Hipersensitivitas Fic.docx

  • Uploaded by: Putri Rahmadini
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hipersensitivitas Fic.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,517
  • Pages: 39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerj amelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivit asadalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu hipersensitivitas? 2. Apa saja tipe tipe hipersensitivitas? 3. Apa etiologi dari hipersensitivitas? 4. Apa patofisiologi dari hipersensitivitas? 5. Bagaimana manifestasi klinis dari hipersensitivitas? 6. Apa saja komplikasi dari hipersensitivitas? 7. Apa saja faktor resiko dari hipersensitivitas? 8. Apa pemeriksaan penunjang yang dilakukan ? 9. Bagaimana penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis? 10. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis bagi pasien hipersensitivitas? 11. Bagaimana memecahkan kasus pemicu yang telah diberikan?

C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui apa itu hipersensitivitas 2. Mengetahui apa saja tipe tipe hipersensitivitas 3. Mengetahui etiologi dari hipersensitivitas? 4. Mengetahui patofisiologi dari hipersensitivitas? 5. Mengetahui manifestasi klinis dari hipersensitivitas?

6. Mengetahui komplikasi dari hipersensitivitas? 7. Mengetahui faktor resiko dari hipersensitivitas? 8. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan ? 9. Mengetahui penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis? 10. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan teoritis bagi pasien hipersensitivitas? 11. Mengetahui bagaimana memecahkan kasus pemicu yang telah diberikan?

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen

yang

pernah

terpapar

sebelumnya

(Baratawidjaja

&

Rengganis,2009). Hipersensitivitas tipe I atau dikenal dengan alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap suatu zat yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini mengakibatkan kerusakan di jaringan yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang dikenainya (Abbas & Lichtman,2009). Alergi atau hipersensitivitas dapat juga diartikan sebagai kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen. 2.2 Tipe – tipe hipersensitivitas Ada empat tipe dari sensitivitas, yaitu : 1. Tipe I : Reaksi Anafilaksi Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal

hingga

10-12

jam.

Hipersensitivitas

tipe

I

diperantarai

oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini

adalah mastosit atau basofil. Reaksi

ini

diperkuat

dan dipengaruhi

oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil. Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,

penggunaan Imunoglobulin

G (IgG), hyposensitization (imunoterapi

atau desensitization)

untuk

beberapa alergi tertentu. 2. Tipe II : reaksi sitotoksik Hipersensitivitas

tipe

II

diakibatkan

oleh

antibodi

berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan

kerusakan

pada

target

sel.

Hipersensitivitas

dapat

melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah: a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal). b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Tipe III : reaksi imun kompleks Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neuro trophic hemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri (stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks. 4. Tipe IV : Reaksi tipe lambat Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis. Mekanisme hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan setelah beberapa menit setelah antige bergabung dengan antibodi yang sesuai. Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :

1. Fase Sensitisasi, adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Imunoglobulin (IgE) sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc𝜀-R) pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk

antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. 2. Fase aktivasi, adalah waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granula yang menimbulkan reaksi, atau dapat juga diartikan sebagai waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigenantibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators. 3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan

neutrofil.

Prostaglandin

yang

dihasilkan

menyebabkan

bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien. Secara ringkas, berbagai

senyawa

kemotaksis,

vasoaktif,

dan

bronkospasme

memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan

kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

2.3 Etiologi Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu : a. Faktor Internal 1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. 2.

Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

3. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah. b. Fakor Eksternal 1. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga). 2. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya Ikan

15,4

% Apel

Telur

12,7

% Kentang

Susu

12,2

% Coklat

Kacang Gandum

5,3 4,7

4,7 2,6 2,1

% % %

% Babi

1,5

%

% Sapi

3,1

%

3. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

2.4 Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah muncul gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh bisofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu : 1. Ketika mulai terjadinya produksi sitoksin oleh sel T, sitoksin meberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radag misalnya netrofil dan eosiofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas 2. Alergen tersebut kan langsung mengaktifkan antibodi (IgE) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar didalam tubuh melalui pembuluh darah.

