Filsafat Ilmu

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Filsafat Ilmu as PDF for free.

More details

  • Words: 5,007
  • Pages: 15
DASAR, STRUKTUR DAN KLASI FIKASI ILMU PENGETAHUAN (ISLAM): Meretas Epistemolog i Baru Berparadigma Wahyu Verbal Oleh: Umiarso A. Prolog: Sebuah Wacana Pengantar Bacala h dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan Dia tela h menciptakan ma nusia dari segumpal darah Bacala h, dan Tuhanmula h yang ma ha pemurah Yang mengajar (ma nusia) dengan perantara kala m Dia mengajarakan kepada ma nusia apa yang tidak diketa huinya 1 (Surat Al-Alaq: 1-5, wahyu Tuhan yang pertama kepada nabi Muhammad ). Bias bahan materia l ilmu dan batas geokultural dala m komunitas ma nusia perlu dikaji secara kritis-selek tif sebaga i ela n dasar pengembangan wawasa n intelektual. Dekonstruksi batas definitif objek dan wila yah ilmu adala h dasar etik seluruh kesaksia n (sya hadah) ketuhanan secara intelektual yang didasari oleh spirit pemuliaa n kema nusiaa n (huma nitas) tanpa mema ndang batas-batas geokultural. Sebab tak ada realitas di luar peran Tuhan dan tak ada realitas yang terfregmentasi (terpisa h) menjadi sub system yang eksis dengan eksistensinya sendiri. Seluruh fisis keala man dan huma niora terkonstruksi dala m kesatuan mistis di bawah paradigma The Natural Laws (Sunnahtulla h). Teks verba l sacral Tuhan yaitu al-Qur’an dan al-Had ist juga teks nonverba l ala m natural dan socia l adala h sumber dan bahan materia l ilmu sebaga i kesatuan entitas mistis universum yang tak terpisa hkan kecuali bagi kebutuhan analisis ilmia h rasiona l materialistic. Dengan demikia n, The Natural Laws mer upakan ontologis-meta fisis seluruh objek ilmu yang bukan sekedar berdimensi empiris an sich . Ilmu adala h konsep realitas sebaga i bentuk kehadiran Tuhan dala m dunia empiris yang disadari oleh subjek ilmu. 2 Pendekatan-pendekatan kritis dengan formulasi metodologik dapat memasuki dataran objek transenden dan ontos-meta fisis dari seluruh realitas dan histor ies-sosilogis subjek ilmu. Maka

1

Sayyid Quth’b. Tafsir Fi Zhilalil Qur Qur’’an: Di Bawah Naungan Al-Qur Al-Qur’’ an (Jilid 24). Jakarta: Gema Insa ni Press. 2002. hal: 177 2 Abdul Munir Mulkhan. Pemuliaan Kemanusiaan Dalam Etika Intelektual Santri, dala m Abdul Munir Mulkhan dkk. Rekontruksi Pendidikan Dan Tradisi Pesantren: Religiusitas IPTEK. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal: 41

1

ketika problema keilmua n bersumber pada hubungan subjek-objek, formulasi penyusunan akar ilmu dapat dibedakan menjadi beberapa style (model) sesua i dengan pandangan dasar ( world view) mengena i hakikat filosofisnya. Yang pertama adala h pendekatan model dengan asumsi dasar bahwa ilmu adala h konsep mengena i realitas yang tersusun secara hierarkis dan structural. 3 Implikasi dari asumsi ini yaitu bahwa struktur ilmu tersusun secara hierarkis sesua i dengan konseptualisasi pluralnya realitas tersebut. Dan yang kedua, berdasarkan pada asumsi dasar bahwa ilmu mer upakan simbolisasi kesadaran ma nusia, 4 dan dari ini maka muncul struktur ilmu yang akan bersesua ia n dengan stadium-stad ium kesadaran ma nusia. Dari dua asumsi dasar tersebut, ada yang berpandangan bahwa akar ilmu adala h struktur dan hubungan antara subjek dan objek, hal ini berarti bahwa ilmu adala h pola struktur hubungan itu sendiri yang berada di luar dari subjek ma upun objek. Pandangan yang ketiga adala h yang lebih banyak bersumber pada hakikat “being” yang antos-fisis an sich dan mered uksi sisi la in dari hal “being” yang bersifat ontos-meta fisis. Dan dala m pandangan Aguste Comte (1798-1857), seorang filosof kebangsaa n Perancis yang masuk pada aliran Positivistik, membagi pola ala m pikiran ma nusia yang berkembang berdasarkan pada beberapa tahapan yaitu 3

