Hukum Adat, Kawin Japuik Dan Tabuik.docx

  • Uploaded by: ridho oktav
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Adat, Kawin Japuik Dan Tabuik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,551
  • Pages: 23
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Pariaman berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di pesisir pantai Laut Hindia, sebelah utara kota Padang. Pariaman adalah sebuah nama yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah 73,36 kilometer persegi. Di daerah ini ada suatu adat perkawinan yang unik yaitu kawin bajapuik dan ada juga pesta adat yang disebut dengan tabuik. Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang tradisi kawin bajapuik di pariaman, ditambah lagi dengan sangat sulitnya untuk mencari buku-buku yang membahas tentang tradisi perkawinan ini. Ditengah kekeringan itu masih ada beberapa referensi yang bisa dijadikan bahan rujukan sementara diantaranya ialah studi kasus dari Welhendri Azwar yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul matriolokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik. Dalam buku ini azwar menulis hasil wawancaranya dengan ulama pariaman yakni Bagindo M. Letter, bahwa tradisi bajapuik di pariaman sebenarnya sesuai dengan apa yang dipraktekan Nabi Muhammad SAW, dimana Nabi sewaktu menikah dengan Khadijah dibayar (dijemput) oleh khadijah dengan seratus onta (hal 57). Legitimasi teologis inilah yang menjadi pembenaran dalam tradisi bajapuik, disamping itu ada kepentingan lain, seperti kaum bangsawan (borjuis) untuk mempertahankan eksistensi kebangsawannya. Disisi yang lain, tradisi bajapuik ini dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan. Hegemoni patriaki telah mensubordinasikan kaum perempuan, dan lebih parahnya lagi realitas cultural ini telah terlembagakan dalam lembaga perkawinan dan memaksa masyarakat. Jadi dalam tradisi bajapuik ini kaum perempuan merasa dirugikan oleh system adat. Padahal dalam system adat kita menganut system matrilineal yang cendrung menguntungkan kaum perempuan. Tapi kenapa dalam tradisi bajapuik ini terjadi malah sebaliknya.

1

Oleh karena itu, apakah kita harus menghilangkan tradisi bajapuik ini atau kita mempertahankanya. Jika kita menghilangkan tradisi bajapuik ini, maka secara tidak langsung kita telah menghilangkan identitas budaya kita sebagai orang pariaman. Untuk itu, seharusnya kita jangan menghilangkanya melainkan merekonstruksi kembali tradisi bajapuik ini. Persepsi cultural yang telah menjadi darah daging bagi masyarakat pariaman. Selama kawin bajapuik itu di pahami secara konservatif, maka tradisi ini akan selalu memarginalkan kaum perempuan. Untuk itu dekonstruksi persepsi cultural ini sangat penting sebagai pondasi awal untuk konstruksi kawin bajapuik. Kemudian, kawin bajapuik yang selama ini dikamuflase oleh nilai-nilai baru seperti “uang hilang”, yang terstruktur dalam lembaga perkawinan harus di dekonstruksi pula. “Kebenaran” uang hilang yang selama ini dipaksakan atas dasar cultural, harus diruntuhkan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian harus direkonstruksi kembali, agar menghasilkan struktur yang baru yang lebih segar dan lebih bermakna. Rekonstrusi ini dapat pula menciptakan nilai-nilai dan hakikat dari kawin bajapuik itu sendiri. Dan untuk festival Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura ( 10 Muharam ) yaitu mengenang

kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi

Muhammad Saw yaitu Saidina Hassan bin Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah ( 681 Masehi ). Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, tubuh Imam Husain yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar. Kepala Imam Husein dipenggal oleh tentara Muawiyah. Kematian Imam Husein diratapi oleh kaum Muslim terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam setelah Imam Husain meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat Jazid yaitu anaknya sebagai putera mahkota. 2

Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan Tabuik. Awalnya

Tabuik

sebagai

simbol

ritual

bagi

pengikut

Syi’ah

untuk

mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein” atau yang berarti “Hidup Husein, hidup Husein”. Akan tetapi, di Pariaman teriakan tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak “Hoyak Hussein, hoyak Hussein” sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dan bersayap serta sebuah kepala manusia. Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara. Acara Tabuik di Pariaman dan Ta’ziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual yaitu untuk memperingati kematian Imam Hussein. Dalam perayaan ini masyarakat menyaksikan dua buah tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang masing-masing diangkat oleh 20 lelaki. Mereka menggoyang-goyang, memutarmutar, dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai. Lalu, pemain gendang tasa menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya membangkitkan semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras “Hoyak Hussein”. Kata tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian. Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Tabut pada mulanya sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai tempat penyimpanan manuskrip Taurat yang ditulis di atas lempengan batu. Akan tetapi, Tabuik kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas. Namun, yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi 3

