File (2).pdf

  • Uploaded by: Nur aini
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View File (2).pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 55,152
  • Pages: 260
UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN KETIDAKBERDAYAAN AKIBAT PENYAKIT FISIK DENGAN PENDEKATAN MODEL HILDEGARD E. PEPLAU DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA

Karya Ilmiah Akhir

Disusun oleh: EYET HIDAYAT NPM. 0906620096

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN KETIDAKBERDAYAAN AKIBAT PENYAKIT FISIK DENGAN PENDEKATAN MODEL HILDEGARD E. PEPLAU DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA

Karya Ilmiah Akhir Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Jiwa

Disusun oleh: EYET HIDAYAT NPM. 0906620096

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

ABSTRAK Nama Program Judul

: Eyet Hidayat : Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa : Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien ketidakberdayaan akibat penyakit fisik dengan menggunakan model Hildegard E. Peplau di RSUP Persahabatan Jakarta

Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk Memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis terhadap klien dan keluarga dalam mengatasi masalah ketidakberdayaan di Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta melalui pemberian intervensi generalis dan terapi spesialis keperawatan jiwa. Hasil manajemen kasus pada 20 klien yang dikelola menunjukkan klien mendapat terapi logo, terapi kognitif dan psiko edukasi keluarga mengalami penurunan gejala dan peningkatan kemampuan mengatasi ketidakberdayaan. Rekomendasi manajemen kasus adalah perlunya penerapan program CLMHN dengan peningkatan kemampuan perawat generalis dan penempatan perawat spesialis keperawatan jiwa di unit rawat inap umum untuk mengatasi masalah psikososial klien dengan memberikan asuhan keperawatan jiwa baik generalis maupun spesialis. Kata kunci : manajemen kasus spesialis, ketidakberdayaan, tindakan keperawatan generalis dan spesialis terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga.

ABSTRACT This final scientific work aims to provide an overview the specialist case management to clients and families in overcoming the problem of powerlessness in Jakarta Friendship General Hospital through the provision of generalist intervention specialist nursing and therapy of the soul. The results of case management in a managed 20 client indicates the client had a logo therapy, cognitive therapy and family psycho educational therapy experience decreased symptoms and increased ability to cope with powerlessness. Recommendations is the need for the application of case management program with an increased ability CLMHN generalist nurses and specialist nurses nursing placement soul in general inpatient units to address psychosocial issues clients by providing nursing care either generalist or specialist life. Key words: case management specialists, helplessness, generalist and specialist nursing actions logo therapy, cognitive therapy and family psycho educational therapy.

vii

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada peneliti sebagai hambanya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) yang berjudul “Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien ketidakberdayaan akibat penyakit fisik dengan menggunakan model Hildegard E. Peplau di RSUP Persahabatan Jakarta”. KIA ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar sebutan Ners Spesialis Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia. KIA ini tersusun atas upaya maksimal penulis dan petunjuk, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, peneliti menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat : 1. Dewi Irawaty, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., M.N., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan. 3. Prof. Achir Yani S. Hamid, MN, DN.Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan tesis ini hingga selesai. 4. Novy Helena CD, SKp., MSc., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan serta masukan dalam penyusunan tesis ini hingga selesai. 5. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membekali ilmu, sehingga peneliti mampu menyusun tesis ini. 6. Istri dan anak-anak tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi selama peneliti menempuh studi. 7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan V Program Pascasarjana Kekhususan Keperawatan Jiwa yang senasib dan seperjuangan. x

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

8. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan KIA ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Semoga KIA ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri dan bagi seluruh pembaca pada umumnya, dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa. Amien.

Depok, Juni 2012

Penulis

x

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iv PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................. vi ABSTRAK ........................................................................................................ vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii BAB 1

: PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar belakang masalah .............................................................. 1 1.2. Tujuan ........................................................................................ 6 1.3. Manfaat ...................................................................................... 8

BAB 2

: TINJAUAN KEPUSTAKAAN ......................................................11 2.1. Konsep Dasar Ketidakberdayaan ...............................................11 2.2. Logoterapi ................................................................................23 2.3. Terapi Kognitif ..........................................................................39 2.4. Terapi Psikoedukasi keluarga ....................................................47 2.5. Model Proses Interpersonal Peplau ...........................................50

BAB 3

: PROFIL LAHAN PRAKTIK : MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN ...............................................66 3.1. Manajemen Pelayanan di RSUP Persahabatan ...........................66 3.2. Manajemen Asuhan Keperawatan di RSUP Persahabatan .........88 xi Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB 4

: MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA DENGAN DIAGNOSIS KETIDAKBERDAYAAN DAN MANAJEMEN PELAYANAN DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA .....................................................................................91 4.1. Fase Orientasi terhadap Klien Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan................92 4.2. Fase Identifikasi pada Klien dengan Ketidakberdayaan .............93 4.3. Fase Eksploitasi pada Klien dengan Ketidakberdayaan ...........106 4.4. Fase Resolusi pada Klien dengan Ketidakberdayaan ................117 4.5. Kendala / hambatan .................................................................121 4.6. Rencana tindak lanjut ..............................................................122

BAB 5

: PEMBAHASAN ............................................................................124 5.1.Manajemen Asuhan Keperawatyan Klien Ketidakberdayaan ...124 5.2. Manajemen CLMHN .............................................................151 5.3. Keterbatasan / Kendala ..........................................................153

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................155 6.1.Kesimpulan ............................................................................155 6.2.Saran ......................................................................................156

xii Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Perbandinmgan proses keperawatan dan tahapan Peplau ...............58 Tabel 3.1. Data tenaga keperawatan di RSUP Persahabatan tahun 2012 .........66 Tabel 3.2.Kemampuan Perawat Ruang Cempaka Bawah dalam melaksanakan MPKP / CLMHN ...................................................76 Tabel 3.3.Kemampuan Perawat Ruang Krdiologi dalam melaksanakan MPKP / CLMHN ........................................................................................85 Tabel 3.4.Jumlah klien masalah psikososial selama Residensi III di RSUP Persahabatan Jakarta ......................................................................87 Tabel 3.5.Jumlah klien masalah psikososial selama Residensi III di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi ...................................................88 Tabel 4.1. Distribusi karakteristik klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan....................................92 Tabel 4.2. Distribusi faktor predisposisi klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....................93 Tabel 4.3. Distribusi faktor presipitasi klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....................94 Tabel 4.4. Distribusi penilaian stresor klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....................95 Tabel 4.5. Distribusi sumber koping klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....................97 Tabel 4.6. Distribusi mekanisme koping klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....................99 Tabel 4.7. Distribusi diagnosis medis klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ..................100 Tabel 4.8. Distribusi diagnosis keperawatan utama dan penyerta klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan .....................................................................100

xi Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Tabel 4.9. Distribusi pelaksanaan terapi keperawatan klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....104 Tabel 4.10 Distribusi pelaksanaan terapi kognitif klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....105 Tabel 4.11 Distribusi pelaksanaan terapi logo klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....107 Tabel 4.12 Distribusi pelaksanaan terapi psikoedukasi klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan ....108 Tabel 4.13 Distribusi terapi yang dilakukan dan kemampuan klien ketidakberdayaan Setelah dilakukan terapi logo, kognitif dan psikoedukasi keluarga di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan .....................................................................111 Tabel 4.14 Distribusi hasil evaluasi terapi keperawatan dan kemampuan klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan................................................................................111 Tabel 4.15 Distribusi perubahan tanda dan gejala sebelum dan sesudah intervensi klien ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan .....................................................................113

xii Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Kerangka konsep penerapan teori Hildegard E. Peplau pada klien Dengan ketidakberdayaan ............................................................... 65

xvi

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Modul terapi logo Lampiran 2. Modul terapi kognitif Lampiran 3. Modul psikoedukasi keluarga Lampiran 4. Lembar konsultasi Lampiran 5. Riwayat hidup

xv Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan secara umum. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008). World Health Organization (2001) menyatakan kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stres dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif, dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian kesehatan jiwa di atas menekankan pada kondisi sehat dari aspek emosional, psikologis dan sosial yang ditunjukan dengan hubungan interpersonal, perilaku dan koping efektif, konsep diri positif, emosi stabil, produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesehatan jiwa merupakan kebutuhan bagi setiap orang untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Kesehatan jiwa tidak terbatas pada kasus gangguan jiwa saja tetapi mencakup segala aspek kehidupan manusia dari yang sehat, resiko maupun gangguan, mulai dari konsepsi sampai dengan kematian. Seseorang dikatakan sehat jiwa menurut Maslow (1970, dalam Towsend, 2005) apabila memiliki karakteristik sehat jiwa, yakni: memiliki persepsi sesuai dengan realita, mampu menerima diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam memecahkan masalah, menunjukkan kemampuan secara spontan, mempunyai otonomi, mandiri, kreatif, puas dalam hubungan interpersonal, kaya pengalaman yang bermanfaat, dan mengganggap hidup ini sesuatu yang indah. Menurut Stuart dan Laraia (2005) terdapat tanbahan pada 1

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

2

aspek peran di lingkungannya; seseorang sehat jiwa ditandai dengan memiliki perilaku positif, perkembangan dan aktualisasi diri, memiliki integritas diri, otonomi dan persepsi terhadap realita yang baik sesuai dengan perannya di lingkungan. Hal ini menggambarkan adanya karakteristik tertentu terkait sehat jiwa yang menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap manusia. Dari paparan di atas disimpulkan bahwa karakteristik utama kesehatan jiwa adalah adanya keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, kemandirian, bertanggung jawab, bersikap matang dan dapat merasakan kebahagian dalam sebagian besar kehidupannya sesuai peran di lingkungannya. World Health Organization (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa (WHO, 2009). Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, pada perempuan dan laki-laki, pada semua tahap kehidupan, orang miskin maupun kaya baik di pedesaan maupun perkotaan mulai dari yang ringan sampai berat. Gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun di Indonesia tahun 2007 memiliki prevalensi 11,6%. Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan pertambahan usia, kelompok usia tertinggi adalah 75 tahun ke atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu 21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di perdesaan (12,3%), serta pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah (Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

3

tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan 26.174.486 orang. Gangguan psikososial menunjukkan peningkatan dari tahunke tahun 10 kali lebih besar dari gangguan jiwa yang umumnya berada di masyarakat.

Seseorang

yang

tidak

mampu

mengatasi

masalah

dan

menyesuaikan diri secara adaptif, tidak menggunakan koping yang efektif akan muncul pola fikir yang tidak wajar, perilaku yang terganggu, emosi yang labil serta konsep diri yang negatif (masalah adaptasi psikososial) dan apabila tidak diatasi dengan baik akan meningkat menjadi gangguan jiwa berat. Kecenderungan meningkatnya angka masalah psikosoial ini menunjukkan kondisi yang serius untuk mendapatkan perhatian agar tidak berkembang ke arah gangguan jiwa berat dan membutuhkan pelayanan yang tepat. Undangundang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan Bab IX pasal 144 menyatakan upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

Pelayanan keperawatan jiwa

bukan hanya ditujukan pada klien dengan gangguan jiwa saja tetapi juga diberikan pada klien yang mengalami masalah psikososial, ditujukan pada semua orang dan lapisan masyarakat sehingga tercapai hidup sehat mental dan harmonis. Klien masalah psikososial di RSUP Persahabatan cukup tinggi, hampir seluruh klien yang dirawat mengalami masalah psikososial sebagai dampak dari penyakit

fisik,

hospitalisasi,

faktor

sosial,

budaya

dan

ekonomi,

ketidakmampuan beradaptasi dengan keadaan / lingkungan rumah sakit dan lain-lain. Klien masalah psikososial yang penulis rawat di dua ruangan yaitu ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan selama sembilan minggu sebanyak 74 klien dengan jumlah diagnosis psikosial 232 buah. Jumlah terbanyak adalah ansietas : 74 klien (100%), gangguan citra tubuh 42 klien Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

4

(56,7%), ketidakberdayaan 34 klien (45,9%), koping keluarga inefektif 33 klien (44,6%), HDR situasional 27 klien (36,4%)

dan keputusasaan 22 klien

(29,7%). Data di atas menunjukan bahwa masalah psikososial pada klien yang dirawat di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi sangat tinggi, hampir setengahnya (terbanyak ketiga) mengalami ketidakberdayaan. Penulis

menjadikan

diagnosis ketidakberdayaan

sebagai

fokus

utama

manajemen kasus spesialis pada Karya ilmiah Akhir ini selain karena jumlahnya cukup banyak, hampir setengah dari dari klien yang dirawat, klien pasikososial khususnya ketidakberdayaan belum mendapat penanganan / perhatian yang khusus dengan menggunakan komunikasi terapetik yang tepat dari perawat di ruangan karena sangat tergantung kepada orang lain dan berisiko mengalami keputusasaan. Klien ketidakberdayaan yang ada di ruangan 34 klien tetapi yang penulis ambih hanya 20 klien karena mengambil klien dengan ketidakberdayaan sebagai masalah utama (core problem) dan disertai dengan diagnosis koping keluarga inefektif supaya intervensi yang telah dilakukan tetap dapat ditindaklanjuti / diteruskan oleh keluarga di rumah. Ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan mendapat hasil (Varcarolis, 2010) dan digambarkan juga sebagai suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (Fortinash, 2003). Ketidakberdayaan tidak sama dengan keputusasaan. Pada ketidakberdayaan, pasien mungkin mengetahui solusi terhadap masalahnya, tetapi ia yakin hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut. Keputusasaan menyiratkan seseorang percaya bahwa tidak ada solusi terhadap masalahnya. Jika ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah kekeputusasaan. Ketidakberdayaan didasari atas pertimbangan respons individu, karakteristik klien.

Carpenito

(2008),

mengidentifikasi

batasan

karakteristik

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

5

ketidakberdayaan pada perasaan subjektif terhadap

pola pengambilan

keputusan, tanggung jawab dan peran klien. Herdman (2009), mengkategorikan ketidakberdayaan pada karakteristik ringan, sedang dan berat. Miller (1991), memvalidasi ketidakberdayaan melalui respon verbal, respon emosional, partsipasi klien dalam kegiatan sehari-hari serta tanggung jawab klien terlibat dalam perawatan dirinya. Tindakan keperawatan dikembangkan berdasarkan pada pengkajian yang komprehensif pada sumber daya yang dimiliki klien untuk meningkatkan perasaan ketidakberdayaan. Miller (2000, dalam Lukbin & Larsen, 2006), menjelaskan sumber daya klien meliputi kekuatan fisik, energi, harapan, motivasi, pengetahuan, konsep diri positif, dukungan psikologis dan sosial support. Ketidakberdayaan secara nyata berkaitan dengan hilangnya power, kapasitas dan autoritas yang dimiliki oleh klien penyakit kronis dalam mempersepsikan tindakan yang diharapkan (Lubkin & Larsen, 2006). White dan Roberts (1993, dalam Lukbin & Larsen, 2006), mengidentifikasi aspek psikologis, kognitif, lingkungan dan keputusan klien sebagai sumber kekuatan dalam mendesain intervensi ketidakberdayaan. Bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat dalam mengatasi diagnosa keperawatan ketidakberdayaan dimulai dengan intervensi keperawatan generalis sampai dengan spesialis yang ditujukan untuk individu, keluarga dan kelompok (Stuart, 2009). Intervensi keperawatan generalis bertujuan untuk membantu pasien mengenal kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki setelah adanya perubahan akibat penyakit fisiknya. Sedangkan intervensi keperawatan spesialis diberikan bila intervensi generalis tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan selalu memandang dirinya seorang yang lemah, tidak berdaya, putus asa dan sering mengalami kondisi depresi bila mengingat kematian yang akan dialaminya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

6

Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada pasien dengan ketidakberdayaan adalah Terapi Individu seperti terapi kognitif, terapi Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT); Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi Logo (Logotheraphy); Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertif Community Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agung Priatmaja (2012) menunjukan bahwa : logoterapi berpengaruh menurunkan derajat depresi dan menaikkan aktivitas kehidupan sehari-hari (p=0,001). Jadi terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga merupakan salah satu terapi spesialis yang dapat diberikan oleh perawat yang berkompeten dalam mengatasi masalah ketidakberdayaan. Pelayanan pada masalah psikososial khususnya ketidakberdayaan masih belum dilakukan secara optimal di rumah sakit umum. Penanganan masalah psikososial di RSUP Persahabatan belum dikembangkan dalam program yang terintegrasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh, yang disebut consultation and liaison psychiatry nursing (CLPN) atau Consultation Liaison Mental Health Nursing (CLMHN). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka karya ilmiah akhir ini disusun untuk memaparkan pengalaman dan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan ketidakberdayaan yang telah di kelola selama praktik residensi tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis terhadap klien dan keluarga dalam mengatasi masalah ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

7

dan Kardiologi Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta melalui pemberian intervensi generalis dan terapi spesialis keperawatan jiwa. 1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan karya ilmiah akhir ini adalah : 1.2.2.1 Diketahuinya

karakteristik

klien

dan

faktor-faktor

lain

yang

mempengaruhi klien dengan masalah keperawatan ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.2 Teridentifikasinya masalah dan kebutuhan pada klien dengan ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.3 Tersusunnya rencana asuhan keperawatan untuk klien dengan ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.4 Terlaksananya

asuhan

keperawatan

jiwa

pada

klien

dengan

ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.5 Teridentifikasinya hasil pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.6 Tersusunnya rencana tindak lanjut untuk asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. 1.2.2.7 Tersusunnya rekomendasi yang mengacu pada implikasi terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan menggunakan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

8

pendekatan model hubungan interpersonal Peplau di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta.

1.3 Manfaat 1.3.1 Manfaat Aplikatif 1.3.1.1. Hasil Karya Tulis ini diharapkan dapat menjadi panduan perawat dalam melaksanaan Terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga di RSUP Persahabatan. 1.3.1.2. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya masalah psikososial ketidakberdayaan di RSUP Persahabatan. 1.3.1.3. Menjadi dasar pertimbangan dan pemikiran dalam menerapkan Terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. 1.3.1.4. Meningkatkan dan mengembangkan berbagai strategi intervensi yang efektif

dalam

melakukan

asuhan

keperawatan

masalah

ketidakberdayaan di RSUP Persahabatan. 1.3.1.5. Menjadi informasi baru bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa di unit pelayanan rawat umum khususnya asuhan keperawatan pada klien dengan ketidakberdayaan. 1.3.1.6. Menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pihak rumah sakit untuk menempatkan perawat spesialis keperawatan jiwa di unit pelayanan umum. 1.3.2 Manfaat Keilmuan 1.3.2.1. Berguna sebagai bagian dari pengembangan model keperawatan jiwa di unit pelayanan umum dengan menghasilkan standar pelayanan dan standar asuhan keperawatan klien dengan masalah psikososial. 1.3.2.2. Memberikan gambaran tentang manajemen ruangan dan manajemen asuhan keperawatan pada diagnosa keperawatan ketidakberdayaan. Model tersebut dapat menjadi

masukan untuk pengembangan

CLMHN di rumah sakit umum. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

9

1.3.2.3. Model asuhan keperawatan yang dilakukan mendasari pelaksanaan manajemen kasus spesialis khususnya masalah ketidakberdayaan pada klien dan keluarga di unit rawat umum dengan berbagai kombinasi terapi spesialis yang diberikan. 1.3.2.4. Penggunaan kombinasi terapi spesialis yang efektif menjadi dasar penyusunan standar intervensi spesialis keperawatan jiwa yang diberikan kepada klien dengan ketidakberdayaan. 1.3.3 Manfaat Metodologi 1.3.3.1. Meningkatkan manajemen

wawasan

asuhan

tentang

keperawatan

manajemen pada

klien

pelayanan dengan

dan

masalah

ketidakberdayaan dengan intervensi terapi spesialis keperawatan jiwa. 1.3.3.2. Meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan manajemen kasus keperawatan jiwa berdasarkan evidence based practice yang dapat diaplikasikan pada setiap manajemen kasus spesialis jiwa pada klien dengan ketidakberdayaan pada berbagai seting pelayanan kesehatan jiwa. 1.3.3.3. Menjadi evidence based practice pelaksanaan praktik spesialis keperawatan jiwa. 1.3.4 Manfaat Kehidupan Profesionalisme 1.3.4.1. Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa program pasca sarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di masyarakat 1.3.4.2. Memperoleh

pengalaman dalam

penerapan ilmu

dan konsep

keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada klien gangguan jiwa dan melakukan koordinasi serta kerjasama dengan jajaran masyarakat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

10

1.3.4.3. Menjadi bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa dan penulis lainnya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

11

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pada bagian tinjauan kepustakaan ini,

penulis menguraikan konsep yang

mendasari / landasan teori yang berkaitan dengan judul karya ilmiah yaitu konsep tentang masalah keperawatan ketidakberdayaan, intervensi spesialis untuk klien dengan ketidakberdayaan yaitu logoterapi, kognitif terapi dan psikoedukasi keluarga serta konsep model yang mendasari masalah ketidakberdayaan. 2.1. Konsep Dasar Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan merupakan manifestasi yang timbul dari beberapa masalah utama kejiwaan seperti depresi, anxietas, panik, stres pasca trauma dan beberapa masalah lain sehingga konsep dasar dari masalah ketidakberdayaan belum bisa dijalaskan baik dari segi definisi, etiologi, maupun patofisiologinya secara spesifik. (Copel, 2007). Secara umum ketidakberdayaan akan mengakibatkan distres, kerusakan sosial, okupasional, atau berbagai area penting dalam kehidupan manusia termasuk aspek kognitif yang menyebabkan kurangnya konsentrasi, ketidakmampuan mengambil keputusan dan kesulitan untuk mengingat, perasaan tidak berharga dan ketidakmampuan memperoleh kekuatan untuk mengendalikan situasi. 2.1.1. Definisi Ketidakberdayaan merupakan suatu perasaan penurunan kontrol tentang kesehatan yang akan mendorong ke arah apatis, menarik diri, mengurangi interaksi dengan orang lain dan tidak berpartisipasi dalam perawatan atau pembuatan keputusan (Miller, 1992). Seemen & Evans (1962) dan Pender (1996) menyatakan bahwa penurunan pemanfaatan pelayanan kesehatan, perubahan tingkah laku, menarik diri dan penurunan motivasi dapat 11

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

12

diasosialisasikan dengan konsep sosial dari ketidakberdayaan. Sedangkan definisi menurut Herdman (2012), ketidakberdayaan merupakan persepsi bahwa tindakan seseorang secara signifikan tidak akan mempengaruhi hasil; persepsi kurang kendali terhadap situasi saat ini atau situasi yang akan segera terjadi.

Herdman (2012) membagi batasan karakeristik ketidakberdayaan

menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan mendapat hasil (Varcarolis, 2010) dan digambarkan juga sebagai suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (Fortinash, 2003). Ketidakberdayaan tidak sama dengan keputusasaan. Pada ketidakberdayaan, klien mungkin mengetahui solusi terhadap masalahnya, tetapi percaya hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut. Keputusasaan menyiratkan seseorang percaya bahwa tidak ada solusi terhadap masalahnya. Jika ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah kekeputusasaan. 2.1.2. Patofisiologi Ketidakberdayaan Patofisologi ketidakberdayaan secara pasti sampai saat ini belum diketahui, tetapi bisa dianalisa dari proses terjadinya depresi karena salah satu manifestasi depresi adalah ketidakberdayaan. Ketika seseorang mengalami stres, otaknya akan berespon untuk menafsirkan dan menterjemahkan perubahan yang terjadi. Stres akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian akan menstimuli saraf simpatis untuk melakukan perubahan. Sinyal dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh sistem limbik dimana salah satu bagian pentingnya adalah amigdala yang bertanggung jawab terhadap status emosional seseorang. Gangguan pada sistem limbik menyebabkan hambatan emosional, perubahan perilaku dan kepribadian (Kaplan et all, 2007). Kerusakan pada hipotalamus Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

13

membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang aktivitas dan malas melakukan sesuatu. Hambatan emosi pada klien dengan ketidakberdayaan, kadang berubah sedih/ murung, dan terus merasa tidak berguna atau merasa gagal terus menerus. Patofisologi gangguan jiwa melalui pendekatan medis digambarkan dalam model tiga roda yaitu organobiologik, psikoedukatif dan sosio kutural (Kaplan & Sadock, 2007). Sistem organobiologik. Menekankan pada sistem anatomi, struktural, dan molekuler dari penyakit dan efeknya terhadap fungsi biologis individu. Terjadinya ketidakberdayaan dikaitkan dengan sistem organobiologik kemungkinan disebabkan adanya gangguan pada fungsi hipothalamus dan sistem limbik di otak yang membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi serta terjadinya hambatan emosi sehingga kurang aktivitas dan malas melakukan sesuatu karena merasa tidak berguna dan merasa tidak akan mampu. Selain itu terjadinya penurunan pada neurotransmiter (norepinefrin, serotinin, dan dopamin) menurut Suliswati (2002) mengakibatkan kurang konsentrasi, kurang motivasi, kelemahan, daya ingat berkurang, emosi kacau, timbulnya pikiran-pikiran negatif dan rasa tidak berdaya. Sistem psikoedukatif menekankan bahwa peristiwa kehidupan yang paling berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun, kehilangan pasangan dan hubungan antar fungsi keluarga (Kaplan & Sadock, 2007). Apabila individu pada masa kanakkanak diasuh dengan pola asuh over protektif ditambah adanya masalah psikologis seperti rasa bersalah dan super ego yang suka menghukum akan menyebabkan individu menjadi submasif dan independet/ tergantung (Rawlins, 1993) sehingga individu merasa tidak mampu menyelesaikan masalah, lari dari masalah dan menjadi tidak berdaya. Secara sosial, status ekonomi sangat memepengaruhi proses terjadinya ketidakberdayaan antara lain kemiskinan, tempat tinggal yang kumuh dan rawan, kultur sosial yang berubah misal ukuran keberhasilan individu. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

14

2.1.3. Psikodinamika Ketidakberdayaan Dari sudut pandang keperawatan, ketidakberdayaan dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan model Stuart (2009). Proses munculnya masalah ketidakberdayaan dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor predisposisi dan faktor presipitasi yang dilihat dari beberapa teori terjadinya gangguan alam perasaan terutama pada kasus depresi. 2.1.3.1. Faktor Predisposisi Beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya masalah ketidakberda-yaan menurut Stuart (2009) pada lanjut usia yang mengalami hipertensi antara lain: a.

