TUGAS FILSAFAT ILMU
PARADIGMA PENELITIAN/ KEILMUAN DIKAITKAN DENGAN METODE PENELITIAN
OLEH
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2015 1
A. PARADIGMA FENOMENOLOGI Paham empirisisme banyak digunakan sebagai dasar di dalam proses penemuan pengetahuan. Paradigma penelitian yang berdasarkan pada empirisisme dikenal sebagai fenomenologi. Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dalam arsitektur, terdapat beberapa teori yang melakukan kajian fenomenologi terhadap arsitektur diantarannya adalah 1. Husserl dengan dasar pekerjaan fenomenologinya adalah “investigasi yang seksama atas kesadaran beserta obyeknya”. 2. Martin Heidegger dengan kajian fenomenologinya yang sangat penting untuk diketahui adalah “bangunan (building) berbeda dengan hunian (dwelling). Hunian menurutnya mengandung makna “tinggal bersama benda” (dengan mengakui benda sebagai sebuah eksistensi, dan disini dimasukkan golongan benda itu – cacatan Josef Prijotomo). Heidegger juga menyakini bahwasanya bahasa membentuk pikiranpikiran manusia, sedangkan pikiran dan puitika menjadi tuntutan bagi hadirnya hunian. 3. Christian Norberg – Schultz, dengan melakukan penafsiran terhadap fenomenologi Heidegger. Mengatakan potensi yang dimiliki oleh arsitektur adalah dalam mendukung keberadaan dan kehadiran dari hunian (dwelling). Norberg – Schultz memang diakui sebagai pendekar utama dari fenomenologi arsitektur, yang memiliki kepedulian yang tinggi tentang “konkretasi yang eksistensial” melalui pembuatan tempat. 4. Juhanni Pallasmo, banyak menyoroti aprehensi psikis dari arsitektur. Karena itulah beliau berbicara tentang membuka cakrawala pandangan terhadap realitas kedua dari persepsi, mimpi, kenangan yang terlupakan dari imajinasi. Adapun ciri-ciri paradigma fenomenologi ini bisa dikelompokkan menjadi tiga yakni: a) Ciri ontologis: adanya realitas ganda, realitas yang terikat setingnya, konteks natural, menolak menggunakan teori (teori hanya sebagai latar pengetahuan), dan pendekatan holistik.
2
b) Ciri epistemologi: bersatunya ilmuwan dan objek, membangun ilmu lokal/idiografis, adanya hubungan reflektif, memakai metoda induksi, mengakui kebenaran sensual, logik, etik dan transendental. c) Ciri aksiologi: terikat nilai /hanya berlaku lokal, kontekstual.
Sedangkan menurut Lincoln dan Guba (Moleong, 1993:31) aksioma paradigma alamiah atau yang lebih dikenal dengan paradigma fenomenologi/ naturalistik adalah sebagai berikut : 1. Aksioma tentang Hakikat kenyataan : Kenyataan adalah ganda, dibentuk dan merupakan keutuhan. 2. Aksioma tentang Hubungan pencari tahu dengan yang tahu : Pencari tahu dan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan. 3. Aksioma tentang Kemungkinan generalisasi : Hanya waktu dan konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang dimungkinkan. 4. Aksioma tentang Kemungkinan hubungan sebab akibat : Setiap keutuhan berada dalam keadaan mempengaruhi secara bersama- sama sehingga sukar membedakan mana sebab dan mana akibat. 5. Aksioma tentang peranan nilai : Inkuirinya terikat nilai.