Pandangan tersebut mer upakan worldview dari filosof sosia lis yaitu Karl Mark. Dan dengan pandangan dari aliran socia l tersebut yang terkena l dengan materia lisme histor ies, kita tela h disadarkan oleh pandangan tersebut bahwa ternyata sejarah terus bergerak berdasarkan gerak materia lnya dan semua perkembangannya menuju pada tiga fase yaitu fase tesis, antitesis dan sintesis. Lebih detailnya lihat Daniel L. Pals. Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. Hal: 179-223. Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Hal: 1018-1028. Ali Mudhofir. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Hal: 348-352 4 Simbolisasi kesadaran ma nusia ini perna h dia lami oleh nabi Ibrahim, bapak agama Monothoisme dunia yaitu Isla m, Kristen dan Yahudi, yang di dala m drama teologisnya nabi Ibrahim ketika mencari Tuhannya tidak dala m lingkaran histor ies-sosiologis, akan tetapi di atas lingkaran histor ies-sisiologis. Dan juga pada nabi Muhammad yang di kenal sebagai khatamul anbiya’, juga mengalami hal yang sama dengan berkontemplasi di gua Hira ’ dan turunlah wahyu yang pertama yaitu surat Al-Iqra’: 1-5. lebih detail tentang nabi Muhammad lihat Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur Al-Qur’’ an: Tafsir Maudhu Maudhu’’I Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Miza n. 2004. Hal: 41-58

2

tahapan teologis, meta fisis dan positivistic 5 , atau juga Cornelis Anthonie Van Peursen (1920- ), seorang filosof kebangsaa n Bela nda, membagi perkembangan ala m pikiran ma nusia pada tiga tahapan yaitu tahapan mistis, teologis dan fungsiona l. 6 Pola-pola tahapan perkembangan pikiran ala m ma nusia tersebut bisa dijadika n tangga akar susuna n ilmu, artinya akar susuna n ilmu dapat diliha t dari tahapan perkembangan pikiran subjek ilmu yang bertransformasi dari tahapan ke tahapan yang la in secara evolutif-gradualistik atau revolutif. Sehingga struktur ilmu ketika mengikuti pola ini adala h tahapan pemikiran itu sendiri. Dan ketika tahapan itu tidak hanya bersifat histor ies an sich tetapi juga bersifat akumulasi kualitatif, maka setiap pemikiran dan perkembangan ilmu akan dimula i dengan konsep mistik atau teologis –integralistik universum --. Akan tetapi, jika kritik ilmu mula i kembali mempertanyakan keabsahan formalitas-nor matif pembakuan fungsiona listik atau positivistic, tahapan ilmu mungkin mula i berdaur ula ng mencapai suatu tahapan keempat atau bahkan lebih. Sementara struktur konsep diliha t dari rentang jarak epistemologis terhadap realitas (ontologis/empiris) dapat dibedakan menjadi: konkreta, abstrakta

5

a. tahapan teologis bersifat antropomor fik. Benda-benda mer upakan ungkapan dari super naturalisme, bermula dari fetish kemud ian polyteisme dan kemud ian menjadi monothoisme. Ini adala h abad monarkhi dan kekuasaa n mutlak. Ini mer upakan abad kekanak-kanakan. b. tahap meta fisik mengantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas ma nusia. Ini adala h abad nasiona lisme dan kedaulatan umum, abad remaja. c. tahapan positif berusa ha untuk mengungkapkan hubungan yang seragam dala m gereja. Tahap ini menghindari pertanyaan “mengapa” dari teologi dan meta fisika. Dan mena nyakan bagaima na kaida h-kaida h ala m mengantikan sebabsebab yang mutlak. Ali Mudhofir. Kamus Filsuf … Op. Cit. Hal: 102 6 a. tahap mistis ia lah sikap ma nusia yang merasa dirinya di kepung oleh kekuatan gaib disek itarnya, yaitu kekuasaa n dewa-dewa ala m atau kekuasaa n kesuburan, seperti yang dipentaskan dala m mitologi-mitologi dari bangsa primitif. b. tahap ontologis ia lah sikap ma nusia yang tidak la gi hidup dala m kepungan kekuasaa n mistis, mela inkan secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu (ontologi) dan segala sesuatu menurut perincia nnya (ilmu). c. tahap fungsiona l ia lah sikap dan ala m pikiran ma nusia moder n. Ia tidak begitu terpesona oleh lingkungan (mistis), ia tidak la gi kepala dingin mengambil jarak terhadap objek penyelid ikannya (sikap ontologis). Manusia justru ingin mengadakan relasi baru. Ibid. Hal: 516