Biologis Status nutrisi: anoreksia, tidak ada perbaikan nutrisi, BB kurang (kurus/terlalu kurus), BB lebih (gemuk/terlalu gemuk) atau BB tidak ideal. Status kesehatan secara umum: Riwayat penyakit kanker, riwayat penyakit neurologis (epilepsi, trauma kepala), riwayat gangguan pada jantung, (PJB, PJK, Hipertensi, aterosklerosis), riwayat gangguan paru-paru (TBC, PPOM, udem paru, asma, embolisme paru, dll), riwayat penyakit endokrin, penyakit imunodefesiensi : HIV – AIDS, riwayat penggunaan zat.

b.

Psikologis Intelegensi: RM ringan-RM sedang: IQ. Kemampuan verbal: gagap, tidak mampu mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan: perpisahan traumatik dengan orang yang berarti, penolakan dari keluarga, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, diturunkan dari jabatannya, konflik dengan rekan kerja, penganiayaan seksual, seringkali mengalami kegagalan. Konsep diri: konsep diri negatif, kurang penghargaan. Motivasi: kurang dukungan sosial, kurang dukungan dari diri sendiri. Pertahanan psikologis: self control yang kurang.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

15

c.

Sosial kultural Usia : < 40 tahun. Gender: wanita > laki-laki. Pendidikan : tidak sekolah, pendidikan rendah (hanya tamat SD, SMP), putus sekolah, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas, tinggal kelas. Pendapatan: kurang/rendah: dibawah UMR, tidak mandiri dalam ekonomi. Pekerjaan: pengangguran, PHK, pekerjaan tidak tetap. Status dan peran sosial: kegagalan berperan sosial. Latar belakang agama dan keyakinan: kurang /tidak menjalankan ajaran agama dan keyakinan, kehilangan rutinitas ibadah. Keikutsertaan dalam politik: pengurus partai politik, post power syndrome. Pengalaman sosial: sering mengalami penolakan kelompok sebaya.

2.1.3.2. Faktor Presipitasi Sedangkan beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya ketidakberdayaan menurut Stuart (2009) antara lain: a. Nature Faktor-faktor biologis: Status nutrisi: BB tidak ideal (kurus, sangat kurus, gemuk, sangat gemuk). Status Kesehatan secara umum: Menderita penyakit kronik atau terminal, kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan fungsi tubuh. Sensitifitas biologi: ketidakseimbangan elektrolit, gangguan pada sistem limbik, thalamus, kortek frontal, GABA, norepinefrin, serotonin. Faktor-faktor psikologis, Intelegensi: RM ringan (IQ 50-70), RM sedang (IQ 35-50). Kemampuan verbal: buta, tuli, gagap, pelo, adanya perbatasan kontak sosial, lokasi tempat tinggal yang terisolasi. Moral: melanggar norma dan nilai di masyarakat. Kepribadian: menghindar. Pengalaman yang tidak menyenangkan: korban perkosaan, perceraian, perpisahan dengan orang yang berarti, KDRT, diturunkan dari jabatannya, konflik dengan rekan kerja. Faktor-faktor sosial budaya, (Putus sekolah, PHK, turun jabatan, penolakan dari orang yang berarti, pendapatan yang rendah).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

16

b. Origin Internal: Persepsi individu yang tidak baik tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya. Eksternal: Kurangnya dukungan keluarga, kurang dukungan masyarakat, kurang dukungan kelompok/teman sebaya. c.

Timing Stres terjadi dalam waktu dekat, stress terjadi secara berulang-ulang/ terus menerus.

d.

Number Sumber stres lebih dari satu, stres dirasakan sebagai masalah yang sangat berat.

2.1.3.3. Penilaian terhadap Stressor Penilaian terhadap stresor pada lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan akibat penyakit kronis dilihat dari beberapa penilaian, antara lain: Kognitif: kurang konsentrasi, ambivalensi, kebingungan, fokus menyempit/ preokupasi, misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas, pandangan suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk, produktivitas menurun, pelupa, ketidakpastian. Afektif: sedih, rasa bersalah, bingung, gelisah, apatis/pasif, kesepian, rasa tidak berharga, penyangkalan perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal. Fisiologis: Kelemahan, pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala, impotensi, lemas,

lesu,

pergerakan

lambat,

anoreksia,

penurunan

berat

badan,

konstipasi/diare, retensi urin mungkin terjadi, insomnia/hipersomnia, mual, muntah, perubahan siklus haid. Perilaku: agitasi, perubahan tingkat aktivitas, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, mudah menangis. Respon sosial: kecenderungan untuk isolasi, patisipasi sosial berkurang.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

17

2.1.3.4. Sumber Koping Beberapa sumber koping yang dapat digunakan pada ketidakberdayaan antara lain: Personal ability; kurang komunikatif, hubungan interpersonal yang kurang baik, kurang memiliki kecerdasan dan bakat tertentu, mengalami gangguan fisik, perawatan diri yang kurang baik, tidak kreatif. Sosial support; hubungan yang kurang baik dengan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, kurang terlibat dalam organisasi sosial/kelompok sebaya, ada konflik nilai budaya. Material asset; penghasilan kurang, sulit memperoleh layanan kesehatan, tidak memiliki pekerjaan/posisi Positive belief; tidak memiliki keyakinan dan nilai positif, kurang memiliki motivasi, kurang berorientasi pada pencegahan (lebih senang melakukan pengobatan). 2.1.3.5. Mekanisme Koping Mekanisme koping yang dapat terjadi pada ketidakberdayaan antara lain: Konstruktif; menilai pencapaian hidup, menilai nyaman dengan pasangan hidup, menerima perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, membimbing dan menyiapkan generasi dibawah usianya secara arif dan bijaksana, menyesuaikan diri dengan orang tua yang sudah lanjut usia. Kreatif: mempunyai inisiatif dan ide-ide melakukan sesuatu yang bermanfaat. Produktif: mampu menghasilkan sesuatu yang berarti bagi dirinya dan orang lain, mengisi waktu luang dengan hal yang positif dan bermanfaat. Perhatian dan peduli dengan orang lain: memperhatikan kebutuhan orang lain. Destruktif; tidak kreatif : kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, tidak mempunyai hubungan akrab, kurang berminat bekerja dan berkeluarga, tidak memiliki pekerjaan dan profesi yang tetap sehingga tidak dapat mandiri secara finansial dan sosial, tidak bertanggungjawab terhadap keluarga, ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan, tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat diberikan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

18

kesempatan,

enggan

mengungkapkan

perasaan

yang

sebenarnya,

ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas, ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah, gagal mempertahankan ide / pendapat yang berkaitan dengan orang lain ketika mendapat perlawanan. 2.1.4.

Psikopatologi Ketidakberdayaan

Sumber koping yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan masalah ketidakberdayaan adalah dukungan sosial. Keterlibatan keluarga yang luas dan dalam serta hubungan dengan teman-teman atau orang lain yang mendukung merupakan sumber koping yang lain. Adapun mekanisme koping yang biasa dipakai pada individu dengan ketidakberdayaan yaitu represi, supresi, denial, dan disosiasi. 2.1.5. Tanda dan gejala 2.1.5.1. Tingkatan Herdman (2009) membagi tingkatan ketidakberdayaan kedalam tiga tingkatan, rendah, menengah dan berat : a. Rendah Mengekspresikan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat energy, pasif. b. Sedang Marah, bergantung pada orang lain, menunjukkan ketidakmauan untuk merawat diri, tidak menunjukkan kemajuan, menunjukkan ketidapuasan terhadap

ketidakmampuan

dalam

menyelesaikan

pekerjaan.

mengungkapkan keraguan dalam penampilan peran, ketakutan terhadap perawat

yang

dianggap

sebagai

orang

asing,

merasa

bersalah,

ketidakmampuan mencari informasi perawatan. tidak adanya partisipasi dalam perawatan kesehatan, pasif.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

19

c. Berat Apatis, depresi terhadap perburukan fisik, menyatakan tidak memiliki kendali (misalnya terhadap perawatan diri, situasi dan hasil) 2.1.5.2. Data objektif dan subjektif. a. Data Subyektif: Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kemampuan mengendalikan atau mempengaruhi situasi, mengungkapkan tidak dapat menghasilkan sesuatu, mengungkapkan ketidakpuasan dan frustasi terhadap ketidakmampuan untuk melakukan tugas atau

aktivitas

sebelumnya, mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran, mengatakan ketidakmampuan perawatan diri. b. Data Obyektif: Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan, tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat diberikan kesempatan, enggan mengungkapkan perasaan sebenarnya, ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas, ketidaksukaan, marah, dan rasa bersalah., gagal mempertahankan ide/pendapat yang berkaitan dengan orang lain ketika mendapat perlawanan., apatis dan pasif, ekspresi muka murung, bicara dan gerakan lambat, tidur berlebihan, nafsu makan tidak ada atau berlebihan dan menghindari orang lain. 2.1.6. Diagnosa Medis dan Psikofarmaka Diagnosa

medis

utama

yang

dapat

ditegakkan

berkenaan

dengan

ketidakberdayaan adalah depresi, anxietas, dan panik. Psikofarmaka yang dapat diberikan pada klien dengan masalah ketidakberdayaan dapat disesuaikan degnan diagnosa medis di atas. Terapi ini dilakukan di bawah pengawasan dan kewenangan tenaga medis. Peran perawat dalam terapi psikofarmakologi ini Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

20

adalah sebagai mediator dan fasilitator dalam memberikan pendidikan terhadap klien dan keluarga yang meliputi informasi pengobatan, efek samping dan manfaat pengobatan. Psikofarmaka yang biasa diberikan adalah obat anti depresan untuk depresi disamping obat-obatan lainnya. Dalam praktek klinik obat anti depresan jenis SSRIs (Serotinin Spesifik Reuptake Inhibitors) telah terbukti efektif untuk mengurangi gejala depresi pada klien dan meningkatkan aktivitas klien. (Varcarolis, 2010). Untuk klien dengan ketidakberdayaan terapi ini diberikan untuk meningkatkan motivasi dan mengurangi gejala depresi. Dalam hal ini perawat berperan penting dalam mengevaluasi kepatuhan klien terhadap program pengobatan. Disamping antidepresan diberikan psikoterapi dengan pendekatan psikodinamik, kognitif dan interpersonal. Pendekatan psikodinamik untuk menimbulkan perubahan kepribadian melalui pengertian konflik masa lalu, mencapai tilikan ke dalam pertahanan, memberikan model peran, untuk memungkinkan

pelepasan

katartik

dari

agresi.

Pendekatan

kognitif

memusatkan pada distorsi kognitif, mengidentifikasi pikiran negatif yang menghancurkan diri sendiri dan melatih kembali respon pikiran yang positif. Sedangkan Kaplan & Saddock (2007) mengatakan pendekatan interpersonal memusatkan pada hubungan interpersonal yang terganggu. 2.1.7. Tindakan Keperawatan untuk Ketidakberdayaan 2.1.7.1.

Terapi Generalis Klien SP 1 Klien: Assesmen ketidakberdayaan dan latihan berpikir positif 1) Bina hubungan saling percaya a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien sesuai nama panggilan yang disukai b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian ketidakberdayaan agar proses penyembuhan lebih cepat Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

21

2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan pengendalian ketidakberdayaan 3) Bantu klien mengenal ketidakberdayaan: a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya. b) Bantu klien mengenal penyebab ketidakberdayaan c) Bantu klien menyadari perilaku akibat ketidakberdayaan d) Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan identifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada dalam kemampuannya untuk mengontrol e) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya f)

Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien

tanpa

memintanya untuk menyimpulkan g) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan melalui interupsi atau subtitusi h) Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif i)

Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan kesimpulan yang dibuat klien

j)

Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional

4) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif) SP 2 Klien: Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat mengembangkan harapan positif dan latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan 1) Pertahankan rasa percaya klien a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi b) Asesmen

ulang

ketidakberdayaan

dan

kemampuan

mengembangkan pikiran postif 2) Membuat

kontrak

ulang:

latihan

mengontrol

perasaan

ketidakberdayaan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

22

3) Latihan

mengontrol

perasaan

ketidakberdayaan

melalui

peningkatan kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan klien (Bantu klien mengidentifikasi area-area situasi kehidupan yang dapat dikontrolnya. Dukung kekuatan – kekuatan diri yang dapat di identifikasi oleh klien) misalnya klien masih mampu menjalankan peran sebagai ibu meskipun sedang sakit. b. Keluarga SP 1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat 1) Bina hubungan saling percaya a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan ketidakberdayaan klien dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat 2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara merawat ketidakberdayaan klien 3) Bantu keluarga mengenal ketidakberdayaan: a) Menjelaskan ketidakberdayaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya b) Menjelaskan

cara

merawat

ketidakberdayaan

klien:

membantu mengembangkan motivasi bahwa klien dapat mengendalikan situasi dan memotivasi cara afirmasi positif yang telah dilatih perawat pada klien 4) Sertakan keluarga saat melatih afirmasi positif SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan dan follow up 1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam, menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien 2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

23

3) Menyertakan keluarga saat melatih klien latihan mengontrol perasaan tidak berdaya 4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan kondisi klien yang perlu dirujuk (klien tidak mau terlibat dalam perawatan diri) dan cara merujuk klien. 2.1.7.2. Terapi Spesialis Ada beberapa terapi keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah ketidakberdayaan (Workshop Spesialis Jiwa, 2011) : 1)

Terapi individu : Terapi kognitif, logo terapi

2)

Terapi keluarga : Famili psikoedukasi

3)

Terapi Kelompok : Logoterapi

4)

Terapi Komunitas : Multisistemik terapi

2.2. Makna Hidup dalam logo terapi 2.2.1. Pengertian Makna Hidup Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. (Bastaman, 1996) Menurut pandangan Frankl (1970, dalam Hardiawan, 2007) makna hidup harus dilihat sebagai suatu yang sangat subjektif karena berkaitan dengan hubungan individu dengan pengalamannya dalam dunia ini, meskipun makna hidup itu sendiri sebenarnya suatu yang objektif, artinya benar-benar ada dan dialami dalam kehidupan. Frankl (1985, dalam Hardiawan, 2007) menyebutkan bahwa makna hidup sebagai sesuatu hal yang bersifat personal, dan bisa berubah seiring berjalanya waktu maupun perubahan situasi dalam kehidupannya. Individu seolah-olah ditanya apa makna hidupnya pada setiap waktu maupun situasi dan kemudian harus mempertanggungjawabkan. Menurut Bastaman (1996). pengertian makna hidup sama artinya dengan tujuan hidup yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai dan dipenuhi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

24

makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan hidup. 2.2.2. Karakteristik Makna Hidup

Karakteristik makna hidup menurut Bastaman (1996) antara lain : a. Makna hidup sifatnya unik, pribadi dan temporer Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Demikian pula hal-hal yang dianggap penting dapat berubah dari waktu ke waktu. b.

Kongkrit dan spesifik Yakni makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak usah selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis dan idealis atau kreativitas dan prestasi akademis yang serba menakjubkan.

c.

Memberi pedoman dan arah Artinya makna hidup yang ditemukan oleh seseorang akan memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya.

2.2.3. Sumber-sumber Makna Hidup

Frankl (1985 dalam Trimardhany, 2003) menyimpulkan bahwa makan hidup bisa ditemukan melalui tiga cara, yaitu:

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

25

a. Nilai Kreatif Nilai kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan. Pada dasarnya seorang bisa mengalami stress jika terlalu banyak beban pekerjaan, namun ternyata seseorang akan merasa hampa dan stress pula jika tidak ada kegiatan yang dilakukannya.

Kegiatan yang dimaksud tidaklah semata-mata kegiatan mencari uang, namun pekerjaan yang membuat seorang dapat merealisasikan potensipotensinya sebagai sesuatu yang dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan.

b. Nilai Penghayatan Nilai penghayatan menurut Frankl dapat dikatakan berbeda dari nilai kreatif karena cara memperoleh nilai penghayatan adalah dengan menerima apa yang ada dengan penuh pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Realisasi nilai penghayatan dapat dicapai dengan berbagai macam bentuk penghayatan terhadap keindahan, rasa cinta dan memahami suatu kebenaran Frankl (1972 dalam Koeswara, 1992). Makna hidup dapat diraih melalui berbagai momen maupun hanya dari sebuah momen tunggal yang sangat mengesankan bagi seseorang misalnya memaknai hasil karya sendiri yang dinikmati orang lain. c. Nilai Bersikap Nilai terakhir adalah nilai bersikap. Nilai ini sering dianggap paling tinggi karena di dalam menerima kehilangan kita terhadap kreativitas maupun kehilangan kesempatan untuk menerima cinta kasih, manusia tetap bisa mencapai makna hidupnya melalui penyikapan terhadap apa yang terjadi. Bahkan di dalam suatu musibah yang tak terelakan, seorang masih bisa dijadikannya

suatu

momen

yang

sangat

bermakan

dengan

cara

menyikapinya secara tepat. Dengan perkataan lain penderitaan yang dialami seseorang masih tetap dapat memberikan makna bagi dirinya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

26

2.2.4. Metode-metode Makna hidup.

Menurut Bastaman (1996) menyederhanakan dan memodifikasi metode Logoanalysis sebagai berikut : a. Pemahaman Pribadi Mengenali secara objektif kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lingkungan, baik yang masih merupakan potensi maupun yang telah teraktualisasi untuk kemudian kekuatan-kekuatan itu dikembangkan dan kelemahan-kelemahan dihambat dan dikurangi. b. Bertindak positif Mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan tindakantindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat. Bertindak positif merupakan kelanjutan dari berfikir positif. c. Pengakraban Hubungan Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi-pribadi tertentu (misalnya anggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling membutuhkan dan bersedia bantu-membantu. d. Pengalaman Tri-Nilai Berupaya untuk memahami dan memenuhi tiga ragam nilai yang dianggap sebagai sumber makna hidup yaitu nilai-nilai kreatif (kerja, karya), nilainilai penghayatan (kebebaran, keindahan, kasih, iman), dan nilai-nilai bersikap (menerima dan mengambil sikap yang tepat atas derita yang tidak dapat dihindari lagi). e. Ibadah. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri pada sang pencipta yang pada akhirnya memberikan perasan damai, tentaram, dan tabah. Ibadah yang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

27

dilakukan secar terus-menerus dan khusuk memberikan perasan seolaholah dibimbing dan mendapat arahan ketika melakukan suatu perbuatan. 2.2.5. Dimensi-dimensi Makna hidup Bastaman

(1996),

terdapat

komponen-komponen

yang

potensial

dapat

dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan kehidupan bermakna sejauh diaktualisasikan. Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi semuanya dapat dikategorikan dalam menjadi tiga dimensi yaitu : a. Dimensi Personal Unsur-unsur yang merupakan dimensi personal adalah : 1). Pemahaman diri (self insight), yakni meninggkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. 2). Pengubahan sikap (changing attitude), dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang terelakkan. b. Dimensi Sosial Unsur yang merupakan dimensi sosial adalah dukungan sosial (social supprot), yakni hdirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat diperlukan. c. Dimensi Nilai-nilai Adapun unsur-unsur dari dimensi nilai-nilai meliputi : 1) Makna hidup (the meaning of live), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan mengarah kegiatan-kegiatanya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

28

2) Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. 3) Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensipoteni pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. Unsur-unsur tersebut bila disimak dan direnungkan secara mendalam ternyata merupakan kehendak, kemampuan, sikap, sifat dan tindakan khas insani, yakni kualitas-kualitas yang terpateri pada eksistensi manusia. Karena pengembangan pribadi pada dasarnya adalah mengoptimalisasi keunggulan-keunggulan dan meminimalisasikan kelemahan-kelemahan pribadi. Dengan demikian dilihat dari segi dimensi-dimensinya dapat diungkap sebuah prinsip, yaitu keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup

bermakana

dilakukan

dengan

jalan

menyadari

dan

mengaktualisasikan potensi kualitas-kualitas insani. 2.2.6. Jenis Makna dalam Hidup Menurut Fankl (1972 dalam Bastaman 1996) ada tiga makna hidup ini yang dapat membawa manusia kepada makna hidupnya, yaitu : a. Makna Kerja Makna hidup bukanlah untuk dipertanyakan tetapi untuk dijawab, karena kita bertanggung jawab atas hidup ini. Jawaban ini hanya diberikan dalam kata-kata tetapi yang utama adalah dengan berbuat dan dengan melakukanya. Aktualisasi nila-nilai kreatif yang bisa memberikan makna kepada kehidupan seseorang biasanya terkandung dalam pekerjaan seseorang. Pekerjaan menurut Frankl (1972 dalam Bastaman 1996) merepresentasikan keunikan keberadaann individu dalam hubunganya dengan masyarakat dan karenanya memperolah makna dan nilai. Makna Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

29

dan nilai ini berhubungan dengan pekerjaan seseorang sebagai kontribusinya terhadap masyarakat

dan bukan pekerjaanya yang

sesungguhnya yang dinilai. Rasa kekosongan dan tanpa makna yang dialami para penganggur juga dialami oleh narapidana dalam kamp kosentarasi. Dalam kedaan seperti itu, mungkin terlihat sekilas bahwa kondisi tampa pekerjaan menyebabkan seseorang menjadi neurotis. Kesan demilkian itu sebenarnya tidak terlalu tepat, karena ternyata tidak semua penganggur kemudian mengalami unemployment neurosis. Pada mereka yang telah menyadari bahwa makna hidup tidak semata-semata tergantung pada pekerjaan yang mendapatkan upah, unemployment neurosis tidak terjadi. Misalnya para penganggur yang memanfaatkan waktu luangnya dengan melakukan berbagai kegiatan sosial yang dapat meningkatkan amal ibadah mereka. b. Makna Penderitaan Penderitaan memberikan suatu makna manakala individu menghadapi situasi kehidupan yang tidak dapat dihindari. Bilamana suatu keadaan sungguh-sungguh tidak bisa diubah dan individu tidak lagi memiliki peluang untuk merealisasikan nilai-nilai kreatif, maka saatnya untuk merealisasikan nilai-nilai bersikap. Dalam penderitaan individu berada dalam ketegangan atas apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan. Nilai-nilai bersikap teraktualisasi ketika individu diharapkan pada sesuatu yang sudah menjadi takdirnya. Dalam menghadapi masalah ini, individu bersikap

menerima

kesulitan-kesulitan

hidupnya

dan

di

sanalah

teraktualisasi potensi-potensi nilai yang tidak terkira banyaknya. Hidup adalah sebuah kesempatan untuk sesuatu, baik membentuk nasib (melalui nilai-nilai kreatif), dengan menentukan sikap terhadap nasib (melalui nilai-nilai bersikap) berarti individu menunjukan keberaniaan dan kemuliaan menghadapi penderitaanya. Penderiataan dapat membuat Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

30

manusia merasakan hidup yang sesungguhnya. Dalam penderitaan dikatakan bahwa manusia dapat menjadi matang, karena melalui penderiataan itulah manusia belajar dan semakin memperkaya hidupnya. c. Makna Cinta Eksistensi manusia didasari oleh keunikan dan keistimewaan individu tersebut. Cinta berarti mengalami hidup bersama orang lain dengan segala keunikan dan keistimewaannya. Dalam cinta terjadi penerimaan penuh akan nilai-nilai, tampa kontribusi maupun usaha dari yang dicintai, cinta membuat si pecinta menerima segala keunukan dan keistimewaan orang yang dicintainya. Cinta mungkinkan individu untuk melihat inti spiritual orang lain, nilainilai potensial dan hakekat yang dimilikinya. Cinta memungkinkan kita untuk mengalami kepribadiaan orang lain dalam dunianya sendiri dan dengan demikian memperluas dunia kita sendiri. Bahkan pengalam kita dalam cinta berubah menjadi kisah yang menyedihkan, kita tetap diperkaya dengan diberikan makna yang lebih mendalam akan hidup. Manusia rela menanggung resiko mengalami sekian banyak kisah cinta yang menyedihkan asalkan ia dapat mengalami satu saja kisah cinta yang membahagiakan. Ketiga cara tersebut menggambarkan bahwa seseorang dalam mencari makna hidupnya harus dengan menyakini bahwa makna tersebut adalah seseatu yang obyektif, yang bersifat menuntut atau menantang tetapi juga merupakan suatu hal yang mutlak bagi manusia untuk dapat mencapai pemenuhan makan itu. Uraian diatas dapat disimpulkan pengertian kebermaknaan hidup adalah merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makana hidup menunjukan bahwa di dalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

31

2.2.7. Proses-proses Perubahan Dari Penghayatan Hidup Tak Bermakna Menjadi Lebih Bermakna.

Proses perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna dapat digambarkan tahapan-tahapan pengalaman tertentu. Hal ini hanya merupakan konstruksi teoritis yang dalam realitas sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut (untuk mepermudah pemahaman secara menyeluruh). Tahapan-tahapan ini dapat digolongkan menjadi lima sebagai berikut : a. Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna) b. Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap) c. Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penemuan tujuantujuan hidup) d. Tahap Realisasi Makna (keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan makna hidup) e. Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan, kebahagiaan) Peristiwa tragis yang membawa kepada kondisi hidup tak bermakna dapat menimbulkan kesadaran diri (self insight) dalam diri individu akan keadaan dirinya dan membantunya untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Gejala-gejala utama penghayatan hidup tak bermakna, individu dapat merasa hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tak berarti, serba bosan dan apatis. Kebosanan (boredom) adalah ketidakmampuan seseorang umtuk membangkitkan minat, sedangkan apatis (apality) merupakan ketidakmampuan

untuk

mengambil

prakarsa.