yang terbuat dari bambu, kayu, rotan, dan berbagai macam hiasan. Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan hanya di puncak, di beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang berjuntai. Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornamen ekor dan sebuah kepala manusia sepertinya wajah wanita lengkap dengan kerudung. Bambubambu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak pria untuk mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya. Dari berbagai tradisi di Indonesia untuk menyambut bulan Muharam yang sangat unik ialah tradisi ‘tabuik’. Perayaan ‘tabuik’ merupakan perayaan yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan perayaan lainnya yang ada di Indonesia. Perayaan ‘tabuik’ merupakan budaya yang berasal dari daerah barat pulau Sumatera, yaitu daerah Minangkabau. Tabuik ( Indonesia: Tabut ) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.

Tabuik diturunkan ke laut di Pantai Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia

4

Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831. Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat. Tabuik sebagai salah satu seni tradisional dan permainan anak nagari yang sudah merupakan core event pariwisata nasional yang dilaksanakan setiap tahun pada awal bulan Muharram. Banyak wisatawan yang datang menyaksikan acara ritual /budaya ini, bahkan dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapore dan Brunei Darussalam. Selama sepuluh hari prosesi pembuatan tabuik sampai acara puncaknya pada tanggal 10 Muharram, banyak kreativitas anak nagari ditampilkan seperti indang, dabuih, gamad, qasidah, silat, festival lagu Minang, dan lain-lain.

1.2 Rumusan Masalah 1) Bagaimana sejarah kawin Bajapuik? 2) Bagaimana sistem kawin Bajapuik? 3) Bagaimana sejarah tradisi Tabuik? 4) Bagaimana prosesi tradisi Tabuik? 1.3 Tujuan Penulisan 1) Menjelaskan sejarah kawin Bajapuik. 2) Menjelaskan sistem kawin Bajapuik. 3) Menjelaskan sejarah tradisi Tabuik. 4) Menjelaskan prosesi tradisi Tabuik.

5

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Kawin Bajapuik Bajapuik (japuik, jemput) adalah tradisi mas kawin yang masih bertahan sampai saat ini di Pariaman (tidak di seluruh tanah Minangkabau), Sumatera Barat. Sebagaimana diketahui, masyarakat Minangkabau memiliki system kekerabatan matrilineal, dan adat setelah menikah adalah matrilokal (berdiam di sekitar kerabat ibunya). Seorang suami akan menjadi urang sumando (tamu) di rumah istrinya. Itu sebabnya, menurut beberapa pandangan di kalangan masyarakat, sudah layak apabila seorang calon suami, mendapatkan mas kawin (uang jemputan) dari istrinya, sebelum mereka menikah. Nampaknya seorang laki-laki tidak punya kuasa di rumah istrinya. Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriakat. Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu : 

yang satu gelar dari ayah



yang satu lagi gelar dari mamak,

Hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang) . Gelar Sutan dipakaikan kepadaa mereka yang bernasab kepada petinggi atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu - Rantau ba Rajo, seperti : 6

- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman, - Rajo Rangkayo Basa 2×11 6 Lingkuang di Pakandangan, - Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu, - Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam, - Rajo Tiku di Tiku dll

Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman & Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda. Gelar Sidi diberikan kepada mereka-mereka yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman. Pemakaian gelar tunggal ini langsung diikuti dengan nama-nama, misalnya Sutan Arman Bahar atau Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar. Sedangkan gelar dari Mamak yang bukan gelar Datuak akan ditaruh dibelakang nama, seperti : Sutan Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak lazim dipakai di Pariaman kecuali gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin Bandaro ada juga yang terpakai. Welhendri Azwar (2001), dalam penelitiannya mengatakan, bahwa pada masa lalu mas kawin japuik, berupa emas, seekor kuda dan barang-barang yang bernilai pada waktu itu. Pada prinsipnya, esensinya terletak pada nilai-nilai sosial dan prestis. Tradisi mas kawin ini selalu dikaitkan dengan status kebangsawanan seorang laki-laki. Menurut Azwar, masuknya Islam ke Pariaman, yang mendapat dukungan dari Sultan Aceh, semakin memperkokoh eksistensi uang japuik. Ketika gelar kebangsawanan mengalami proses Islamisasi, maka tradisi inipun mendapatkan legitimasi agama.

