Fp Apendisistis.docx

  • Uploaded by: Yurike Olivia
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fp Apendisistis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,704
  • Pages: 19
LAPORAN PROJECT BASE LEARNING (PJBL) FUNDAMENTAL PATOFISIOLOGI “APENDISITIS” Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Blok Sistem Digestif

REGULER 1 PSIK 2015

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FEBRUARI 2018

SLO : 1. Definisi 2. Klasifikasi 3. Epidemiologi 4. Patofisiologi 5. Faktor Risiko 6. Manifestasi Klinis 7. Pemeriksaan Diagnostik 8. Penatalaksanaan

1. DEFINISI Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Muttaqin & Sari, 2013). Apendisitis adalah infeksi dan pembengkakan pada usus buntu yang dapat menurunkan suplai darah ke dinding usus buntu. Hal ini menyebabkan kematian jaringan dan usus buntu bisa pecah atau meledak sehingga mengakibatkan bakteri dan tinja masuk ke dalam perut. Kejadian ini disebut usus buntu yang pecah. Sebuah usus buntu yang pecah bisa menyebabkan peritonitis atau disebut infeksi perut (Cheng et al., 2014). Sedangkan menurut Gloria,dkk (2016) apendisitis adalah peradangan pada apendiks viliformis yang penatalaksanaannya memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah terjadinya komplikasi.

2. KLASIFIKASI Klasifikasi apendisitis menurut Nurarif.H.A dan Hardi Kusuma (2013) terbagi menjadi 3 yakni : a. Apendisitis akut radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum local. b. Apendisitis rekrens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendictomy. Kelainan ini terjadi bila serangan

apendisitis alut pertama kali sembuh spontan. Namun apendistis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. c. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang setelah apendictomy.

Menurut Nurafif H.A dan Hardhi Kusuma (2013) dalam Arifin,DS (2014), klasifikasi apendisitis adalah sebagai berikut: a. Apendisitis akut Apendisitis akut terdapat radang secara mendadadk pada apendiks yang memberikan tanda disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum local. b. Apendisitis rekrens Terdapat riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendictomy. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis jaringan parut. c. Apendisitis kronis Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kroniks apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik) dan keluhan menghilang setelah apendictomy. d. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yangterus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan thrombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi hyperemia dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum local seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. e. Mukokel Apendiks Dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa terinfeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kristadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Keluhan muncul seperti rasa kurang tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di region iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik. (Adelia, 2012). a. Apendisitis akut Apendisitis akut dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :  Apendisitis Akut Sederhana, proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.  Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis), tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di

usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.  Apendisitis Akut Gangrenosa, bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikro perforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.  Apendisitis Infiltrat, adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.  Apendisitis Abses, terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.  Apendisitis Perforasi, adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. b. Apendisitis kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.

3. EPIDEMIOLOGI Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Insiden tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Kasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang, untuk rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1.4 : 1. (Omari et. al, 2014). Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012-September 2015 menunjukkan bahwa selama periode Oktober 2012-September 2015 terdapat 650 pasien. Jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%) sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan periapendikuler infiltrat. Kelompok umur tersering yang menderita apendisitis ialah 20-29 tahun sebanyak 224 pasien (34%). Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu laki-laki (363 pasien) dan perempuan (287 pasien) (Thomas et. al, 2016). Berdasarkan data Rekam Medik di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu selama tahun 2012 jumlah pasien penderita apendisitis ada sebanyak 218 pasien, Pada tahun 2013 terjadi peningkatan yaitu sebanyak 278 pasien. Pada tahun 2014 kembali mengalami peningkatan dan menduduki urutan ketiga dipoliklinik bedah yaitu sebanyak 434 pasien. Kasus apendisitis akut paling banyak dijumpai di Amerika Utara, Inggris, Australia, dan lebih jarang ditemui di Asia, Afrika Tengah dan masyarakat Eskimo. Jika penduduk dari negara-negara ini bermigrasi ke negara barat atau merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian apendisitis akan meningkat, oleh karena diperkirakan distribusi penyakit ini dipengaruhi oleh lingkungan dan bukan genetik. Apendisitis akut lebih banyak ditemukan pada mereka yang lebih banyak mengkonsumsi daging dibandingkan dengan masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat. Di Amerika Serikat kasus apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 70% kasus apendisitis terjadi pada usia dibawah 30 tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun

(Petroianu, 2012). Apendisitis akut sering terjadi pada usia 20–30 tahun, dengan ratio laki- laki dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, resiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7 % di USA. Pertanyaan : Mengapa apendisitis lebih ditemukan pada orang dewasa usia 2030 tahun daripada anak usia < 1 tahun? 

Dikarenakan anak usia < 1 tahun belum terpapar oleh beragam makanan sehingga anak usia dibawah 1 tahun jarang ditemukan apendisitis.



Selain itu anatomi dan fisiologi dari apendiks anak dan dewasa memiliki perbedaan. Lumen apendiks pada orang dewasa mengalami penyempitan sehingga kemungkinan terjadinya sumbatan di daerah tersebut lebih besar yang dapat mengakibatkan apendisitis.



Usia

20-30

tahun

individu

dalam

masa

produksi

sehingga

kurang

memperhatikan asupan nutrisi yang akan mudah mengakibatkan apendisitis.

4. PATOFISIOLOGI Faktor predisposisi 1. Obstruksi Lumen :

2. Infeksi kuman dari kolon (E. Coli dan Streptococuc).

a. Hiperplasia dari folikel limfoid

IDIOPATIK

3. Infeksi kuman.

b. Fekolit dalam lumen APENDIKS

4. Jenis Kelamin

c. Adanya benda asing (biji-bijian).

5. Bentuk dari Appendiks

Obstruksi pada lumen appendiks

Ketidakseimbangan antara produksi dan ekskresi mucus

Migrasi bakteri dari colon ke appendiks

Peningkatan mucus di area apendiks

Arteri terganggu

Obstruksi vena

Terhambatnya aliran limfe Edema dan ulserasi mukosa

Terjadinya infark pada usus Nekrosis appendiks

Edema dan peningakatan tekanan intra lumen

Nyeri epigastrium Nyeri akut

Peradangan pada dinding appendiks Ganggren Appendiks ganggrenosa

Peradangan meluas ke peritonium Pembedahan

Cemas pasien dan keluarga, pengungkapan cemas, pengungkapan pertanyaan

Luka insisi post bedah

Risiko tinggi infeksi

Mual dan muntah Absorbsi makanan tidak adekuat, pengeluaran cairan aktif

Mekanisme kompensansi tubuh Peningkatan leukosit dan peningkatan suhu tubuh Hipertermi

Nyeri saat ekstremitas kanan digerakan, saat istirahat dan beraktivitas

Risiko volume cairan kurang dari kebutuhan

Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan

Kurang pengetahuan

Nyeri akut pada luka post bedah

Intoleransi aktivitas Proses sekresi mukurs naik

Tekanan intraluminal

Stimulasi saraf eferen visceral

Stimulasi spinalis TH 8 dan Th 10 (N. vagus ) Stimulasi pusat muntah di medulla oblongata

Reflek muntah

Mual, muntah

5. FAKTOR RISIKO Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. a. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras b. Faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik c. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas d. Faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sujono H, 2013). Menurut Omar Faiz dan David Moffat (2004) dalam At A Grace Anatomy menjelaskan bahwa apendiks memiliki lumen yang relative lebar pada bayi dan menyempit seiring dengan bertambahnya usia serta seringkali menghilang pada manula. Hal tersebut menyebabkan insiden apendisitis pada bayi memiliki angka yang lebih rendah dibandingkan usia produktif karena ada penyempitan lumen pada usia produktif menyebabkan resiko penyumbatan yang menyebabkan apendisitis lebih parah.