Penghayatan-penghayatan

tersebut menurut Frankl (1972 dalam Bastaman 1996) mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi terselubung (Masked) dibalik bebrbagai upaya kopensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

32

money). Dengan kata lain perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya menutupi penghayatan hidup tanpa makna. Munculnya kesadaran diri ini dapat didorong karena berbagai macam sebab seperti perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau memahami peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah sikap selama ini. Bersamaan dengan ini individu dapat menyadari adanya nilai-nilai kreatif, pengalaman maupun sikap yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Atas dasar pemahaman diri dan penemuan makna hidup ini timbul perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi masalah. Setelah individu berhasil menghadapi masalahnya, semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan berbagai kegiatan terarah untuk memenuhi makna hidup yang ditemukan. Kegiatan ini biasanya berupa pengalaman bakat, kemampuan, keterampilan dan berbagai potensi positif lainya yang sebelumnya terabaikan. Bila tahap ini pada akhirnya berasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan

hidup

bermakna

dengan

kebahagiaan.

(Bastaman,1996).

Gambaran di atas menunjukan bahwa penghayatan hidup bermakna merupakan gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup. Hanya dengan memenuhi makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah, penghayatan hidup bermakan tercapai dengan kebahagiaan sebagai ganjarannya. Pengertian mengenai makna hidup menunjukan bahwa di dalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Makna hidup ini benar-benar terdapat dalam kehidupan itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah ditemukan, karena sering tersirat dan tersembunyi di dalamnya. Bila makna hidup ini berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan bermakana dan berharga yang pada giliranya akan menimbulkan perasaan bahagia. Dengan demikian dapat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

33

dikatakan bahwa kebahagiaan adalah ganjaran atau akibat samping dari keberhasilan seseorang memenuhi makna hidup. 2.2.8. Landasan Logoterapi Menurut Frankl (2004) logoterapi berasal dari kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat klien menyadari secara tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab. Logoterapi tidak menggurui atau berkotbah melainkan klien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya sendiri. Menurut Frankl (1973 dalam Trimardhany, 2003) logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya dan saling menunjang yaitu: 2.2.8.1. Kebebasan berkehendak ( Freedom of Will ) Dalam pandangan Logoterapi manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada kebebasan untuk mengambil sikap ( freedom to take a stand ) atas kondisikondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak ( to detach ) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan

manusia

juga

mempunyai

kemampuan-kemampuan

mengambil jarak terhadap dirinya sendiri ( self detachment ). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “ the self deteming being” yang berarti manusia Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

34

mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya. 2.2.8.2. Kehendak Hidup Bermakna ( The Will to Meaning ) Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda denga psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi (Koeswara, 1992) bahwa kesenagan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu. Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik ( to pull ) dan menawari ( to offer ) bukannya mendorong ( to push ). Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna. 2.2.8.3. Makna Hidup ( The Meaning Of Life ) Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar didambakan

serta

memberikan

nilai

khusus

bagi

dan

seseorang

( Bastaman, 1996 ). Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa

berbeda

antara

manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya ( Frankl, 2004)

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

35

2.2.9. Indikasi Logoterapi Institut Viktor Frankl mempublikasi studi kasus sejak tahun 1996 sampai dengan 2010 menggunakan pendekatan logoterapi pada masalah dan diagnosis, yaitu :

koping pada penyakit kronis terminal, koping pada penyakit fisik

kronis, proses berduka atau berkabung depresi, post traumatic syndrome disorder (PTSD), manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat ketergantungan alkohol, gangguan personal, gangguan obsesi kompulsi, phobia, gangguan neurosis somatogenik, ganggua neurosis psikogenik, gangguan neurosis noogenik, depresi (Lewis, 2011). 2.2.10. Teknik Logoterapi Frankl (1979 dalam Bastaman, 2007) mengemukakan metode dan aplikasi klinik logoterapi antara lain paradoxical intention, dereflection dan medical menistry. a. Teknik Paradoxical Intention Teknik paradoxical intention atau pembalikan keinginan merupakan terapi yang unik dalam logoterapi dalam psikoterapi eksistensial, dikenalkan pertama kali oleh frankl pada tahun 1929 di Wina Austria. Teknik paradoxical intention diindikasikan pada kasus fobia, obsessive compulsive, insomnia, sedangkan kontra indikasi adalah pada kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri (Bastaman, 2007). Pada dasarnya teknik paradoxical intention memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan dengan memanfaatkan rasa humor (sense of humor). Teknik paradoxical intention diaplikasikan pada kasus fobia dengan mengubah perasaan yang semula takut menjadikan akrab dengan objek yang ditakutinya sedangkan

pada

mengendalikan

kasus

dan

obsessive

memunculkan

compulsive secara

ketat

yaitu

dengan

dorongan



Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

36

dorongannya agar tak tercetus dengan sikap humor. Teknik ini memiliki keterbatasan karena akan terasa sulit dilakukan pada klien yang kurang memiliki rasa humor (Bastaman, 2007). b. Teknik Derecflection Salah satu bentuk eksistensi manusia yaitu kemampuannya untuk bangkit dari semua kondisi dan mengatasi dirinya kemudian mencurahkan perhatian pada hal-hal positif dan bermanfaat disebut dereflection (Frankl, 2003). Keinginan berlebihan (hyperintention) dan merenungkan berlebihan (hypereflection) harus dilawan dengan meniadakan perenungan atau dereflection (Frankl, 2003). Bastaman (2007) menjelaskan bahwa gejala hyperintention dan hyperreflection akan menghilang dan terjadi perubahan sikap yaitu sikap yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri (self concerned) menjadi komitmen terhadap sesuatu yang penting bagi klien sendiri (self comitment). c. Teknik Medical Ministry Logoterapi

dengan

mengarahkan

klien

untuk

berusaha

mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif dan merealisasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu sumber makna hidup disebut medical ministry. Tujuan utama teknik ini adalah membantu seseorang menemukan makna hidup dari penderitaannya. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan manfaat apabila seseorang dapat mengubah sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi (Bastaman, 2007). Nilai-nilai bersikap menurut Bastaman (2007) adalah sikap menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, keberanian meghadapi bentuk penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, kematian dan menjelang kematian setelah semua upaya dilakukan maksimal. Bastaman (2007) menjelaskan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

37

bahwa hal yang akan diubah bukanlah keadaannya melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan. Bastaman memberikan contoh apabila menghadapi keadaan yang tidak mungkin diubah atau dihindari maka sikap yang tepat adalah menerima dengan penuh ikhlas dan tabah pada hal-hal tragis yang tidak mungkin dihindari lagi dapat mengubah pandangan seseorang dari semula yang diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan. Mendalami nilai-nilai bersikap pada dasarnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisi tragis dan kegagalan yang telah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Bastaman (2007), menjeaskan teknik pendalaman nilai- nilai bersikap dengan: 1) Merenungkan penderitaan Teknik untuk mendalami nilai-nilai bersikap terkait dengan merenungkan penderitaan, yaitu : a) Mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu b) Bagaimanakah perasaan waktu lalu c) Bagaimanakah cara mengatasinya d) Bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut e) Pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. 2) Membandingkan penderitaan : a) Menghubungi orang lain yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya b) Menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu c) Membandingkan dengan keadaan sekarang Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

38

2.2.11. Pelaksanaan Logoterapi Individu Teknik pelaksanaan logoterapi ini mengacu pada modul pedoman pelaksanaan logoterapi yang dikembangkan oleh Sutejo

(2009) dan Wijayanti (2010)

tentang implementasi logoterapi kelompok pada klien ansietas menggunakan metode paradoxical intention dan dereflection melalui 4 sesi dalam pelaksanaannya dan metode medical ministry yang dikembangkan oleh Kanine (2011). Adapun langkah-langkah logoterapi individu medical menistry yang dikembangkan oleh Kanine (2011) adalah : 1. Sesi 1 : Membina hubungan saling percaya Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara terapis dan klien. Selain itu sesi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi

masalah

yang

muncul

akibat

respon

ketidakberdayaan. Pada tahap ini terapis memperkenalkan diri, menanyakan perasaan klien, menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi. Terapi mengidentifikasi masalah yang muncul akibat respon ketidakberdayaan. 2. Sesi 2 : Mengidentifikasi reaksi dan respon klien terhadap masalah. Pada sesi kedua ini, klien diminta untuk mengungkapkan reaksi atau respon ketidakberdayaan yang dialami oleh klien. Adapun respon tersebut meliputi respon emosional, respon perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatan. Terapis menanyakan kepada klien cara yang dilakukan untuk

mengatasi

masalah

tersebut,

bagaimana

hasilnya

serta

mengidentifikasi masalah yang belum teratasi. 3. Sesi 3 : Teknik medical ministry Pada sesi ketiga ini terapis membantu masalah klien

dan

mendiskusikannya melalui teknik medical ministry. Pada sesi ini terapis Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

39

membantu merealisasikan nilai-nilai bersikap (the attitude values) sebagai salah satu sumber dalam menemukan makna hidupnya. Teknik pendalaman nilai-nilai bersikap (the attitude values) yaitu merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaan waktu lalu, bagaimanakah cara mengatasinya, bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. Selain itu klien juga diminta untuk menghubungi klien lain yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu selanjutnya membandingkan dengan keadaan sekarang. 4. Sesi 4 : Evaluasi Evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry, menemukan makna hidup yang klien dapatkan dan mampu menerima perpisahan. Terapis mendiskusikan bersama klien yang sudah dan belum teratasi. 2.3. Terapi Kognitif 2.3.1. Pengertian Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah suatu bentuk, tindakan kolaborasi terapis dan klien yang berfokus pada masalah psikologis dengan menggunakan tehnik spesifik untuk meningkatkan kesejahteraan emosi dan fungsi secara keseluruhan dari seseorang (Sanderson, 2002). Terapi kognitif dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengubah cara berpikir yang biasa digunakan dan cenderung negatif menjadi cara berpikir yang positif. Terapi kognitif dikembangkan oleh Aaron Beck. Terapi kognitif merupakan suatu bentuk psikoterapi yang dapat melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat klien mengalami Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

40

kekecewaan, sehingga klien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif. Terapi kognitif ini adalah terapi yang berfokus pada pemrosesan pikiran dengan segera, yakni bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasi pengalamannya dan menentukan cara ia merasa dan berperilaku (Viedebeck, 2008). Melalui terapi ini individu diajarkan atau dilatih untuk mengontrol distorsi pikiran atau gagasan atau ide dengan benarbenar mempertimbangkan faktor dalam berkembangnya dan menetapnya gangguan mood (Townsend, 2005). Dengan demikian terapi kognitif ini akan membantu individu untuk mengubah pernyataan dirinya yang mempengaruhi perasaannya ke arah pikiran yang lebih positif. Hasil penelitian di Amerika menyimpulkan bahwa terapi kognitif lebih cepat mengatasi depresi dan gangguan emosional lainnya daripada psikoterapi pendekatan tradisional/konvensional seperti terapi perilaku, terapi kelompok dan terapi yang berorientasi pada pengenalan diri (insight - oriented) maupun terapi obat-obatan (anti depresan). Burn (1988) menyampaikan waktu untuk pelaksanaan terapi kognitif ini sekitar 12 minggu dan sudah memberi hasil yang nyata, kesembuhan klien. Pendapat ini didukung oleh penelitian Sanderson, yang membutuhkan waktu penyembuhan 12 – 15 minggu (Sanderson, 2002). Terapi kognitif dapat melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga klien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif (Burn, 1988). Jadi terapi kognitif merupakan bentuk psikoterapi yang digunakan untuk pengobatan klien depresi yang didalamnya terdapat harga diri rendah, kecemasan, phobia, dan bentuk lain dari penyakit mental yang telah banyak diterapkan dan telah terbukti efektifitasnya. Terapi kognitif merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana klien berpikir (kognitif), bagaimana klien merasakan (emosi) dan bagaimana klien bertingkah laku dalam semua interaksi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

41

2.3.2. Tujuann Terapi Kognitif. Secara umum tujuan terapi kognitif adalah membantu klien membentuk kembali cara berpikir mereka (Sanderson, 2002). Tujuan utama dalam terapi kognitif menurut Gara (2003 dalam Mohr, 2006) adalah: a

Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (self talk), dan interpretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran klien, apabila menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptif, yang menambah berat masalah.

b Terapi bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Pikiran otomatis sering didasari atas kesalahan logika atau pemahaman yang salah (distorsi kognitif), maka terapi kognitif diarahkan untuk membantu klien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Klien dilatih mengenali pikirannya, dan mendorong untuk menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif. c

Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi didalam proses terapi. Dengan demikian terapi kognitif diharapkan berperan sebagai mekanisme proteksi, karena klien belajar mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gangguan.

Menurut Hanson (1988 dalam Shives, 1998) empat tujuan utama dari terapi kognitif adalah sebagai berikut : a. Mengidentifikasi pikiran dan keyakinan yang tidak realistis, distorsi, menguasai diri dan tidak rasional yang menciptakan distress dan menyengsarakan. b. Menolak dan membantah pikiran dan keyakinan yang tidak rasional.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

42

c. Mengembangkan keyakinan dan sikap yang lebih menyehatkan, seperti filosofi yang lebih efektif dan sehat yaitu mengganti tuntutan mutlak dengan preferensi. d. Meningkatkan rasa percaya diri yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola dengan sukses situasi dan peristiwa berat. Menurut Burns (1988), teknik kontrol mood yang efektif dan sederhana dalam terapi kognitif bertujuan : a. Perbaikan simptomatik secara cepat: terhentinya segala gejala sering terjadi dalam waktu singkat (12 minggu) b. Memahami: penjelasan tentang mengapa klien murung dan apa yang dapat klien lakukan untuk mengubahnya. Klien akan mengetahui penyebab cengkraman kuat perasaannya dan dapat membedakan emosi yang normal dan abnormal. c. Kendali diri: klien akan mengetahui cara menerapkan strategi pertolongan diri yang efektif dan aman, sehingga dapat kembali merasa lebih baik. Terapis akan membimbing klien mengembangkan rencana bantu-diri (selfhelp) secara bertahap, realistis dan praktis. d. Pencegahan dan pertumbuhan pribadi: pencegahan yang bertahan lama di masa depan dapat bersandar pada penilaian kembali beberapa nilai dan sikap dasar yang melatarbelakangi kecenderungan klien mengalami masalah. Terapis akan membantu klien bagaimana menghadapi dan mengevaluasi kembali beberapa asumsi tertentu mengenai nilai dan martabat manusia. Kesimpulan tujuan terapi kognitif adalah membantu klien untuk mengenali dan mengubah distorsi kognitif, melatih klien mengenali pikirannya dan mendorong untuk menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

43

2.3.3. Indikasi Terapi Kognitif Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya seperti panik, masalah pengontrolan marah dan penggunaan obat, harga diri rendah, risiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan. Selain itu juga efektif pada gangguan makan (bulimia dan anoreksia nervosa), gangguan kepribadian (Wright & Beck, 2000; Stuart 2009).

Berdasarkan pandangan teori di atas, terapi kognitif sangat tepat untuk klien dengan ketidakberdayaan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Briere dan Scott (2006, dalam Wheeler, 2008) bahwa terapi kognitif sangat membantu pada individu yang mempunyai pikiran harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, perasaan bersalah, malu, marah dan ketidakberdayaan. Hasil penelitian Rahayuningsih (2007) telah membuktikan bahwa terapi kognitif efektif untuk meningkatkan harga diri dan kemandirian klien dengan kanker payudara di RS Kanker Dharmais Jakarta. Secara sederhana terapi kognitif menjalankan asumsi tentang pikiran, keyakinan, sikap dan persepsi terhadap prasangka tanpa tekanan emosi dan juga intensitas emosi tersebut. Asumsi yang mendasari terapi kognitif bahwa gangguan emosional berasal dari distorsi (penyimpangan) dalam berpikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat berlangsung kalau dicapai perubahan pola-pola berpikir selama proses terapi. Terapi kognitif berorientasi pada pemecahan masalah, dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “here and now”, yang memandang individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi. Prinsip dalam terapi kognitif menurut Burns (1988), yang pertama dinyatakan bahwa semua rasa murung diciptakan oleh kesadaran atau pemikiran individu itu sendiri. Kesadaran atau kognisi mengacu pada cara individu tersebut melihat sesuatu atau cara menafsirkan sesuatu. Secara khusus, dapat disimpulkan bahwa apa yang klien pikirkan menentukan perasaan dan tingkah Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

44

laku klien. Oleh karena itu pikiran negatif dapat menyebabkan distress dan menghasilkan masalah. Prinsip kedua, jika individu sedang merasa depresi maka pemikirannya dikuasai oleh suatu kenegatifan yang mendalam sehingga tidak hanya mempersepsikan diri sendiri, tetapi juga seluruh dunia dalam suasana gelap dan suram. Lebih buruk lagi jika individu mempercayai bahwa segala hal memang seburuk yang dibayangkan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan kondisi individu yang mengalami harga diri rendah, dimana individu merasa setiap orang sukses dan berarti kecuali dirinya sendiri. Prinsip ketiga memiliki makna terapeutik dan falsafah yang penting. Pemikiran negatif yang menyebabkan kekacauan emosional hampir selalu berisi penyimpangan atau pemutarbalikan yang besar (distorsi kognitif). Walaupun tampaknya pemikiran ini benar (valid), tetapi sesungguhnya semua itu tidak rasional atau salah dan pemikiran ini satu-satunya penyebab dari hampir seluruh perasaan tertekan dan tidak berharga. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada individu yang mengalami harga diri rendah dan risiko bunuh diri terjadi asumsi tentang pikiran, keyakinan, sikap dan persepsi yang negatif terhadap diri sendiri yang merupakan gejala dominan pada klien, sehingga terapi kognitif sangat tepat dilakukan pada klien dengan harga diri rendah dan risiko bunuh diri ini. Terapi kognitif diharapkan dapat merubah pikiran, keyakinan, sikap dan persepsi negatif klien menjadi pikiran yang positif. 2.3.4. Penatalaksanaan Terapi Kognitif Burn (1988) tidak menetapkan jumlah tahapan/sesi pertemuan dengan klien, Burn hanya mengatakan ada beberapa langkah yang harus dilalui dalam menggunakan terapi kognitif untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif. Urutan langkah terapi kognitif menurut Burn (1988) secara umum adalah: Pertama yang harus dilakukan adalah mengenali perasaan negatif, apa yang Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

45

muncul dalam pikiran seseorang pada suatu peristiwa (pikiran otomatis). Kedua adalah mengenali pola berpikir yang biasa dilakukan dalam menghadapi setiap peristiwa kehidupan (distorsi kognitif). Setelah menyadari dan menuliskan bahwa individu selalu berpikir dari sisi negatif dan mengetahui alasan ia berpikir demikian, maka yang ketiga adalah belajar membantah pikiran-pikiran tersebut sebagai upaya pembelaan diri dengan tanggapan yang rasional. Burn (1998) menyarankan agar menuliskan catatan tentang pemikiran yang disebut sebagai “tehnik tiga kolom” tersebut setiap hari, jika klien merasa tidak perlu menuliskan distorsi kognitifnya maka yang terpenting adalah mencatat pikiran otomatisnya dan memberikan tanggapan rasional. Selanjutnya adalah mengidentifikasi hasil yang dirasakan setelah memberi tanggapan positif sebagai langkah yang keempat. Langkah kelima ada melatih berbagai ketrampilan yang telah dipelajari dalam menghadapi masalah yang terjadi sehari-hari dan selalu membuat catatan pikiran yang muncul dan membuat tangapan rasionalnya, sampai klien merasa bahagia dan tidak lagi terstimulasi untuk berpikir negatif. Jika klien ada kecenderungan untuk tidak melakukan kegiatan Burn menyarankan untuk membuat jadual kegiatan harian. Peneliti lain menguraikan langkah terapi kognitif terdiri dari tiga fase. Fase pertama adalah meningkatkan kesadaran pada cara berpikir yang biasa digunakan. Harus disadari dengan tepat “apa yang kamu katakan pada dirimu sendiri” sebelum dapat merubahnya. Pada saat dapat mengidentifikasi pola berpikir yang biasa digunakan ini akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, fase kedua adalah latihan memvalidasi pola berpikir ini (meneliti dengan cermat keakuratan cara berpikir yang biasa digunakan). Biasanya, cara berpikir negatif adalah tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan. Fase ketiga adalah menantang pikiran negatif dengan menjawab pikiran-pikiran tersebut dengan pikiran yang lebih akurat dan sesuai dengan realita. Klien diajarkan untuk memanfaatkan proses berpikir ini diluar pertemuan terapi (Sanderson, 2002). Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

46

Memperhatikan proses dan tujuan maka klien yang akan mengikuti terapi kognitif harus memenuhi syarat. Syarat dilakukannya terapi kognitif adalah klien mengalami masalah psikologis seperti harga diri rendah, risiko bunuh diri dan ingin mengatasinya, klien mengalami distorsi kognitif, klien tidak mengalami gangguan kognitif dan komunikasi koheren. 2.3.5. Setting pada Terapi Kognitif Setting dalam menjalankan terapi kognitif ini pada dasarnya sama dengan setting untuk ruangan psikiatri secara umum. Prinsip setting adalah menggunakan prinsip milieu terapeutik. Mileu terapetik adalah lingkungan yang stuktur dan pemeliharaannya ideal untuk bekerja dengan klien. Mileu terapetik ini meliputi lingkungan fisik yang aman, petugas kesehatan dan klien. Lingkungan ini didukung dengan suasana yang bersih dan konsisten (Schultz & Videbeck, 2003). Setting ruangan untuk klien ansietas dan harga diri rendah meliputi pengaturan tempat tidur klien yang memudahkan dan mendorong klien untuk melakukan interaksi dengan orang lain. Sedangkan manajemen ruangan untuk klien ansietas dan harga diri rendah dapat menggunakan ruang yang terbuka, nyaman dan tenang untuk mengurangi stimulus eksternal. Tujuan terapi kognitif adalah membantu klien untuk mengenali dan mengubah distorsi kognitif, melatih klien mengenali pikirannya dan mendorong untuk menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pelaksanaan terapi kognitif harus memerlukan ruangan khusus yang mendukung klien untuk mengungkapkan pikiran otomatis dan melatih mengenali pikirannya. Ruangan yang dimaksud adalah ruangan yang tertutup dan dapat menjaga privacy klien. Kondisi ini tentunya akan medukung klien untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya secara terbuka. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

47

2.4. Konsep Terapi Psikoedukasi Keluarga pada Ketidakberdayaan 2.4.1. Pengertian Terapi Psikoedukasi Keluarga Terapi Psikoedukasi keluarga atau Family Psychoeducation Therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan fragmatic (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Carson (2000), terapi psikoedukasi merupakan suatu alat terapi keluarga yang makin populer sebagai suatu strategi untuk

menurunkan

faktor-faktor

resiko

yang

berhubungan

dengan

perkembangan gejala-gejala perilaku. Situasi yang tepat dalam penerapan terapi psikoedukasi keluarga menurut Carson (2000) adalah: a. Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti latihan keterampilan berkomunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif, b. Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga, khususnya yang mengalami kondisi stres atau krisis. c. Pencegahan dan peningkatan status kesehatan jiwa keluarga, seperti konseling pra nikah, konseling pernikahan sebelum terjadi krisis. Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari keseluruhan intervensi klinik untuk anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan jiwa baik masalah psikososial maupun gangguan jiwa. Keluarga merupakan sumber dukungan positif yang sangat luar biasa untuk mempertahankan dan meningkatkan koping keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan ketidakberdayaan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

48

2.4.2. Tujuan Terapi Psikoedukasi Keluarga Tujuan utama terapi psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2010). Terapi ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan tehnik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala-gekala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri (Carson, 2000). Dengan pemberian terapi ini, maka diharapkan keluarga dapat memahami keadaan klien yang mengalami ketidakberdayaan. Menurut Stuart dan Laraia (2005), terapi ini bertujuan untuk meningkatkan sumber pendukung bagi keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, mencegah kekambuhan, dan meningkatkan kemampuan klien dan keluarga. Tujuan lain dari program ini adalah untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga yang lain dalam mengurangi beban keluarga (fisik, mental dan finansial) khususnya caregiver dalam merawat klien yang tidak hanya mengalami masalah fisik tetapi juga masalah psikososial. Dari beberapa sumber yang menjelaskan tujuan pemberian terapi psikoedukasi keluarga di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi psikoedukasi keluarga terutama ditujukan untuk meningkatkan kemandirian klien melalui peningkatan dukungan dan pengetahuan keluarga dalam rangka mengurangi beban keluarga dan menurunkan masalah ketidakberdayaan klien. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan peningkatan informasi dan pengetahuan dari anggota keluarga dalam merawat klien dan peningkatan koping adaptif dalam mengatasi setiap masalah yang ditemui dalam perawatan. 2.4.3. Indikasi Terapi Psikoedukasi Keluarga Indikasi

dilakukannya

terapi

psikoedukasi

keluarga

atau

Family

Psychoeducation Therapy adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan masalah psikososial dan gangguan jiwa. Menurut Carson (2000), Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

49

program terapi psikoedukasi keluarga ini dirancang untuk terutama untuk pendidikan dan dukungan dalam upaya preventif (pencegahan) timbulnya masalah kesehatan jiwa dalam keluarga. Menurut Carson (2000), terapi psikoedukasi keluarga dapat juga diberikan kepada keluarga yang memiliki konflik dalam perkawinan, konflik sibling, dan konflik antar generasi, keluarga dengan konflik orang tua dan anak, terjadinya proses transisi dalam keluarga, seperti pasangan baru menikah, kelahiran anak, peralihan dari masa kanakkanak ke masa remaja dan terapi inidividu yang melibatkan anggota keluarga lainnya. Untuk itu terapi ini diberikan pada keluarga yang membutuhkan pembelajaran tentang kesehatan jiwa / masalah psikososial, keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa / masalah psikososial, dan keluarga yang ingin mempertahankan kesehatan jiwa keluarga dengan training/latihan ketrampilan. Beberapa penelitian ditemukan bahwa psikoedukasi keluarga cukup efektif diterapkan terhadap keluarga dengan klien gangguan bipolar (dibandingkan dengan terapi individu yang berfokus pada manajemen krisis), kekambuhan, depresi, rawat inap berulang, dan komunikasi positif (Miklowitz et al, 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005). Indikasi lain adalah terhadap keluarga dengan gangguan perasaan, schizofrenia, dan masalah kesehatan jiwa umum lainnya serta keluarga dengan penolakan dan beban yang tinggi (Clarkin et al, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005). Dari beberapa indikasi terapi psikoedukasi keluarga di atas, disimpulkan bahwa terapi ini sangat sesuai untuk keluarga klien yang dirawat di rumah sakit umum karena memenuhi beberapa aspek yang ditentukan seperti adanya masalah psikosial dengan perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh dan kemampuan diri dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan beban keluarga dalam merawat klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

50

2.4.4. Prinsip Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Psikoedukasi untuk keluarga dirancang terutama untuk memberikan edukasi dan dukungan. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan anggota keluarga, mengurangi angka kekambuhan, dan meningkatkan fungsi klien dan keluarga. Tujuan tersebut dicapai melalui pemberian edukasi keluarga tentang penyakit/gangguan, mengajarkan teknik-teknik kepada keluarga yang akan membantu keluarga mengatasi perubahan perilaku klien, dan menguatkan kekuatan keluarga (McFarlane, 1995 dalam Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan hasil workshop terapi spesialis keperawatan jiwa tahun 2009, terapi psikoedukasi keluarga dilaksanakan dalam lima (5) sesi. Sesi pertama adalah mengidentifikasi masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien dan masalah keluarga sendiri dalam memberikan perawatan pada klien. Pada sesi kedua, perawat mendiskusikan cara perawatan klien terkait dengan masalah keperawatan yang ditemukan pada klien. Sesi ketiga adalah mendiskusikan manajemen stress yang dialami keluarga. Selanjutnya pada sesi keempat perawat bersama keluarga mendiskusikan manajemen beban yang dapat dilakukan keluarga dalam menyelesaikan masalah dalam merawat klien. Pada sesi 5 kegiatannya adalah mendiskusikan tentang pemberdayaan komunitas untuk proses penyembuhan dan pemulihan klien.