3

dan illa ta. 7 Seluruh konsep mer upakan hal yang abstrak namun karena kedekatannya dengan realitas/empiris maka di sebut dengan konkreta, artinya semakin tinggi tingkat abstraksi suatu konsep dengan realitas empiris disebut dengan abstraksi dan yang tertinggi adala h illata, dan sedangka n yang dekat dengan realitas empiris/praksis di sebut dengan konkreta. Dan hal ini nantinya mempengaruhi tingkat transformasi suatu ilmu di ma na konsep yang semakin berkaita n dengan hal-ha l praksis semakin muda h beruba h dan tak berlaku karena realitasnya beruba h. Akan tetapi, objek ilmu tetap stagnan dengan eksistensinya dan kesatuan mistis realitas universum menjadikan definisi cultural tidak dapat dijadika n dasar reduksi objek ilmu. Pemikiran rasiona l spekulatif dikembangkan bersama yang empiris, sedangka n yang logika formal kausalistik dikembangkan bersama yang lateral spiritual dan intuitif. Berdasarkan paparan tentang seluk beluk ilmu dan juga tentang hal yang disorot oleh ilmu, sehingga akan mela hirkan suatu ilmu pengeta huan yang dikembangkan berdasarkan paradigma dari subjek ilmu. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk deskripsikan tentang dasar, struktur dan juga klasifikasi dari ilmu pengeta huan yang mer upakan tugas uta ma dari Dosen Pembimbing Mata Kulia h Filsa fat Ilmu. Dan diba gian terakhir penulis juga mencoba untuk “mengawinmut’ahkan” antara konsep dasar dan struktur ilmu pengeta huan dengan pemikiran penulis yang terinspirasi oleh ilmu Sosia l Profetik Kuntowijoyo, sehingga yang mela hirkan ilmu pengeta huan berparadigma wahyu verba l Tuhan dari rahim keduanya sebaga i tesis dari penulis.

B. Ilmu Pengetahuan: Deskriptif-Analitik Ilmu pengeta huan mer upakan bagia n dari himpunan informasi yang termasuk dala m pengeta huan ilmia h, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasa n tentang meka nisme sistem-sistem tersebut. Sistem yang dimaksud dapat berupa sistem ala mi, ma upun sistem yang mer upakan ma nipulasi pemikiran ma nusia mengena i meka nisme 7

Abdul Munir Mulkhan. Akar Pendidikan Islam Sebagai Ilmu, dala m Abdul Munir Mulkhan. Rekonstruksi Peradaban … Op. Cit. Hal: 97

4

hubungan dala m tatanan kehid upan masyarakat yang diinstitusiona lisasikan. Pergerakan yang dia lami oleh pengeta huan sederhana menuju pada justifikasi ilmu pengeta huan yang utuh, sehingga menjadi ilmu pengeta huan diper lukan sebuah la ndasan dan proses sehingga ilmu pengeta huan (science atau sains) dapat diba ngun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengeta huan itu mer upakan sebuah penila ia n (judgement ) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengeta huan. 8 Dalam mengkonstruksi ilmu pengeta huan diper lukan tia ng penyangga agar ilmu pengeta huan dapat menjadi sebuah bangunan yang mengandung makna universa litas. Tiang penyangga dala m pembangunan ilmu pengeta huan itu sebenarnya berupa penila ia n yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. 9 Perlunya penila ia n dala m pembangunan ilmu pengeta huan alasa nnya adala h agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengeta huan dapat diterima sebaga i pembenaran secara umum. Sampa i sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengeta huan dila ndaskan pada proses berpikir secara ilmia h. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmia h mempunyai cara-cara tersend iri sehingga dapat dijadika n pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmia h. Dengan alasa n itu berpikir ilmia h dala m ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsa fat pengeta huan atau epistemologi, sementara dala m epistemologi dasar yang menjiwai dina mika proses kegiatan memperoleh pengeta huan secara ilmia h disebut filsa fat ilmu. 1. Dasar Ilmu Ada tiga dasar ilmu pengeta huan yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi mer upakan sala h satu cabang filsa fat yang mengeluti tata dan struktur realitas dala m arti seluas mungkin yang mengunakan kategor ikategor i seperti ada (being ), eksistensi (existence ), kenyataan (reality ), 8