6. MANIFESTASI KLINIS Berikut adalah manifestasi dari appendicitis (Windi & Sabir, 2016: 25) 1. Suhu tubuh < 37℃ pada pasien appendicitis tanpa komplikasi 2. Suhu tubuh sekitar 38.3℃, demam tinggi pada kasus apendisitis perforasi 3. Kadar leukosit secara signifikan lebih tinggi pada kasus apendisitis perforasi. 10.000 – 18.000 sel/mm3 untuk apendisitis tanpa perforasi dan > 18.000 sel/mm3 pada apendisitis dengan perforasi Gejala awal apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilicus, umumnya berlangsung 1-2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah. Dapat pula disertai dengan gejala lain seperti (Thomas, dkk, 2016: 232) : 1. Anoreksia

2. Mual 3. Muntah 4. Nyeri tekan disekitar titik Mc Burney 5. Spasme otot 6. Nyeri tekan lepas

Manisfestasi klinis lainya adalah: a. Nyeri dikuadran kanan bawah disertai dengan demam ringan, dan terkadang muntah kehilangan nafsu makan kerap dijumpai konstipasi dapat terjadi. b. Pada tiik Mc Burney (terletak diantara pertengahan umbilicus dan spina anterior ileum), terasa nyeri tekan local dan kekakuan otot bagian bawah rektus kanan. c. Nyeri pantul dapat dijumpai lokasi apendiks menentukan kekuatan nyeri tekan, spasme otot dan adanya diare atau konstipasi. d. Jika apendiks pecah, nyeri lebih menyebar abdomen menjadi lebih terdistensi akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk. (Brunner&Suddarth, 2014)

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di dasari dengan radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah: a. Nyeri visceral epigastrium. b. Nafsu makan menurun. c. Dalam beberapa jam nyeri pindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. d. Kadang tidak terjadi nyeri tapi konstipasi. e. Pada anak biasanya rewel, nafsu makan turun karena focus pada nyerinya, muntah-muntah, lemah, latergik, pada bayi 80-90% apendisitis terjadi perforasi (Sjamsuhidajat & Wong de jong, 2010).

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan fisik abdomen a. Psoas sign

Angkat kaki klien dari panggul san letakkan tangan diatas paha bagian bawah. Minta klien untuk menahan kaki selama diangkat dan tekan paha kearea bawah. Hasil: normalnya tidak ditemukan nyeri perut. Nyeri pada area RLQ dikaitkan dengan adanya iritasi pada otot iliopsoas sebagai tanda appendicitis b. Obturator Sign Sangga lutut dan engkel kanan klien. Lakukan fleksi paha kanan dan lutut dan letakkan rotasi internal dan eksternal kaki. Hasil : normalnya klien tidak merasa nyeri pada perut. Nyeri pada area RI.Q sebagai tanda iritasi pada otot obturatori yang menunjukkan appendiksitis atau perforasi appendik. c. Hypersensitivity test Tekanan perut dengan benda tajam atau dengan cubitan besar pada lipatan kulit dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk. Setelah itu lepaskan dengan tiba – tiba. Lakukan prosedur ini berkali – kali pada beberapa lapang dinding abdomen. Hasil : normalnya klien tidak merasa nyeri perut dan sensasi yang berlebihan. Nyeri dan sensasi berlebihan dirasakan pada area kiri R.I.Q sebagai tanda positif hypersensitivity test. Kulit sebagai indikator appendicitis peritonitis.

2. Pemeriksaan laboratorium a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis. b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen . Dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal. 3. Pemeriksaan Radiologi

a. Apendikogram. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi. b. Ultrasonografi (USG). USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura c. CT-scan. Pada pemeriksaan CT-scan apendik yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter lebih besar dari 6 mm dan cenderung megalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya. Perubahan ini meliputi adanya plegmon cairan bebas, abses, dan udara bebas. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat malignansi. (Harrison dan 16 Benziger, 2012).