2.5 Manifestasi Klinis Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat. 1. Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak. 2. Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa bronkospasme dan edema saluran

pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan. 3. Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung

2.6 Komplikasi 1. Eritroderma eksfoliativa sekunder Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder : a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin. b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis atopik. c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma. (Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239) 2. Abses limfedenopati Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan

lainnya

seperti

allupurinol,

atenolol,

captopril,

carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata). 3. Furunkulosis

Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang disekitarnya, yang disebabkan oleh Stphylococcus aureus. Apabila furunkelnya lebih dari satu maka disebut furunkolosis. Faktor predisposisi: a. Hygiene yang tidak baik b. Diabetes mellitus c. Kegemukan d. Sindrom hiper IgE e. Carier kronik S.aureus (hidung) f.

Gangguan kemotaktik

g.

Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV

h. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan atau sering bergesekan) 4. Rinitis Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986). 5. Stomatitis Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah: a. Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah b.

Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.

c.

Stress

d. Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan terhadap iritasi e. Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya sendiri. f. Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang mengiritasi jaringan lunak g. Pada

beberapa

orang,

sariawan

dapat

disebabkan

karena

hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan. 6. Konjungtivitis Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya dari kelopak mata hingga sebagian bola mata. Etiologi: a. Infeksi oleh virus b. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang c. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya d. Kelainan saluran air mata, dll. 7. Kolitis Bronkolitis 8. Hepatomegali

2.7 Faktor Risiko 1.

Penyakit Atopik

2. Reaksi makanan 3. Konsumsi obat chymopapain 4. Orang dengan pemberian intravena

2.8 Pemeriksaan Penunjang 1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test ) Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap

alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi

khusus,hasilnya

dapat

diketahui

setelah

4

jam.

Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.

2. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit) Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal. Syarat tes ini : a. Pasien harus dalam

keadaan sehat dan bebas obat yang

mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya. b.

Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

3. Skin Test (Tes kulit) Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat kompleks IgE mast. 4.

Patch Test (Tes Tempel) Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit. Syarat tes ini :

a. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan. b. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep. c. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal. 5. Tes Provokasi Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. 6. Uji gores (scratch test) Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan. 7. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET) Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit. SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat

juga

menentukan

derajat

alergi

serta

dosis

awal

untuk

immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. 8. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

9. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

2.9 Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis 1. Penatalaksanaan farmakologis a. Adrenalin Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu: 

Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.



Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.



Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.



Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan. Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.

Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit. b. Difenhidramin Difenhidramin

merupakan

kelompok

antihistamin

yang

bekerja

menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit),

intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:

·

Cairan intravena Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan. c.

Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7

mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor. d.

Teofilin Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi

reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik. e.

Vasopresor

Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam. f. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respon imun dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun dapat menghambat sintesis IgE. Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari. Tabel obat-obatan yang digunakan : No Nama obat

Indikasi

Kontraindikasi

1.

Anestesi lokal

Inflamasi

Pehacain

sepsis,

lokal

atau

septikemia,

tirotoksikosis, hipersensitif

terhadap

anastesi lokal tipe amida 2.

Phaminov

Untuk meredakan dan Hipersensitivitas mengatasi saluran

obstruksi terhadap derivat xantin napas

yang

berhubungan asma

dengan

bronkial

penyakit

paru

dan kronik

lain, seperti emfisema dan bronkitis kronis 3.

Teosal

Bronkitis bronkitis

asmatik, Hipertiroid, akut

kronis,

atau tirotoksikosis

emfisema

pulmonar 4.

Hydrocortisone

Dermatitis

atopik, Penyakit virus, infeksi

kontak, alergi; pruritus jamur dan bakteri pada anogenital,

kulit, akne, dermatitis

neurodermatitis

perioral, laktasi

2. Penatalaksanaan nonfarmakologis a. Evaluasi segera. Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner. b. Intubasi dan trakeostomi. Intubasi endotrakeal adalah pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi adalah pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi atau trakeostomi perlu dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas yang disebabkan oleh edema. c. Turniket. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit. d. Oksigen. Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.

e. Terapi desentisasi. Berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat mensentisasi pasien) dalam jumlah yang sangat kecil dapat mendorong pasien membentuk antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut kembali terpajan ke alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan dengan alergen mendahului antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat dikurangi. f. Terapi probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat mempertahankan kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora usus). Salah satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan alergi makanan. g. Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang menyebabkan alergen. h. Pengobatan suportif. Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari. Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: 

Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.



Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

3

Pencegahan 1. Menghindari alergen penyebab reaksi alergi 2. Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan serangga, yang pernah mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan yang pernah mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa kotak emerjensi yang berisi epinefrin (Epipen) 3. Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap antigen yang dicurigai sebelum memberikan obat apapun 4. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epineprin 5. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. 6. Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti gelang Medic-Alert.

7. Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin memerlukan imunoterapi yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan penyembuhan 8. Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi thd suatu zat): 9. serangan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah sampai dianggap cukup dalam jangka waktu yang cukup lama 10. Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan desensitisasi 11. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang 12. Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian

4

Pendidikan Kesehatan 1. Instruksikan kepada klien agar menghindari makanan yang dapat menimbulkan alergi seperti kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut apabila alergen terhadap makanan. 2. Instruksikan kepada klien agar menghindari alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit dinamakan alergen kontaktan, misalnya serangga, ulat bulu, obat -obatan , kosmetik, minyak, apabila alergen terhadap binatang 3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara. 4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali 5. Beritahukan kepada klien untuk mengkompres air dingin ketika terasa gatal 6. Menghindari penggunaan antibiotik (Penicillin) karena dapat memicu sefalosporin lebih cepat dari antibiotik lainnya 7. Sarankan klien untuk melakukan tes alergi

BAB III ASKEP HIPERSENSITIVITAS

A. Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis. 2. Keluhan utama Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal. 3.

Riwayat penyakit sekarang Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.

4. Riwayat penyakit dahulu Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas,

demam,bibirnya

bengkak,tibul

kemerahan

pada

kulit,mual

muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu. 5.

Riwayat penyakit keluarga Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.

6. Riwayat psikososial Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan. 7. Pemeriksaan fisik a.

kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.

b.

Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.

c.

Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.

d.

Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease, allergic shiners, allergic facies.

e.

Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.

f.

Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernafasan.

g.

Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

8. Pemeriksaan Diagnostik. a.

Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.

b.

Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.

c.

Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen 2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi 3. Kerusakan

integritas

kulit

berhubungan

dengan

infalamasi

dermal,intrademal sekunder 4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih 5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

C. INTERVENSI Dx :Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.

Kriteria hasil (NOC):  Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)  Pasien tidak merasa sesak lagi  Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan  Tidak terdapat tanda-tanda sianosis NIC

Aktivitas

1. Manajemen Jalan 2. Kaji Napas

Rasional

frekuensi, Kecepatan

kedalaman

biasanya

pernapasan meningkat. Dispenea dan

dan ekspansi paru. Catat terjadi peningakatan kerja upaya pernapasan, termasuk otot

napas.

Kedalaman

pengguanaan pernapasan

bantu/

berpariasi

pelebaran tergantung derajat gagal

masal.

napas.

Ekspansi

terbatas

dada yang

berhubungan

dengan

atelektasis atau nyeri dada pleuritik.

Tinggikan

kepala

dan Duduk

tinggi

bantu mengubah posisi. memungkinkan ekspansi Bangunkan pasien turun paru

dan

memudahkan

dari tempat tidur dan pernapasan. Pengubahan ambulansi mungkin.

sesegera posisi

dan

ambulansi

meningkatkan pengisian udara segmen paru

berbeda

sehingga

memperbaiki difusi gas.

3. Monitor Pernapasan

4.

Auskultasi bunyi napas Bunyi napas menurun/ tak dan catat adanya bunyi ada

bila

jalan

napas

napas adventisius seperti obstruksi

sekunder

krekels, mengi, gesekan terhadap

pendarahan,

pleura.

bekuan/

kolaps

jalan

napas kecil (atelektasis). Ronci

dan

mengi

menyertai obstruksi jalan napas/

kegagalan

pernapasan. Manajemen

Observasi pola batuk dan Kongesti

Batuk

karakter secret.

alveolar

mengakibatkan

batuk

kering atau iritasi. Sputum berdarah

dapat

diakibatkan

oleh

kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan. Terapi Oksigen

Berikan tambahan

oksigen Memaksimalkan bernapas dan

menurunkan

kerja

napas Berikan

humidifikasi Memberikan kelembaban

tambahan, mis: nebulizer pada membran mukosa ultrasonic

dan

membantu

pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.

Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun. Kriteria hasil(NOC) :  Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)  Bibir pasien tidak bengkak lagi

NIC

Aktivitas

Perawatan Demam

Pantau

suhu

Rasional

pasien

( Suhu

derajat dan pola )

38,9-41,1C

menunjukkan

proses

penyakit infeksius akut. Manajemen suhu

Pantau suhu lingkungan, Suhu ruangan/jumlah selimut batasi

atau

tambahkan harus

diubah

untuk

linen tempat tidur sesuai mempertahankan mendekati indikasi

normal

Berikan kompres mandi Dapat hangat;

membantu

hindari mengurangi demam

penggunaan alcohol

Dx

:Kerusakan

integritas

kulit

berhubungan

dengan

infalamasi

dermal,intrademal sekunder Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah. Kriteria hasil (NOC):  Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema  Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma  Kerusakan integritas kulit berkurang NIC Pengecekan kulit

Aktivitas

Rasional

Lihat kulit, adanya edema, Kulit

berisiko

karena

area sirkulasinya terganggu gangguan sirkulasi perifer atau pigmentasi

Hindari obat intramaskular

Edema

interstisial

dan

gangguan

sirkulasi

memperlambat

absorpsi

obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit

Perawatan kulit

Beritahu pasien untuk tidak Mencegah terjadinya luka menggaruk area yang gatal

akibat garukan

Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi. Kriteria hasil (NOC) :  Pasien tidak mengalami diare lagi  Pasien tidak mengalami mual dan muntah  Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi  Turgor kulit kembali normal NIC Perawatan Demam

Aktivitas Ukur

dan

Rasional

pantau

TTV, Peningkatan

suhu

contoh peningakatan suhu/ memanjangnya demam

atau demam

memanjang, meningkatkan

laju

takikardia,

hipotensi metabolic dan kehilangan

ortostatik.

cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan

takikardia

menunjukkan kekurangan cairan sistemik. Pengecekan kulit

Kaji turgor kulit, kelembaban Indicator membrane

mukosa

lidah).

langsung

(bibir, keadekuatan cairan,

volume meskipun

membrane mukosa mulut mungkin

kering

karena

napas mulut dan oksigen. Monitor cairan

Monitor

intake

dan Mengetahui keseimbangan

output cairan

Manajemen cairan

cairan

Beri obat sesuai indikasi Berguna misalnya

menurunkan

antipiretik, kehilangan cairan

antiemetic.

Berikan cairan tambahan IV pada sesuai keperluan

adanya

masukan/ kehilangan, parenteral

penurunan banyak penggunaan dapat

memperbaiki

atau

mencegah kekurangan.

D. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan.

E. Evaluasi Evaluasi yang dicapai sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.

Kasus pemicu Seorang anak usia 8 bulan dibawa ke rumah sakit karena mengakami sesak nafas dan ruam-ruam merah pada tubuhnya. Ibu mengatakan bahwa bayinya baru mulai untuk makan pendamping ASI. Ibu mengatakan bahwa setelah makan ,kulit bayi langsung merah-merah dan 2 jam setelah itu bayi batukbatuk dan langsung sesak nafas. Menurut ibu, bayi hanya makan ikan laut yang dilumatkan. Ibu mengatakan bahwa sejak usia 3 bulan kulit bayinya sering kemerahan, tetapi sering hilang timbul dan tidak sampai menyebabkan

bayi sesak nafas. Ibu mengaku bahwa bayi mendapatkan ASI eksklusif. Hasil pengkajian fisik didapatkan bayi terlihat sesak nafas (RR: 54x/menit) dan terlihat ruam yang bengkak dan kemerahan pada seluruh tubuh bayi. 1. Apa masalah yang dialami bayi tersebut? Bayi mengalami alergi atau hipersensitivitas 2. Apakah penyebab bayi mengalami masalah tersebut? Diduga kemungkinan penyebab masalah yang dialami anak adalah konsumsi makanan pendamping ASI yaitu ikan laut