7

2.2 Sistem Kawin Bajapuik

Banyak adat Minangkabau yang dipegang teguh di Pariaman, dan salah satunya yang paling menonjol adalah ‘Gadih Gadang Indak Balaki’ (gadis yang sudah cukup umur tetapi belum menikah). Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman sangat peduli untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Saking pedulinya para Ninik Mamak ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya, asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Ketika datang desakan dari pihak gadis dan tiap sebentar datang mendesak sesuai tradisi yang berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi begitu berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak dikatakan merongrong dari berbagai pihak keluarga gadis yang ingin bemenantukan anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga menginginkan anak gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang mempunyai anak bujang yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan meneriman tawaran menggiurkan berupa uang jemput atau uang hilang atau apapun istilahnya dari pihak keluarga gadis. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ketika orang yang datang mendesak, maka ketika itu sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan - terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter, saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula.. Keluarga mana yang tidak ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan calon suami yang keren & mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi ‘indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang’ asal anak gadisnya mendapatkan anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis tentunya akan senang bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang gajinya besar itu. Disini kita

8

lihat betapa pedulinya Para Mamak orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam rangka menghindari Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua. Uang japuik akan dikembalikan lagi kepada pihak perempuan dengan jumlah yang sama, bahkan dilebihkan. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri. Dan apabila dalam perundingan ternyata perkawinan tidak dapat dilanjutkan, maka pihak yang membatalkan ikatan pertunangan harus membayar dana sebesar uang japuik, yang disebut lipek tando. Dalam perkembangannya kemudian tradisi ini bergeser maknanya menjadi persoalan untung rugi dan hitung-hitungan secara ekonomis, ketika tradisi bajapuik, disertai dengan uang hilang (uang dapur). Uang ini dimaksudkan sebagai pemberian bantuan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk penyelenggaraan pesta, oleh karenanya tidak dikembalikan lagi dan menjadi milik laki-laki. Namun dalam perkembangannya kemudian uang dapur ini berubah bentuk menjadi mobil, sepeda motor, rumah, atau uang jutaan rupiah, yang jumlahnya lebih besar daripada uang japuik itu sendiri, dan tidak ada aturan yang mengatakan bahwa uang itu akan dikembalikan bila perkawinan tidak jadi dilangsungkan. Meskipun bukan merupakan adat asli, melainkan merupakan bentuk adat yang “baru”, tradisi uang hilang ini sudah berlangsung turun temurun dan sulit dihilangkan. Uang hilang menjadi daya tarik tersendiri bagi laki-laki Pariaman, dibandingkan dengan uang japuik, yang tidak mengutungkan secara ekonomis. Seiring dengan masuknya nilai-nilai ekonomis dalam perkawinan, maka status sosial gelar kebangsawanan mengalami erosi. Jabatan, pangkat, gelar sarjana, dan status ekonomi lebih diperhitungkan. Orang lebih berpikir rasional, untuk apa meminang menantu dengan harga tinggi, meskipun ia bergelar bangsawan, bila ia pengangguran, atau hanya pedagang kaki lima. Lebih baik “menjemput” menantu dari kalangan rakyat biasa tetapi sarjana dan bekerja di kantor, sekalipun harus membayarnya dengan mobil. Pemilik modal merupakan orang yang mendapat peringkat tinggi dalam hal mahalnya uang bajapuik saat ini, menurut Azwar.

9

Selanjutnya Azwar mencatat, bahwa karena tidak adanya hukum yang secara jelas mengatur, maka pelaksanaan uang hilang ini, dalam prakteknya banyak menimbulkan perselisihan, terutama karena salah satu pihak berkhianat, pada umumnya keluarga laki-laki. Dalam suatu kasus, pernah ada seorang laki-laki yang sebenarnya tidak tertarik dengan seorang perempuan, tetapi ketika keluarga perempuan meminang dengan uang hilang yang cukup besar, akhirnya si laki-laki menerimanya. Uang hilang pada umumnya diserahkan sebelum akad nikah dilaksanakan. Namun yang terjadi adalah, si laki-laki membatalkan pertunangannya, sebab tujuannya semata adalah mendapatkan uang hilang, dan akhirnya berdampak pada terjadinya perselisihan di antara kedua keluarga. Kasus-kasus semacam ini sering terjadi, oleh karenanya Prof. Masri Singarimbun pernah menyebut tradisi bajapuik sebagai kejahatan sosial di salah satu surat kabar lokal (Azwar, 2001). Bupati Anas Malik, pada masa jabatannya tahun 1980, pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman menghapus tradisi uang japuik dan uang hilang. Kemudian pada tanggal 25 Januari 1990 dikeluarkan keputusan bersama antara bupati, lembaga adat dan lembaga agama setempat untuk menghapuskan uang hilang . Gagasan ini sangat mengejutkan dan menimbulkan pro dan kontra. Namun yang jelas, sampai saat ini tradisi tersebut tetap hidup. Hasil penelitian menunjukkan, bagi perempuan, keberadaan uang jemput atau uang hilang bisa dikatakan sebuah dilema. Pada satu sisi uang japuik atau uang hilang merupakan bagian dari adat istiadat yang berkaitan dengan banyak aspek kehidupan seperti harga diri, gengsi, kebiasaan, dan hubungan kekerabatan. Pada sisi lain keberadaan uang japuik atau uang hilang merupakan masalah karena memberatkan bagi perempuan. Keberadaan uang japuik atau uang hilang pada prinsipnya merupakan tradisi yang diyakini oleh masyarakatnya dan juga kaum perempuan mempunyai fungsi tersendiri. Oleh karena itu dalam banyak perkawinan tradisi ini relatif tetap dijalankan. Uang japuik atau uang hilang dipandang masyarakat mengandung nilai budaya kolektifitas demi keutuhan kelompok keluarga, kaum dan bahkan sukunya sendiri. Pandangan orang luar kebudayaan Pariaman sering sangat negatif terhadap masalah uang japuik atau uang hilang. Di lain pihak masyarakat juga harus