Menurut Moleong (1998) bahwa paradigma alamiah berasal dari pandangan fenomenologis. Selain itu menurut Moleong (1993) juga mengatakan bahwa penelitian Kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar di antaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Dalam hal ini, fenomenologi adalah bagian dari metode kualitatif. Sebagai bagian dari metode penelitian kualitatif, metode fenomenologi memiliki banyak manfaat. Pertama, metode fenomenologi cenderung untuk menentang atau meragukan apa-apa yang diterima tanpa melalui penelaahan atau pengamatan lebih dahulu, dan menentang sistem besar yang dibangun dari pemikiran yang spekulatif (Agus Salim, 2001). Kedua, metode fenomenologi cenderung untuk menentang naturalisme (objektivisme atau positivisme), yang tumbuh secara meluas dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang telah menyebar di daratan Eropa bagian utara sejak zaman Renaissance. Secara positif, metode fenomenologi cenderung untuk membenarkan pandangan atau persepsi (yang juga dalam beberapa hal merupakan evaluasi dan tindakan) yang mengacu pada apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai evidenz, yang juga berarti terdapatnya 3
kesadaran tentang kebenaran itu sendiri sebagaimana yang telah terbuka secara sangat jelas, tegas perbedaannya dan menandai sesuatu yang disebut “apa adanya seperti itu”. Ketiga, metode fenomenologi cenderung untuk memegang teguh bahwa peneliti harus memfokuskan diri pada apa yang disebut sebagai “menemukan permasalahan” sebagaimana yang diarahkan pada objek dan pembetulannya terhadap objek sebagaimana ditemukan permasalahannya. Terminologi ini tidak secara luas digunakan, tetapi merupakan hal yang digunakan untuk menekankan problematika ganda dan pendekatan reflektif yang dibutuhkan. Keempat, fenomenologi cenderung untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal, pengertian a-priori atau “eiditic” untuk menjelaskan tentang sebab-akibat maksud ataupun latar belakang. Kelima, fenomenologi cenderung untuk mempersoalkan tentang kebenaran atau ketidakbenaran mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl dalam transcendental phenomenological epoch, dan penyederhanaan pengertiannya menjadi sangat berguna dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. Rasionalisasi kelima manfaat metode fenomenologi ini dalam suatu penelitian, peneliti tidak secara langsung berhadapan dengan data yang secara langsung menyajikan makna, yang dapat ditangkap oleh peneliti. Peneliti berupaya untuk menangkap makna pada objek penelitian melalui gejala-gejala yang ditangkap oleh peneliti. Fenomenologi menekankan pada aspek subjektif, artinya mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual dari objek yang ditelitinya, sehingga peneliti mengerti tentang apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkannya di sekitar peristiwa atau objek penelitian dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada objek penelitian natural dan kepustakaan memiliki sifat ganda artinya memiliki berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman dan makna melalui interaksi dengan orang lain, dan pengalaman manusialah yang membentuk kenyataan (Kaelan, 2005). Di dalam paradigma fenomenologi ini dikenal lima macam metode penelitian (Sudaryono, 2002), yaitu: metode etnografi, metode riset partisipatif, metoda aksi, metode interaksi simbolik dan metode naturalistik. Metode pertama sampai keempat lebih sering digunakan oleh ilmuwan sosial khususnya antropologi, sedangkan penelitian arsitektural lebih sering menggunakan metode naturalistik meskipun secara prinsip dasarnya sama yaitu bersifat grounded research. Oleh karena itu, istilah fenomenologi di dalam arsitektur sering juga digantikan atau dianggap sama dengan istilah naturalistik, karena pada dasarnya memiliki pengertian yang sama. Karakteristik penelitian naturalistik menurut Guba dan Lincoln (1985) adalah : 4
1.
Konteks natural, yaitu suatu konteks kebulatan menyeluruh yang tak akan difahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.
2.
manusia merupakan alat utama pengumpul data karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas, dan mampu menangkap makna apalagi untuk mengahadapi nilai lokal yang berbeda-beda.
3.
pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan (misalnya intuisi atau perasaan) karena akan memperkaya yang eksplisit.
4.
mengutamakan metoda kualitatif, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda, lebih sensitif dan adaptif terhadap berbagai pengaruh timbal-balik.
5.
pengambilan sampel secara purposif, untuk menekan kemungkinan munculnya kasus yang menyimpang. Hasil yang dicapai dari pengambilan sampel ini untuk mencari kemungkinan transferabilitas pada kasus lainbukan generalisasi.
6.
mengutamakan analisis data induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah didekripsikan.