3. Jelaskan patofisiologi penyakit bayi disertai dengan WOC Reaksi tipe I adalah reaksi alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan antigen. Pada kontak awal dengan imunogen, tubuh memproduksi IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan mastosit dan basofil. Saat tubuh kembali kontak dengan imunogen yang sama, interaksi antara imunogen dengan antibodi (IgE) yang sudah melekat ke mastosit menyebabkan pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat proinflamasi seperti histamin. Disamping histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat akan berperan pada fase lambat dari reaksi cepat tersebut, yang sering timbul beberapa jam sesudah terpajan dengan antigen. Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan didaerah yang terbatas maka pelepasan mediatornya juga lokal. Akibatnya terjadi vasodilatasi lokal disertai peningkatan permeabilitas dan pembengkakan. Namun apabila jumlah imunogen yang masuk dalam jumlah besar dan intravena ke dalam organ yang sudah peka, maka pelepasan mediatormediatornya dapat sangat banyak dan meluas, akhirnya timbul reaksi anafilaktik. Yang sering menjadi penyebab reaksi tipe I adalah serbuk sari, bisa serangga, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan (Price, 2007).

4. Apa tanda dan gejala yang khas pada bayi, jelaskan klasifikasinya (tipe14)? Tanda dan gejala khas pada bayi adalah: 

Bayi memiliki ruam bengkak dan kemerahan diseluruh tubuh



Bayi mengalami alergi pada kulit setelah memakan makananan pendamping ASI-nya, yaitu ikan laut, yang diduga sebagai penyebab alergi



2 jam setelah makan, bayi mengalami batuk dan sesak nafas

Klasifikasi hipersensitivitas yang dialami bayi ialah tipe I, karena hipersensitivitas bereaksi langsung atau anafilaktik, dan reaksi ini

berhubungan dengan kulit. Waktu reaksi juga berkisar antara 15-30 m3nit, hal ini dibuktikan dengan bayi yang sehabis mengkonsumsi makanan pendamping ASI langsung mengalami kemerahan pada kulitnya. 5. Bagaimanakah penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada bayi tersebut? 

Melakukan uji kulit



Pengambilan darah tepi



Penanganan farmakologik (sesuai dengan order dokter)

6. Bagaimanakah prognosis dan komplikasi dari penyakit pada bayi tersebut? Prognosis Alergi biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah berusia 2 tahun, biasanya imaturasi saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usiantersebut, gangguan saluran cerna dan kemerahan akibat alergi akan berkurang. Komplikasi a. a.Polip hidung b. b.Otitis media c. c.Sinusitis paranasal d. d.Anafilaksi e. e.Pruritus f. f.Mengi g. g.Edema 7. Jelaskan hal apa saja yang perlu dikaji pada bayi? Hal-hal yang perlu dikaji pada bayi, ialah : 

Data demografi Nama Nama ibu



: Bayi x : Ny.x

Tempat/tanggal lahir

: Padang/ xx April 2018

Umur

: 8 bulan

Alamat

: Jl. Sukakasih no.02

Riwayat kesehatan sekarang Keluhan utama

: Bayi berusia 8 bulan mengalami sesak nafas dan

ruam merah pada tubuhnya Kronologis keluhan

:

a) Bayi baru mulai makan makanan pendamping ASI yaitu ikan laut. Setelah mengkonsumsinya kulit bayi langsung kemerahan b) 2 jam setelah mengkonsumsi ikan laut bayi batuk-batuk dan sesak napas 

Riwayat kesehatan masa lalu Sejak usia 3 bulan, kulit bayi sering kemerahan tetapi hilang timbul, serta tidak sampai menyebabkan sesak napas



Riwayat kesehatan keluarga -



Riwayat kesehatan psikososial dan spiritual -



Analisis data Subjektif

: sesak napas, ruam merah pada tubuhnya, batuk

Objektif

: terdapat ruam bengkak dan kemerahan diseluruh tubuh,

serta respiratory rate 55x/menit 8. Rumuskanlah masalah keperawatan yang muncul pada bayi dan buat analisa datanya! Diagnose keperawatan : 

Bersihan jalan napas tidak efektif b.d respon alergi d.d pola napas berubah



Kerusakan integritas kulit yang b.d imunodefisiensi

9. Buatlah rencana intervensi sesuai dengan masalah keperawatan yang muncul pada bayi! Diagnosa Bersihan jalan nafas tidak