10

menahan diri dengan tidak perlu mengedepankan nilai uang japuik atau uang hilang yang terlalu tinggi yang sering menimbulkan masalah dalam keluarga. Fenomena demikian mencerminkan telah terjadi pergeseran nilai. Dulu, budi dan nilai moral yang dikedepankan. Karena munculnya fenomena uang hilang, nilai bergeser kepada yang bersifat kebendaan, materialistis; uang seakan-akan menentukan segala-agalanya, termasuk bagi orangtua dalam mencarikan jodoh. Jika tidak punya uang untuk membayar uang hilang, besar kemungkinan dia tidak bakal dapat menantu yang diinginkan. Akibat kompetisi dalam mencari menantu, yaitu dengan cara berlomba-lomba memperbesar uang hilang untuk suatu pernikahan, demi harga diri dan untuk sebuah rasa malu, para orangtua tidak segansegan menggadaikan sawah-ladang untuk menyediakan uang hilang. Untuk orangtua yang mempunyai lebih dari satu anak perempuan, persoalan uang hilang semakin menjadi persoalan berat untuk dipikirkan. Kenyataan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa posisi perempuan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman sebagai kelompok yang tersubordinasi laki-laki dan tidak setara dengan laki-laki dalam arena publik. Bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, nilai uang jemput dan uang hilang tetap menjadi tuntutan adat, bahkan harus lebih tinggi lagi. Jika uang jemput dan uang hilang kepada suami rendah nilainya, keluarga perempuan akan dicemooh masyarakat. Dengan adanya tradisi uang jemputan dan uang hilang, anak perempuan dipandang sebagai beban keluarga, bahkan juga menjadi momok masyarakat karena dipandang memelaratkan pihak keluarga anak perempuan. Tradisi uang jemputan dan uang hilang menggambarkan berlangsungnya proses hegemoni ideologi patriarki dalam hubungan-hubungan sosial, yang di dalamnya tersembunyi kepentingan komunitas laki-laki sebagai kelas yang superior, terjadi penindasan hak-hak sosial perempuan sebagai anggota masyarakat. Ini potret terjadinya proses diskriminasi jender. Dalam kasus tradisi uang jemputan dan uang hilang, prestasi setinggi apa pun yang diraih perempuan dan setinggi apa pun kualitas intelektual perempuan tetap saja tidak dapat mengangkat status sosial mereka setara dengan laki-laki.

11

2.3 Sejarah Tradisi Tabuik

Dalam berbagai literatur disebutkan, perayaan tabuik yang berlangsung 1-10 Muharam itu memperingati meninggalnya cucu nabi Muhammad yang bernama Husein pada tahun 61 Hijriyah, yang bertepatan dengan 680 Masehi. Makanya, muncul istilah Oyak Hosen dalam perayaan tabuik, untuk menggelorakan semangat perjuangan umat Islam dalam menghadapi musuh-musuhnya. Sekaligus ratapan atas kematian Husein yang dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang Karbala di Irak. Tradisi mengenang kematian cucu Nabi ini menyebar ke berbagai negara dengan cara yang berbeda. Di Indonesia, selain Pariaman, di Bengkulu juga dikenal pesta tabuik atau tabot. Mengenai asal usul tabuik Pariaman, ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain ( diambil dari catatan Snouck Hurgronje ), tradisi tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari.