7.
menyusun grounded theory yang diangkat dari empiri, yang sesuai dengan konteks idiografik.
8.
desain sementara. Sifat naturalistik cenderung memilih penyusunan desain sementara daripada mengkonstruksikannya secara apriori, karena realitas ganda sulit dikerangkakan.
9.
hasil yang disepakati antara makna dan tafsir atas data yang diperoleh dengan sumbernya (responden), karena responden lebih memahami konteks lokal daripada peneliti.
10. modus laporan studi kasus untuk menghindari bias yang mungkin muncul dari realitas ganda yang tampil dari interaksi antara peneliti dan responden. 11. penafsiran idiografik, baik dalam penafsiran data maupun penarikan kesimpulan, dalam arti keberlakuan khusus. Ini dianggap lebih valid karena peran interaktif berbagai faktor lokal lebih menonjol, begitu juga dengan sistem nilainya. 12. aplikasi tentatif, karena realitas ganda antara peneliti dan resonden bersifat khusus dan tidak bisa diterapkan secara meluas. 13. ikatan konteks terfokus, meskipun ikatan keseluruhan (holistik) tidak dihilangkan tetapi tetap terjaga keberadaannya. 14. Kriteria kepercayaan, yaitu kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas.
5
B. PARADIGMA POSITIVISME Positivisme merupakan paradigma yang muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Positivisme muncul pada abad ke 19 dengan dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, sesungguhnya pendiri filsafat positivis adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan. Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivisme adalah sebagai berikut : 1.
aspek ontologis, positivisme menghendaki bahwa realitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol;
2.
secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; Paradigma Positivisme meyakini adanya realitas yang objektif. Hal ini terjadi karena antara subjek (pengamat) dan objek (yang diamati) selalu ada jarak. Distansi ini meyebabkan objek ini dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil (kesimpulan) yang sama sepanjang metodologi yang digunakan juga sama. Realitas itu, dengan demikian, selalu tunggal. Epistemologi positivisme, harus menempatkan peneliti dibelakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektivitas
temuan.
Maka
secara
epistimologi
paradigma
positivisme
mengkonsepsikan peneliti mendudukan diri secara impersonal, terpisah dengan objek penelitian. Posisi peneliti dengan demikian netral, tidak berpihak terhadap objek penelitian. 3.
secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku 6
bebas waktu dan tempat. Pada paradigma positivism, hal-hal yang berhubungan dengan nilai etika dan pemilihan moral harus berada di luar proses penelitan. Dengan kata lain bahwa paradigma ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang bebas nilai, artinya bahwa nilai etika dan pilhan moral harus berada di luar proses penelitan. Ini merupakan konsekwensi Iogis dari pernahaman manusia yang deteministik, realitas sosial yang obyektif dan metode yang alamiah. Positivisme paradigm mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus netral dan bebas dari nilai, ini merupakan bentuk pola pikir yang mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang tidak mengikuti metode ilmiah (scienctified method) yang telah diformat/diatur dengan aturan tertentu adalah ilmu- ilmu yang tidak ilrniah dengan kata lain yaitu ilmu yang tidak sahih dan tidak layak untuk hidup. dikembangkan apalagi dipraktekan. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan rerata tersebut. Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Indriantoro dan Supomo dalam Yuhertiana, menggolongkan paradigma berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Menurutnya yang termasuk sebagai paradigma kuantitatif adalah paradigma tradisional yang disebut juga sebagai paradigma positivis, eksperimental dan empirisis. Metode kuantitatif menggunakan dasar filosofis positivisme maupun neopositivisme (Sarantakos dalam Yuhertiana). Sedangkan pada paradigma positivisme metode yang digunakan adalah metode ilmiah karena peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai eksperimen. (Nasution,1992:3-5)
Dari teori tersebut, dapat dikatakan bahwa
7
pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagianbagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubunganhubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif
merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12). Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji halhal yang ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat. Filosofi penelitian kuantitatif dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu : a) Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri. b) Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan. c) Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik. 8
Positivisme
menggunakan
metode
deduksi-induksi.