2.5. Model Proses Interpersonal Peplau Hildegard

Peplau

menggunakan

istilah

psycodynamic

nursing

untuk

menggambarkan hubungan dinamis antara perawat dan klien. Psycodynamic nursing adalah kemampuan memahami perilaku diri sendiri untuk menolong orang lain mengidentifikasi kesulitan yang dirasakan dan menerapkan prinsip hubungan manusia ke dalam masalah yang timbul pada berbagai pengalaman. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

51

Dikenal juga dengan istilah Peplau’s Nursing Model : The Interpersonal Process. Menurut Peplau keperawatan adalah terapeutik karena keperawatan itu merupakan seni dalam menyembuhkan, memberi bantuan pada individu yang sakit atau membutuhkan perawatan (George, 2009). Berdasarkan konsep yang dinyatakan oleh Peplau tersebut, jelas bahwa asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat harus berdasarkan pada konsep hubungan interpersonal. Hubungan ini pada aplikasi secara operasional di tatanan klinik berbentuk sebagai komunikasi terapeutik. Pada model ini, dijelaskan juga bahwa tujuan ilmu keperawatan adalah untuk membantu perkembangan kepribadian ke arah kedewasaan termasuk semakin berdaya dalam menghadapi masalah. Inti sari dari model Peplau, adalah suatu model yang diorganisasikan melalui proses, yaitu hubungan manusia antara seseorang yang sedang sakit, atau sedang kurang mendapat bantuan kesehatan, dengan seorang perawat khususnya mendidik untuk mengenali dan untuk bereaksi terhadap kebutuhan klien yang memerlukan bantuan (Peplau, 1952 : Leddy & Pepper, 1993). Model yang dikembangkan Peplau berusaha untuk menyajikan mengenai analisa dari tindakan keperawatan dengan menggunakan konsep dan teori interpersonal sebagai kerangka kerjanya. Model interpersonal Peplau memulai perkembangannya berasal dari intrapsikis empati pada keperawatan kesehatan mental psikiatri dan menjadi fokus yang dominan pada perawatan fisik dalam keperawatan umum, inilah yang menjadi fokus dalam model interpersonal (Fitzpatrick, 1989). Selanjutnya Peplau mendefinisikan perawatan sebagai proses interpersonal juga menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai suatu hal penting yang perlu

didiskusikan.

Dua

komponen

yang

saling

berinteraksi

untuk

mempertahankan kesehatan menurut Peplau terdiri dari pemenuhan kebutuhan fisiologis dan kondisi interpersonal. Komponen ini dimungkinkan akan sangat Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

52

terkait

sebagai suatu hal yang mengendalikan rasa kepuasan dan rasa

keamanan. Proses interpersonal menjadi dasar atas hubungan partisipasi antara perawat dan klien yang mana perintah perawat mempunyai tujuan dan merupakan suatu proses, serta intinya adalah mengontrol klien. Komunikasi menurut Peplau (1952) akan sangat membantu orang lain untuk memperhatikan dan melakukan klarifikasi terhadap persepsi orang lain secara nyata sehingga mampu menerima dan mengerti perasaan tentang kondisi orang lain (Fitzpatrick, 1989). Selama menjalankan komunikasi terapeutik, para perawat menggunakan diri mereka sendiri sebagai suatu alat yang terapeutik untuk membangun suatu hubungan terapeutik dengan seorang klien, untuk membantu klien bertumbuh, berubah, dan sembuh. Penggunaan kemanusiaan diri sendiri, pengalaman, keterampilan koping, dan persepsi untuk membantu klien tumbuh dan berubah inilah yang disebut dengan “therapeutic use of self” (Northouse & Northouse, 1998: Videbeck, 2001). Peplau (1952) menggambarkan mengenai therapeutic use of self dalam hubungan perawat-klien, diyakini bahwa perawat harus memiliki pengertian yang jelas mengenai diri mereka sendiri untuk meningkatkan pertumbuhan klien mereka dan untuk menghindari keterbatasan pilihan klien terhadap nilainilai dari perawat (Videbeck, 2001). Penggunaan diri secara terapeutik merupakan suatu cara yang diperlukan perawat mempunyai kesadaran diri yang baik dan mengerti dengan dirinya sendiri, mempunyai penerimaan terhadap keyakinan falsafah mengenai kehidupan, kematian, dan semua kondisi manusia. Perawat harus mengerti bahwa kemampuan dan keluasan untuk dapat menjadi efektif membantu orang lain yang membutuhkan dalam suatu waktu adalah sangat dipengaruhi oleh sistem nilai secara internal yang berupa kombinasi antara intelektual dan emosi (Townsend, 2005).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

53

2.5.1. Pandangan

Hildegard

Peplau’s

Model

tentang

Paradigma

Keperawatan Peplau memiliki pandangan tentang paradigma keperawatan, dimana Peplau memandang manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk dapat membuat manusia dapat saling berhubungan satu dengan yang lain. Peplau memandang dan mengartikan manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan sebagai berikut: 2.5.1.1.

Manusia

Manusia menurut Peplau adalah suatu sistem diri yang berkembang, yang terdiri dari unsur biokimia, fisiologi, dan karakteristik interpersonal serta memiliki kebutuhan dalam mempertahankan hidup. Perkembangan terjadi sebagai hasil dari interaksi dengan diri sendiri dan orang lain. Manusia bisa berkembang karena ia memiliki pandangan diri (self view). Pandangan diri ini mempengaruhi seseorang baik disadarinya maupun tidak. Kemampuan seseorang untuk memadukan pengalamaan interaksinya yang didasari oleh pandangan diri, dengan menciptakabn pola perilaku yang baru guna memenuhi kebutuhannya disebut dengan orang yang matang/ mature. Pola perilaku individu ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalu, sat ini, harapan yang akan datang dan tujuan yang ingin dicapai, dimana persepsi seseorang merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku. Peplau (1952, dalam Fitzpatrick,1989) mengemukakan manusia hidup dalam keseimbangan yang tidak stabil

dan memiliki dua tujuan yaitu

mempertahankan diri dan kelangsungan hidup spesiesnya. Semua aktivitas perilaku bertujuan untuk menurunkan kecemasan dari kebutuhan yang tidak terpenuhi dan menuju kearah kebutuhan yang lebih tinggi. Aktivitas ini dihasilkan dalam hubungan interpersonal dengan orang. Human being berkembang dari hubungan interpersonal, seperti pengalaman interpersonal penting dalam mengidetifikasi solusi terhadap situasi kecemasan dengan self Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

54

maintenance dan kontribusi untuk tahap kecemasan berikutnya. Kemampuan individu dalam mengadakan hubungan interpersonal akan meningkatkan kemampuan mengatasi masalah dan terhindar dari ketidakberdayaan. 2.5.1.2. Lingkungan. Konsep lingkungan secara mendasar ditempatkan sebagai lingkungan eksternal yang berperan penting dalam perkembangan manusia, termaksud di dalamnya status sosial dan ekonomi serta lingkungan sekitar seperti lingkungan keluarga, kelompok dan masyarakat, termasuk perawat dianggap sebagai

lingkungan

terdekat

dari

klien

dan

keluarganya.

Peplau

menginterpretasikan situasi interpersonal sebagai lingkungan microcosmos dimana di dalamnya kesehatan ditingkatan. Interaksi antara klien dan perawat sebagai

lingkungan interpersonal. Kekuatan

budaya adalah faktor

lingkungan dimana nilai-nilai di masyarakat dan perkembangan kepribadian akan ditransmisikan sepanjang hidup. Peplau juga mendefinisikan seting pengobatan sebagai lingkungan fisik dan sosial

sehingga lingkungan interpersonal perawat – klien merupakan

tangggung jawab utama perawat. 2.5.1.3. Kesehatan. Peplau (1952, dalam Fitzpatrick,1989) mendefinisikan kesehatan adalah mata rantai fenomena perkembangan manusia. Kata kesehatan disini merupakan simbol yang menyatakan secara tidak langsung pergerakan kepribadian dan proses

seseorang yang

secara terus menerus ke arah kreatif, konstruktif,

poduktif, personal dan komunitas yang hidup. Berdasarkan dari pengalaman kecemasan, peningkatan

energi manusia dapat ditransformasikan sehingga terjadi kesehatan

atau

melemahkan

perilaku-perilaku.

Perilaku

peningkatan kesehatan menurut Peplau adalah kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan, kesadaran diri dan memahami keutuhan pengalaman hidup termaksud sakit. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

55

Model Peplau menempatkan sehat dan sakit dalan suatu rentang respon, tingkatan sehat dihubungkan dengan tingkatkan pengalaman terhadap ansietas dan kemampuan mentransformasikan kecemasan menjadi produktif, perilaku asimptomatik. 2.5.1.4. Keperawatan. Peplau (1952, dalam Fitzpatrick,1989, hlm,. 51) mendefinisikan keperawatan sebagai “a maturing force and educative instrument”. Tujuan utama keperawatan adalah mengaplikasikan prinsip-prinsip keilmuwan, prinsip perkembangan, dan memfasilitasi kesehatan manusia. Aktivitas keperawatan dideskripsikan sebagai membantu Klien yang sakit untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan interpersonal . Dia juga memandang keperawatan sebagai ilmu yang dapat diaplikasikan dan suatu proses dimana bertujuan agar Klien dapat melihat kebutuhannya dan memperbaiki kondisi sakitnya.serta memenuhi kebutuhan. Peplau (1984 , dalam Fitzpatrick,1989, hlm, 51) oleh ANA mendefinisikan domain keperawatan sebagai “ Respon

diagnosis dan treatment terhadap

masalah kesehatan baik aktual ataupun potensial. Secara spesifik fokus keperawatan adalah aktivitas yang berhubungan dengan respon manusia. Dia menjelaskan respon manusia

terhadap masalah kesehatannya baik aktual

maupun potensial merupakan area aktivitas keperawatan mandiri dalam mendiagnosis, treatment, pendidikan dan riset. Praktik mandiri dilakusanakan untuk mengimbangi profesi kesehatan lain, mengingat area interdependen pada praktik keparawatan adalah kolaboratif. Model keperawatan Peplau ditujukan pada domain pengetahuan dan praktik sebagai keunikan dalam keperawatan dan kemandirian terhadap profesi kesehatan lain. Aktifitas keperawatan adalah proses menggerakan klien kearah yang lebih produktif dalam fungsi interpersonal. Tujuan adalah proses antara Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

56

perawat – Klien lebih spesifik, aktivitas keperawatan dilukiskan dalam sembilan perawat. Peran-peran tersebut diatur dan dipengaruhi empat fase proses interpersonal yaitu orientasi, identifikasi, eksplorasi dan resolusi. 2.5.2. Peran Perawat Menurut Pshycodynamic Nursing Peplau menyebutkan enam macam peran perawat berbeda yang menyatu dengan fase hubungan perawat-klien yaitu : 2.5.2.1.

Peran orang asing (role of the stranger). Peran pertama adalah peran dari orang asing. Peplau menyatakan karena klien dan perawat adalah orang asing bagi satu dan lainnya, maka klien harus diperlakukan secara sopan. Dengan kata lain, perawat tidak boleh melakukan penilaian terlebih dahulu, namun harus menerimanya apa adanya. Selama fase nonpersonal ini, perawat harus memperlakukan klien secara penuh perasaan. Perawat menerima klien secara obyektif.

2.5.2.2.

Peran dari seorang narasumber (role of resource person). Peran dari seorang narasumber, perawat memberikan jawaban-jawaban spesifik dari tiap pertanyaan, terutama mengenai informasi kesehatan dan menginterpretasikan kepada klien bagaimana perawatan dan rencana medis untuk hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini terkadang muncul dari konteks permasalahan yang lebar. Perawat harus menentukan jenis jawabannya untuk pembelajaran yang konstruktif, apakah dengan jawaban langsung atau hanya sekedar saran-saran saja.

2.5.2.3.

Peran pengajaran (teaching role). Peran pengajaran adalah kombinasi dari seluruh peran yang lain. Perawat memberikan informasi dan membantu klien belajar.

2.5.2.4.

Peran kepemimpinan (leadership role). Peran kepemimpinan menyangkut tentang proses demokratis. Perawat membantu klien

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

57

agar kooperatif dan berpartisipasi aktif dalam perawatan. Perawat merawat klien secara demokratis. 2.5.2.5.

Peran wali (surrogate rule). Klien menganggap perawat sebagai peran walinya. Sikap perawat dan tingkah lakunya menciptakan perasaan tertentu (feeling tones) dalam diri klien yang bersifat reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Perawat membantu klien melihat perbedaan dan persamaan antara dirinya dengan individu yang lain dan membantu memecahkan konflik interpersonal.

2.5.2.6.

Peran penasihat (counseling role). Peplau mempercayai bahwa peran penasehat memiliki peran besar dalam hubungan perawat-klien. Penasehat berfungsi dalam hubungan perawat-klien melalui cara perawat merespon kebutuhan klien. Peplau mengatakan tujuan dari teknik hubungan antar personal adalah untuk membantu klien dalam mengingat dan memahami sepenuhnya apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini, sehingga satu pengalaman cepat diintegrasikan bukannya dipisahkan dengan pengalaman lainnya dalam hidupnya. Melalui peran konseling ini perawat mempromosikan pengalaman yang penting tentang kesehatan. Klien mempunyai kesadaran diri untuk meningkatkan kesehatan, mengidentifikasi adanya ancaman kesehatan, dan belajar dari kejadian interpersonal.

Berbagai unsur peranan diatas menuntut adanya tanggung jawab dan tanggung gugat dari perawat saat memberikan pelayanan keperawatan. Untuk mencapai hal itu, maka komunikasi terapeutik harus dipertahankan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peplau bahwa kesadaran diri perawat sangat diperlukan pada saat perawat memberikan tindakan keperawatan kepada klien. 2.5.3. Komponen Sentral Pshycodinamic Nursing Fitzpatrick, (1989), menggambarkan ada 4 komponen sentral yaitu :

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

58

a. Proses Interpersonal Proses interpersonal mendasari hubungan klien-perawat. Ada 4 fase ketika perawat melakukan hubungan interpersonal dengan klien yaitu : orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. b. Perawat Perawat merupakan komponen dalam hubungan antara klien dan perawat, digambarkan ada 6 peran perawat yang diidentifikasi oleh Peplau. Peran perawat sebagai stranger, resource, teacher, leadership, surrogate, dan counselor. c.

Klien Ditujukan pada klien yang mengalami sakit dengan ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan dimanifestasikan dalam ketidakmampuan klien untuk belajar dan berfungsi secara efektif. Pada hubungan perawat-klien ini, klien digambarkan sebagai penerima yang mempengaruhi proses interpersonal dan memberi efek yang kecil pada perawat. Perawat mempengaruhi kesehatan klien melalui komunikasi dengan klien. Hubungan perawat-klien mempunyai efek mentransfer energi yang penting untuk meningkatkan kemampuan klien.

2.5.4. Hubungan

antara

Tahapan-tahapan

Peplau

dan

Proses

Keperawatan Peplau (1952, dalam Fitzpatrick,1989), mengemukakan empat tahapan hubungan yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi yang dapat dibandingkan dengan proses keperawatan (lihat tabel 2.1).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

59

Tabel 2.1. Perbandingan proses keperawatan dan tahapan Peplau Proses Keperawatan

Tahapan Peplau

Pengkajian

Orientasi

Pengumpulan data dan analisa

Klien dan perawat dapat bersama-sama

Memprioritaskan kebutuhan

sebagai orang asing, pertemuan dimulai

yang penting

dengan klien yang mengemukakan keluhannya, bekerja sama untuk saling mengenal, memahami dan mendefinisikan hubungan yang dibentuk untuk dapat memenuhi kebutuhan. (catatan : data selalu dikumpulkan)

Diagnosa keperawatan Ringkasan data hasil analisa

Klien menjelaskan keluhannya.

Perencanaan

Identifikasi

Menetapkan tujuan bersama

Menetukan tujuan interdependen. Klien merasakan keluhannya dan memberikan tanggapan secara selektif yang dapat memenuhi kebutuhannya

Pelaksanaan

Eksploitasi

Pelaksanaan rencana untuk

Klien secara aktif mencari bantuan dan

mencapai tujuan

memperoleh pengetahuan dari tenaga

Komunikasi dengan klien,

profesional.

keluarga dan perawat kesehatan profesional

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

60

Evaluasi

Resolusi

Berdasarkan diagnosa yang

Terjadi setelah tahap-tahap yang lain bisa

telah ditetapkan bersama dan

dilaksanakan secara lengkap dan berhasil,

perilaku

merupakan tahapan untuk mengakhiri

Mungkin tahap untuk

hubungan perawat-klien

mengakhiri atau memulai rencana baru Sumber : Fitzpatrick, J. J. (1989). Concepal models of nursing: analysis and application. California: Appleton & Lange.

2.5.5. Penerapan Manajemen Keperawatan Klien Ketidakberdayaan Menggunakan Pendekatan Hubungan Interpersonal Hildegard Peplau’s Model. Peplau mengawali pendekatan perkembangan pengetahuan dalam praktik keperawatan dan ilmu dalam interaksi perawat klien dimana perkembangan proses interpersonal klien dan perawat dilaksanakan dengan tujuan terapeutik dan menggunakan diri sebagai alatnya, hal ini senada dengan definisi keperawatan psikiatrik yang dikeluarkan oleh ANA bahwa keperawatan psikiatrik merupakan suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya (Laraia, 2005). Model ini sangat tepat digunakan pada masalah psikososial ataupun pada penyakit mental kronik karena berlandaskan pada konsep komunikasi dalam berinteraksi dengan klien sehingga hubungan interpersonal dapat terbina dengan baik. Selain itu Peplau menjadikan kecemasan sebagai satu dari empat konsep sentral, dan manusia itu selalu berada dalam suatu rentang respon sehat–sakit, sehingga model ini sangat applicable bila digunakan dalam praktik keperawatan jiwa pada masalah ketidakberdayaan yang memandang manusia secara holistik dan berdasarkan rentang respon adaptif dan maladaptif (Fortinash, 2005). Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

61

Penerapan model Peplau sangat relevan untuk manajemen kasus klien ketidakberdayaan yang disebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Pada klien ketidakberdayaan penerapan model Peplau relevan karena teori Peplau yang berfokus pada interpersonal relationship. Interpersonal relationship yang baik akan menghasilkan interaksi yang baik sehingga tujuan interaksi juga akan efektif dan maksimal. Penerapan model Peplau dalam manajemen klien ketidakberdayaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.5.5.1. Fase Orientasi Merupakan fase pertama dari proses interpersonal, pada fase ini difokuskan untuk membina hubungan saling percaya karena merupakan pertama kalinya Klien bertemu dengan perawat dan peran perawat sebagai stranger (orang asing) bagi klien dan demikan sebaliknya. Langkah-langkah yang dilakukan perawat pada fase ini bertujuan mengurangi kecemasan klien, memberi rasa aman dan nyaman bagi klien. Dalam membina hubungan saling percaya perawat-klien dilakukan sesuai dengan tahapan hubungan terapeutik, diharapkan

perawat

mempengaruhi

klien

melalui

komunikasi

yang

dikembangkan dalam hubungan perawat dan klien sehingga kecemasan klien menurun (Fortinash, 2005). Pada klien yang mengalami ketidakberdayaan banyak ditemukan pengalaman negatif klien dalam mengtasi masalah, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai tingkat kesehatan yang diharapkan, krisis identitas dan kurangnya kemampuan melaksanakan peran. Faktor psikologis ini sangat mempengaruhi awal hubungan klien dengan perawat, sehingga sangat penting bagi perawat yang akan memulai hubungan dengan klien ketidakberdayaan. Kemampuan perawat untuk berempati pada fase ini terlihat dalam komunikasi perawat baik verbal maupun non verbal seperti mendengar, pembukaan yang luas, refleksi, focusing, klarifikasi merupakan suatu bentuk perawat menerima dan menghargai klien apa adanya. Peran lain yang dilakukan perawat pada fase Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

62

ini adalah sebagai konselor dimana perawat menggali perasaan klien dan menanyakan kesiapan klien untuk berinteraksi. Penjelasan fase oriantasi diatas memperlihatkan bahwa perawat tidak diperkenankan untuk memberikan atau mendiaknosa atau meraba-raba bagaimana keadaan klien, apa yang sedang dialami oleh klien, sehingga perawat tidak salah dalam memutuskan dan memberikan tindakan keperawatan kepada klien dengan ketidakberdayaan. 2.5.5.2. Fase Identifikasi Merupakan fase yang paling tinggi kualitasnya pada hubungan interpersonal, fase ini menggali perasan–perasaan yang dialami klien ketidakberdayaan, disini akan terlihat bagaimana klien mengatakan ketakutan, ketidakmampuan dan ketidak berdayaan. Fase ini merupakan tahap pengkajian dan dasar perawat menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap klien. Perawat menentukan keadaan klien pada tahap ketidakberdayaan dan setelah mengidentifikasi kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki klien. Kemampuan perawat menggali permasalahan yang dialami klien sebagai langkah besar dalam pengkajian mengingat klien ketidakberdayaan memiliki tingkat kedaruratan yang tinggi dan perhatian yang tinggi, sedangkan klien ketidakberdayaan memiliki kecenderungan menggunakan mekanisme koping maladapif yaitu fantasi, regresi, disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang lain, denial, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi dan magical thinking (Shives, 1998: Laraia 2005) diharapkan perawat dapat menggunakan dirinya sendiri sebagai alat yang terapeutik. Peran perawat pada fase identifikasi ini adalah sebagai wali, dimana pada fase ini perawat mengintepretasikan apa yang dirasakan terhadap topik dari komunikasi yang terjadi dan berkembang selama hubungan dalam fase ini.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

63

2.5.5.3. Fase Eksploitasi Fase ini perawat mendiskusikan lebih mendalam

dan memilih alternatif

terhadap permasalahan yang dialami klien. Proses ini membutuhkan banyak energi agar dapat mentransfer energi klien dari yang negatif menjadi seorang yang positif dan produktif. Perawat berperan sebagai pendidik pada yang mengajarkan klien tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan, perawat mengajarkan dan memberikan informasi kepada klien tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah bila munculnya perasaan tidak berdaya dalam menghadapi penyakitnya, melakukan tindakan keperawatan pada klien melalui intervensi terapi-terapi keperawatan baik generalis maupun terapi spesialis. Peran perawat sebagai narasumber yang memberikan informasi kepada klien berbagai informasi dari pengobatan, tindakan keperawatan dalam membantu klien dan counselor juga dapat dilihat pada fase ini. Selama fase ini klien akan mendapatkan semua yang dibutuhkan dari perawat,perawat memberikan semua informasi, dan kebutuhan klien terkait dengan penyembuhan dan kebutuhan perawatan klien. Pada fase inilah peran perawat secara keseluruhan terkait, selain sebagai peran pendidik, narasumber, pemimpin, pengganti dan juga peran sabagai penasehat. 2.5.5.4. Fase Resolusi Pada fase ini perawat mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini perawat mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun. Untuk mengurangi rasa ketergantungan pada perawat, tindakan yang dilakukan perawat

adalah

mempersiapkan

kemandirian

klien

dengan

cara

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

64

memaksimalkan sumber koping klien dan keluarga dalam mempersiapkan klien untuk pulang. Kemandirian klien dengan Ketidakberdayaan yang terpenting adalah klien selalu mengembangkan koping yang adaptif, memiliki sikap dan harapan yang positif sebagai implikasi dari pikiran positif yang dimiliki klien, sehingga tidak muncul pikiran tidak diterima oleh lingkungan. Dukungan keluarga sangat penting sehingga keluarga harus dilibatkan dari awal, perawat juga harus mempersiapkan lingkungan klien melalui keluarga untuk mempertahankan sikap dan pikiran positif klien ketika klien pulang. Tahapan proses interpersonal yang dikembangkan Peplau dalan empat fase dinilai sangat relevan dengan manajemen kasus pada klien Ketidakberdayaan. Teori Peplau yang berfokus pada interpersonal relationship ini sangat sesuai bagi intervensi pada klien dengan ketidakberdayaan dalam mengaplikasikan terapi-terapi spesialis seperti logo terapi, kognitif terapi dan psikoedukasi keluarga yang sangat membutuhkan hubungan yang trust dari klien kepada perawat sehingga klien bersedia mengungkapkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, pengalaman-pengalaman traumatik dan mengecewakan, termasuk harapan-harapan yang mungkin dirasakan klien belum tercapai yang mengakibatkan merasa tidak berdaya, perasaan tidak berharga, kesedihan, keputusasaan. Proses interpersonal menjadi dasar atas hubungan partisipasi antara perawat dan klien yang mana perintah perawat mempunyai tujuan dan merupakan suatu proses, serta intinya adalah mengontrol klien untuk dapat berhubngan sosial dengan rang lain terutama dalam keluarga klien. Proses interpersonal merupakan gambaran secara operasional dalam menjelaskan empat fase yang berbeda yaitu orientasi, identifkasi, eksploitasi, dan resolusi (Fitzpatrick, 1989).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

65

l

FASE EKSPLOITASI

FASE IDENTIFIKASI

KLIEN KETIDAK BERDAYAAN

1. 2. 3. 4.