Perayaan tradisi Tabuik pada awal abad ke 20 Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh bangsa Cipei / Sepoy ( penganut Islam Syiah ) yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa Cipei / Sepoy ini 12

berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai ( mengambil alih ) Bengkulu dari tangan Belanda ( Traktat London, 1824 ). Setiap tahunnya pada bulan Muharam orang – orang Cipei ini memperingati tragedi peristiwa Karbala dengan cara mereka. Lama – kelamaan peringatan ini diikuti oleh masyarakat Bengkulu. Dengan berjalanya waktu peringatan ini meluas hingga sampai di Padang, Painan, Maninjau, Banda Aceh, Mealuboh, dan Pariaman. Dalam perkembangannya, peringatan tersebut hilang satu – persatu dari daerah – daerah tersebut. Akhirnya peringatan tersebut tinggallah di Pariaman saja. Di Pariaman peringatan tersebut bernama ‘tabuit’ yang sudah berbeda dengan peringatan yang dibawa oleh bangsa Cipei. Istilah ‘tabuik’ sebenarnya bukan kata yang berasal dari Minang. Kata ‘tabuik’ merupakan serapan dari bahasa Arab. Asal mula kata ‘tabuik’ adalah tabut. Tabut sendiri memiliki arti kotak atau peti kayu. Pembuatan dan pembinaan Tabuik di Pariaman dikembangkan oleh Mak Sakarana dan Mak Sakaujana. Merekalah yang mempelopori Tabuik Pasar dan Tabuik Kampung Jawa. Tabuik Pasar melahirkan Tabuik Cimparuh, Bato dan Karan Aur, sedangkan Tabuik Kampung Jawa melahirkan Tabuik Pauh, Jati, Sungai Rotan. Pada masa kolonial Belanda perayaan Tabuik digalakkan sehingga Tabuik yang tampil sampai 12 buah. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tabuik masih

rutin

dilaksanakan.

Hanya

saja

pada

tahun

1969

sampai

1980

perayaan tabuik terhenti, hal ini disebabkan situasi yang tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak adanya keinginan masyarakat untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian masal yang menggangu ketentraman kota. Perayaan Tabuik dihidupkan lagi Tahun 1980, yaitu pada masa Pariaman dipimpin oleh Anas Malik, mengingat pembiayaan maka tabuik dibuat Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua Tabuik itu sampai sekarang bertahan untuk ditampilkan pada saat upacara Tabuik berlangsung. Pesta Budaya Tabuik Piaman adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati hari Asyura ( 10 Muharam ), gugurnya Husein bin Ali, cucu nabi Muhammad Saw, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di pesisir pantai 13

Sumatera Barat, tepatnya di Kota Pariaman. Festival ini merupakan core event pariwisata nasional dan merupakan salah satu kekayaan budaya Minangkabau. Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara tabuik ( Bengkulu: tabot ) mulai dikenal di Indonesia. Namun, catatan dari Snouck Hrgronje, seorang peneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda ( sekarang Indonesia ) memiliki derajat kesahihan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan berbagai versi cerita mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Bahwa tradisi unik yang diadakan tiap tahun pada sepuluh hari pertama bulan Muharram ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought ( 1718 – 1719 ) di Bengkulu. Mereka, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Jauh berbeda dengan eforia ( senang berlebihan ) perayaan tabuik yang identik dengan keramaian, pawai, dan berbagai atraksi tari - musik, ternyata perayaan tabuik hakikatnya sebuah ritual keagamaan penganut Syi‘ah. Bertujuan untuk memperingati peristiwa wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW yang dibantai. Ketika Hassan bin Ali yang wafat diracun dan Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi). Tubuh Husain bin Ali yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar. Inti dari upacara tabuik adalah untuk mengenang upaya pemimpin Syi’ah dan kaumnya ketika mengumpulkan potongan tubuh Husein bin Ali. Penganut Syi‘ah percaya bahwa jenazah Husain bin Ali diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut tabuik di kala itu. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik ( bagian utama bangunan tabuik ). Seiring berkembangnya waktu, kebiasaan itu akhirnya mengalami asimilasi dan

akulturasi

dengan

budaya

setempat,

dan

kemudian

diwariskan

dan

dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang diadakan di Pariaman dan Festival Tabot yang diadakan di Bengkulu. Jika awalnya upacara tabuik digunakan oleh orang-orang Madras dan Bengali yang berpaham Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, 14