Hal
ini
dikarenakan
positivisme merupakan perpaduan antara rasionalisme dengan metode deduksi dan empirisme dengan metode induksi. Induksi menganggap hakikat ilmu adalah gabungan dan pengetahuan, percobaan, penyusunan fakta, dan hukumn umnumn. Dan berangkat dari khusus-umum, sedangkan pola penalaran deduksi berarti dimulai dar umum ke khusus. Positivisme lebih didominasi pola penalaran induksi. Induksi adalah dasar perumusan hipotesis. Pernyataan-pernyataan spesifik yang diperoleh dari observasi fakta- fakta tersebut, kemudian dicarikan pola-polanya dengan meletakkan asumsiasumsi tertentu. Artinya, pemyataan-pernyataan spesifik itu ditarik menjadi suatu pernyataan umum. Pernyataan umum ini adalah rumusan hipotesis tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang logis, sehingga dan rumusan itu nantinya memungkinkan dibuat suatu ramalan konkret yang dapat diselidiki kebenarannya. Tahap kedua (kemudian diperkuat sarnpai dengan kegiatan tahap ketiga) menghasilkan susunan pengetahuan ilmiah tingkat kedua, berupa hipotesis atau dalil (hukum-hukurn). Acuan filosofik dasar metodologi penelitian kuantitatif dengan paradigma positivisme adalah sebagai berikut: 1.
Acuan hasil penelitian terdahulu Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil penelitian terdahulu”.
2.
Analisis, sintesis dan refleksi Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.
Fakta obyektif a. Variabel Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain. b. Eliminasi data Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti. c. Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas 9
dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya. 4.
Argumentasi a. Fungsi parameter Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat). b. Populasi Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti. c. Wilayah atau penelitian Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama.
5.
Realitas a. Desain standar Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis. b. Uji kebenaran Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya. Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
10
C. PARADIGMA RASIONALISME Pengertian istilah ini, menurut Kamus Advanced English – Indonesia adalah sebagai berikut: Rationale yang berarti (1) alasan utama (2) dasar alasan. Sementara Rationalism diartikan sebagai prinsip atau kebiasaan untuk menerima penalaran sebagai kekuasaan tertinggi dalam hal mengemukakan pendapat. Rationalist adalah orang yang menerima penalaran sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam dunia arsitektur, Rationalisme diartikan suatu paradigma dalam arsitektur yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat nalar. Atau dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencetuskan ide-ide arsitektur yang didasarkan pada pertimbangan yang masuk akal. Paradigma Rasionalis tumbuh pada sekitar pertengahan abad XIX di Eropa, Hal ini merupakan jawaban atas kondisi yang terjadi pada saat itu. Adapun penyebabnya adalah (a) munculnya revolusi industri yang ditandai dengan munculnya teknologi konstruksi. (b) meningkatnya kebutuhan rumah tinggal di kota karena pesatnya arus urbanisasi dan (c) semakin meningkatnya bentuk-bentuk eklektis dalam karya arsitektur saat itu, yang tidak sesuai dengan perkembangan teknologi. Secara ontologis, paradigma rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan.Pengetahuan dicari dengan akal ,temuannya diukur dengan akal pula (Tafsir, 2004 : 30). Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek (Bakhtiar, 2008). Diperoleh dengan akal ialah diperoleh dengan cara berpikir logis,diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak.Jika logis berarti benar,dan jika tidak logis berarti salah. Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman atau kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan,melainkan pengalaman indera hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja,tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata karena akal.Akal mengatur dan mengolah bahan atau data yang dihasilkan oleh indera sehingga bisa terbentuk pengetahuan yang benar.Jadi fungsi panca-indera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata sedangkan akal menghubungkan datadata itu satu dengan yang lain. Demikianlah rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia itu adalah rasio.Rasio itu berpikir.Berpikir inilah yang membentuk pengetahuan.Karena hanya manusia yang berpikirlah yang memiliki
11
