang menjadi kriteria eksistensi hak ulayat dapat diakui ilalah tidak ada, sehingga pelemahan Tanah Ulayat di berbagai daerah sangatlah sulit. Sedangkan UUPA tidak mendelegasikan pengaturan mengenai Hak Ulayat dan membiarkan pegaturannya tetap berlaku menurut hukum adat setempat. Kemudian pada prakteknya sangat sukar untuk menetukan atau mencari tanah yang masih Tanah Ulayat. Mengenai imbalan ketika telah melakukan Hak Asasi dapat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum, atau bentuk lain yang diperlukan oleh masyarakat.
Hak Ulayat didalam UU Pokok Kehutanan Hak Ulayat diabahas setengah hati dalam UU Kehutanan 1999, yang didefinisikan sebagai hak bersama para warga masyarakat hukum adat dengan syarat sebagaimana pasal 67. HUBUNGAN FUNGSIONAL ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL Arti Hubungan Fungsional Hukum adat dalam konsideran UUPA yang diakui sebagai dasar, ternyata tidak berfungsi sebgaimana yang diharapkan. Seperti halnya dalam masalah gadai, Gadai yang seyogyanya dalam masyarakat hukum adat dilakukan di hadapan Kepala Desa (das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional Sumber Utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar sebagaimana pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal. Sumber-sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Nasional UUPA tidak menutup kesempatan untuk lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum adat seperti lembaga-lembaga dari hukum asing sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendaftaran Tanah dengan melalui PPAT, adanya Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan merupakan lembaga hukum yang tidak dikenal dalam masyarakat Hukum adat tetapi diakui UUPA. Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), menunjukan fungsi Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat. Hukum adat yang telah terkontaminasi feodalistik maupun kapitalistik dalam konteks pelengkap Hukum Tanah Positif dalam penerapannya harus dibersihkan terlebih dahulu dari ketentuan hukum asing. Sehingga dalam praktik yang berwenang melakukan pemersihan atas Hukum Adat ini adalah Hakim serta Penguasa Legislatif. Tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan nasional dan Negara Hukum Adtat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional Negara, sehingga perlu adanya pembinaan dengan menguji hukum adat agar tidak bertentangan. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai sosialisme Indonesia, dalam hal ini menghadapi hal-hal kongrit dalam masyarakat maka keinginnan dan kesadaran hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA Suatu contoh bahwa di Batak misalnya yang tidak memberikan kesempatan bagi wanita untuk memiliki tanah karena patrilineal, sedangkan UUPA mengatur bahwa tiap-tiap warganegara memiliki hak yang sama. Pertentangan tersebut yang berlaku di Hukum Adat Batak dikesampingkan oleh UUPA sehingga di Batak memberi kesempatan untuk wanita memiliki sebidang tanah. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya Jadi peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang berlaku asalkan dinyatakan demikian. Norma Hukum Kosong inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk mengebiri keberadaan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum hukum tanah selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar. Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum adat.
Perkawinan
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . B. HUKUM PERKAWINAN ADAT Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing . Dalam masyarakat adat perkawinan merupakan bagian peristiwa yang sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada keterlibatan arwah nenek moyang untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak jadi keluarga yang bahagia. Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, perceraian dan harta perkawinan. Dalam hukum adat hukum perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki deangan seorang atau beberapa orang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi. Menurut hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang yang kawin, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat, dan kasta. Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya melanjutkan garis hidup orang tuanya. Bagi suku, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku itu dengan tertibnya. Bagi masyarakat (persekutuan), perkawinan juga merupakan sutu peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut mempunyai tanggungjawab penuh terhadap 5. persekutuannya. Bagi kasta, perkawinan juga penting, karena kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya dengan mengadakan tertib perkawinannya sendiri. Oleh karena perkawinan ini memiliki arti yang sangat penting, maka pelaksanaannya senantiasa disertai dengan upacara-upacara adat, kadang lengkap dengan sesajen-sesajennya. Agar mempelai berdua selamat mengarungi hidup baru sampai akhir hayatnya atau sering disebut dengan sampai kaken-kaken dan ninen-ninen. Segala upacara-upacara ini merupakan upacara peralihan, upacara yang melambangkan perubahan status dari mempelai berdua; yang tadinya hidup berpisah, setelah melalui upacara-upacara itu menjadi hidup bersama dalam suatu keluarga (somah) sebagai suami istri. Semula mereka milik orang tuanya, kemudian menjadi keluarga mandiri. 2. Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan
keluarga yang utuh. 3. Asas-asas dalam Hukum Perkawinan Adat Dalam masyarakat adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang menjadi parameter masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat, biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari penguasa setempat atau bisa disebut kepala suku atau penguasa adat sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam memberikan keputusan berupa keputusan.
Kesimpulan hukum perkawinan indonesia Indonesia berlaku berupa hukum adat yang mengatur bagian perkawinan yang pelaksanaanya berlaku sesuai adat dan kebiasaan suatu tempat tertentu, hukum tersebut tidak di verbalkan secara meluas tetapi mempunyai sifat yang mengikat sesama masyarakat adat tersebut berupa sangsi moral/malu ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan hokum tersebut. Berawal dari budaya yang plural sehingga menimbulkan masalah yang kompleks, akhirnya hukum adat diberlakukan di Indonesia agar bisa mewakili dari permasalahan tersebut. Hukum perkawinan adat mengenal kepatutan dan keselarasan dalam pergaulan dan bersifat religio magis, tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam tujuan hukum adat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera serta hidup yang sakinah mawaddah warahmah. Akan tetap dalam perkawinan tidak semua yang menjadi harapan tercapai dengan baik. Adakalanya berakhir dengan perceraian disebabkan oleh suami atau sebaliknya. Dalam hukum Adat perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakuankelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Sebagaimana dalam keputusan Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963. bahwa perceraian dapat terjadi apabila sudah tidak memungkinkan hidup rukun dan damai. 1. Hilman Hadikusuma, hukum Perkawinan Adat, Bandung : Penerbit alumni, 1982, hal. 105-110