maka setelah terjadi pembauran budaya dengan masyarakat setempat, maka ritual berkabung itu berubah fungsi menjadi festival budaya lokal yang penuh dengan keceriaan. Diselenggarakan tidak hanya oleh garis keturunan orang-orang Madras dan Bengali. Tetapi oleh seluruh unsur masyarat sekitar. Bagindo Zamzami, salah seorang perantau Pariaman yang menetap di Sulawesi Selatan, kepada minangkabauonline, belum lama ini, memaparkan, di Pariaman tradisi merayakan Tabuik tetap diadakan dengan mengelar ritual kisah kematian tragis Hasan dan Hosein cucu dari Nabi Muhammad. SAW dalam perang karbala. Sejak itulah perayaan Tabuik mulai membudaya dan terus digelar hingga menjadi budaya masyarakat Pariaman. Adapun sakral dari prosesi Tabuik Pariaman, pada dasarnya untuk memperingati peristiwa Hasan dan Hosein yang mati mengenaskan atas kekejaman raja zalim. Alkisah diriwayatkan bahwa atas kebesaran Allah SWT, secara mengejutkan jenazah Hosein diangkat ke langit dengan mengunakan bouraq. Sejenis hewan berbadan seperti kuda berkepala manusia serta mempunyai sayap lebar dengan mengusung peti jenazah pada pundaknya, berhiyas payung mahkota warna - warni. Itulah yang dinamakan Tabuik. Sekarang ritual tabuik masih tetap diadakan setiap tahun di Pariaman, tapi tidak lagi semeriah dulu. Kadang-kadang masyarakat kekurangan dana untuk membuat tabuik. Ada pula terdengar kritik dari golongan Islam puritan: bahwa ritual tabuik harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Islam. 2.4 Prosesi Tradisi Tabuik Perayaan ‘tabuik’ ini hanya dilaksanakan di Kota Pariaman yang berada di pesisir pantai Sumatera Barat. Perayaaan ini diselanggarakan dari pusat Kota Pariaman hingga Pantai Gandoriah. Pembukaan Pesta Tabuik ditandai Pawai Taaruf oleh ribuan pelajar dan masyarakat yang mengintari kota. Setelah Pawai Taaruf, pesta pun dimulai. Selama pesta yang lamanya 10 hari ada pertunjukan-pertunjukan lain, seperti Pawai 15

tasawuf, pengajian yang melibatkan ibu-ibu dan murid-murid Tempat Pengajian Al Quran ( TPA ) dan madrasah se - Pariaman, grup drum band, tari - tarian, musik gambus, dan bahkan atraksi debus khas Pariaman. Menyertai acara pembukaan pada hari pertama juga digelar Festival Anak Nagari ( permainan tradisional Pariaman ), festival Tabuik Lenong dan diakhir pawai Muharam mengelilingi Kota Pariaman. Malam harinya digelar hiburan musik gambus di Lapangan Merdeka yang dihadiri ribuan penonton. Hari kedua, pembuatan Tabuik dimulai dengan pembuatan kerangka dasar Tabuik dari bahan kayu, bambu, dan rotan. Malam harinya, digelar kesenian tradisional "Randai". Hari ketiga pengerjaan kerangka dasar Tabuik dilanjutkan, sedangkan di lapangan digelar kesenian organ tunggal menampilkan penyanyi-penyanyi lokal. Tanggal 4 Muharram selain melanjutkan pembuatan kerangka dasar Tabuik juga mulai dipersiapkan pembuatan kerangka Bouraq dan malam harinya warga Pariaman dihibur dengan film layar tancap di lapangan Merdeka. Perayaan ‘tabuik’ digelar hanya pada bulan Muharam saja. Perayaan ini berlangsung selama 10 hari lamanya. Dimulai dari pagi 1 Muharam hingga malam 10 Muharam dengan rentetan acara yang sudah menjadi tradisi ‘anak nagari’. Perayaan ‘tabuik’ ini diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Pariaman. Dari sepuluh hari itu, di setiap harinya terdapat acara yang sangat sakral. Dimulai dari pembuatan ‘tabuik’ yang berbentuk seperti keranda dan bouraq hingga proses pelepasan ‘tabuik’ ke pantai. Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat aneka makanan seperti kuekue khas Pariaman. Menurut Halimah dalam situsnya uun-halimah.blogspot.com, prosesi panjang tabuik diawali dengan membuat tabuik di dua tempat, di pasar ( tabuik pasa ) dan subarang ( tabuik subarang ). Masing-masing terdiri dari dua bagian ( atas dan bawah ) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna - warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia. 16

Bagian bawah itu mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein bin Ali ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut - turut dipasang sayap, ekor, bunga bunga salapan dan terakhir kepala. Guna menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik ( atas dan bawah ) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua tabuik tadi dipajang berhadap - hadapan dan merupakan personifikasi dari

dua

pasukan

yang

akan

berperang.

Ba’da Ashar, kedua tabuik diarak keliling kota Pariaman. Masing - masing tabuik dibopong oleh delapan orang pria. Arak - arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang di Padang Karbala. Usai diadu, kedua tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga. Dalam perayaan ‘tabuik’ terbagi menjadi dua perayaan yaitu ‘tabuik’ pasa (balai) dan ‘tabuik’ subarang. Pasa (balai) ialah daerah utama di Pariaman, yang dimana menjadi pusat kota. Subarang merupakan daerah Pariaman yang berada di samping Pasa (balai). Kedua bagian kota ini terpisah oleh sungai yang membelah Pariaman. Berikut pembagian urutan acara perayaan ‘tabuik’ ini: 2.4.1. Upacara Mambuek Daraga

‘Daraga’ adalah sebuah rumah yang dibuat khusus untuk mempersiapkan ‘tabuik’. Rumah ini terbuat dari bahan – bahan yang tradisional seperti bambu dan tambang. Biasanya ‘daraga’ dibuat tiga hari sebelum memasuki bulan muharam. Masyarakat Pariaman membuat dua ‘daraga’, yaitu ‘daraga’ pasa (balai) dan ‘daraga’ subarang.