Suparma n Syukur. Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya Pada Pemikiran Islam Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Hal: 97 9 Jujun S. Suriasuma ntri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993. Hal: 35. lihat juga dala m Jujun S. Suriasuma ntri. Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dala m Jujun S. Surisumantri (edit.). Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001. Hal: 2 dan 5

5

peruba han (change), tungga l (one) dan plural (many). Ontologi menyelid iki realitas seluruh objek yang ada di ala m semesta ini. Oleh karena itu, ia mer upakan “ilmu pengeta huan” yang paling universa l dan holistik. Ontologi mer upakan konteks untuk semua konteks yang la innya, cakrawala yang mera ngkum cakrawala, dan pendirian yang meliputi segala pendirian la innya. 10 Dan realitas ma nusia mer upakan objek empiris dala m filsa fat ontologi, maka objek empiris dapat berupa objek materia l seperti ide-ide, nila i-nila i, tumbuhan, binatang, batu-batua n dan ma nusia itu sendiri. Ontologi mer upakan sala h satu objek lapangan penelitia n kefilsa fatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diper hatikan yaitu asumsi pertama adala h suatu objek bisa dikelompokka n berdasarkan kesamaa n bentuk, sifat (substa nsi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adala h kelesta rian relatif artinya ilmu tidak mengalami peruba han dala m periode tertentu (dala m waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan. Epistemologi atau teori pengeta huan ( theory of knowledge )11 yaitu cabang filsa fat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengeta huan, pengandaia n-penganda ian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengena i pengeta huan tersebut. Sedangkan Jujun S. Suriasuma ntri 10

Anton Bekker. Ontologi Atau Metafisika Umum: Filsafat Pengada Dan Dasar-Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius. 1992. Hal: 20. Lihat juga dala m Muhammad Roy. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles Dalam Qiyas Ushul Fiqih. Yogyakarta: Safiria Insa nia Press. 2004. Hal: 22 11 Jujun S. Suriasuma ntri. Tentang Hakekat … Op. Cit. Hal: 9. Sementara Roderick M. Chisholm dala m bukunya Theory of Knowledge, mengemukkan problem-problem epistemologis yang berkisa r pada beberapa pertanyaan, antara la in: apa perbedaan antara pengeta huan dengan opini yang benar, bagaima na mencari justifikasi atas pengeta huan terhadap sesuatu, apa hakikat pengeta huan, dari ma na asalnya, apa sumbernya dan sejauhmana pengeta huan ma nusia itu, apa itu kebenaran akal (truths of reason), dan apa problem kebenaran. Alfons Taryadi. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R. Popper. Jakarta: Gramed ia Pustaka Utama. 1991. Hal: 21-23. Lihat juga dala m Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. Hal: 4