NOC 

Frekuensi

NIC 

Aktivitas

Manajemen

1. Posisikan

jalan nafas

untuk

pasien

efektif b.d respon alergi

pernafasan

d.d pola napas berubah

dipertahankan pada

memaksimalkan

2 ditingkatkan ke 5

ventilasi 2. Gunakan

teknik

yang menyenangkan untuk memotivasi

bernafas

dalam

kepada anak-anak (misal;

menium

gelombung, meniup kincir,peluit, harmonica, balon, meniup

layaknya

pesta, buat lomba meniup

dengan

bola

pingpong,

meniup bola ) 3. Instruksikan bagaimana bisa

agar

melakukan

batuk efektif 4. Posisikan

untuk

meringankan sesak nafas 5. Monitor

status

pernafasan

dan

oksigenasi, sebagaimana mestinya 

Manajemen alergi

1. Identifikasi yang

diketahui

(misalnya, obatan,

alergi

obat-

makanan,

serangga, lingkungan)

dan

reaksi yang tidak

biasa 2. Monitor

pasien

terhadap

reaksi

alergi

pada

pengobatan

baru,

formula, makanan, dan atau uji coba bahan celup 3. Monitor

pasien

mengnai

paparan

berikutnya terhadap gen yang diketahui

dapat

menyebabkan alergi

dengan

adanya

gejala

kemerahan, angioedema, urtikaria,

batuk

paroksismal, kecemasan

berat,

sesak

nafas,

muntah, sianosis,dan syok. 4. Identifikasi segera tindakan ancaman terhadap munculnya

reaksi

alergi dalam status kesehatan pasien 5. Siapkan obatan

obatuntuk

mengurangi

atau

meminimalkan respon alergi 6. Bantu

dengan

melakukan

tes

alergi, sebagaimana mestinya 7. Awasi

respon

alergi

selama

imunisasi 8. Instruksikan pasien untuk menghindari bahan

yang

menyebabkan alergi, sebagaimana mestinya 9. Instruksikan pasien bagaimana merawat kemerahan, muntah, diare, atau masalah

masalah

pernafasan

yang

berhubungan dengan dari

paparan

bahan

yang

membuat alergi

Kerusakan integritas kulit



Ruam

kulit



Perawatan

1. Pakaikan

pasien

yang b.d imunodefisiensi

setempat

kulit

dipertahankan pada 2 ditingkatkan ke 5 

Ketebalan

kulit

dipertahankan pada1 ditingkatkan ke 5

pakaian

yang

longgar 2. Sapu kulit dengan bubuk obat, dengan tepat 3. Pakaikan

popok

yang

longgar,

dengan tepat 4. Jaga

alas

kasur

tetap bersih, kering dan bebas kerut 5. Berikan

bedak

kering ke dalam lipatan kering 6. Berikan antibiotic topical

untuk

daerah

yang

terkena,

dengan

tepat 7. Berikan pembersih topical pada daerah yang

terkena,

dengan tepat 8. Periksa kulit setiap hari

bagi

yang

pasien beresiko

mengalami kerusakan kulit 9. Tambah kelembapan lingkungan dengan humidifier,

yang

diperlukan 

Pemberian obat: Kulit

1. Ikuti

prinsip

benar

5

pemberian

obat 2. Catat

riwayat

medis pasien dan riwayat alergi 3. Tentukan pengetahuan pasien mengenai medikasi dan

pemahaman

pasien

mengenai

metode pemberian obat 4. Tentukan

kondisi

kulit pasien di atas area dimana obat akan diberikan 5. Berikan

agen

topical sesuai yang diresepkan 6. Ajarkan

dan

monitor

teknik

pemberian mandiri, sesuai kebutuhan 7. Dokumentasikan pemberian obat dan respon

pasien,

sesuai

dengan

protocol institusi

BAB IV PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis,2009). Hipersensitivitas tipe I atau dikenal dengan alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap suatu zat yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). 3.2.Saran Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman pembaca mengnai hipersensitivitas pada anak, sehingga dapat membatu dlam melakukan tindakan keperawatan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur (SOP),dan kondisi pasien kala itu.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC.. Carpenito

LD.1995.

Diagnosa

Keperawatan

Aplikasi

pada

Praktek

Klinik. Jakarta: EGC. www.medikaholistik.com Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC. http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html

Related Documents


More Documents from "nadia rahadian"