BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW. Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh perilaku Nabi Muhammad. Pandangan-pandangan
tentang
manusia
juga
lahir
dari
dunia
barat.
Nietzsche berpendapat bahwa seseorang bisa dikatakan sempurna ketika ia telah mendapatkan kekuasaan dan kebebasan secara penuh. Sedangkan menurut Arthur Schopenhauer manusia akan mencapai kesempurnaan ketika ia telah manamui kamatian. Kedua pendapat di atas jika dianalisis maka akan tampak kekurangannya yaitu unsur jasmani lebih ditonjolkan dan cenderung fatalistik, disamping itu kedua pendapat tersebut sangat dangkal dalam memahami eksistensi manusia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Definisi dari Insan Kamil ? 2. Bagaimana Makna Insan Kami dalam Konteks Sufistik ? 3. Bagaimana Manusia dalam Pandangan Al-Qur’an ? 4. Bagaimana Pola Pembentukan Insan Kamil ? 5. Bagaimana Ciri-Ciri Insan Kamil ?
1
C. Tujuan 1. Mengetahui Definisi dari Insan Kamil 2. Mengetahui Makna Insan Kami dalam Konteks Sufistik 3. Mengetahui Manusia dalam Pandangan Al-Qur’an 4. Megetahui Pola Pembentukan Insan Kamil 5. Mengetahui Ciri-Ciri Insan Kamil
2
BAB II PEMBAHASAN
1. DEFINISI DARI INSAN KAMIL Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.1 Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:2 a. Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.
1
Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah, Insan Kamil, (Semarang: 2005: CV. Bima Sejati), hlm. 47-48.
2
M. Karman dan Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: 2009: PT. Remaja Rosda Karya), hlm. 89-91.
3
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah alMuhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna. Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. b. Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian sebagai berikut : Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikat-Nya.
4
2. MAKNA INSAN KAMIL DALAM KONTEKS SUFISTIK
3. MANUSIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang kedudukan, perlu diketahui tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah dan khalifah sebagai utusan Tuhan dimuka bumi, disini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dengan disemangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penjalan amanah Tuhan di muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi.3 Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang terkait dengankedudukan manusia dalam alam semesta menurut alqur’an adalah sebagai berikut: a. Manusia Sebagai Khalifah dimuka bumi Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. Al-‘Imran:30) yang artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. "mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian : Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung: 2003: Mizan), hlm. 129-132. 3
5
Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan. Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna khalifah yakni unsur intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa kedudukan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia. b. Hamba Allah (Abdul Allah) Dalam konteks konsep abdul Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT. Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang artinya manusia berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan diri kepada Allah termasuk melalui aktifitas pengelolaan alam raya dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat:56 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat ayat:56).4 4. POLA PEMBENTUKAN INSAN KAMIL Proses atau tahapan pembentukan insan kamil dibedakan menjadi beberapa bagian antara lain : a. Proses Pembentukan Kepribadian Dapat dipahami bahwa insan kamil merupakan manusia yang mempunyai kepribadian muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung: 2003: Mizan), hlm. 132-133. 4
6
ciri khas dari keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti kata-kata, berjalan, makan, minum, berhadapan dengan teman, tamu, orang tua, guru, teman sejawat, anak famili dan lain-lainnya. Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki dan sikap terpuji lainnya yang timbul dari dorongan batin, yakni terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntunan Allah SWT, yang dalam istilah lain disebut akhlak mulia yang ditempuh melalui proses pendidikan Islam. Sabda Rasululah SAW yang artinya: “sesungguhnya aku diutus adalah untuk membetuk akhlak mulia” Dalam kaitan dengan hal itu dalam satu hadits beliau pernah bersabda : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”. b. Pembentukan Kepribadian Muslim. Kepribadian muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorang (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkah laku, serta kemampuan intelektual yang dimilikinya. 1) Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Individu Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga macam pendidikan.