KLIEN KETIDAK BERDAYAAN

TERAPI LOGO TERAPI KOGNITIF

FISIK KOGNITIF PERILAKU AFEKTIF

FASE ORIENTASI

FASE RESOLUSI

PSIKOEDUKASI KELUARGA

PERAN PERAWAT SEBAGAI ORANG ASING

1. 2. 3. 4.

PERAN PERAWAT SEBAGAI: 1. NARASUMBER 2. PENDIDIK 3. PEMIMPIN 4. PENASEHAT

FISIK KOGNITIF PERILAKU AFEKTIF

PERAN SEBAGAI WALI/PENGGANTI

LINGKUNGAN Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penerapan Teori Hildegard E Peplau Interpersonal Relations Pada Klien Dengan Ketidakberdayaan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

S E H A T

BAB 3 PROFIL LAHAN PRAKTIK : MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN Manajemen pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta mengacu kepada penerapan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP), sedangkan manajemen asuhan keperawatan membahas tentang proses keperawatan yang dilaksanakan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan terutama pada diagnosis ketidakberdayaan dengan menggunakan terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. 3.1 Manajemen Pelayanan di RSUP Persahabatan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan adalah Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas A yang berada di Jakarta Timur. Visi dan misi RSUP Persahabatan adalah :

Visi : Menjadi Rumah Sakit terdepan dalam

menyehatkan masyarakat dengan unggulan kesehatan respirasi kelas dunia. Misi : Menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian dalam bidang kesehatan secara profesional dan berorientasi pada pasien. Motto “Caring with friendship” Melayani secara bersahabat. Nilai-nilai : 1. Kejujuran, 2. Kompetensi, 3. Kerjasama tim, 4. Caring dan 5. Loyalitas. Tujuan RSUP Persahabatan : 1. Memberikan pelayanan kesehatan prima dengan menerapkan upaya menjaga mutu dan keselamatan berkelanjutan, 2. Menjadi rujukan utama dalam pelayanan kesehatan respirasi, 3. Memimpin dalam pendidikan dan penelitian bidang kesehatan respirasi Indonesia. Sesuai dengan visi, misi, moto dan tujuan RSUP Persahabatan : yang berorientasi pada pasien dengan “Caring with friendship”. Pelayanan asuhan keperawatan secara holistik sudah tergambar termasuk pelayanan pada klien dengan masalah psikossosial khususnya ketidakberdayaan.

66

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

67

RSUP Persahabatan memiliki kapasitas 560 tempat tidur, terakreditasi untuk 16 bidang pelayanan kesehatan, dan merupakan rumah sakit pusat rujukan (top referral) Nasional untuk masalah kesehatan respirasi. SMF Paru RSUP Persahabatan memiliki 6 divisi: Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas, Onkologi Paru, Infeksi Paru, Asma dan PPOK, Penyakit Paru Kerja dan Kesehatan Lingkungan dan Imunologi. Tabel 3.1. Data Tenaga Keperawatan di RSUP Persahabatan Jakarta tahun 2012 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Jenis Ketenagaan S2 Keperawatan S1 Keperawatan D4 Keperawatan D3 Keperawatan SPK / SPR D4 Kebidanan D3 Kebidanan D1 Kebidanan D3 Anestesi D3 Perawat gigi SPR gigi Jumlah

Jumlah

Prosentase

3 39 1 495 51 3 40 7 11 3 5 658

0,46 5,98 0,15 75,92 6,89 0,46 6,15 1,07 1,69 0,46 0,77 100

Jumlah perawat merupakan jumlah terbesar di RSUP Persabahatan, hal ini merupakan

potensi

yang

sangat

besar

yang

memungkinkan

untuk

melaksanakan asuhan keperawatan pada klien secara komprehensif, tidak hanya pada fisiknya saja tetapi juga pada masalah psikososialnya, terutama pada klien dengan ketidakberdayaan. 3.1.1. Pelaksanaan Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) di RSUP Persahabatan jakarta. Pengembangan MPKP di RSUP Persahabatan dilaksanakan di unit pelayanan umum yaitu ruang Melati bawah dan cempaka bawah tahun 2002 berupa model praktik keperawatan profesional pemula. Namun pelaksanaan MPKP di kedua Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

68

ruangan tersebut tidak berkembang karena kurangnya komitmen dari pihak manajemen

maupun

pelaksana

MPKP.

Perawat

yang

telah

terlatih

melaksanakan MPKP di kedua ruangan tersebut dipindahkan menyebar ke ruangan lain sehingga kegiatan MPKP terhenti / tidak berjalan lagi. Kegiatan

inovasi keperawatan terkait dengan MPKP di unit umum telah

dilakukan oleh mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI tanggal 20 Februari s.d. 20 April 2012 di 13 ruangan rawat inap yaitu Ruang Cempaka bawah, Cempaka atas, Melati atas, Melati bawah, Dahlia atas, Dahlia bawah, Soka Atas, Anggrek Bawah, Kardiologi, Bedah toraks, Bedah kelas 2, Kebidanan kelas 3, dan Kebidanan kelas 2. Kegiatan keperawatan yang dilakukan penulis terutama pilar patient care delivery meliputi penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan ketidakberdayaan di dua ruangan : Ruang Cempaka bawah dan Kardiologi, berupa menyediakan SAK, SOP leaflet leaflet masalah / diagnosis psikososial, penyegaran dan pelatihan serta pendampingan intervensi generalis terutama pada kasus ketidakberdayaan, kegiatan tersebut telah didesiminasikan di bidang keperawatan dan beberapa kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana di RSUP Persahabatan. 3.1.1.1.

Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional di Ruang Cempaka Bawah

Ruang Cempaka Bawah merupakan ruang rawat umum dengan spesifikasi penyakit dalam kelas III dengan kapasitas 33 tempat tidur. Rata-rata BOR selama tahun 2011 mencapai 88,32% , ALOS 9,09 hari dan TOI 2,56 hari. Kapasitas tempat tidur 33 buah. Jumlah perawat 15 orang, dengan rincian 2 orang laki-laki dan 13 orang perempuan keseluruhannya berpendidikan D III Keperawatan. Tenaga keperawatan yang ada terdiri dari satu Karu, tiga Katim dan sebelas perawat pelaksana (PP) . Tim satu memiliki 4 orang PP, tim dua 4 orang PP dan tim tiga tiga orang PP. Hasil analisis kebutuhan tenaga keperawatan

menggunakan

rumus

Gillies,

ruang

Cempaka

bawah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

69

membutuhkan 29 perawat, sehingga masih kekurangan jumlah tenaga perawat sebanyak 14 orang. Tenaga non keperawatan yang dimiliki ruang Cempaka Bawah yaitu pramu husada sebanyak 2 orang dengan tingkat pendidikan SMA, 2 orang cleaning service dan 1 orang tenaga administrasi yang tidak hanya mengelola administrasi di Ruang Cempaka bawah tetapi juga di Ruang Cempaka atas. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa belum ada perawat yang pernah mengikuti pelatihan MPKP, sedangkan untuk pelatihan askep dasar semua perawat pernah mengikutinya. Apabila ruang Cempaka bawah dikembangkan kembali menjadi ruang MPKP maka level MPKP Ruang Cempaka bawah adalah MPKP Pemula. Ruang Cempaka Bawah RSUP Persahabatan Jakarta mempunyai visi terdepan dalam memberikan pelayanan yang profesional, nyaman dan aman bagi berbagai lapisan masyarakat yang membutuhkan perawatan khususnya bagi pasien ODHA dan dukungan untuk keluarga. Misi ruang Cempaka Bawah adalah : a. Menyelenggarakan pelayanan pada kasus-kasus HIV-AIDS, Gangguan sistem perkemihan, gangguan sistem endokrin,

gangguan sistem

persyarafan, gangguan sistem kardio vaskuler, DHF dan kemoterapi secara profesional, bermutu dan terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. b. Menjaga keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam memberikan asuhan bagi pasien maupun petugas kesehatan di lingkungan ruang Cempaka bawah. c. Memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan baik formal maupun non formal bagi petugas kesehatan baik perawat maupun non perawat di lingkungan ruang Cempaka bawah. d. Mengembangkan pendidikan dan penelitian kesehatan secara profesional. Ruang Cempaka bawah merawat klien HIV-AIDS, Gangguan sistem perkemihan, gangguan sistem endokrin,

gangguan sistem persyarafan, Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

70

gangguan sistem kardio vaskuler, DHF dan kemoterapi. Kasus yang dirawat di ruangan ini ini merupakan kasus yang cenderung menimbulkan dampak psikosial yang tinggi dan memerlukan penangan yang serius untuk mencegah masalah psikosisal tersebut berlanjut menjadi gangguan jiwa, tetapi dari visi dan misi belum menggambarkan pelayanan keperawatan yang holistik terhadap klien yang dirawat. Gambaran umum Ruangan Cempaka Bawah berdasarkan 4 pilar MPKP yaitu management approach (pendekatan manajemen), compensatory reward (kompensasi

dan

penghargaan),

professional

relationship

(hubungan

profesional), patient care delivery (keperawatan terhadap pasien). Di Ruang Cempaka

Bawah

setelah

dilakukan

penyegaran

pendampingan

dan

pembudayaan oleh mahasiswa residensi III didapatkan data tentang pelaksanaan MPKP sebagai berikut : a.

Pendekatan Manajemen di Ruang Cempaka Bawah RSUP Persahabatan Jakarta

1) Perencanaan Fungsi perencanaan karu terdiri atas empat kegiatan yaitu visi, misi, filosofi dan rencana kegiatan yang terdiri dari rencana harian, rencana bulanan dan rencana tahunan. Kepala ruangan bertanggung jawab dalam pencapaian visi, misi dan filosofi yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh ketua tim dan perawat pelaksana dalam proses keperawatan di ruangan. Pembuatan rencana harian diperlukan supaya dapat membagi waktunya untuk melakukan kegiatan manajerial dan asuhan selama jam kerja setiap hari, sedangkan pembuatan rencana bulanan dan tahunan bermanfaat untuk menjaga konsistensi pelaksanaan MPKP di ruangannya. Rencana kegiatan harian dibuat oleh kepala ruangan (Karu), ketua tim (Katim) dan perawat pelaksana (PP) sesuai dengan tanggung jawab dan lingkup kewenangannya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

71

Visi, misi dan filosofi di ruang Cempaka bawah merujuk pada visi, misi dan filosofi rumah sakit. Karu sudah mencapai batas lulus untuk pembuatan visi dan misi ruangan. Penulis hanya melakukan pembudayaan pelaksanaan visi, misi, dan filosofi dalam kegiatan sehari-hari di ruangan. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah belum tercantumnya aspek holistik klien dalam visi, misi dan filosofi ruangan. Hal ini berimbas pada belum terlaksananya manajemen asuhan keperawatan yang holistik sehingga masalah psikososial klien sering terabaikan di ruangan. Rencana jangka pendek, berupa rencana harian pada saat awal penulis melaksanakan praktik residensi 3 belum dibuat oleh Karu, Katim maupun PP, penulis membantunya dengan cara melatih dalam pembuatan rencana harian sehingga di akhir praktik didapatkan hasil bahwa semua kegiatan perencanaan pilar I MPKP oleh Karu, Katim dan PP sudah mencapai batas lulus. Kegiatan asuhan keperawatan yang ditulis di rencana harian sebaiknya juga asuhan keperawatan yang holistik. Hal ini memotivasi Karu, Katim dan PP untuk memperhatikan aspek psikososial dalam melakukan asuhan keperawatan. 2) Pengorganisasian Fungsi pengorganisasian Karu terdiri atas tiga kegiatan yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi klien. Pengorganisasian yang dilakukan Katim hanya daftar dinas dan daftar alokasi klien. Struktur organisasi memudahkan karu dalam membagi beban kerja perawat ruangan dalam melakukan kegiatan manajerial dan asuhan keperawatan. Struktur organisasi yang ideal seharusnya juga mencantumkan posisi perawat pelaksana dan

perawat

CLMHN

untuk

memudahkan

perawat

ruangan

dalam

berkoordinasi melakukan asuhan keperawatan psikososial kepada klien. Daftar dinas dibuat oleh karu supaya beban kerja setiap bulan antar perawat tidak berbeda jauh. Daftar alokasi klien bermanfaat untuk menentukan siapa yang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

72

bertanggung jawab dalam proses keperawatan klien sehingga ada kontinuitas asuhan keperawatan sejak klien mulai dirawat sampai klien pulang. Daftar alokasi klien juga berfungsi sebagai komunikasi antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan pada klien. Struktur organisasi di ruang Cempaka bawah sudah menggambarkan kedudukan kepala ruangan, adanya posisi tim I, II dan III, serta jumlah perawat pelaksana tiap tim. Struktur organisasi di ruangan belum terlihat kedudukan perawat CLMHN. Hal ini menunjukkan bahwa RSUP Persabahatan belum memperhatikan masalah psikososial klien yang dirawat di ruangan secara optimal. Kondisi tersebut berdampak pada rendahnya penanganan masalah psikososial pada klien. Alokasi klien sudah menggunakan format yang baku tetapi sulit dibudayakan, karena jumlah perawat yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah klien, serta kurangnya motivasi Karu Katim untuk mengisi daftar alokasi klien. Penulis sudah mencoba menerapkan alokasi klien selama praktik Residensi 3 walaupun belum membudaya. Alokasi klien dalam proses manajemen keperawatan jiwa dibutuhkan untuk memperlancar proses koordinasi antara perawat pelaksana yang bertanggung jawab terhadap klien, dokter ruangan, dokter spesialis dan dengan Liaison nurse. Bila dalam pengkajian oleh perawat pelaksana mendapatkan data bahwa klien kelolaan mengalami masalah psikososial, kepala ruangan dapat menghubungi Liaison nurse untuk melakukan pengkajian lanjutan dan memberikan resep terapi keperawatan yang dapat dilakukan bersama perawat ruangan. 3) Pengarahan Kegiatan pengarahan terdiri atas operan, supervisi, pre conference dan post conference, iklim motivasi dan pendelegasian. Operan berfungsi untuk

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

73

menjaga kontinuitas pemberian asuhan keperawatan di setiap shift jaga perawat. Supervisi dilakukan guna terjaminnya suatu kegiatan dilaksanakan sesuai ketentuan ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Pre conference berfungsi untuk mengetahui dan memberikan masukan terhadap rencana harian yang sudah dibuat oleh perawat pelaksana, sedangkan post conference dimaksudkan untuk mengetahui hasil asuhan keperawatan selama shift jaga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dan memberikan umpan balik kepada perawat pelaksana. Iklim motivasi diperlukan untuk menjaga semangat perawat dalam melaksanakan tugasnya sedangkan pendelegasian diperlukan untuk menjaga terlaksananya tugas dan tanggung jawab. Masalah yang dihadapi oleh ruang Cempaka bawah, yaitu kegiatan operan belum dilakukan sesuai standar, fokus dalam operan diagnosis dan terapi medis, pre dan post conference jarang dilakukan karena alasan sibuk dan kekurangan tenaga perawat, kegiatan supervisi dilakukan sebagai kegiatan penilaian terhadap perawat. Hal ini coba diintervensi oleh penulis dengan melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap Karu dan katim untuk kegiatan operan, pre dan post conference, serta supervisi. Hasilnya kegiatan operan sudah membudaya, fokus operan adalah diagnosis keperawatan fisik dan psikososial walaupun belum membudaya untuk operan shift siang ke shift malam, kegiatan pre dan post conference dilakukan sesuai standar walaupun belum dilakukan secara rutin. Operan merupakan suatu usaha untuk menjaga kesinambungan asuhan keperawatan kepada klien. Dengan melakukan operan, perawat dapat meneruskan tindakan yang sudah dilakukan dan rencana tindak lanjutnya pada perawat

shift

berikutnya.

Operan idealnya berfokus

pada

diagnosis

keperawatan fisik dan psikososial. Sesuai dengan otonomi perawat sebagai profesi dan menjamin terlaksananya asuhan keperawatan yang holistik.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

74

4) Pengendalian Kegiatan pengendalian terdiri atas pembuatan indikator mutu, audit dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Kegiatan pengendalian bertujuan untuk melihat sejauh mana kualitas asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan standar. Indikator mutu dilaksanakan di ruang Cempaka bawah berupa merekap data dari status klien kemudian diserahkan kepada petugas Instalasi rawat inap B untuk dibuat indikator mutu. Survey masalah keperawatan belum dilakukan di ruang Cempaka Bawah karena tidak ada instruksi dari bidang keperawatan. Survey kepuasan sudah dilakukan oleh Karu, tetapi belum direkap secara rutin. Penulis sudah mencoba mengkomunikasikan tujuan dan fungsi survey masalah kepada Karu, Karu sudah mulai mencoba melakukan survey masalah kesehatan dan keperawatan. Survey masalah keperawatan diperlukan untuk mengetahui prosentase diagnosis keperawatan yang sering muncul pada klien yang dirawat. Survey masalah juga termasuk masalah psikososial klien sehingga dapat menjadi masukan bagi Liaison nurse dan dapat menjadi dasar bagi Karu dalam menentukan kebijakan selanjutnya. Survey kepuasan digunakan untuk mengetahui kepuasan klien dan keluarga setelah menjalani rawat inap di ruangan. Nilai dari survey kepuasan ini dapat menjadi penentu seberapa kualitasnya asuhan keperawatan yang diberikan. Survey kepuasan yang penulis lakukan terhadap klien dan keluarga setelah dilakukan suhan keperawatan diagnosis fisik maupun psikososial mendapatkan hasil rata-rata di atas 85%, ini menunjukkan bahwa klien dan keluarga merasa puas dengan pelayanan yang di lakukan ini menunjukan bahwa klien membutuhkan asuhan keperawatan fisik dan asuhan keperawatan psikososial secara holistik.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

75

b.

Kompensasi dan penghargaan di Ruang Cempaka Bawah RSUP Persahabatan Jakarta

Pilar kedua MPKP yaitu kompensasi dan penghargaan terdiri atas penilaian kinerja dan penengembangan staf. Kegiatan terakhir adalah penilaian kinerja. Hasil pengkajian awal penulis pada saat residensi tiga, kemampuan Karu dan Katim

Ruang

Cempaka

Bawah

dalam

penilaian

kinerja

termasuk

pengembangan staf oleh Karu belum mencapai batas lulus. Karu dan Katim mengasumsikan penilaian kinerja sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional,

pengembangan

staf

merupakan

tanggung

jawab

bidang

keperawatan. Penulis melakukan pelatihan karu dan Katim dalam melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan katim dan perawat pelaksana. Penulis juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat digunakan oleh karu. Dalam praktiknya, ruangan belum membudaya dalam melakukan penilaian kinerja kemampuan yang dimiliki oleh perawat ruangan. Hal ini menyebabkan kemampuan yang dimiliki oleh perawat ruangan belum terjaga kualitasnya dalam hal memberikan asuhan keperawatan yang holistik. c.

Hubungan profesional di Ruang Cempaka Bawah RSUP Persahabatan Jakarta

Pilar ketiga yaitu hubungan profesional terdiri atas empat kegiatan yaitu visit dokter, case conference, rapat keperawatan dan rapat tim kesehatan. Hasil penilaian penulis selama melaksanakan praktik residensi tiga di ruang Cempaka Bawah mendapatkan data bahwa nilai rapat tim keperawatan oleh Karu dan visite dokter oleh Karu dan Katim sudah mencapai batas lulus (di atas 75), rapat tim kesehatan oleh Karu belum mencapai batas lulus, case conference oleh Karu dan Katim belum mencapai batas lulus.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

76

Pilar III tidak menjadi fokus penulis selama praktik residensi, namun penulis sudah menunjukkan contoh pelaksanaan case conference di ruangan. Respon karu dalam pelaksanan case conference sangat bagus karena menyadari bahwa kegiatan ini penting dalam usaha meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan menjaga aspek kognitif perawat ruangan. Case conference oleh Karu dan Katim belum dilakukan sehingga kemampuan analisis perawat tidak diasah. Kondisi ini mengakibatkan perawat hanya melaksanakan perintah dokter dan melupakan tindakan mandiri keperawatan. Kemampuan yang ditunjukkan oleh kepala ruangan belum mendukung asuhan keperawatan yang holistik pada klien. d.

Pelayanan

keperawatan pasien di Ruang Cempaka Bawah RSUP

Persahabatan Jakarta Keperawatan terhadap klien merupakan kewajiban Karu, Katim dan PP. Data awal yang penulis dapatkan pada saat residensi tiga tentang pelaksanaan asuhan keperawatan untuk diagnosis fisik sudah dilakukan walaupun belum membudaya, sedangkan untuk diagnosis psikososial masih belum dilakukan sehingga nilai yang diperoleh belum mancapai batas lulus. Pelatihan dan pendampingan selama penulis praktik di ruang Cempaka Bawah difokuskan pada diagnosis keperawatan psikososial, yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan HDR situasional termasuk ketidakberdayaan sebagai tambahan. Hasil pelatihan dan pendampingan pada karu katim dan PP menunjukkan hasil sudah mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi pada kegiatan manajerial dan administrasi klien sehingga asuhan keperawatan belum dilakukan secara holistik.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

77

Uraian secara terinci sesuai dengan tanggung jawab yang dilakukan oleh Kepala Ruangan Ketua Tim dan Perawat pelaksana di Ruang Cempaka Bawah, diuraikan pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Kemampuan Perawat ruang Cempaka Bawah dalam Melaksanakan MPKP April 2012 NO 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 1 2 1 2 3 4

KEGIATAN KARU KATIM 1 PERENCANAAN Visi 100 Misi 100 Filosofi 75 Rencana Kegiatan 90 90 PENGORGANISASIAN Struktur organisasi 100 Daftar dinas 75 75 Daftar alokasi pasien 80 80 PENGARAHAN Operan 85 Supervisi 90 80 Pre conference 90 75 Post conference 80 75 Iklim motivasi 90 90 Pendelegasian 80 75 PENGENDALIAN Audit dokumentasi 90 Survey Kepuasan 80 Survey Masalah 50 Indikator Mutu 75 COMPENSATORY REWARD Penilaian Kinerja 75 50 Pengembangan staf 75 PROFESIONAL RELATIONSHIP Rapat keperawatan 100 Case Conference 50 60 Rapat TIM kesehatan 50 Visite dokter 100 94

KATIM 2

KATIM 3

PP

90

90

90

40 80

42 80

80 75 75 80 75

80 75 75 90 75

25

25

50

50

75

75

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

78

1 2 3 4 5 6 7

8 9 10

PATIENT CARE DELIVERY Ansietas 80 Gg. Citra tubuh 80 HDR Situasional 80

Ketidakberdayaan Keputusasaan Gg. Bersihan jln nafas inefektif Gg. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan Gg. Keseimbangan cairan tubuh Nyeri Resiko penyebaran infeksi Kegiatan sudah membudaya (nilai>75) Kegiatan masih memerlukan pendampingan (nilai 60-75) Tidak lulus Belum dinilai

75 75 75

80 80 80 75 75 75

80 80 80 75 75 75

100 85 85 75 75 75

90 80 80 75 70 75

100

75

75

100

82

100

75

75

100

84

75 75

75 75

75 75

75 100

74 89

20

8

7

10

7

10

12

11

8

4

3

1

3

3

3

Tabel di atas menunjukan bahwa kepala ruang Cempaka Bawah memiliki 20 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 10 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 3 kemampuan. Ketua Tim I memiliki 8 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 12 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 1 kemampuan Ketua Tim II memiliki 7 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 11 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 3 kemampuan. Ketua Tim III memiliki 10 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 8 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 3 kemampuan. Perawat Pelaksana memiliki 7 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 4 kemampuan dan tidak ada kemampuan yang perlu pelatihan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

79

3.1.1.2.

