DEFINISI / PENGERTIAN FILSAFAT ILMU Definisi filsafat Ilmu menurut para ahli:
Menurut Robert Ackerman, filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteriakriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual. Menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan. Menurut Cornelius Benjamin, cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual. Menurut Michael V. Berry, filsafat ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.) Menurut May Brodbeck, filsafat ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu. Menurut Peter Caws, filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Menurut Stephen R. Toulmin filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika . Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Tujuan Filsafat Ilmu Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis dan cermat terhadap kegiatan ilmiah. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita bisa memahami, sumber, hakekat, dan tujuan ilmu. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secra historis.
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah. Mendorong pada calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan. Memahami dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis.
Manfaat Filsafat Ilmu Adapun manfaat dari mempelajari filsafat ilmu, yaitu : Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya. BAGIAN-BAGIAN FILSAFAT 1. Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan atau bidang-bidang Filsafat kedalam: 1) Dialektika (yang mengandung persoalan idea-idea atau pengertian-pengertian umum), 2) Fisika (yang mengandung persoalan dunia materi), 3) Etika (yang mengandung persoalan baik dan buruk). 2. Aristoteles (382 – 322 S.M).berpendapat bahwa Filsafat dapat dibagi ke dalam empat cabang yaitu : a. Logika. Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat b. Filsafat Teoritis. Yang mencakup tiga bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika. c. Filsafat Praktis. Mencakup tiga bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik. d. Poetika (kesenian) 3. Al Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang yaitu : a. Ilmu Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah b. Ilmu Riyadhi (matematika)—merupakan tingkatan menengah
c. Ilmu Rububiyat (Ketuhanan)—merupakan tingkatan tertinggi 4. Al Farabi. Membagi Filsafat ke dalam dua bagian yaitu : a. Filsafat Teori. Meliputi matematika, Fisika, dan Metafisika. b. Filsafat Praktis. Meliputi etika dan politik 5. H. De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Metafisika (pemikiran di luar kebendaan) Logika (cara berfikir benar) Ajaran tentang Ilmu Pengetahuan Filsafat Alam Filsafat Kebudayaan Filsafat sejarah Etika (masalah baik dan buruk) Estetika (masalah keindahan, seni) Antropologi (masalah yang berkaitan dengan manusia)
ONTOLOGI Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang berada (being) dan Logos berarti pikiran (logic). Jadi, Ontologi berarti ilmu yang membahas tentang hakekat sesuatu yang ada/berada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan berwujud dan berdasarkan pada logika. Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara rohani. Disisi lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari sesuatu yang ada. Objek kajian Ontologi disebut “Ada” maksudnya berupa benda yang terdiri dari alam , manusia individu, umum, terbatas dan tidak terbatas (jiwa). Di dalam ontologi juga terdapat aliran yaitu aliran monoisme yaitu segala sesuatu yang ada berasal dari satu sumber (1 hakekat). Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan – pernyataan dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut dengan Metafisika. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki gerakan atau perubahan yang berkaitan dengan yang ada (being). Dalam hal ini, aspek Ontologi menguak beberapa hal, diantaranya: 1. Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? 2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? 3. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? 4. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara : 1. Metodis 2. Sistematis 3. Koheren
: menggunakan cara ilmiah. : saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu keseluruhan. : unsur – unsur harus bertautan tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan. 4. Rasional : Harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis) 5. Komprehensif : Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan. 6. Radikal : Diuraikan sampai akar persoalan, atau esensinya. 7. Universal : Muatan kebenaranya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja. Hakikat dari Ontologi Ilmu Pengetahuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ilmu berasal dari riset (penelitian) Tidak ada konsep wahyu Adanya konsep pengetahuan empiris Pengetahuan rasional, bukan keyakinan Pengetahuan metodologis Pengetahuan observatif Menghargai asas verifikasi (pembuktian) Menghargai asas skeptisisme yang redikal.
Jadi, Ontologi pengetahuan filsafat adalah ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehigga dapat diterima oleh banyak orang yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahannya. EPISTIMOLOGI Secara etimologi, epistimologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos berarti pikiran, kata atau teori. Dengan demikian epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenahi pengetahuan. Epistimologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar (teori of knowledges). Epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Jadi, objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu. Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut. Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis mayor, dan premis minor.
1. Analogi dalam ilmu bahasa adalah persaaman antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk – bentuk yang lain. 2. Silogisme adalah penarikan kesimpulan konklusi secara deduktif tidak langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan sekaligus. 3. Premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan, kebenaran, dan kepastian. 4. Premis minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan dalil – dalilnya. Dalam epistimologi dikenal dengan 2 aliran, yaitu: 1. Rasionalisme 2. Empirisme
: Pentingnya akal yang menentukan hasil/keputusan. : Realita kebenaran terletak pada benda kongrit yang dapat diindra karena ilmu atau pengalam impiris.
AKSIOLOGI Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti nilai. Sedangkan logos berarti teori/ ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Dalam aksiologi ada dua penilaian yang umum digunakan yaitu: 1. Etika
: cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma dan adat istiadat manusia. 2. Estetika : Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai kegunaan ilmu untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal yaitu: 1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami mereaksi dunia pemikiran. 2. Filsafat sebagai pandangan hidup. 3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah
SEJARAH FILSAFAT Susane K. Langer membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu : 1.
Yunani Kuno (+ 600 SM)
2.
Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3.
Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4.
Filsafat Modern (17-19 M)
5.
Positivisme (Abad 20 M)
6.
Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagai suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini, atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Dalam pandangan Thales, air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman. Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial.
Abad Pertengahan. Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik. Menurut A. Epping. at al (1983), ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah : 1.
Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.
Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles
3.
berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran. Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional. Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen. Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan. Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan
ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian. Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (16321704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (17241804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja. Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme. Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatankekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana. Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih
percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan. Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti
dua tahapan
sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir). Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubunganhubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika. Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis. Postmodernisme pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan.
Perbedaan filsafat Timur dan Filsafat Barat Barat
Timur
1. Bersifat rasio Kembangkan ilmu pengetahuan
Bersifat Intuisi tercampur agama & kepercayaan
2. Menjawab tantangan alam
Menyatu dengan alam
3. Eksploitatif terhadap alam
alam punya jiwa, manusia bagian dari alam.unsure harmoni.
4.Aktif/ Konflik
pasif/ tidak suka konflik
5. Individu berhadapan dengan masyarakat. Utamakan hak individu secara kolektif
Individu merupakan bagian dari masyarakat
Filsafat Bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa sehari-hari. Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah usaha para filsuf memahami keilmuan yang bersifat konseptual melalui pemahaman terhadap bahasa. Dalam upaya mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya. Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah bahwa linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya. Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usaha pencarian tersebut, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek pengantar yang pada akhirnya didapatlah kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada hubungan antara simbol dan arti. Pembahasan tersebut sedikit sulit untuk dipetakan. Namun secara garis besar, pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan mereka. Logika ialah studi tentang inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu kriteria guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih. Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inferensi itu tergantung kepada analisis statement-statement yang berbentuk premis dan konklusi. Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan a priori, yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Reformasi Bahasa. Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa. Bahasa seharusnya diperbaiki karena kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan tergantung kepada pemakaian bahasa. Di lain pihak, telah banyak keluhan dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang mereka pakai mengandung banyak kelemahan.