Pemeriksaan laboratorium (Shefki Xharra, et al., 2012). -

Hitung sel darah putih total meningkat di atas 10.000/m3 pada 85% pasien, dan tiga perempatnya mempunyai hitung diferensial sel darah putih yang abnormal, mempunyai lebih dari 75% netrofil.

-

Pemeriksaan urin, tujuannya untuk menyingkirkan adanya kecurigaan batu ureter kanan dan infeksi saluran kencing.

-

Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP) bertujuan untuk menegakkan diagnosis apendisitis dan keparahannya yang memiliki keakuransian hingga 91%.

-

Pengukuran enzim hati Peningkatan enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kantong empedu, dan pancreas (Soepaman, 2013)

Pemeriksaan radiologi menurut (Petroianu, 2012) : -

Ultrasonografi (USG)

Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Pada pemeriksaan ultrasonografi akurasi dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut mendekati 75-90%, spesifisitas antara 86-

95%, dan nilai angka prediksi positif mencapai 91-94% serta akurasi secara keseluruhan sebesar 87-96% . -

CT Scan

Pada pemeriksaan CT scan ditemukan bagian menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Pemeriksaan CT-scan memiliki akurasi 94-98%, sensitivitas 90-98%, spesitifitas 91-98%, positif predictive value 92- 98% . -

MRI

Pada pemeriksaan MRI ternyata tidak lebih superior dibandingkan pemeriksaan lain dalam mendiagnosis apendisitis akut. MRI menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya dibandingkan pemeriksaan lain. -

Pemeriksaan Barium Enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari apendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding (Soeparman, 2013) Foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti apendisitis tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus halus.

Skoring sistem apendisitis akut a) Skor Alvarado Tabel 1. Gambaran klinis appendicitis akut berdasarkan skor Alvarado oleh Alvarado A, tahun 1986 dalam Jurnal Application of Alvarado Scoring System in Acute Appendicitis Management oleh Mellisa Handoko Wiyono tahun 2011. Tabel Skor Alvarado

Skor

Gejala Klinis: 1. Nyeri perut yang berpindah

1

ke kanan bawah 2. Nafsu makan menurun

1

3. Mual dana tau muntah

1

Tanda Klinis: Nyeri lepas Mc. Burney

1

Nyeri tekan pada titik Mc.

2

Burney Demam (suhu > 37,20C)

3

Pemeriksaan Laboratoris Leukositosis

(leukosit>

2

Shift to the left (neutrophil>

1

10.000/ml) 750C) Total

10

Intrepretasi : Skor 7-8 : appendicitis akut Skor 5-6 : curiga appendicitis akut Skor 1-4 : negative appendicitis akut Skor Alvarado ini juga digunakan untuk menentukan apakah apendistis dapat dilakukan pembedahan atau tidak b) Skor AIR (Appendicitis Inflamatory Response) Skor

AIR

(Appendicitis

Inflammatory

Response)

pertama

kali

diperkenalkan tahun 2008 oleh Manne E. Andersson dan Roland E. Andersson di Amsterdam. Castro de (2012) mengatakan bahwa penggunaan skor AIR dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut khususnya pada anak-anak, wanita reproduksi dan orang tua memberikan hasil lebih baik atau lebih unggul daripada skoring Alvarado. Hal ini dikarenakan variabel pada skoring AIR lebih mudah diterapkan pada anak-anak dimana Alvarado skoring mengharuskan anak-anak untuk dapat mengidentifikasi nausea, anoreksia dan berpindahnya nyeri yang sifatnya subjektif, sedangkan pada skoring AIR hal ini disederhanakan menjadi yang bersifat objektif. Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : -

Skor AIR 0-4 (low probability) Kelompok pasien yang tidak menderita apendisitis akut.

-

Skor AIR 5-8 (intermediate group).

Semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dan di evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi

pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk. - Skor AIR 9-12 (high probability) kelompok pasien yang menderita apendisitis akut.

Tabel 2 Sistem Skoring AIR

8. PENATALAKSANAAN Pada apendisitis akut pengobatan yang paling baik adalah operasi apendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di observasi istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik. Jika terjadi perforasi diberikan drain di perut kanan bawah (Brunner & Suddarth,2013). a. Tindakan Pre- Operatif : meliputi penderita rawat. Diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirah baring dan dipuasakan. b. Tindakan Operatif 1. Apendiktomi (Open Apendiktomi dan Laparokopik) 2. legmonApendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika 3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa

hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu

sampai 3 bulan.

Sebelum dilakukan apendiktomi bisa dilakukan laparoskopi terlebih dahulu untuk melihat seberapa para apendisitisnya atau apakah sudah rupture dan melihat penyebarannya

c. Tindakan Post- Operatif : satu hari pasca bedah klien diajurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 10 menit, hari berikutnya makan makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar. Hari ketujuh luka jahitan diangkat dan klien pulang Appendectomy masih menjadi satu-satunya perawatan kuratif pada apendisitis, tetapi managemen pasien dengan masa apendiks biasanya dapat dibedakan menjadi 3 kategori perawatan (Sandy C, 2017) : 1. Phlegmon atau abses kecil : seteah terapi antibiotic IV, interval appendectomy bisa dilakukan 4-6 minggu kemudian 2. Abses yang lebih besar : setelah drainase percutaneous dengan antibiotic IV dilakukan, pasien dapat keluar dari rumah sakit dengan kateter tetap terpasang. Interval appendectomy dapat dilakukan setelah fistula tertutup 3. Multicompartmental abses : pasien dengan kondisi ini memerlukan operasi pemasangan drainase segera.

DAFTAR PUSTAKA

Adelia, 2012. Prevalensi Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode Januari-Desember 2011. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Arifuddin, Adhar dkk. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu . Jurnal Preventif, Volume 8 Nomor 1, April 2017 : 1- 58 Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 12. Jakarta. EGC Cheng HT, Wang YC, Lo HC, Su LT, Soh KS, Tzeng CW, Wu SC, Sung FC, Hsieh CH, 2014,Laparoscopic appendectomy versus open appendectomy in pregnancy: a population-based analysis of maternal outcomes. Surgical Endoscopy. Craig, Sandy. 2017. Appendicitis : Practice Essentials, Background, Anatomy. Carolina

:

Medscape.

https://emedicine.medscape.com/article/773895-

overview#a2 Gloria, dkk. 2016. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2013. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika. Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC Omari,

A. et. al. 2014. Acute

Appendicitis

In

The

Elderly: Risk Factors for

Perforation. World Journal of Emergency Surgery. Petroianu A, 2012. Diagnosis of acute appendicitis: International journal of surgery 2012, Elsevier, New york, US, Vol 10(3). 115-9 S, Windi C, & Sabir, M. 2016. Perbandingan suhu tubuh kadar leukosit dan platelet distribution width (PDW) pada apendisitis akut dan apendisitis perforasi di

Rumah Sakit Umum Anutapura Palu tahun 2014. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 2 No. 2, Juli 2016. Fakultas Ilmu Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC. Soeparman, dkk, 2013. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : FKUI. Sujono, H. 2013. Gastroenterologi. Edisi 1. Bandung: PT Alumni. 500 hlm. Thomas, Gloria A. et. al. 2016. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Xharra Shefki, Gashi-Luc Lumturije. Correlation of serum C-reactive protein, white blood count and neutrophil percentage with histopathology findings in acute appendicitis. World Journal of Emergency Surgery 2012, 7:27

Related Documents

Fp
December 2019 45
Familias Fp
November 2019 40
Quadras-fp
November 2019 34
Fp Ppt
December 2019 24
Chove3... Fp
November 2019 32

More Documents from "Susie Cambria"