6

mengatakan bahwa epistemologi membahas secara menda lam segenap proses yang terlihat dala m usaha memperoleh pengeta huan. 12 Sebagia n ciri yang patut mendapat perhatia n dala m epistemologi perkembangan ilmu pada masa pascamodernis adala h munculnya pandangan baru mengena i ilmu pengeta huan. Pandangan itu mer upakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengeta huan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diga nti dengan pandangan bahwa ilmu pengeta huan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kema mpua n ma nusia di bumi ini. 13 Dasar aksiologi berarti sebaga i teori nila i yang berkaita n dengan kegunaan dari pengeta huan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat ma nusia. Sedangkan Ahmad Tafsir mengatakan secara implisit bahwa aksiologi mer upakan suatu disiplin ilmu dala m filsa fat yang menela ’ah tentang kegunaan ilmu. 14 Dan Muhammad Roy memberikan definisi bahwa aksiologi adala h ilmu yang membahas kegunaan dan ma nfaat ilmu pengeta huan bagi ma nusia. 15 Dasar aksiologi ini mer upakan sesuatu yang paling penting bagi ma nusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan ma nusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih muda h. Berdasarkan aksiologi, ilmu pengeta huan akan terlihat jelas bahwa permasa la han yang uta ma adala h mengena i nila i. Nila i yang dimaksud adala h sesuatu yang dimiliki ma nusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinila i. Teori tentang nila i dala m filsa fat mengacu pada permasa la han etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpula n pengeta huan mengena i penila ia n terhadap perbuatan ma nusia dan mer upakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-ha l, perbuatan-perbuatan atau ma nusiama nusia la innya. Sedangkan estetika berkaita n dengan nila i tentang pengala man

12

Jujun S. Suriasuma ntri. Tentang Hakekat … Op. Cit. Hal: 9

13

Bakht iar A. Filsafat Ilmu . Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2005. Hal: 34

14

Ahmad Tafsir. Filsafat Umum: Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rema ja Rosdakarya. 2001. Hal: 42 15 Muhammad Roy. Ushul Fiqih ... Op. Cit. Hal: 27

7

keinda han yang dimiliki oleh ma nusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya. 16

2. Struktur Ilmu Pengeta huan Menurut Sima nhadi Wid yaprakosa, terjadinya struktur ilmu pengeta huan tidak bisa dilepaska n dari proses pembentukan ilmu itu sendiri, yaitu dari pengeta huan faktual yang bersifat konkrit sampai dengan tersusunnya teori atau dalil yang bersifat lebih abstrak.17 Artinya, struktur ilmu pengeta huan terkodifikasi dala m kerangka bangunan teoritis-konkrit yang berupa data faktual sampai pada teoritis-abstraksi dengan tidak melepaska n diri pada realitas yang ada. Oleh sebab itu, ilmu pengeta huan berkembang mela lui pembangunan teori dari data faktual, atau sebaliknya mela lui penerapan teori dala m praktek. Dengan kata la in ilmu itu sebaga i produk pengkajia n terhadap kenyataan, atau sebaga i proses mengatasi atau memeca hkan masa lah dala m kehid upan praksis, keduanya saling mend ukung. Setiap pengembangan ilmu, baik ilmu murni ma upun ilmu terapan18, keduanya memer lukan konsep dasar, artinya konsep dasar yang diba ngun sangat menentukan konstruksi ilmu yang akan diteropong atau diba ngun. Dengan konsep dasar tersebut, penyusunan sistem akan menjadi lebih muda h. Sistem adala h suatu gambaran operasiona l sebaga i la ndasan secara teknis metod is untuk mencapai tujua n. 19

16

I Nengah Kerta Besung. Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan: Ditinjau Dari Filsafat Ilmu. (Makalah). Program Pascasarjana Universitas Udayana. 2006. Hal: 6 17 Sima nhadi Wid yaprakosa. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Seri Kuliah. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas DR. Soetomo. 2000. Hal: 39 18 Ilmu murni mer upakan kumpula n teori-teor i ilmia h yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dika itka n dengan masa lah kehid upan yang bersifat praktis, cotohnya adala h Mekanika, Hidrodina mika, Bunyi, Fisika Nuklir dan la in sebaga inya. Sedangkan ilmu Terapan adala h aplikasi ilmu murni kepada masa lahmasa lah kehid upan yang mempunyai ma nfaat praktis, contohnya adala h Mekanika Tehnik, Tehnik Aerona utikal/Tehnik Dan Desain Kapal, Tehnik Akustik, Tehnik Nuklir dan la in sebagainya. 19 Sima nhadi Wid yaprakosa. Filsafat Ilmu ... Loc. Cit. Hal: 39