Gambaran Umum Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta

Ruang Kardiologi merupakan ruang rawat umum dengan spesifikasi penyakit jantung, pembuluh darah dan pernafasan kelas II dan III dengan kapasitas 24 tempat tidur. Rata-rata BOR selama tahun 2011 mencapai 67,43% , ALOS 8,23 hari dan TOI 5,36 hari. Perawat sebanyak 12 orang, dengan rincian 1 orang laki-laki dan 11 orang perempuan keseluruhannya berpendidikan D III Keperawatan dan belum pernah mengikuti pelatihan MPKP. Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta mempunyai visi, misi : Visi : Menjadi ruang rawat yang baik dalam melakukan asuhan keperawatan yang profesional serta komunikasi terapetik dengan unggulan kardiorespirasi. Misi : menyelenggarakan kegiatan asuhan keperawatan, pendidikan serta komunikasi dalam bidang kesehatan secara baik dan beorientasi pada kebutuhan pasien khususnya serta keluarga pada umumnya. Ruang Kardiologi merupakan ruangan penyakit dalam yang terutama merawat klien gangguan pada jantung dan kardioveskuler dan respirasi. Kasus ini merupakan kasus yang cenderung memberikan dampak psikosial yang tinggi karena akibat penyakitnya menyebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, hal ini memerlukan penangan yang serius untuk mencegah masalah psikosisal tersebut berlanjut menjadi gangguan jiwa, tetapi dari visi dan misi ruangan belum menggambarkan pelayanan keperawatan yang holistik terhadap klien yang dirawat. Pengkajian Ruang Kardiologi dilakukan berdasarkan 4 pilar

MPKP yaitu

management approach, compensatory reward, professional relationship, patient care delivery. Metode pengkajian dilakukan dengan menggunakan self evaluasi, wawancara dan observasi

dokumen dan observasi kemampuan

melaksanakan MPKP. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

80

a.

Pendekatan Manajemen di Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta

1) Perencanaan Fungsi perencanaan karu terdiri atas empat kegiatan yaitu visi, misi, filosofi dan rencana kegiatan yang terdiri dari rencana harian, rencana bulanan dan rencana tahunan. Kepala ruangan (Karu) Ruang Kardiologi bertanggung jawab dalam pencapaian visi, misi dan filosofi yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh ketua tim (Katim) dan perawat pelaksana (PP) dalam proses keperawatan di ruangan. Pembuatan rencana harian diperlukan supaya dapat membagi waktunya untuk melakukan kegiatan manajerial dan asuhan selama jam kerja setiap hari, sedangkan pembuatan rencana bulanan dan tahunan bermanfaat untuk menjaga konsistensi pelaksanaan MPKP di ruangannya. Rencana kegiatan harian dibuat oleh Karu, Katim dan PP sesuai dengan tanggung jawab dan lingkup kewenangannya. Visi, misi dan filosofi di ruang Kardiologi merujuk pada visi, misi dan filosofi bidang keperawatan dan rumah sakit. Karu sudah mencapai batas lulus untuk pembuatan visi dan misi ruangan. Penulis hanya melakukan pembudayaan pelaksanaan visi, misi, dan filosofi dalam kegiatan sehari-hari di ruangan. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah belum tercantumnya aspek holistik klien dalam visi, misi dan filosofi ruangan. Hal ini menyebabkan belum terlaksananya manajemen asuhan keperawatan yang holistik sehingga masalah psikososial klien sering terabaikan di ruang Kardiologi Rencana jangka pendek, berupa rencana harian pada saat awal penulis melaksanakan praktik residensi 3 belum dibuat oleh Karu, Katim maupun PP Ruang Kardiologi, penulis membantunya dengan cara melaksanakan pelatihan dalam pembuatan rencana harian sehingga di akhir praktik didapatkan hasil

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

81

bahwa semua kegiatan perencanaan pilar I MPKP oleh Karu, Katim dan PP sudah mencapai batas lulus. Kegiatan asuhan keperawatan yang ditulis di rencana harian sebaiknya juga asuhan keperawatan yang holistik. Hal ini memotivasi Karu, Katim dan PP untuk memperhatikan aspek psikososial dalam melakukan asuhan keperawatan. 2) Pengorganisasian Fungsi pengorganisasian Karu terdiri atas tiga kegiatan yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi klien. Pengorganisasian yang dilakukan Katim hanya daftar dinas dan daftar alokasi klien. Struktur organisasi memudahkan karu dalam membagi beban kerja perawat ruangan dalam melakukan kegiatan manajerial dan asuhan keperawatan. Struktur organisasi yang ideal seharusnya juga mencantumkan posisi perawat pelaksana dan

perawat

CLMHN

untuk

memudahkan

perawat

ruangan

dalam

berkoordinasi melakukan asuhan keperawatan psikososial kepada klien. Daftar dinas dibuat oleh karu supaya beban kerja setiap bulan antar perawat tidak berbeda jauh. Daftar alokasi klien bermanfaat untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam proses keperawatan klien sehingga ada kontinuitas asuhan keperawatan sejak klien mulai dirawat sampai klien pulang. Daftar alokasi klien juga berfungsi sebagai komunikasi antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan pada klien. Struktur organisasi di ruang Kardiologi sudah menggambarkan kedudukan kepala ruangan, adanya posisi tim I, II dan III, serta jumlah perawat pelaksana tiap tim. Struktur organisasi di ruang Kardiologi belum terlihat kedudukan perawat CLMHN. Struktur organisasi di ruangan merupakan struktur stadar yang ditetapkan rumah sakit sehingga struktur organisasi tiap ruangan sama, hal ini menunjukkan bahwa RSUP Persabahatan belum memperhatikan masalah psikososial klien yang dirawat di ruangan secara optimal. Kondisi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

82

tersebut berdampak pada rendahnya penanganan masalah psikososial pada klien. Alokasi klien sudah menggunakan format yang baku pada white board yang dipampang di ruang

perawat dan sudah membudaya dalam pengisiannya.

Daftar alokasi klien terdiri atas nama klien, nama dokter dan perawat penangung jawab,

perawat pelaksana tiap shift dinas, namun belum

mencantumkan perawat CLMNHN sebagai konsultannya. Daftar alokasi klien diisi oleh Karu dan Katim secara bergantian setiap hari. Alokasi klien dalam proses manajemen keperawatan jiwa dibutuhkan untuk memperlancar proses koordinasi antara perawat pelaksana yang bertanggung jawab terhadap klien, dokter ruangan, dokter spesialis dan dengan Liaison nurse. Bila dalam pengkajian oleh perawat pelaksana mendapatkan data bahwa klien kelolaan mengalami masalah psikososial, kepala ruangan dapat menghubungi Liaison nurse untuk melakukan pengkajian lanjutan dan memberikan resep terapi keperawatan yang dapat dilakukan bersama perawat ruangan. 3) Pengarahan Kegiatan pengarahan terdiri atas operan, supervisi, pre conference dan post conference, iklim motivasi dan pendelegasian. Operan berfungsi untuk menjaga kontinuitas pemberian asuhan keperawatan di setiap shift jaga perawat. Supervisi dilakukan guna terjaminnya suatu kegiatan dilaksanakan sesuai ketentuan ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Pre conference berfungsi untuk mengetahui dan memberikan masukan terhadap rencana harian yang sudah dibuat oleh perawat pelaksana, sedangkan post conference dimaksudkan untuk mengetahui hasil asuhan keperawatan selama shift jaga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dan memberikan umpan balik kepada perawat pelaksana. Iklim motivasi diperlukan untuk menjaga semangat perawat dalam melaksanakan tugasnya sedangkan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

83

pendelegasian diperlukan untuk menjaga terlaksananya tugas dan tanggung jawab. Masalah yang dihadapi oleh ruang Kardiologi, yaitu kegiatan operan pagi sudah dilakukan sesuai standar, operan siang dan malam masih belum sesuai standar, fokus dalam operan pagi berisi diagnosis, terapi medis, diagnosis dan intervensi keperawatan. pre dan post conference dilakukan menyatu dengan operan di tiap tim, kegiatan supervisi dilakukan sebagai kegiatan penilaian terhadap perawat. Penulis mencoba melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap Karu dan katim untuk kegiatan operan, pre dan post conference, serta supervisi. Hasilnya kegiatan operan sudah membudaya sesuai standar, fokus operan adalah diagnosis keperawatan fisik dan psikososial walaupun belum membudaya untuk operan shift siang ke shift malam, kegiatan pre dan post conference dilakukan sesuai standar walaupun belum dilakukan secara rutin. Operan merupakan suatu usaha untuk menjaga kesinambungan asuhan keperawatan kepada klien. Dengan melakukan operan, perawat dapat meneruskan tindakan yang sudah dilakukan dan rencana tindak lanjutnya pada perawat

shift

berikutnya.

Operan idealnya berfokus

pada

diagnosis

keperawatan fisik dan psikososial. Sesuai dengan otonomi perawat sebagai profesi dan menjamin terlaksananya asuhan keperawatan yang holistik. 4) Pengendalian Kegiatan pengendalian terdiri atas pembuatan indikator mutu, audit dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Kegiatan pengendalian bertujuan untuk melihat sejauh mana kualitas asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan standar.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

84

Indikator mutu dilaksanakan di ruang Kardiologi berupa merekap data dari status klien kemudian diserahkan kepada petugas Instalasi rawat inap B untuk dibuat indikator mutu. Survey masalah keperawatan sudah dilakukan di ruang Kardiologi tetapi belum rutin (sewaktu-waktu). Survey kepuasan sudah dilakukan oleh Karu, sudah direkap secara rutin. Penulis sudah mencoba mengkomunikasikan tujuan dan fungsi survey masalah kepada Karu, Karu sudah melakukan survey masalah kesehatan dan keperawatan. Survey masalah keperawatan diperlukan untuk mengetahui prosentase diagnosis keperawatan yang sering muncul pada klien yang dirawat. Survey masalah juga termasuk masalah psikososial klien sehingga dapat menjadi masukan bagi Liaison nurse dan dapat menjadi dasar bagi Karu dalam menentukan kebijakan selanjutnya. Survey kepuasan digunakan untuk mengetahui kepuasan klien dan keluarga setelah menjalani rawat inap di ruangan. Nilai dari survey kepuasan ini dapat menjadi penentu seberapa kualitasnya asuhan keperawatan yang diberikan. Survey kepuasan yang penulis lakukan terhadap klien dan keluarga setelah dilakukan suhan keperawatan diagnosis fisik maupun psikososial mendapatkan hasil rata-rata 90%, ini menunjukkan bahwa klien dan keluarga merasa puas dengan pelayanan yang di lakukan ini menunjukan bahwa klien membutuhkan asuhan keperawatan fisik dan asuhan keperawatan psikososial secara holistik. b.

Kompensasi dan penghargaan di Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta

Pilar kedua MPKP yaitu kompensasi dan penghargaan terdiri atas penilaian kinerja dan penengembangan staf. Kegiatan terakhir adalah penilaian kinerja. Hasil pengkajian awal penulis pada saat residensi tiga, kemampuan Karu dan Katim Ruang Kardiologi dalam penilaian kinerja termasuk pengembangan staf oleh Karu belum mencapai batas lulus. Karu dan Katim mengasumsikan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

85

penilaian kinerja sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional, pengembangan staf merupakan tanggung jawab bidang keperawatan. Penulis melakukan pelatihan karu dan Katim dalam melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan katim dan perawat pelaksana. Penulis juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat digunakan oleh karu. Dalam praktiknya, ruangan belum membudaya dalam melakukan penilaian kinerja kemampuan yang dimiliki oleh perawat ruangan. Hal ini menyebabkan kemampuan yang dimiliki oleh perawat ruangan belum terjaga kualitasnya dalam hal memberikan asuhan keperawatan yang holistik. c.

Hubungan Profesional di Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta

Pilar ketiga yaitu hubungan profesional terdiri atas empat kegiatan yaitu visit dokter, case conference, rapat keperawatan dan rapat tim kesehatan. Hasil penilaian penulis selama melaksanakan praktik residensi tiga di ruang Kardiologi mendapatkan data bahwa nilai rapat tim keperawatan oleh Karu dan visite dokter oleh Karu dan Katim sudah mencapai batas lulus (di atas 75), rapat tim kesehatan oleh Karu belum mencapai batas lulus, case conference oleh Karu dan Katim belum mencapai batas lulus. Pilar III tidak menjadi fokus penulis selama praktik residensi, namun penulis sudah menunjukkan contoh pelaksanaan case conference di ruangan. Respon karu dalam pelaksanan case conference sangat bagus karena menyadari bahwa kegiatan ini penting dalam usaha meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan menjaga aspek kognitif perawat ruangan. Case conference oleh Karu dan Katim belum dilakukan sehingga kemampuan analisis perawat tidak diasah. Kondisi ini mengakibatkan perawat hanya melaksanakan perintah dokter dan melupakan tindakan mandiri keperawatan. Kemampuan yang ditunjukkan oleh kepala ruangan belum mendukung asuhan keperawatan yang holistik pada klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

86

d.

Pelayanan keperawatan terhadap klien di Ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta

Pelayanan keperawatan terhadap klien merupakan kewajiban Karu, Katim dan PP. Data awal yang penulis dapatkan pada saat residensi tiga tentang pelaksanaan asuhan keperawatan untuk diagnosis fisik sudah dilakukan walaupun belum membudaya, sedangkan untuk diagnosis psikososial masih belum dilakukan sehingga nilai yang diperoleh belum mancapai batas lulus. Pelatihan dan pendampingan selama penulis praktik di ruang Kardiologi difokuskan pada diagnosis keperawatan psikososial, yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan HDR situasional termasuk ketidakberdayaan sebagai tambahan. Hasil pelatihan dan pendampingan pada karu katim dan PP menunjukkan hasil sudah mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi pada kegiatan manajerial dan administrasi klien sehingga asuhan keperawatan belum dilakukan secara holistik. Uraian secara terinci sesuai dengan tanggung jawab yang dilakukan oleh Kepala Ruangan Ketua Tim dan Perawat pelaksana di Ruang Kardiologi, diuraikan pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Kemampuan Perawat ruang Kardiologi dalam Melaksanakan MPKP April 2011 No Kegiatan PERENCANAAN 1 Visi 2 Misi 3 Filosofi 4 Rencana Kegiatan

KARU

KATIM 1

KATIM 2

PP

100 100 75 90

100

100

90

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

87

PENGORGANISASIAN 1 Struktur organisasi 100 2 Daftar dinas 65 3 Daftar alokasi pasien 90 PENGARAHAN 1 Operan 100 2 Supervisi 80 3 Pre conference 90 4 Post conference 90 5 Iklim motivasi 100 6 Pendelegasian 75 PENGENDALIAN 1 Audit dokumentasi 75 2 Survey Kepuasan 75 3 Survey Masalah 75 4 Indikator Mutu 60 COMPENSATORY REWARD 1 Penilaian Kinerja 75 2 Pengembangan staf 75 PROFESIONAL RELATIONSHIP 1 Rapat keperawatan 50 2 Case Conference 75 3 Rapat TIM kesehatan 50 4 Visite dokter 75 PATIENT CARE DELIVERY 1 Ansietas 90 2 Gg. Citra Tubuh 85 3 HDR Situasional 85 4 Ketidakberdayaan 75 5 Keputusasaan 75 6 Gg. Bersihan jln 7

8 9 10

nafas inefektif Gg. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan Gg. Keseimbangan cairan tubuh Nyeri Resiko penyebaran infeksi Kegiatan sudah membudaya (nilai>75) Kegiatan masih memerlukan

100 100

100 100

90 90 80 100 80

80 85 80 100 80

100

25

50

40

75

90

90 85 85 100 50

90 85 80 25 25

100 85 85 85 85

75

75

50

70

75

75

50

60

75

75

100

75

75

75

100

95

75

50

25

100

13

13

14

8

18

5

-

3

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

88

pendampingan (nilai 60-75) Tidak lulus Belum dinilai

2

3

7

-

Tabel di atas menunjukan bahwa kepala ruang Cempaka Bawah memiliki 13 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 18 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 2 kemampuan. Ketua Tim I memiliki 13 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 5 kemampuan dan yang masih perlu pelatihan 3 kemampuan Ketua Tim II memiliki 14 kemampuan yang sudah membudaya, dan yang masih perlu pelatihan 7 kemampuan. Perawat Pelaksana memiliki 8 kemampuan yang sudah membudaya, perlu pendampingan 3 kemampuan dan tidak ada kemampuan yang perlu pelatihan. 3.2. Manajemen Asuhan Keperawatan di RSUP Persahabatan Klien dengan diagnosis keperawatan psikososial yang dirawat oleh enam orang mahasiswa Residensi tiga di 13 ruangan RSUP Persahabatan sebanyak 460 klien. Penetapan diagnosis keperawatan tidak hanya terfokus pada masalah utama saja, namun juga berfokus pada semua masalah yang dialami oleh setiap klien, sehingga satu klien bisa memiliki lebih dari satu diagnosis keperawatan. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.4. Tabel 3.4. menunjukan bahwa diagnosis keperawatan psikosial yang telah dilakukan intervensi di oleh enam mahasiswa Residensi III di 13 Ruangan sebanyak 1.809 diagnosis psikososial. Diagnosis terbanyak adalah ansietas dan diagnosis terendah adalah keputusasaan. Penulis melaksanakan praktik di dua ruang rawat inap RSUP Persahabatan yaitu Ruang Rawat Inap Cempaka Bawah dan Kardiologi. Selama melaksanakan praktik penulis telah mengelola sebanyak 74 kasus, dengan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

89

jumlah diagnosis psikosial 232 buah. Data klien dan diagnosis keperawatan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi dapat dilihat pada tabel 3.5. Tabel 3.4. Jumlah klien masalah psikososial yang dirawat selama Residensi III di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari s.d. 20 April 2012 (n=74) NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL

JML

PRESENTASI

1

ANSIETAS

460

100

2

KETIDAKBERDAYAAN

161

35

3

KEPUTUSASAAN

161

35

4

GANGGUAN CITRA TUBUH

230

50

5

HDR SITUASIONAL

189

41

6

PERUBAHAN PERAN

309

67

7

KURANG PENGETAHUAN

299

65

7

JUMLAH DIAGNOSIS

1.809

Tabel 3.5. Jumlah klien masalah psikososial yang dirawat selama Residensi III di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari s.d. 20 April 2012 (n=74) No 1 2 3 4

Diagnosis Ansietas Ketidakberdayaan Keputusasaan Gg. Citra tubuh

Jumlah Klien R. Cempaka R. % % Kardiologi Bawah 46 100 28 100 16 37 18 64 14 31 6 29 23 50 19 68

Total

%

74 34 22 42

100 45,9 29,7 56,7

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

90

5 6

HDR situasional Koping Keluarga inefektif Jumlah diagnosis

15

33

12

43

27

36,4

17

37

16

57

33

44,6

134

58

98

42

232

100

Data di atas menunjukan bahwa klien yang dirawat dengan diagnosa psikososial di Ruang Cempaka bawah sebanyak 46 dan di Ruang Kadiologi sebanyak 28. Masalah psikososial pada klien yang dirawat di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi sangat tinggi. Diagnosa psikososial terbanyak ketiga yang ditemukan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi adalah diagnosa ketidakberdayaan yaitu 34 klien. Intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi yang dilakukan meliputi : terapi generalis fisik dan psikososial Terapi yang dilakukan terhadap keluarga terutama pada keluarga dengan koping keluarga inefektif berupa pendidikan kesehatan pada saat melakukan intervensi terhadap klien. Hasil asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat di ruangan yang rutin dilakukan adalah intervensi keperawatan pada masalah fisik, sedangkan untuk asuhan keperawatan psikososial dilakukan sewaktu-waktu pada saat perawat melakukan intervensi masalah fisik.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB 4 MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA DENGAN DIAGNOSA KETIDAKBERDAYAAN DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA Bab ini menguraikan pelaksanaan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien yang mengalami masalah psikososial di ruang Cempaka Bawah dan ruang Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta pada tanggal 20 Februari sampai dengan 20 April 2012. Klien masalah psikososial di RSUP Persahabatan cukup tinggi, hampir seluruh klien yang dirawat mengalami masalah psikososial sebagai dampak dari penyakit fisik, hospitalisasi, faktor sosial, budaya dan ekonomi, ketidakmampuan beradaptasi dengan keadaan / lingkungan rumah sakit dan lainlain. Klien masalah psikososial yang penulis rawat di dua ruangan yaitu ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan selama sembilan minggu sebanyak 74 klien dengan jumlah diagnosis psikosial 232 buah. Jumlah terbanyak adalah ansietas : 74 klien (100%), gangguan citra tubuh 42 klien (56,7%), ketidakberdayaan 34 klien (45,9%), koping keluarga inefektif 33 klien (44,6%), HDR situasional 27 klien (36,4%) dan keputusasaan 22 klien (29,7%). Data di atas menunjukan bahwa masalah psikososial pada klien yang dirawat di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi sangat tinggi, hampir setengahnya (terbanyak ketiga) mengalami ketidakberdayaan. Penulis menjadikan diagnosis ketidakberdayaan sebagai fokus utama manajemen kasus spesialis pada Karya ilmiah Akhir ini selain karena jumlahnya cukup banyak, hampir setengah dari dari klien yang dirawat, klien pasikososial khususnya ketidakberdayaan belum mendapat penanganan / perhatian yang khusus dengan menggunakan komunikasi terapetik yang optimal dari perawat di ruangan. Klien ketidakberdayaan memerlukan penanganan yang serius dan tuntas karena dapat mengakibatkan keputusasaan. Klien ketidakberdayaan memerlukan pendekatan yang teliti, sabar dan penuh dengan empati karena klien ketidakberdayaan memiliki motivasi yang rendah dalam mengatasi masalahnya 91

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

92

serta klien berkeyakinan segala upaya akan sia-sia dalam mengatasi masalahnya. Klien ketidakberdayaan yang ada di ruangan 34 klien tetapi yang penulis ambih hanya 20 klien karena penulis hanya mengambil klien dengan masalah ketidakberdayaan sebagai masalah utama (core problem) dan disertai dengan diagnosis koping keluarga inefektif supaya intervensi yang telah dilakukan tetap dapat ditindaklanjuti / diteruskan oleh keluarga. Pelaksanaan asuhan keperawatan pada diagnosa keperawatan ketidakberdayaan dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan menggunakan kerangka konsep model hubungan interpersonal Peplau. Model ini sangat tepat digunakan pada masalah psikososial ataupun pada penyakit mental kronik karena berlandaskan pada konsep komunikasi dalam berinteraksi dengan klien sehingga hubungan interpersonal dapat terbina dengan baik. Selain itu Peplau menjadikan kecemasan sebagai satu dari empat konsep sentral, dan manusia itu selalu berada dalam suatu rentang respon sehat–sakit, sehingga model ini sangat applicable bila digunakan dalam praktik keperawatan jiwa pada masalah ketidakberdayaan yang memandang manusia secara holistik dan berdasarkan rentang respon adaptif dan maladaptif (Fortinash, 2005). Tahapan hubungan interpersonal menurut Peplau identik dengan tahapan proses keperawatan. Tahap orientasi menurut Peplau identik dengan tahap membina hubungan saling percaya, tahap identifikasi identik dengan tahap pengkajian, diagnosis keperawatan dan perencanaan, tahap ekspoitasi identik dengan tahapan pelaksanaan / iplementasi dan tahap resolusi identik dengan tahap evaluasi.

Berikut ini uraian tentang manajemen kasus

spesialis pada diagnosis ketidakberdayaan pada klien yang dirawat di Ruang Cempaka Bawah dan kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta dengan pendekatan model Peplau.. 4.1. Fase Orientasi terhadap Klien dengan Ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi Fase orientasi merupakan fase pertama dari proses interpersonal, pada fase ini penulis memfokuskan untuk membina hubungan saling percaya karena merupakan pertama kalinya klien bertemu dengan penulis dan peran penulis Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

93

sebagai stranger (orang asing) bagi klien dan demikan sebaliknya. Langkahlangkah yang dilakukan penulis pada fase ini bertujuan mengurangi kecemasan klien, memberi rasa aman dan nyaman bagi klien. Klien yang mengalami ketidakberdayaan banyak menghadapi pengalaman negatif klien dalam mengatasi masalah, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang harus dijalani, kegagalan dalam mencapai tingkat kesehatan yang diharapkan, krisis identitas dan kurangnya kemampuan melaksanakan peran. Faktor psikologis ini sangat mempengaruhi awal hubungan klien dengan penulis, sehingga sangat penting

bagi

penulis

yang

akan

memulai

hubungan

dengan

klien

ketidakberdayaan. Penulis berupaya untuk berempati pada fase ini tercermin dalam komunikasi baik verbal maupun non verbal seperti mendengar, pembukaan yang luas, refleksi, focusing, klarifikasi merupakan suatu bentuk menerima dan menghargai klien apa adanya. Peran lain yang dilakukan penulis pada fase ini adalah sebagai konselor dimana penulis menggali perasaan klien dan menanyakan kesiapan klien untuk berinteraksi. 4.2. Fase Identifikasi Klien dengan Ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi Fase ini merupakan tahap pengkajian sebelum penulis menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap klien. Pada fase ini penulis menggali perasaan– perasaan yang dialami klien ketidakberdayaan. Kemampuan perawat menggali permasalahan yang dialami klien merupakan langkah utama dalam pengkajian mengingat klien ketidakberdayaan memiliki kecenderungan menggunakan mekanisme koping maladapif yaitu fantasi, regresi, disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang lain, denial, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi dan magical thinking (Shives, 1998: Laraia 2005). Penulis mencoba menggunakan diri penulis sendiri sebagai alat yang terapeutik. Peran penulis pada fase identifikasi ini adalah sebagai wali, dimana pada fase ini penulis mengintepretasikan apa yang dirasakan terhadap topik dari komunikasi yang terjadi dan berkembang selama hubungan dalam fase ini. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

94

Pengkajian klien dengan ketidakberdayaan terdiri dari pengkajian karakteristik klien (data demografi) dan pengkajian kondisi klinis klien. Pengkajian kondisi klinis terdiri atas faktor presdisposisi, presipitasi, peniliaian terhadap stressor, sumber koping, dan mekanisme koping. Data hasil pengkajian tentang karakteristik klien diuraikan dibawah ini. 4.2.1. Karakteristik klien Karakteristik klien dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan lama dirawat dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Umur Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No

Variabel

Jumlah

Prosentase

1. 2. 3.

