Perkawinan Suku Osing Di Banyuwangi Antrop Kelompok.docx

  • Uploaded by: Jeanet Aljazera
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perkawinan Suku Osing Di Banyuwangi Antrop Kelompok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,780
  • Pages: 9
Perkawinan Suku Osing di Banyuwangi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat. Kebudayaan tersebut tumbuh dan berkembang serta berdampingan di setiap kegiatan sehari-hari masyarakat antara satu budaya dengan budaya yang lain dengan segala ciri khas masing-masing. Kebudayaan merupakan salah satu ciri dari kekayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan ini tentunya harus selalu kita jaga dan lestarikan dan wajib harus dilakukan bagi setiap individu masyarakat. Salah satu kebudayaan yang akan kami bahas pada tugas antropologi kali ini adalah mengenai suku Osing di Banyuwangi. Suku Osing memiliki kebudayaan perkawinan yang sangat unik dikarenakan suku ini memaklumi sebuah tradisi pernikahan yang tidak biasa. Jika masyarakat menganggap kawin lari sebagai hal yang bertentangan dengan kelaziman, Suku Osing memaklumi kawin lari sebagai bagian dari adat. Hubungan yang tidak direstui oleh orang tua adalah penyebab utama dari pasangan yang hendak melakukan kawin colong ini. Untuk melakukan praktik kawin colong ini, kawin colong tidak bisa dilakukan apabila hanya salah satu pihak saja yang menghendaki untuk melakukannya. Untuk dapat menjalankannya, seorang pria dan wanita harus sepakat untuk melakukan kawin colong. Apabila kawin colong hanya diprakarsai oleh satu orang maka proses kawin colong dianggap tidak sah dan keluarga wanita boleh menuntut pria ke ranah hukum. Kawin colong dalam praktiknya tidak hanya melibatkan pasangan saja, akan tetapi juga melibatkan pihak ketiga yang bernama Colok. Colok adalah seorang penengah yang akan menjadi perwakilan pihak pria untuk meminta izin kepada kedua orang tua pihak perempuan.

Colok berfungsi sebagai penyampai pesan bahwa sang perempuan sedang berada dalam prosesi Kawin Colong.

Syarat untuk menjadi seorang Colok adalah sosok yang dituakan dan disegani oleh masyarakat dan bisa menjadi pendamai atau pun penenang bagi keluarga sang perempuan. Setelah kedua orang tua perempuan diberitahu, maka mereka yang semula kurang setuju akan melakukan pembicaraan untuk merundingkan pernikahan sang anak. Selang beberapa saat dari prosesi tersebut, maka sang laki – laki dan perempuan yang melakukan Kawin Colong akan dinikahkan.

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Informasi Mengenai suku Osing dan Kawin Colong di Banyuwangi Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram. Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah HinduBudha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. 3

Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M. Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. tetapi telah ditemukan perbedaan stratifikasi di Suku tersebut, kaum Drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, kaum coliba. mereka merupakan penduduk asli. Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong dan Jedor. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku osing yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiri di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Suku Osing. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini. Secara etimologi, kata “colong” teradopsi dari bahasa jawa yang berarti “mencuri” atau “maling”. Sedangkan secara terminologi, mengutip dari kamus besar bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan mencuri adalah suatu perbuatan mengambil sesuatu (barang/ benda) tanpa izin yang empunya, yang biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan colong dalam konteks perkawinan bukanlah mencuri sebagaimana masyarakat tahu, dimana mereka mempunyai doktrin yang kuat bahwa segala macam tindakan mencuri itu sangat tercela. Akan tetapi, yang dimaksud dengan mencuri disini adalah suatu perbuatan seorang laki-laki mencuri atau melarikan seorang perempuan untuk dijadikan istrinya tanpa sepengatahuan orang tua pihak perempuan. Kawin colong pada masyarakat osing merupakan warisan leluhur atau budaya secara turun temurun, sehingga masyarakat berasumsi bahwa adanya kawin colong bukanlah sebuah persoalan yang negatif melainkan suatu tradisi yang perlu mendapatkan apresiasi terhadap eksistensinya. Seseorang yang berusaha mengaburkan adat tradisi yang sudah melekat pada masyarakat, akan mendapatkan tentangan. Prinsip memegang budaya yang kuat menjadikan

4

masyarakat osing selalu teguh dan kukuh pada pendirian untuk mempertahankannya hingga anak-cucu mereka. Masyarakat osing mempunyai cerita menarik tentang asal muasal peng-implementasi-an kawin colong. Diceritakan dahulu ada seorang yang bernama Darmono. Dia memiliki seorang anak perempuan bungsu yang bernama Darwani dan perguruan silat. Pada waktu yang bersamaan, ada warga lain bernama Bu Rehana. Perempuan setengah tua itu memiliki anak lakilaki bernama Nur Zaman. Singkat cerita, Nur Zaman ini menjalin hubungan cinta dengan Darwani. Sayangnya, cinta sejoli tersebut tidak mendapat restu dari keluarga Darwani. Karena keduanya sudah saling mencintai, maka ditempuh melalui proses kawin colong. 2.1.1 Adat perkawinan Suku Osing Dalam melakukan Adat perkawinan Osing, pihak pria sebagai penculik terbilang cukup memaksa. Akan tetapi ketika seseorang melakukan kegiatan ini, besar kemungkinan 100 persen pasangan tersebut akan menikah. Biasanya seminggu hingga dua minggu setelah melakukan pelarian cinta ini akan dinikahkan. Kawin colong ini seolah memiliki semacam kekuatan unik di mana seolah-olah pihak keluarga tidak dapat menolak. Meskipun keluarga atau orang tua menyimpan perasaan marah, kecewa, emosi dan sebagainya maka mau tidak mau pada akhirnya kedua orang tua harus merelakan anaknya untuk dinikahi. Prosesi pelaksanaan Kawin Colong adalah sang pria akan diam – diam menculik si perempuan, lalu membawa ke rumahnya dan tinggal di sana. Dalam waktu kurang dari 24 jam, sang lelaki harus mengirimkan seorang Colok untuk bertemu dengan kedua orang tua perempuan. Kawin Colong dalam praktiknya melibatkan pihak ketiga yang bernama Colok. Colok akan bertugas untuk menyampaikan pada kedua orangtua sang perempuan bahwa putrinya sedang berada dalam prosesi Kawin Colong. Sebelum pelaksanaan kawin colong, pihak pria biasanya membutuhkan banyak rencana dan persiapan yang matang. Terlebih persiapan mental yang harus dihadapi oleh pasangan yang menjalankannya. Mental bagi suatu pasangan harus kuat dalam menghadapi akibat yang akan timbul dari perilaku yang mereka perbuat itu sendiri.