8

Begitu juga dala m pengembangan ilmu pengeta huan, baik ilmu murni ma upun ilmu terapan, sela lu bermula dari adanya masa lah yang harus dipeca hkan, artinya masa lah yang dihadapi oleh ilmu pengeta huan akan mera ncang metodologi-sistemik yang dijadika n pisa u analisis sebaga i sala h satu sifat dari ilmu

pengeta huan. Dan dala m memeca hkan masa lah,

ilmu

pengeta huan memer lukan asumsi-asumsi sebaga i pengarahan menyusun sistem operasiona lnya. Asumsi itu dapat dipeca hkan secara teoritis berdasarkan teori atau dalil yang tela h diketa hui dala m menyusun hipotesis. Secara ilmia h, hipotesis itu harus diuji mela lui pengkajia n fakta dala m proses penelitia n. 20

C. Mengkawin-Mut Mengkawin-Mut’’ ahkan Paradigma Epistemolog i Dengan Wahyu Verbal Dalam pemikiran penulis yang disajikan ini, penulis ingin mengarahkan pada suatu grand project of knowledge , yaitu menjadikan al-Qur’an sebaga i paradigma ilmu pengeta huan. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teor i ilmu pengeta huan khas Isla m yang penulis sebut sebaga i ilmu pengeta huan profetik. 21 Paradigma ini dimaksudkan sebaga i mode of thought,

mode of inquiry , yang kemud ian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertia n paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengeta huan yang memungkinka n mema hami realitas sebaga ima na al-Qur’an mema haminya. 22

20

Dalam hal ini, penulis membatasi diri untuk mendeskripsikan tentang kinerja hipotesis dan penelitia n. Hipotesis dan penelitia n akan dijelaska n pada bab sela njutnya. 21 Meminja m istila h dari Kuntowijoyo yang mema hami realitas sosia l dengan berparadigma al-qur’an sebaga i Ilmu Sosia l Profetik, jadi penulis mencoba mengimitasi paradigma tersebut dengan mengubah menjadi Ilmu Pengeta huan Profetik. 22 Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Miza n. 1991. Hal: 326

9

Dengan demikia n, meminjam analisa nya Kuntowijoyo 23 bahwa: Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengeta huan. Konstruksi pengeta huan itu pada mula nya diba ngun dengan tujua n agar kita memiliki “hikma h” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Isla m, termasuk sistem ilmu pengeta huannya. Jadi, disa mping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasa n epistemologis. Sampelnya adala h statemen-statemen yang terdapat dala m al-Qur’an dan hadits adala h nila i-nila i normatif. Nila i-nila i normatif ini ada dua, yaitu nila i-nila i praktis yang dapat diaktualkan dala m perilaku sehari-hari dan nila i-nila i yang harus diterjema hka n dulu dala m bentuk teori sebelum diterapka n dala m perilaku. 24 Nila i-nila i pertama tela h banyak dikembangkan dala m bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasika n dala m bentuk ilmu pengeta huan Isla m. Cara yang kedua lebih releva n pada saat ini, jika ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Isla m dala m konteks masyarakat pascamodernis. Sebab sampai sekarang masyarakat Isla m kekura ngan sikap yang ma mpu atau bisa melakukan transformasi nila i wahyu verbal Tuhan dala m bentuk ilmu pengeta huan. Kondisi masyarakat muslim mema ng sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nila i Isla m pada level yang empiris mela lui diciptakannya ilmu- ilmu sosia l Isla m 25 dan juga ilmu pengeta huan la innya. Dalam kerangka ini, wahyu verba l Tuhan ditempatkan dala m boks Operasi Metodologi Tafsir yang berusa ha untuk mema hami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-histor isnya pada perumusa n kembali suatu Isla m yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. 26 Artinya, nila i wahyu verba l Tuhan harus ma mpu merekonstruksi tatanan masyarakat kontemporer sesua i dengan nila i etis illa hiyat. Oleh sebab itu, menurut Fazlur Rahman perlu lebih dahulu perumusa n pandangan dunia al-Qur’an. 27 23

Ibid. Hal: 327 Ibid. Hal: 170 25 Ibid. Hal: 170 26 Taufik Adnan Amal. Islam Dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Miza n. 1993. Hal: 203 24

27

Fazlur Rahman. Islam. (Peterj: Abdurrahman Arief). Bandung: Pustaka Hidayah. Hal: 256. Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qu r’an ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa

10

Sala h satu pendekatan metod is yang perlu diperkena lkan dala m rangka mendapatkan pema haman yang komprehensif terhadap al-Qur’an adala h apa yang dina makan pendekatan sintetik-analitik. 28 Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagia n, yaitu: pertama, berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type , dan yang kedua, berisi kisa h-kisa h sejarah dan amsa l-amsal yang disebut arche-type. Dalam

bagia n

yang

berisi

konsep-konsep,

al-Qur’an

bermaksud

membentuk pema haman yang komprehensif mengena i ajaran Isla m. Sedangkan dala m bagia n yang berisi tentang kisa h-kisa h histor is, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolka n nila i subjektif-nor matifnya, dengan tujua n mengembangkan perspektif etik dan mora l individ ual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menerjema hkan nila i-nila i normatif ke dala m le vel objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuska n dala m bentuk konstruk-konstruk teoritis. 29 Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebaga i paradigma dan kemud ian mer umuska n nila i-nila i normatifnya ke dala m ilmu pengeta huan khususnya dala m ilmu- ilmu sosia l, diper lukan adanya lima program reinterpretasi ala Kuntowijoyo, yaitu: 1. Pengembangan penafsiran sosia l struktural lebih daripada penafsiran individ ual ketika mema hami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misa lnya, bukan diarahkan kepada individ ualnya, tetapi kepada struktur sosia l yang menjadi penyebabnya. 2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujua n dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adala h untuk menyuguhkan Isla m pada cita-cita objektifnya. Misa lnya zakat yang prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diimplemen tasikan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qu r’an, atau oleh Kuntowijoyo disebut sebagai nilai normatif praktis. Menurut Fazlur Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya atau asbabun nuzul wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qu r’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis. Lebih detailnya lihat dalam Fazlur Rahman. Islamic Studies And The Future Of Islam. California: Malibu 1980, juga Fazlur Rahman. Islam And Modernity Modernity. Chicago: The University of Chicago. 1980, dan Fazlur Rahman. Major Themes Of The Qur Qur’’ an an. Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica. 1980. 28 29

Kuntowijoyo. Paradigma Islam … Op. Cit. Hal: 327 Ibid. Hal: 330

11

secara subjektif adala h untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraa n umat. 3. Mengubah Isla m yang normatif menjadi teoritis, misa lnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teoriteori sosia l. 4. Mengubah pema haman yang a histor is menjadi histor is. Kisah-kisah dala m al-Qur’an yang sela ma ini dipa ndang a histor is, sebenarnya mencer itakan peristiwa yang benar-benar histor is, seperti kaum tertindas pada zama n nabi Musa dan la in-la in. 5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecama n terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjema hka n ke dala m formulasi- formulasi spesifik dan empiris ke dala m realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjema hkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pema haman terhadap Isla m akan sela lu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengena i realitas sosia l dan pada gilira nnya akan menyebabkan Isla m menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisa l. 30 Dari uraia n tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa diliha t bahwa paradigma ilmu pengeta huan bisa dirintis dengan metode baru penafsiran al-Qur’an ala Kuntowijoyo. Metode tafsir yang ditawarkan disini adala h mema ndang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nila inila i yang ada di dala mnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Dari konsep-konsep al-Qur’an tersebut, dapat diciptakan teori-teori “ilmu pengeta huan profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif,31 yang dimaksud transformatif di sini adala h ma mpu membangun dan membawa peruba han sosia l, baik cara berpikir, bersikap dan berperilaku secara individ ual ma upun sosia l. 32 Sebagaima na diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu pengeta huan terlebih la gi ilmu- ilmu sosia l tela h mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia moder n karena diyakini bahwa ia mena mpilkan analisis terhadap peristiwa-

30

Ibid. Hal: 283-285 Ibid. Hal: 337 32 Bud hy Munawar Rachman. Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dala m Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, 1995. Hal: 21 31