< 20 tahun 21 – 40 tahun 40 – 65 tahun Jumlah

1 5 14 20

5 25 70 100

Keterangan

Tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar berada pada tahap perkembangan usia dewasa tengah dan akhir (70%). Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Jenis Kelamin Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1. 2.

Variabel Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah

Prosentase

12 8

60 40

20

100

Keterangan

Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (60%). Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

95

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Pendidikan Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1. 2. 3.

Variabel SD SMP SMA Jumlah

Jumlah

Prosentase

12 3 5

60 15 25

20

100

Keterangan

Tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar berpendidikan SD (60%). Distribusi Karakteristik Status Perkawinan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Status Perkawinan Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1. 2. 3.

Variabel Kawin Tidak kawin Janda/ Duda Jumlah

Jumlah

Prosentase

18 1 1 20

90 5 5 100

Keterangan

Data pada Tabel 4.4. menunjukan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar sudah menikah (90%). Data distribusi karakteriatik status pekerjaan klien dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini : Tabel 4.5 Distribusi Karakteristik Status Pekerjaan Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 4

Variabel Bekerja Tidak bekerja Jumlah

Jumlah

Prosentase

3 17

25 75

20

100

Keterangan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

96

Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar tidak bekerja (75%). Tabel 4.6 Distribusi Karakteristik Lama Dirawat Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 8

Variabel 8 – 15 hari > 15 hari

Jumlah

Prosentase

14 6

70 30

Keterangan

Jumlah 20 100 Tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa klien yang dirawat oleh penulis dengan masalah ketidakberdayaan sebagian besar sudah dirawat di rumah sakit rata-rata 8 – 15 hari (70%). 4.2.2. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural (Stuart, 2009). Faktor predisoposisi klien yang penulis kelola terdiri dari faktor biologis, psikologis, dan faktor sosiokultural (tabel 4.7 sampai tabel 4.9). Tabel 4.7. Distribusi Faktor Predisposisi Ketidakberdayaan dari Aspek Biologis di Ruang Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No

Faktor Predisposisi

N

Prosentase (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Penyakit kronis Riwayat dirawat di rumah Sakit Riwayat pemakai narkoba Kebiasaan merokok Kekurangan/cacat fisik Masalah dengan status gizi

17 17 5 6 2 13

85 85 25 30 10 65

Faktor predisposisi biologis yang paling banyak dialami klien adalah

faktor

riwayat dirawat dan penyakir kronis (masing-masing 85%). Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

97

Tabel 4.8. Distribusi Faktor Predisposisi Ketidakberdayaan dari Aspek Psikologis di Ruang Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1. 2. 3. 4.

Faktor Predisposisi Pengalaman penolakan Pengalaman perpisahan/putus hubungan Pengalaman kegagalan Konsep diri negatif. Kepribadian tertutup

N

Prosentase (%)

1 4

5 20

4 14 15

20 70 75

Faktor pedisposisi psikologis adalah kepribadian tertutup (75%) dan konsep diri yang negatif (70%). Distribusi Faktor Predisposisi Ketidakberdayaan dari Aspek Sosial Kultural dapat dilihat pada tabel 4.9. di bawah ini. Tabel 4.9 menunjukan bahwa faktor predisposisi psikososial yang paling tinggi adalah Jarang bersosialisasi (65%), tidak bekerja dan tidak taat beragama (25%). Tabel 4.9. Distribusi Faktor Predisposisi Ketidakberdayaan dari Aspek Sosial Kultural di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No

Faktor Predisposisi

N

Prosentase (%)

1. 2. 3. 4. 5.

Pengalaman kegagalan sekolah Tidak pernah bekerja Kegagalan dalam pernikahan Jarang bersosialisasi Tidak taat beragama

1 5 4 13 5

5 25 20 65 25

4.2.3. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi merupakan suatu stimulus yang dipersepsikan sebagai ancaman, tantangan atau kesempatan oleh klien. Faktor presipitasi ini meliputi 4 hal yaitu

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

98

sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor dialami dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh klien pada satu waktu tertentu (Stuart, 2009). Distribusi faktor predisposisi dari aspek biologis dapat dilihat pada tabel 4.10.

Tabel 4.10 Distribusi Faktor Presipitasi Ketidakberdayaan dari Aspek Biologis di Ruang Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) Sumber No Faktor Presipitasi 1

Biologis - Penyakit fisik - Penyakit kronis - Penyakit terminal - Kelemahan fisik - Tindakan medis - Status gizi

Sifat

Jumlah stressor

Onset

Inter- Ekster nal nal N % N %

N % 20 100 20 100 20 100 17 85 17 85 -

-

<1 >1 1 >1 thn Thn n % N % N % n % - - 20 100 11 55 9 45 9 53 8 47

5

25

-

5 100 -

18 13 9

90 18 90 - - 12 67 6 65 - - 13 65 8 62 5 45 9 45 - - 9 100 -

5 25

-

33 38 -

Tabel 4.10 menunjukan bahwa faktor presipitasi dari aspek biologi dialami oleh seluruh klien yang dirawat. Faktor presipitasi biologis yang paling banyak adalah penyakit fisik (100%), kelemahan fisik (90%), penyakit kronis (85%). Stressor tersebut sebagian besar berasal dari faktor internal klien yang pada umumnya berlangsung kurang dari satu tahun. Distribusi faktor predisposisi dari aspek psikologis dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11 menunjukan

faktor presipitasi dari aspek psikologi dialami oleh

seluruh klien yang dirawat. Faktor presipitasi psikologis yang dialami klien sebagian besar adalah perasaan sedih, akibat perawatan di rumah sakit (95%) dan konsep diri yang negatif (85%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

99

Tabel 4.11 Distribusi Faktor Presipitasi Ketidakberdayaan dari Aspek Psikologis di Ruang Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) Sumber No Faktor Presipitasi 2

Psikologis - Konsep diri negatif - Kehilangan - Perawatan di RS

Jumlah stressor

Onset

Sifat

Inter- Ekster nal nal N % N % N % 20 100

<1 >1 1 >1 thn Thn n % N % N % n % 4 20 16 80

17

85 17 85

-

-

12 71

5

29

3

15 3

15

-

-

3

-

-

19

95 -

-

19 95 19 100 -

-

Distribusi faktor predisposisi dari aspek psikologis dapat dilihat pada tabel 4.12. Tabel 4.12 Distribusi Faktor Presipitasi Ketidakberdayaan dari Aspek Sosiokultural di Ruang Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) Sumber No Faktor Presipitasi Sosiokultural Masalah ekonomi Berhenti bekerja Beban keluarga Kurang dukungan keluarga Stigma

Jumlah stressor

Onset

Sifat N 20 15 12 11

Inter- Ekster <1 >1 1 >1 nal nal thn Thn % N % N % N % N % N % N % 100 3 15 17 85 75 - 6 30 6 100 - 60 12 60 - - 12 100 - 55 - - 11 55 7 64 4 36

5

25

-

-

5

25

5 100 -

-

6

30

-

-

6

30

6 100 -

-

Tabel 4.12 di atas menunjukan factor presipitasi dari aspek sosiokultural dialami oleh seluruh klien yang dirawat. Stressor sosiokultural yang terbanyak dialami adalah masalah ekonomi yang rendah (75%), masalah pekerjaan berupa berhenti bekerja (60%), dan beban keluarga (55%). Stresor sosiokultural pada umumnya merupakan faktor eksternal yang berlangsung kurang dari satu tahun.Seluruh klien mengalami stresor biologis, psikologis, dan sosiokultural. Jumlah stresor yang Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

100

dialami klien baik pada presipitasi biologi, psikologi maupun sosiokultural pada umumnya lebih dari satu stresor. 4.2.4. Penilaian terhadap stresor Respon klien

terhadap stressor dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif,

fisiologis, perilaku, dan sosial (Stuart, 2009). Seluruh klien memiliki penilaian yang negatif baik dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, sosial, dan perilaku. Tabel 4.13 menjelaskan secara rinci tentang distribusi penilaian terhadap stresor pada 20 klien yang dirawat. Tabel 4.13. Distribusi Penilaian terhadap Stressor Klien Ketidakberdayaan di Cempaka Bawahdan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1.

2.

3.

4.

5

Penilaian terhadap Stressor Respon Kognitif:  Kebingungan  Sulit konsentrasi  Sulit mengambil keputusan  Merasa gagal  Pesimis Respon Afektif:  Sedih  Khawatir  Takut  Kesal  Mudah tersinggung  Merasa kesepian Respon Fisiologis:  Kelelahan  Kelemahan  Nafsu makan menurun  Perubahan tanda vital  Gangguan pola tidur Respon Perilaku:  Marah  Menangis  Tergantung pada orang lain Respon Sosial:  Menghindar  Jarang bersosialisasi  Tidak dapat bekerja  Partisipasi sosial kurang

N

Prosentsase

17 12 8 10 7

85 60 40 50 35

16 17 15 8 7 4

80 85 75 40 35 20

12 14 20 12 18

60 70 100 60 90

4 7 18

20 35 90

2 18 11 16

10 90 55 80 Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

101

Tabel 4.13 menunjukan bahwa respon kognitif maladaptif yang paling menonjol dialami oleh klien yang menjadi kelolaan adalah kebingungan (85%) baik bingung karena penyakit fisiknya maupun perawatan yang dilakukan di rumah sakit. Klien juga mengalami kesulitan berkonsentrasi (60%). Respon afektif klien yang paling menonjol adalah khawatir (85%), sedih (80%) dan takut (75%). Respon fisiologis yang paling menonjol teramati pada klien akibat stressor yang ada adalah nafsu makan menurun (100%), gangguan pola tidur (90%), kelemahan (70%), kelelahan (60%), perubahan tanda vital (60%) Respon perilaku pada klien yang tampak sebagai responnya terhadap stressor adalah Tergantung pada orang lain (90%), Marah (35%), Menangis (20%). Respon sosial yang paling menonjol pada klien ketidakberdayaan adalah partisipasi sosial kurang (90%), jarang bersosialisasi (80%), tidak dapat bekerja (55%). 4.2.5. Sumber Koping Sumber koping yang dimiliki klien dikaji berdasarkan kemampuan klien dalam mengatasi masalah, adanya dukungan sosial, ketersediaan materi, dan keyakinan positif (Stuart, 2009). Tabel 4.14. menjelaskan secara rinci tentang distribusi sumber koping pada 20 klien yang dirawat. Tabel 4.14. menunjukan bahwa sumber koping klien terdiri atas : Personal ability (kemampuan personal), Social support (dukungan sosial), Material Asset (aset/kemampuan materi) dan Positive Believe (keyakinan positif). Personal ability (kemampuan personal), berdasarkan hasil pengkajian tentang sumber koping pada klien ketidakberdayaan terhadap klien kelolaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi diketahui bahwa seluruh klien belum mengetahui cara mengatasi rasa ketidakberdayaannya baik secara fisik, emosi, sosial dan spiritual, sudah ada beberapa kasus yang telah sudah mengenal cara mengatasi masalahnya tetapi baru sebatas mengenal belum dapat melakukannya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

102

Tabel 4.14. Distribusi Sumber Koping Klien Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No

Sumber Koping

1.

Kemampuan personal:  Belum memiliki kemampuan cara mengatasi masalah  Sudah memiliki kemampuan cara mengatasi masalah Dukungan keluarga  Ada o mampu merawat o tidak mampu merawat Dukungan Kelompok  Ada  Tidak ada Dukungan masyarakat  Ada  Tidak ada Ketersediaan materi dan pelayanan kesehatan  Pembiayaan RS (ekonomi) o Askes o Jamkesmas / Jamkesda o Pribadi  Akses dari tempat tinggal menuju pelayanan kesehatan o Jauh o Dekat Keyakinan yang positif  Merasa yakin masalah dapat diatasi  Merasa tidak yakin masalah dapat diatasi

2.

3

4.

N

Prosentase

19

95

1

5

20

100

5 15

25 75

6 14

30 70

3 16 1

15 80 5

3 17

15 85

16 4

80 20

Social support: Klien yang ketidakberdayaan yang dikaji teridentifikasi seluruh klien mendapat dukungan dari keluarga, tetapi keluarga belum mampu merawat klien (100%), klien pada umumnya tidak mendapat dukungan dari kelompok (75%) hanya lima orang klien yang mendapat dukungan dari kelompoknya, dukungan dari kelompok berupa dukungan dari klien yang mengalami masalah yang sama, misalnya klien HIV-AIDS dan klien TB paru memiliki kelompok peer yang sering bertemu pada saat klien berobat dan saat bertemu di ruangan, berupa dukungan moral saling sharing, saling menasihati dan berbagi informasi. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

103

Sebagian besar tidak mendapat dukungan dari masyarakat (70%) atau hanya enam orang klien yang mendapat dukungan dari masyarakat secara optimal, berupa dukungan dari kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dean tetangga klien baik dalam bentuk dukungan moril maupun finansial. Material Asset: Sebagian besar (80%) klien mendapat pembiayaan dari jamkesmas, jamkesda ataupun SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang dananya dari APBN atau APBD, sebagian kecil mendapat pembiayaan dari ASKES PNS (15%) dan biaya pribadi ((5%). Positive Believe: Klien ketidakberdayaan yang dirawat pada umumnya memiliki keyakinan positif (80%) dan hanya sebagian kecil (20%) yang tidak memiliki keyakinan terhadap perbaikan kondisinya, keyakinan terhadap kemampuan petugas yang merawatnya untuk membantu penyembuhan penyakitnya.

4.2.6. Mekanisme Koping Mekanisme koping yaitu respon atau perilaku yang dimunculkan klien pada saat menghadapi masalah. Mekanisme koping klien ketidakberdayaan yang dirawat di Ruang Cempaka bawah dan kadiologi dapat dilihat pada tabel 4.15. Tabel 4.15. Distribusi Mekanisme Koping Klien Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari sampai 20 April 2012 (n=20) No 1.

3

Mekanisme Koping Mekanisme Koping Adaptif:  Berdoa / beribadah  Menjalankan terapi medis  Melakukan kegiatan bermanfaat  Bercerita / bicara dengan orang lain Mekanisme Koping Maladaptif  Menyangkal penyakitnya  Ketergantungan pada orang lain  Tidak melakukan apapun / memendam masalah  Menangis  Marah

N

Prosentase

10 14 2 10

50 70 10 50

1 10 18 4 2

5 50 90 20 10

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

104

Tabel 4.15. menunjukan bahwa klien ketidakberdayaan rata-rata menggunakan koping yang adaptif dan maladaptif pada situasi yang berbeda. Koping adaptif yang paling banyak digunakan klien adalah menjalankan terapi medis (70%), berdoa/beribadah (50%) dan berbicara/bercerita kepada orang lain (50%). Koping maladaptif yang paling banyak dilakukan oleh klien adalah memendam masalah/supresi (90%) dan ketergantungan pada orang lain (50%). 4.2.7. Diagnosis Keperawatan dan Diagnosis Medis Diagnosis ketidakberdayaan yang merupakan diagnosis utama dialami oleh 20 klien : di Ruang Cempaka Bawah 14 klien dan di Ruang Kardiologi 8 klien. Masalah penyerta klien adalah Ansietas, gangguan citra tubuh, HDR situasional, Keputusasaan, Koping keluarga inefektif. Diagnosis medis berupa diagnosis fisik adalah HIV-AIDS, Cerebro Vascular Deseases (CVD), Chronic Kidney Deseases (CKD), Corronary Heart Failure (CHF), Anemia, Tuberculosa (TB) Paru, Hematomisis Melena dan Ca Mamae, sedangkan diagnosis medis untuk masalah psikososial belum ditegakkan karena belum terjalinnya kolaborasi pada penanganan masalah psikososial pada klien di RSUP Persahabatan. Diagnosis medis dan diagnosis keperawatan utama ketidakberdayaan dan diagnosis keperawatan penyerta yang lainnya dapat dilihat tabel 4.16. dan 4.17 Tabel 4.16. Distribusi Diagnosis Medis (Fisik) Pada Klien dengan Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta (n=20) No 1 2 3 4 5 6 7 7

Diagnosis Medis

HIV-AIDS Cerebro Vascular Deseases (CVD)

Chronic Kidney Deseases (CKD) Corronary Heart Failure (CHF) Tuberculosa (TB) Paru Anemia Hematomisis Melena Ca Mamae Jumlah

Jumlah 3 3 2 2 6 2 1 1 20

Prosentase 15 15 10 10 30 10 5 5 100

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

105

Tabel 4.16 menunjukan bahwa diagnosis medis yang paling banyak berdampak terhadap ketidakberdayaan adalah : TB Paru (30%), HIV-AID (15%) dan CVD (15%). Klien TB Paru cenderung menyebabkan ketidakberdayaan karena penyembuhan TB Paru memerlukan waktu yang cukup lama, perlu ketekunan dan kesabaran dalam menjalami pengobatan, sehingga apabila klien tidak berobat dengan tepat atau tidak sabar dalam menjalani pengobatan memiliki kecenderungan untuk tidak mencapai kesembuhan dan cenderung klien akan mengalami ketidakberdayaan dalam mancapai kesembuhan penyakitnya. Klien HIV-AIDs cenderung mengalami ketidakberdayaan karena klien berpikir tidak akan sembuh lagi segala upaya yang dilakukan akan sia-sia dan tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesembuhan penyakitnya. Klien CVD atau klien stroke cenderung mengalami ketidakberdayaan karena perkembangan penyembuhan penyakit ini sangat lambat dan setelah serangan stroke kemungkinan tidak kembali normal, terjadi ketidakberdayaan secara fisik maupun social dalam memenuhi kebutuhannya. Tabel 4.17. Distribusi Diagnosis Keperawatan Utama dan Penyerta Pada Klien dengan Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta (n=20) Diagnosis Keperawatan Jumlah Prosentase Utama Penyerta Ketidakberdayaan Ansietas, gangguan citra tubuh, HDR situasional, Keputusasaan, 2 10 Koping klg inefektif. Ansietas, gangguan citra tubuh, HDR situasional, Koping klg 4 20 inefektif. Ansietas, gangguan citra tubuh, 3 15 Koping klg inefektif. Ansietas, gangguan citra tubuh, HDR situasional. Ansietas, koping keluarga inefektif.

3

15

8

40

20

Jumlah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

106

Tabel 4.17. menggambarkan bahwa diagnosis keperawatan ketidakberdayaan merupakan diagnosis utama disertai diagnosis penyertanya.

Diagnosis

ketidakberdayaan bukan merupakan diagnosis tunggal. Jumlah diagnosis terbanyak enam buah (10%) dan terendah tiga buah (40%).

4.3. Fase Eksploitasi Klien Dengan Masalah Ketidakberdayaan Pada fase ini penulis mendiskusikan lebih mendalam

dan memilih alternatif

terhadap permasalahan yang dialami klien. Proses ini membutuhkan banyak energi agar dapat mentransfer energi klien dari yang negatif menjadi seorang yang positif dan produktif. Penulis berperan sebagai pendidik pada yang mengajarkan klien

tentang

apa

yang

harus

dilakukan

untuk

mengatasi

masalah

ketidakberdayaan, penulis mengajarkan dan memberikan informasi kepada klien tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah bila munculnya perasaan tidak berdaya dalam menghadapi penyakitnya, melakukan tindakan keperawatan pada klien melalui intervensi terapi-terapi keperawatan baik generalis maupun terapi spesialis. Peran perawat sebagai narasumber yang memberikan informasi kepada klien berbagai informasi dari pengobatan, tindakan keperawatan dalam membantu klien dan counselor juga dapat dilihat pada fase ini. Selama fase ini klien mendapatkan informasi, dan kebutuhan klien terkait dengan penyembuhan dan kebutuhan perawatan klien. Pada fase inilah peran penulis selain sebagai peran pendidik, narasumber, pemimpin, pengganti dan juga peran sabagai penasehat. Penatalaksanaan klien dengan masalah ketidakberdayaan di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi dilakukan dengan pendekatan keperawatan dan medis. Berikut ini penjelasan tentang penatalaksanaan klien dengan ketidabkberdayaan. 4.3.1. Penatalaksanaan Keperawatan Manajemen kasus keperawatan jiwa dilakukan dengan menyusun paket intervensi yang diberikan kepada klien dengan ketidakberdayaan. Paket intervensi yang diberikan terdiri atas intervensi generalis dan intervensi spesialis. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

107

4.3.1.1. Terapi Generalis a. Tindakan keperawatan untuk klien. 1) Asesmen ketidakberdayaan dan latihan berpikir positif a) Bantu klien mengenal ketidakberdayaan: (1) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya. (2) Bantu klien mengenal penyebab ketidakberdayaan (3) Bantu klien menyadari perilaku akibat ketidakberdayaan (4) Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan identifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada dalam kemampuannya untuk mengontrol (5) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya (6) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien tanpa memintanya untuk menyimpulkan (7) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan melalui interupsi atau subtitusi (8) Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif (9) Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan kesimpulan yang dibuat klien (10) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional b) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif) 2) Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat mengembangkan harapan positif dan latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan a) Membuat

kontrak

ulang:

latihan

mengontrol

perasaan

ketidakberdayaan b) Latihan

mengontrol

perasaan

ketidakberdayaan

melalui

peningkatan kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan klien (Bantu klien mengidentifikasi area-area situasi kehidupan yang dapat dikontrolnya. Dukung kekuatan – kekuatan diri yang dapat di identifikasi oleh klien) misalnya Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

108

klien masih mampu menjalankan peran sebagai ibu meskipun sedang sakit. b. Keluarga 1) Penjelasan kondisi klien dan cara merawat a) Bantu keluarga mengenal ketidakberdayaan: (1) Menjelaskan ketidakberdayaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya (2) Menjelaskan

cara

merawat

ketidakberdayaan

klien:

membantu mengembangkan motivasi bahwa klien dapat mengendalikan situasi dan

memotivasi cara

afirmasi

positif yang telah dilatih perawat pada klien b) Sertakan keluarga saat melatih afirmasi positif 2) Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan dan follow up a) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam, menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien b) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up c) Menyertakan keluarga saat melatih klien latihan mengontrol perasaan tidak berdaya d) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan kondisi klien yang perlu dirujuk (klien tidak mau terlibat dalam perawatan diri) dan cara merujuk klien. 4.3.1.2. Terapi Spesialis Adapun

intervensi

keperawatan

yang

dilakukan

pada

klien

dengan

ketidakberdayaan adalah : terapi logo terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan ketidakberdayaan pada masing-masing klien sangat bervariasi. Tindakan keperawatan yang diberikan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

109

meliputi terapi generalis dan terapi spesialis. Seluruh tindakan terapi diberikan oleh spesialis keperawatan jiwa karena kendala belum optimalnya kemampuan perawat ruangan dalam melakukan asuhan keperawatan masalah psikososial khususnya ketidakberdayaan. Tindakan keperawatan yang diberikan secara garis besar dapat dilihat pada tabel 4.18. Berdasarkan tabel 4.18 di atas dapat dijabarkan tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien yang mengalami ketidakberdayaan : 1) Generalis: Interaksi dengan 20 klien rata-rata dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan dan semua dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Rata-rata lama klien yang mendapat terapi generalis adalah 7 hari. 2) Terapi Spesialis: a) Terapi Kognitif

diberikan kepada 20 orang klien ketidakberdayaan

(100%) sampai dengan sesi tiga dan kepada sembilan orang (45%) sampai dengan sesi empat (tuntas). Pikiran negatif yang berkembang pada diri klien berupa perasaan tidak mampu merawat penyakitnya, merasa segala upaya akan sia-sia / tidak akan bermanfaat dalam mengubah keadaannya. Rata-rata lama klien yang mendapatkan terapi CT adalah 10 hari. Tabel 4.18. Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Pada Klien dengan Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta Periode 20 Februari-20 April2012 ( N : 20 ) No Terapi Keperawatan 1 Terapi Generalis 2 Terapi Spesialis

Sesi ke 1

%

2

%

20 100 20 100

Ket

3 %

4

% 5

%

-

-

-

-

-

-

a. Kognitif Terapi

20 100 20 100 20 100 9

45 -

-

b.Logo terapi

20 100 20 100 20 100 17 85 -

-

e.Psikoedukasi Keluarga 17 100 17 100 17 100 17 100 16

80

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

110

Pelaksanaan terapi kognitif dapat dilihat pada tabel 4.19. Tabel 4.19. Pelaksanaan Terapi Kognitif Pada Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari-20 April 2012 (n=20) Sesi

Tindakan Keperawatan Spesialis: Terapi Kognitif

N

1

Identifikasi pikiran otomatis negative

20

2

Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative

20

3

Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif dengan mengungkapkan hasil dalam mengikuti terapi kognitif

20

4

Memanfaatkan sistem pendukung.

9

Tabel 4.19 menunjukan kegiatan yang dilakukan pada terapi kognitif sesi pertama adalah mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif klien, diawali dengan mengidentifikasi masalah yang dihadapi klien, menkusikan sumber masalah, perasaan klien serta hal yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Langkah selanjutnya adalah mendiskusikan pikiran-pikiran otomatis yang negatif yang muncul.