17

‘Daraga’ akan terlihat seperti benteng yang berbentuk segi empat. Ukuran ‘daraga’ lima kali lima meter. ‘Daraga’ akan dikelilingi oleh kain putih. 2.4.2 Upacara Maambiak Tanah

Prosesi ini biasanya dilaksanakan oleh seorang laki – laki yang berasal dari keluarga pengurus ‘tabuik’. Sang pengambil tanah ini memakai kain putih. Kain putih ini berarti kejujuran dari kepemimpinan Husein. Prosesi ini dilakukan pada sore hari tanggal 1 Muharam. Dalam prosesi ini terbagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok ‘tabuik’ Pasa (balai) dan kelompok ‘tabuik’ Subarang. Prosesi ini akan diiringi oleh arak – arakan yang ditemani dengan dentuman gandang tasa. Prosesi ini dilakukan dengan mengambil segumpal tanah dari dasar sungai. Pengambilan tanahnya harus di anak sungai yang berbeda dan berlawan arah antara kelompok Pasa (balai) dan kelompok Subarang. Pangambilan tanah ini bukanlah hanya mengambil tanah saja. Tetapi ini merupakan simbol dari pengambilan jasad Hasan – Husein yang mati syahid. Tanah yang telah diambil tersebut lalu dibungkus dengan kain putih yang bersih. Hal tersebut seolah – seolah seperti mengafani jasad dari Hasan – Husein. Selanjutnya tanah tersebut diletakkan dalam sebuah periuk yang indah. Periuk yang telah berisikan tanah tadi dibungkus kembali dengan kain putih yang bersih. Setelah itu disimpan di ‘daraga’. 2.4.3 Upacara Manabang Batang Pisang

Prosesi ini dilakukan pada tanggal 5 Muharam. Pada tengah malam orang – orang kampung akan pergi ke hutan beramai- ramai. Mereka akan mencari pohon pisang, yang kemudian ditebas. Dalam prosesi ini batang pohon pisang harus terpotong dalam satu tebasan. Yang menebas batang pisang haruslah laki – laki yang menggunakan semacam baju silat. Untuk menebasnya, biasanya penebas menggunakan pedang yang sudah diasah agar tajam setajam – tajamnya.

18

Kemudian batang pisang tersebut dibawa ke ‘deraga’. Sesampainya di ‘deraga’ ditanamkan dekat dengan pusara. Prosesi ini melambangkan apa yang dilakukan oleh musuh – musuh Allah terhadap Hasan – Husein. 2.4.4 Upacara Maatam Panja

Prosesi ini dilakukan pada tanggal 7 Muharam oleh penghuni ‘daraga’. ‘Maatam panja’ ini dilakukan setelah shalat Dzuhur. Prosesi ini dilakukan dengan cara mengitari ‘daraga’ sambil membawa peralatan untuk ‘tabuik’ seperti panja (jari), pedang, dan sorban. Mereka mengelilingi ‘daraga’ sambil menangis terisak – isak. Prosesi ini merupakan tanda kesedihan mereka yang mendalam atas syahidnya Hasan – Husein. 2.4.5 Upacara Maarak Panja

Prosesi ini dilakukan pada tanggal 7 Muharam, hari yang sama dengan upacara ‘maatam panja’. Panja merupakan sebuah kubah yang terbuat dari kertas kaca dan bingkai bambu. Kertas ini di gambari dengan tangan dengan jari – jari yang putus. Di dalam panja diberikan lilin. Panja akan diarak keliling kampung. Kelompok ini akan memperlihatkan kepada seluruh masyarakat bagaimana kesedihan mereka. Dan ini meruapakan perlambangan bahwa jari – jari Hasan – Husein telah dipotong oleh musuh. Mereka akan menceritakan bagaiman kezaliman sang penguasa, Yazid bin Muawiyah, terhadap Hasan – Husein. Mereka keliling kampung dengan diiringi oleh gandang tasa dan ‘tabuik lenong’. ‘Tabuik lenong’ adalah sebuah miniatur ‘tabuik’ yang diletakkan diatas kepala seorang pria. 2.4.6 Upacara Maarak Sorban