5

2.1.2 Hukum Positif yang Tidak Sesuai Sesuai dengan hukum adat kebiasaan suku Osing, perkawinan itu adalah sah. Namun dalam proses menuju perkawinan yang sah tersebut itulah yang akan menjadi fokus dari kami sebagai penulis. Ada beberapa hal yang di dalam adat Osing ini bertentangan dengan hukum positif di negara kita, Indonesia. Beberapa hal itu adalah: 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana -

Pasal 328 KUHP: ”Barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud melawan hak akan membawa orang itu di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau akan menjadikan dia jatuh terlantar, dihukum karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Analisa: “Prosesi pelaksanaan Kawin Colong adalah sang pria akan diam – diam menculik si perempuan, lalu membawa ke rumahnya dan tinggal di sana.” Dari kalimat di atas sudah sangat jelas bahwa Perkawinan Colong ini telah melanggar Pasal diatas. Tindakan ini mungkin merupakan bagian dari adat Suku Osing, tetapi tindakan tersebut sudah masuk kepada Unsur Tindak Pidana Penculikan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan dapat dikenakan hukuman kurungan dan denda. Undang-Undang diatas juga mencegah apabila ternyata salah satu pihak ternyata tidak bersedia atau terpaksa untuk melakukan Perkawinan sesuai dengan Adat dari Suku Osing.



Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan -

Pasal 6 ayat (1) dan (2) (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

6

Analisa : Jika suatu pasangan dari Suku Osing ingin melakukan perkawinan harusnya mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Orang Tua berbeda dengan Kawin Colong. Kawin Colong diam diam menculik si Perempuan dan Mengirim si Colok untuk menyampaikan pada kedua orang tua. Sehinnga Orang Tua belum pasti untuk memberikan izin Perkawinan yang artinya Perkawinannya Batal demi Hukum karena melanggar Undang-Undang yang berlaku diatas jika pasangan tersebut belum mencapai umur 21 Tahun. Tetapi jika Pasangan tersebut sudah berumur 21 Tahun maka izin kedua orang tua tidak diperlukan lagi tetapi sesuai dengan norma dan moral kesopanan yang berlaku di masyarakat Indonesia tetap harus ada persetujuan atau izin orang tua.

7

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Hukum adat merupakan salah satu sumber bahan-bahan bagi perkembangan hukum positif adalah konsepsi-konsepsi, asas-asas atau pikiran-pikiran hukum adat. Kedudukan hukum adat dalam hukum positif indonesia sangat penting dan relevan untuk masa mendatang serta merupakan unsur yang esensial dalam pembentukan hukum. Hukum adat memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan hukum positif Indonesia, yaitu untuk keadilan, pengendalian sosial, dan mengusahakan kemaslahatan sebagai tujuan bersama. Maka dari itu pasti ada perbedaan antara Hukum Adat yang berlaku di Suku-Suku Tradisional dan Hukum Positif Indonesia yang berlaku saat ini. Seperti contohnya Perkawinan Colong yang dilakukan oleh Suku Osing dengan Undang-Undang Perkawinan serta KUHP yang berlaku saat ini. Bagi masyarakat adat atau Suku Osing Perkawinan Colong yang dilakukan sudah sewajarnya atau normal untuk dilakukan tetapi ada beberapa aturan yang bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.

3.2 SARAN Perkawinan Osing atau Perkawinan Adat boleh untuk dilakukan tetapi lebih baik jika tidak bertentangan dengan Hukum Positif yang berlaku atau selaras dengan Hukum Positif yang berlaku karena Hukum Positif ada demi kepentingan masyarakat luas dan bukan untuk kepentingan satu atau dua adat saja.

8

DAFTAR PUSTAKA

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kawin

Colong,

Tradisi

Culik

Pacar

Ala

Suku

Osing

Banyuwangi

:

http://www.minutespost.com/index.php/unique-story/3174-kawin-colong-tradisiculik-pacar-ala-suku-osing-banyuwangi

3. Kawin Colong, Tradisi Menculik Pasangan ala Suku Osing Banyuwangi : https://www.boombastis.com/kawin-colong-banyuwangi/80138 4. Tradisi Unik dari Suku Osing Banyuwangi, Kawin Colong! https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/10/04/tradisi-unik-dari-suku-osingbanyuwangi-kawin-colong.

:

5. Tradisi

:

Pernikahan

yang

Cuma

Bisa

Kamu

Temukan

https://harianriau.co/news/detail/9879/081365016621

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

9

di

Indonesia

Related Documents


More Documents from "Yuez Argam"