12

peristiwa kontemporer dala m masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perenca na program yang menaruh perhatia n pada masa lah sosia l meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosia l. Para ahli ilmu sosia l sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitia n ilmu- ilmu keala man. Dengan demikia n, ilmu- ilmu sosia l tidak la gi dikategor ikan dengan ilmuilmu huma niora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyek tif.33 Sala h satu kepentingan besar Isla m sebaga i sebuah ideologi sosia l adala h bagaima na mengubah masyarakat sesua i dengan cita-cita dan visinya mengena i transformasi sosia l. Semua ideologi atau filsa fat sosia l menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaima na mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idea lnya. Elaborasi terhadap pertanyaan pokok semaca m ini biasa nya menghasilkan teori-teor i sosia l yang berfungsi untuk menjelaska n kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini, dan sekaligus memberikan insight mengena i perubaha n dan transformasinya. Karena

teori-teor i yang

dider ivasi

dari

ideologi-ideologi sosia l

sangat

berkepentinga n terhadap terjadinya transformasi sosia l, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosia l tersebut bersifat transformatif. 34 Muslim Abdurrahma n perna h menawarkan teologi transformatif, yaitu teologi yang meneka nkan hubungan dia logis antara teks dengan konteks dan tidak cender ung melakukan pemaksaan realitas menurut model idea l –suatu upaya untuk menghidupkan teks dala m realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosia l yang diridhoi Alla h. 35 Pengembangan teologi transformatif menurutnya mer upakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang piliha n antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dala m pengembangan masyarakat.

33

Abubaker A. Bagader. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Islam: Perspektif Sosiologi Agama Agama. (Peterj: Mahnun Husain). Yogyakarta: Titian Ila hi Press. 1996. Hal: 23 34 Kuntowijoyo. Paradigma Islam … Op. Cit. Hal: 337 35 Muslim Abdurrahma n. Teologi Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995. Hal: 27

13

Akan tetapi, gagasa n mengena i pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasa n, terutama berkenaa n dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Isla m memeha mi teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebagia n besar mengartikan konsep tersebut sebaga i suatu cabang dari khazanah ilmu pengeta huan keisla ma n yang membahas doktrin tentang ketuhanan ( tauhid). Mereka menganggap masa lah teologi sudah selesa i dan tidak perlu dirombak. 36 Ini berbeda dengan

persepsi penganjur pembaruan teologi yang

mengartikan teologi sebaga i usaha untuk melakukan reorientasi pema haman keagamaa n baik secara individ ual ma upun kolektif untuk menyikapi kenyataankenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diber i tafsir baru dala m rangka mema hami realitas. 37 Istila h “teologi” perlu diga nti dengan istila h yang lebih membumi yang sala h satunya adala h Kuntowijoyo yang mengganti dengan “ilmu sosia l” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dala m bentuk teori sosia l, sehingga lingkupnya tidak la gi pada aspek-aspek normatif yang bersifat perma nen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, histor is dan temporal. 38 Konstruksi paradigma baru ilmu pengeta huan harus didasari oleh keyakina n bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dala m bahasa Thomas Khun bersifat “paradigmatik”, Karl Marx bersifat ideologis dan Wittgensta in, bersifat cagar bahasa. 39 Karena ilmu pengeta huan terlebih pada ilmu- ilmu sosia l sekarang mengalami ini mengalami kema ndekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasa n terhadap gejala-gejala sosia l saja. Ilmu- ilmu sosia l disa mping menjelaska n, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesua i

36

Kuntowijoyo. Paradigma Islam … Op. Cit. Hal: 286 Ibid. Hal: 287. Bandingkan dengan pemikiran Muslim Abdurrahma n. Teologi Transformatif ... Op. Cit. Hal: 25 38 Ibid. Hal: 287 39 Bud hy Munawar. Dari Tahapan ... Op. Cit. Hal: 21 37

14

dengan cita-cita profetiknya, yaitu huma nisasi atau ema nsipasi, liberalisasi dan transendental. 40

D. Epilog

40

M. Dawam Rahardjo. Ilmu Sejarah Profetik Dan Analisis Transformasi Masyarakat, dala m Kuntowijoyo. Paradigma Islam ... Op. Cit. Hal: 19

15

Related Documents

Filsafat Ilmu
June 2020 47
Filsafat Ilmu
June 2020 51
Filsafat Ilmu
July 2020 66
Filsafat Ilmu
May 2020 48
Makalah Filsafat Ilmu
June 2020 44