Prosesi ini dilakukan pada keesokan harinya, yaitu tanggal 8 Muharam. Prosesi ini tidak jauh beda dengan prosesi yang sebelumnya, ‘maarak panja’. Rombongan akan keliling kampung. Memperlihatkan bagaimana kejamnya perlakuan penguasa saat itu, Yazid bin Muawiyah, kepada cucu nabinya sendiri, Hasan – Husein. Diiringi dengan tabuhan gandang tasa dan diikuti oleh pria yang 19

mengenakan ‘tabuik lenong’. Prosesi ini melambangkan bahwa kepala dari Hasan – Husein telah dipenggal bak hewan. 2.4.7 Upacara Tabuik Naiak Pangkek

Prosesi ini berada di hari utama yaitu tanggal 10 Muharam. ‘Tabuik naiak pangkek’ dilaksanakan pada pagi hari. Pada pagi hari ‘tabuik’ dari kedua wilayah, Pasa (balai) dan Subarang, akan dikeluarkan dari rumahnya. Kedua ‘tabuik’ itu akan diarak hingga bertemu. Setelah bertemu tabuik pun akan dipasangkan menjadi satu kesatuan ‘tabuik’ yang utuh. 2.4.8 Upacara Hoyak Tabuik

Prosesi ini merupakan yang paling meriah. ‘Tabuik’ diarak oleh rombongan ke Pantai Gandoriah untuk dihanyutkan. Sudah menjadi kepercayaan sisa – sisa dari ‘tabuik’ dapat menjadi jimat agar larisnya dagangan. Oleh sebab itu, ‘tabuik’ langsung diserbu oleh warga.

20

BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Welhendri Azwar (2001), dalam penelitiannya mengatakan, bahwa pada

masa lalu mas kawin japuik, berupa emas, seekor kuda dan barang-barang yang bernilai pada waktu itu. Pada prinsipnya, esensinya terletak pada nilai-nilai sosial dan prestis. Tradisi mas kawin Dan dari pembahasan mengenai tradisi Tabuik di Pariaman dapat disimpulkan bahwa upacara ritual tabuik sebagai seluruh produk kebudayaan tentunya menambah keunikan kebudayaan Minangkabau. Bertitik tolak pada interpretasi dari kenyataan-kenyataan sejarah tabuik dan hubungannya dengan kondisi obyektif masyarakat Minang, pesta tabuik akhirnya menjadi satu bentuk kesenian daerah yang punya keunikan tersendiri bagi kekayaan budaya bangsa.

3.2

Saran Kawin bajapuik merupakan suatu adat yang telah melekat di Pariaman, tetapi

dalam hal ini hendaknya tradisi kawin bajapuik tidak dijadikan suatu keharusan dalam setiap proses adat, karena tidak semua masyarakat memiliki kemampuan secara ekonomi dalam mengikuti adat istiadat ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai adat dan kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu, disarankan kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam pembinaan adat dan kebudayaan, termasuk dalam hal ini Pemerintah Daerah di masyarakat Pariaman betul-betul menampakkan tabuik Piaman, agar meningkatkan usaha-usaha pelestarian adat dan budaya tersebut, termasuk mengintensifkan segi-segi promosi dan publikasi. Hal yang sederhana seperti mengusahakan miniatur bangunan tabuik untuk souvenir dan mempromosikan makanan-makanan khas ( setidak - tidaknya selama musim tabuik ). . 21

DAFTAR PUSTAKA

Batuah, Datuk Maruhun dan D.H Bagindo Tanameh. Hukum Adat dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Asli, 1950

Dirajo, Ibrahim Dt.Sangguno. Curaian Adat Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2003.

Corejunior. 2011. Upacara Tabuik Sumatera Barat. (online) http://corejunior.wordpress.com Fajri, M. 2012. Prosesi Tabuik Pariaman 15 – 25 November 2012. (online) http://www.minangkabautourism.info Google. 2012. (online) www.google.com

Gry. 2012. Ini Sejarah Tabuik Pariaman. (online) http://inioke.com

Hidayat, Taufik. 2012. Melihat Sejarah Tabuik Piaman. (online) http://miningforce.blogspot.com

Indonesia, Wonderful. 2012. Tabuik di Pariaman. (online) http://www.indonesia.travel

Kuriak, Udin. 2009. Sejarah Tabuik Piaman. (online) http://www.minangforum.com

Kusuma, Barry. 2007. Exotic Indonesia : Tabuik Sumatera Barat. (online) http://www.alambudaya.com Sedunia, Minang. 2012. Pesta Budaya “Tabuik” Piaman 2012. (online) http://minangsedunia.blogspot.com

Wikipedia. 2012. Tabuik. (online) http://id.wikipedia.org

22

23

Related Documents


More Documents from ""