pengetahuan.Berdasarkan pengetahuan inilah manusia berbuat dan mementukan tindakannya. Secara epistomologis, Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang digunakan dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran manusia di sini hanyalah untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadiankejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. (S.Suriasumantri,1993:51). Sehingga ilmuwan rasionalis akan menolak teori-teori yang gagal menepati kriteria universal itu dan apabila memilih antara dua teori rival, ia akan memilih teori yang dapat menepati kriteria universal itu paling baik. Cara rasionalis mencari dan membuktikan pengetahuan mereka dijelaskan dalam Mufiq dalam Banir (2013) menurutnya bagi kaum rasionalis, realitas dapat direduksi ke dalam deduksi-deduksi logis yaitu dengan menemukan batasan-batasan, dan hukum-hukum yang menyertainya. Pengamatan menjadi tidak begitu penting ketika hukum-hukum logis akan sesuatu telah ditemukan. Hasil pengujian rasio lebih memberikan rasa kepastian bagi manusia daripada pengamatan empiric. Penemuan hukum-hukum logis menjadi sangat penting karena dunia dianggap sebagai seperangkat hukum-hukum yang harus diketahui. Pengamatan inderawi tidak mungkin membawa pada pengenalan hukum-hukum tersebut kecuali sebatas data-data awal yang bersifat partikular. Di sini rasiolah yang mampu menemukan. Lebih jelas Tafsir (1998) menguraikan uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya mernperhatikan empat hal berikut ini : 1.
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
12
3.
Bimbinglah pikiran dengan teratur. dengan rnernulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.
Dalam proses pencarian dan penelaahan hal- hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan- perhitungan yang sempurna serta pertimbangan- pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Secara aksiologi, paradigma rasionalisme menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dengan kriteria yang universal. Selain itu, mencari hukum universal yang dapat meliputi semua kasus walaupun dengan pengolahan statistik dicapai tingkat probabilitas dengan mementingkan sampling untuk mencari generalisasi. Adapun metode yang digunakan dalam paradigma rasionalisme dalam penelitian adalah membuat kerangka konsep atau semacam teori dasar (grounded theory) yang sifatnya deduktif dimana premis yang digunakan dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Kemudian setelah itu melalukan uji hipotesa. Uji hipotesis adalah metode pengambilan keputusan yang didasarkan dari analisis data, baik dari percobaan yang terkontrol, maupun dari observasi (tidak terkontrol). Dalam statistik sebuah hasil bisa dikatakan signifikan secara statistik jika kejadian tersebut hampir tidak mungkin disebabkan oleh faktor yang kebetulan, sesuai dengan batas probabilitas yang sudah ditentukan sebelumnya (Wikipedia,2015). Ini berarti paradigma rasionalistik dalam tinjauan ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menganalisa data yang ada. Ini sesuai dengan pendapat Margono dalam Bahrun (2014), penelitian kuantitatif adalah suatu penelitian yang lebih banyak menggunakan logika hipotesis verifikasi yang dimulai dengan berfikir deduktif untuk menurunkan hipotesis kemudian melakukan pengujian di lapangan dan kesimpulan atau hipotesis tersebut ditarik berdasarkan data empiris. Selain itu, Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (2000: 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
13
pemikiran tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,Amsal. 2008. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kaelan. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma. Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nasution. 1992. Metode Penelitian Naturalistik- Kualitatif. Bandung : Tarsito. Roesmanto,Totok, dkk. 1999. Buku Ajar Mata Kuliah Teori Arsitektur. Cimanggis, Jawa Barat. S.Suriasumantri,Jujun. 1993. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Salim,Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tafsir,Ahmad. 1998. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. http://www.philosophyresearcher.com/2013/07/rasionalisme-empirisme-agnostisismedan.html http://www.statistikian.com/2012/10/penelitian-kuantitatif.html http://www.filsafat-uin-suka.com/tulisan/makna-metode-fenomenologi-bagi-penelitiankualitatif#_ftnref13 http://mastaritanova.blogspot.co.id/2012/09/penelitian-positivistik.html https://id.wikipedia.org/ http://blog.unnes.ac.id/dedijongjava/2015/12/10/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuansosial/
15