Pranata Education (Tarbiyah Golb Al-Wiladah) Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini
dimula disaat pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda Rasulullah SAW : “ Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”.
Education by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih). Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua
di rumah tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan diluar dirinya. Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ” ( Q.S. An-Nahl : 78 ).
7
Self Education (Tarbiyah Al-Nafs) Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain
seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin, Self Education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui. Ia merupakan kecenderungan anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah. Firman Allah SWT yang artinya : “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thoha:50) 2) Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Ummah Komunitas muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu menjadi dua tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut : Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga Bentuk penerapannya adalah dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan rumah tangga, langkah-langkah yang di tempuh adalah:
Memberikan bimbingan berbuat baik kepada kedua orang tua
Memelihara anak dengan kasih saying
Memberikan tuntunan akhlak kepada anggota keluarga
Membiasakan untuk menghargai peraturan dalam rumah tangga
Membiasakan untuk memenuhi hak dan kewajiban antara kerabat
Pembentukan nilai-nilai islam dalam hubunga social Kegiatan pembentukan hubungan sosial mencangkup sebagai berikut:
Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji dan tercela
Mempererat hubungan kerjasama
Menggalakkan perbuatan terpuji dan memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat seperti memaafkan, dan menepati janji
Membina hubungan menurut tata tertib seperti berlaku sopan, meminta izin masuk rumah orang lain.
8
Perbuatan nilai-nilai islam dalam berkehidupan sosial bertujuan untuk menjaga dan memelihara keharmonisan hubungan antar sesama anggota masyarakat.5
5. CIRI-CIRI INSAN KAMIL Menurut Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan. b. Cerdas serta pandai Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. c. Ruhani yang berkualitas tinggi Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis. Sifat-sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban, Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan, Persepakatan dalam hidup, Perpaduan umah. Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan car istigfar kepada Allah SWT, ikhlas, sabar, cermat, optimis serta Syukur.
5
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: 2002: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 87-91.
9
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
Sifat amanah (dapat dipercaya) Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita anggap kurang berharga.
Sifat fathanah (cerdas) Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih baik.
Sifat siddiq (jujur) Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
Sifat Tabligh (menyampaikan) Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Konsep insan kamil merupakan salah satu kajian dalam dunia sufi yang cukup besar
menarik
perhatian
berbagai
kalangan.
Insan
kamil
merupakan
wadah tajalli Tuhan yang paling sempurna. Posisi insan kamil tidak hanya di tempati oleh satu orang tertentu, tetapi setiap orang berpotensial untuk mencapai derajat insan kamil ketika dia telah mampu memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan telah mencapai kesadaran secara penuh mengenai kesatuan hakikatnya dengan Tuhan. Dan yang paling tinggi tingkatannya adalah Nabi Muhammad, dengan tanpa menutup kemungkinan bahwa masih ada manusia-manusia lain yang bisa saja sampai pada derajat insan kamil. Namun yang bisa sampai pada tingkatan khitam yaitu tingkatan tertinggi dalam derajat insan kamil hanya satu yaitu Nabi Muhammad. Jika di lihat, Nabi Muhammad yang merupakan manusia yang paling sempurna ternyata merupakan makhluk multi dimensi. Artinya dalam hal spiritual tidak ada yang mampu melebihi Nabi, namun disamping itu dalam kehidupan sosialnya Nabi adalah manusia yang sangat perduli terhadap kondisi masyarakatnya, bahkan beliau rela mengorbankan diri, keluarga, dan hartanya untuk kepentingan sosial. Seorang muslim sudah selayaknya mengetahui tentang apa itu insan kamil, kepribadian dan intelektualnya. Agar dapat membangaun dirianya dan masyarakatnya.
11
DAFTAR PUSTAKA Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Shihab, Quraisy. 2003. Membumikan Al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah. 2005. Insan Kamil. Semarang: CV. Bima Sejati. Supiana, M. Karman. 2009. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
12