Klien diminta untuk mencatat semua pikiran otomatis yang negatif pada lembar pikiran otomatis negatif yang terdapat dalam buku catatan harian klien. Selanjutnya mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif dari pikiran otomatis negatif klien dalam buku catatan perawat. Klien diminta untuk memilih satu pikiran otomatis negatif yang paling mengganggu klien dan ingin diselesaikan saat ini. Mendiskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif dengan memberi tanggapan positif (rasional) berupa aspek-aspek positif yang dimiliki klien dan minta klien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional/ cara aku melawan. Melatih klien untuk menggunakan aspek-aspek positif klien untuk melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif. Seluruh klien mampu mengidentifikasi pikiran negatifnya. Pikiran negative yang dimiliki klien rataUniversitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

111

rata lebih dari satu. Klien mampu untuk memberikan tanggapan positip untuk melawan pikiran negatif yang pertama. Klien menyadari bahwa selama ini klien memiliki pikiran yang negatip yang tidak rasional, hanya keyakinan subjektif

yang tidak berdasar dan pikiran ini yang menyebabkan

ketidakberdayaan selama ini. Sesi kedua adalah menggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif dengan cara : Penulis memberi kesempatan klien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif kedua yang ingin diselesaikan dalam pertemuan kedua. Mendiskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif yang pertama yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki klien) dan minta klien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. Melatih kembali klien untuk menggunakan aspek-aspek positif klien dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang sama seperti sesi pertama. Pada sesi kedua ini klien semakin meyakini bahwa klien selama ini merasa tidak berdaya, merasa segala upaya yang akan dilakukan pasti gagal, tidak akan berhasil dan menyebabkan tidak dapat melakukan apapun bila ada masalah disebabkan karena pikiran / keyakinan yang negatip terhadap diri sendiri padahal tidak semuanya benar. Kegiatan yang dilakukan pada sesi tiga yaitu mengidentifikasi manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif. Mengevaluasi kemampuan dan hambatan membuat catatan harian. Mendiskusikan ketiga yang ingin diselesaikan. Mendiskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif ketiga dengan cara yang sama dan minta klien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. Melatih kembali klien menggunakan aspek-aspek positip dalam melawan pikiran otomatis negatif dengan cara yang sama seperti sesi pertama/kedua.Menanyakan apakah cara tersebut dapat menyelesaikan masalah yang timbul karena pikiran otomatisnya. Sesi ketiga menguatkan keyakinan klien tentang pikiran negatip pada dirinya yang sebenarnya salah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

112

dan membuat klien yakin dengan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Kegiatan yang dilakukan pada sesi keempat adalah memanfaatkan Support system diawali dengan menjelaskan kepada keluarga tentang pengertian, tujuan dan manfaat terapi kognitif, pelaksanaan terapi kognitif termasuk pembuatan catatan hariannya. Melibatkan keluarga dalam mengidentifikasi perilaku klien sebelum, selama dan sesudah mengikuti terapi kognitif. Hasil pertemuan ini berupa meningkatnya dukungan keluarga, seluruh keluarga mengerti tentang aspek positif yanhg dimiliki dan akan selalu mengingatkan klien untuk terus bersemangat mengatasi masalahnya. b) Logo terapi terapi dilakukan pada seluruh klien ketidakberdayaan yang dirawat dengan pencapaian yang bervariasi. Pelaksanaan logo terapi dapat dilihat pada tabel 4.20. Tabel 4.20. Pelaksanaan Logo terapi Pada Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari-20 April 2012 (n=20) Sesi 1 2 3 4

Tindakan Keperawatan Spesialis: Logo terapi Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah yang timbul akibat penyakit fisik, dan harapan yang diinginkan. Mengidentifikasi reaksi dan respon klien terhadap masalah. Teknik medical ministry (membantu merealisasikan nilainilai bersikap Mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi

N 20 20 20 17

Pada tabel 4.20 tergambar kegiatan pada sesi pertama adalah membina hubungan saling percaya mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah yang timbul akibat penyakit fisik, dan harapan yang diinginkan. Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara penulis dan klien. Selain itu sesi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

113

masalah dan penyebab masalah yang timbul akibat penyakit fisik, dan harapan yang diinginkan. Pada tahap ini penulis memperkenalkan diri, menanyakan perasaan klien, menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi. mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah yang timbul akibat penyakit fisik, dan harapan yang diinginkan. Hasil yang didapatkan pada sesi pertama adalah : seluruh klien mampu membina hubungan saling percaya dan terbuka untuk menyampaikan masalahnya, klien rata-rata menyatakan telah melakukan upaya untuk mengatasi penyakitnya ternyata tidak ada hasil yang memuaskan. klien merasa tidak ada upaya lagi yang dapat dilakukan, tetapi klien masih tetap berharap penyakitnya bisa sembuh. Kegiatan pada sesi kedua adalah mengidentifikasi reaksi dan respon klien terhadap masalah. Klien diminta untuk mengungkapkan dampak dari masalah yang dihadapi dan ketidakberdayaan yang dirasakan terhadap respon pikiran, emosional, respon perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatan. Respon pikiran yang muncul pada klien berupa : kebingungan, sulit konsentrasi, sulit mengambil keputusan, merasa gagal dan pesimis. Respon emosi yang muncul adalah khawatir, sedih, takut, kesal, mudah tersinggung dan merasa kesepian. Respon perilaku yang teridentifikasi berupa marah, menangis dan tergantung pada orang lain. Respon klien dalam kegiatan social adalah jarang bersosialisasi, partisipasi sosial kurang dan tidak dapat bekerja. Keterlibatan klien dalam perawatan sangat kurang, klien pada umumnya berespon sangat pasif terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan. Sesi ketiga adalah inti dari logo terapi yaitu teknik medical ministry. Pada sesi ini penulis membantu masalah klien dan mendiskusikannya melalui teknik medical ministry. Membantu merealisasikan nilai-nilai bersikap (the attitude values) sebagai salah satu sumber dalam menemukan makna hidupnya. Merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien : mengingat Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

114

kembali suatu penderitaan yang pernah dialami perasaan saat itu, bagaimana perasaan sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang diperoleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan itu. klien diajak juga menghubungi klien lain yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah yang diperolehnya dari peristiwa itu selanjutnya membandingkan dengan keadaan sekarang. Kegiatan terakhir adalah mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry, menemukan makna hidup yang klien dapatkan dan mampu menerima perubahan akibat sakitnya. Penulis mendiskusikan bersama klien tentang masalah yang sudah dan belum teratasi. Setelah dilakukan intervensi, klien ketidakberdayaan memiliki kemampuan yang meningkat dalam menyadari hikmah dari suatu kejadian dan meningkatkan makna hidup. c) Psikoedukasi

keluarga

diberikan

kepada

seluruh

keluarga

klien

ketidakberdayaan yang dirawat. Psikoedukasi diberikan kepada keluarga sebagai care giver atau orang yang paling dekat dan tinggal serumah dengan klien. Terapi psikoedukasi keluarga dilakukan pada 17 keluarga

yang

memiliki diagnosis koping keluarga inefektif dengan anggota keluarga dirawat di ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi. Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga dapat dilihat pada tabel 4.21. Tabel 4.21. Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Ketidakberdayaan Di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari-20 April 2012 (n=20) Sesi 1 2 3 4 5

Tindakan Keperawatan Spesialis: Psikoedukasi Keluarga Mendiskusikan pengalaman keluarga merawat klien Mengajarkan cara merawat klien dengan ketidakberdayaan Mendiskusikan stress yang dirasakan keluarga akibat merawat klien dan mengajarkan cara mengatasi stress Mendiskusikan beban yang dirasakan keluarga akibat merawat klien dan mengajarkan cara mengatasi beban Mendiskusikan cara mencari dan menggunakan fasilitas kesehatan jiwa di masyarakat dan di rumah sakit

N 17 17 17 17 16

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

115

Kegiatan yang dilakukan pada sesi pertama adalah mendiskusikan pengalaman keluarga merawat klien di rumah termasuk beban yang dirasakan dalam merawat klien. Beban subjektif yang dirasakan oleh keluarga terbesar adalah perasaan cemas, sedih, dan putus asa dengan kondisi klien. Beban objektif yang dirasakan keluarga adalah beban finansial dan beban fisik. Beban fisik dirasakan akibat kelelahan karena kurang istirahat dalam merawat klien. Kegiatan yang dilakukan pada sesi kedua adalah penjelasan tentang masalah yang dihadapi dan cara merawat klien, diberikan oleh perawat ruangan atau penulis. Ada beberapa keluarga klien pernah mendapatkan penjelasan tentang cara merawat klien saat perawatan klien sebelumnya (bagi klien yang pernah dirawat sebelumnya). Kemampuan keluarga yang pernah mendapatkan pendidikan kesehatan sebelumnya berupa pengetahuan penyakit yang diderita klien dampak terhadap klien dan cara untuk meningkatkan semangat klien. Kemampuan yang dimiliki terbatas pada aspek kognitif. Pendidikan kesehatan tentang masalah dan cara merawat klien yang penulis ajarkan meliputi : Masalah ketidakberdayaan : penyebab, proses terjadinya, tanda dan gejala, serta akibat dari ketidakberdayaan. Cara merawat klien ketidakberdayaan : membantu mengembangkan motivasi bahwa klien dapat mengendalikan / merubah situasi yang dialami dan memotivasi cara afirmasi positif yang telah dilatih perawat terhadap klien. Kegiatan sesi tiga adalah membantu keluarga mengatasi beban subjektif. Penulis mengajarkan beberapa tehnik relaksasi, dan terapi kognitif. Terapi relaksasi yang diberikan adalah relaksasi progresif, latihan tarik napas dalam. Terapi relaksasi diberikan pada keluarga yang mengalami beban subjektif berupa perasaan cemas dan khawatir. Latihan berfikir positip diberikan pada keluarga yang mengalami beban subjektif berupa perasaan putus asa akibat merawat klien. Kegiatan yang dilakukan di sesi empat adalah mendiskusikan cara mengurangi beban dalam merawat klien. Langkah awal pada sesi ini adalah mengidentifikasi sumber yang ada dalam keluarga inti yang masih dapat diberdayakan untuk Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

116

membantu care giver utama merawat klien di rumah. Sumber daya ini dapat dipergunakan untuk membantu care giver dalam mengurangi beban tenaga, waktu dan finansial. Langkah berikutnya adalah mendiskusikan bagaimana upaya yang harus dilakukan agar sumber daya tersebut mau membantu meringankan beban care giver. Kegiatan yang dilakukan pada sesi lima adalah mendiskusikan sumber daya yang ada di komunitas yang dapat digunakan keluarga dalam merawat klien. Materi yang diberikan bervariasi diantaranya adalah mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang terdekat dengan tempat tinggal seperti adanya pukesmas yang memberikan pelayanan kesehatan, dan mendikusikan penggunaan fasilitas pemerintah terkait jaminan kesehatan dalam bentuk jamkesmas dan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri dan keluarganya. 4.3.2. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medis untuk menangani masalah ketidakberdayaan klien belum dilakukan. Dari 20 klien yang telah dirawat belum ada klien yang mendapatkan pengobatan secara medis. Diantara klien yang mengalami ketidakberdayaan ada yang memenuhi kriteria depresi, namun belum membutuhkan terapi medis karena masih dapat diatasi dengan terapi keperawatan dan menunjukkan penurunan keadaan depresinya setelah mendapatkan terapi penyakit fisiknya dan

terapi

keperawatan generalis maupun spesialis. Tindakan kolaborasi yang dilakukan dengan tenaga medis belum dapat dilakukan secara optimal karena dokter yang visite masih berfokus pada kesehatan fisik klien dan belum menyentuh aspek psikososial baik bagi klien maupun keluarga klien. Diskusi dengan dokter lebih banyak dilakukan untuk menginformasikan hasil pengkajian yang didapatkan dan intervensi keperawatan yang telah dilakukan, terapi fisik namun tidak membahas penanganan psikososial yang dilakukan dokter terhadap klien. Akibatnya kolaborasi dengan medis belum

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

117

menghasilkan pola rujukan yang sistematis pada penanganan ketidakberdayaan pada klien. 4.4. Fase resolusi Fase resolusi menurut Peplau identik dengan fase evaluasi. Pada fase ini penulis mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini penulis mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun. Untuk mengurangi rasa ketergantungan pada penulis, tindakan yang dilakukan penulis adalah mempersiapkan kemandirian klien dengan cara memaksimalkan sumber koping klien dan keluarga dalam mempersiapkan klien untuk pulang. Kemandirian klien dengan ketidakberdayaan yang terpenting adalah klien selalu mengembangkan koping yang adaptif, memiliki sikap dan harapan yang positif sebagai implikasi dari pikiran positif yang dimiliki klien, sehingga tidak muncul pikiran yang tidak diterima oleh lingkungan. Dukungan keluarga sangat penting sehingga keluarga harus dilibatkan dari awal, penulis juga harus mempersiapkan lingkungan klien melalui keluarga untuk mempertahankan sikap dan pikiran positif klien ketika klien pulang. Evaluasi dilakukan terhadap hasil pemberian tindakan keperawatan generalis dan spesialis

dengan

melihat

kemampuan

klien

dalam

mengatasi

masalah

ketidakberdayaan dan kemampuan keluarga / care giver dalam merawat klien. 4.4.1.

Evaluasi kemampuan klien.

Hasil kemampuan klien dengan masalah ketidakberdayaan dilakukan setelah klien diberikan terapi keperawatan. Penilaian dilakukan dengan membandingkan hasil

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

118

pengkajian sebelum klien mendapatkan terapi dengan kemampuan klien setelah mendapatkan terapi. Seluruh klien mampu melaksanakan terapi kognitif sampai sesi tiga, klien mampu melawan pikiran negative yang ketiga. Sembilan orang klien mampu melaksanakan terapi kognitif sampai tuntas empat sesi. Klien sudah menyadari bahwa ketidakberdayaannya timbul akibat adanya pikiran negatif, klienpun sudah mampu mengembangkan pikiran positif untuk mengkonter pikiran negatifnya dan memanfaatkan sistem pendukung yang ada. Seluruh klien mencapai kemampuan melaksanakan logo terapi sampai sesi tiga. Sebanyak 17 klien (85%) mampu menuntaskan logo terapi sampai sesi empat. Seluruh klien mampu membina hubungan saling percaya dan terbuka untuk menyampaikan masalahnya. Klien mampu mengungkapkan dampak dari masalah yang dihadapi dan ketidakberdayaan yang dirasakan terhadap respon pikiran, emosional, respon perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatan. Klien mampu merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien perasaan sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran yang diperoleh dan hikmah yang ada dibalik penderitaan itu. klien juga mau menghubungi klien lain yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah yang diperolehnya dari peristiwa itu serta membandingkan dengan keadaan sekarang. Klien ketidakberdayaan memiliki kemampuan yang meningkat dalam menyadari hikmah dari suatu kejadian dan meningkatkan makna hidup. Seluruh care giver yang mendapat terapi (17 orang) mencapai kemampuan melaksanakan psikoedukasi keluarga sampai sesi empat. Sebanyak 16 care giver (94%) mampu menuntaskan terapi psikoedukasi keluarga sampai tuntas (sesi lima). Kemampuan yang dicapai adalah keluarga mampu secara kognitif, afektif dan psikomotor mengatasi beban atau masalah yang dihadapi klien serta terlibat aktif dalam perawatannya di rumah sakit. Rata-rata lama keluarga mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga adalah 12 hari. Keluarga klien yang mendapatkan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

119

terapi psikoedukasi keluarga, mendapatkan hasil keluarga mampu mengenal masalah, mampu menyebutkan cara merawat pasien, mampu mengenal stres dan beban yang dirasakan akibat merawat pasien, mampu mengatasi stres dan beban, serta mampu mengguanakan fasilitas pelayanan kesehatan. Uraian di atas menunjukan bahwa setelah dilakukan perawatan pada klien ketidakberdayaan dengan memberikan terapi generalis dan spesialis maka terjadi peningkatan kemampuan klien. Peningkatan kemampuan terjadi baik secara kognitif, afektif, maupun spikomotor. 4.4.2. Evaluasi perubahan gejala ketidakberdayaan Perubahan gejala klien dengan masalah ketidakberdayaan sebelum dan setelah dilakukan terapi spesialis keperawatan. Data tentang tanda dan gejala didaptkan dari hasil pengkajian sebelum klien mendapatkan terapi dibandingkan dengan kemampuan klien setelah mendapatkan terapi. Tanda dan gejala klien dengan diagnosis ketidakberdayaan sebelum dan setelah mendapat paket terapi keperawatan baik generalis maupun spesialis dapat dilihat pada tabel 4.22. Tabel 4.22 menunjukan terjadi penurunan tanda dan gejala yang bermakna dari : aspek kognitif yaitu gejala kebingungan dengan selisih penurunan 64,7%, merasa gagal dengan selisih penurunan 70%. Aspek Afektif / Sikap adalah gejala sedih dengan selisih penurunan 75% dan merasa kesepian dengan selisih penurunan 75%. Aspek fisiologi / gejala fisik adalah gejala kelelahan dengan selisih penurunan 83% dan perubahan tanda vital dengan selisih penurunan 83%. Aspek perilaku adalah gejala marah, menangis dan apatis dengan selisih penurunan 100%. Aspek social adalah menghindar dengan selisih penurunan 100% dan jarang bersosialisasi dengan selisih penurunan 77%.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

120

Tabel 4.22. Distribusi Perubahan Tanda dan Gejala sebelum dan sesudah intervensi Klien Ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 (n total =20) No 1.

2.

3.

4

5

4.4.3.

Gejala Respon Kognitif  Kebingungan  Sulit konsentrasi  Sulit mengambil keputusan  Merasa gagal  Pesimis Respon Afektif  Sedih  Khawatir  Takut  Kesal  Mudah tersinggung  Merasa kesepian Respon Fisiologis:  Kelelahan  Kelemahan  Nafsu makan menurun  Perubahan tanda vital  Gangguan pola tidur Respon Perilaku:  Marah  Menangis  Tergantung pada orang lain  Apatis Respon Sosial:  Menghindar  Jarang bersosialisasi  Tidak dapat bekerja  Partisipasi sosial kurang

Jumlah klien Sebelum Sesudah

Selisih

%

17 12 8 10 7

6 10 6 3 3

11 2 2 7 4

64,7 16 25 70 57

16 17 15 8 7 4

4 11 4 3 3 1

12 6 11 5 4 3

75 35 73 62 57 75

12 14 20 12 18

2 12 12 2 13

10 2 8 10 5

83 14 40 83 27

4 7 18

14

4 7 4

100 100 22

8

-

8

100

2 18 11 16

4 11 10

2 14 6

100 77 0 37

Evaluasi kemampuan keluarga sebagai caregiver

Terapi yang diberikan berpengaruh positif terhadap keluarga sebagai caregiver klien. Kemampuan merawat meningkat dan memberi dampak terhadap klien

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

121

dengan menurunkan tingkat ketidakberdayaan klien akibat penyakit fisik dan dirawat di rumah sakit. 4.4.4.

Evaluasi lingkungan perawatan

Lingkungan perawatan: perawat ruangan sangat mendukung program kegiatan yang dilakukan terhadap klien. Klien dan keluarga merasa kebutuhan psikososialnya mendapat perhatian dari tenaga kesehatan. Klien berpartisipasi aktif dalam perawatan dan merasakan manfaat yang besar baik dalam menurunkan ketidakberdayaannya

karena keterlibatan aktif klien dalam perawatan dan

pengobatan. Kemampuan perawat ruangan dalam asuhan keperawatan pada klien dengan ketidakberdayaan perlu ditingkatkan agar membudaya. 4.5.

Kendala

4.5.1. Kesibukan di ruangan dan banyaknya interaksi yang dilakukan terhadap klien baik dari tenaga medis, keperawatan maupun profesi lain dan rangka pengkajian, pemeriksaan diagnostik maupun intervensi menyebabkan terapi spesialis sering tersendat bahkan dihentikan untuk sementara. Upaya yang dilakukan penulis adalah mencari waktu yang senggang, misalnya pada pagi hari sebelum operan pagi atau siang setelah operan siang. Penulis juga berupaya melakukan intervensi psikososial klien pada saat melakukan intervensi fisik klien. 4.5.2. Penulis sudah berusaha memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ketidakberdayaan sesuai SAK. Fasilitas yang belum memadai seperti ruangan yang tidak tenang tenang, menyatu dengan klien lain, banyaknya petugas kesehatan dan pengunjung yang datang menyebabkan privasi dan konsentrasi klien terganggu. Upaya yang penulis lakukan adalah menjaga privasi klien dengan memisahkan klien dengan klien lain menggunakan pembatas / sampiran. 4.5.3. Penerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan ketidakberdayaan yang dilakukan perawat ruangan masih belum membudaya sehingga terapi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

122

generalis yang seharusnya dapat dilakukan oleh perawat ruangan, sebagian besar masih dilakukan oleh penulis. 4.5.4. Belum ada sistem kerjasama tim multidisiplin terutama dengan Psikiater, pada proses pelaksanaan manajemen kasus klien dengan masalah psikososial terutama ketidakberdayaan khususnya di ruang perawatan umum, sehingga kesinambungan intervensi keperawatan dan intervensi medis belum sejalan. Upaya yang penulis lakukan adalah selalu mengkomunikasikan perkembangan psikosial klien dan intervensi generalis maupun spesialis yang dilakukan. 4.5.5. Belum adanya perawat CLMHN / perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai konsultan pada ruang perawatan umum, sehingga asuhan keperawatan pada klien belum mencakup aspek holistic care dan komprehensif. Upaya yang dilakukan adalah selalu berdialog dengan kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana tentang asuhan keperawatan klien dengan masalah keperawatan psikososial di ruangan. Berdialog dengan kepala bidang keperawatan tentang kebijakan penerapan CLMHN di RSUP Persahabatan. 4.6. Rencana Tindak Lanjut 4.6.1. Melakukan asuhan keperawatan terhadap klien psikososial bersama-sama pada saat melakukan intervensi yang lain. 4.6.2. Minciptakan lingkungan yang tenang untuk meningkatkan efektifitas intervensi keperawatan yang dilakukan dengan memasang sampiran, membatasi pengunjung yang datang. 4.6.3. Melakukan intervensi keperawatan pada waktu yang tidak sibuk di ruangan, misalnya menyempatkan melakukan intervensi kepada klien sebelum operan dinas pagi atau setelah operan siang. 4.6.4. Bekerja sama dengan Kepala Ruangan dan Ketua Tim untuk mengatur jadwal intervensi terhadap klien. 4.6.5. Bekerjasama dengan perawat ruangan untuk memantau jadwal latihan yang sudah disepakati bersama klien dan keluarga. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

123

4.6.6. Melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan dan jadwal latihan klien serta meningkatkan frekuensi interaksi kepada klien. 4.6.7. Melakukan penataan pemberian asuhan keperawatan yang sistematis. Membudayakan melakukan pendokumentasian hasil asuhan keperawatan oleh perawat di ruangan. 4.6.8. Kepala ruangan dan ketua tim, melakukan pendampingan dan supervisi kepada perawat pelaksana untuk meningkatkan

kemampuan merawat

klien untuk semua diagnosa keperawatan. 4.6.9. FIK UI: melakukan riset klinik terkait dengan pelaksanaan terapi spesialis yang diberikan pada klien yang dapat dilaksanakan pada tatanan pelayanan umum khususnya dalam penanganan masalah ketidakberdayaan. 4.6.10. Mempertimbangkan pengadaan tenaga CLMHN melalui pelatihan baik injobtrainning maupun outjobtrainning dan perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai konsultan dengan memfasilitasi perawat mengikuti tugas belajar.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB 5 PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan keperawatan pada klien ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi

RSUP

Persahabatan

Jakarta,

manajemen

pelayanan

yang

menunjang pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus spesialis meliputi hasil pengkajian klien ketidakberdayaan secara detail dan efektifitas manajemen asuhan keperawatan pada klien ketidakberdayaan yang diberikan terapi kognitif, logo dan psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan teori Model hubungan interpersonal dari Peplau. Pada pembahasan efektifitas manajemen asuhan keperawatan pada klien ketidakberdayaan yang diberikan terapi kognitif logo dan psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan teori Hildegard Peplau secara terintegrasi meliputi seluruh aspek proses keperawatan dari pengkajian secara umum hingga evaluasi keperawatan. 5.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Klien Ketidakberdayaan Pelaksanaan

manajemen

asuhan

keperawatan

klien

ketidakberdayaan

menggunakan pendekatan pendekatan model hubungan interpersonal dari Peplau. Teori Model Hildegard Peplau digunakan pada setiap tahapan proses keperawatan. Secara keseluruhan penggunaan teori model Hildegard Peplau dalam manajemen kasus ini senantiasa berpegang pada prinsip menggunakan diri sendiri, pengalaman keterampilan koping dan persepsi untuk membantu klien tumbuh dan berubah “therapeutic use of self” (Videbeck, 2001).

124

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

125

5.1.1 Fase Orientasi Klien Ketidakberdayaan Tahap dilakukan dapa saat mulai terjadi interaksi antara perawat-klien melalui komunikasi terapetik untuk mengumpulkan data dan informasi tentang status kesehatan klien. Pada tahap ini menurut Peplau peran perawat sebagai orang asing (role of the stranger). Peplau menyatakan karena klien dan perawat adalah orang asing bagi satu dan lainnya, maka klien harus diperlakukan secara sopan. Penulis berupaya menerima klien apa adanya secara objektif, memperlakukan klien penuh perasaan, tidak melakukan penilaian terhadap klien. Fortinash (2005) mengatakan : membina hubungan saling percaya perawat-klien dilakukan sesuai dengan tahapan hubungan terapeutik, diharapkan

perawat

mempengaruhi

klien

melalui

komunikasi

yang

dikembangkan dalam hubungan perawat dan klien sehingga kecemasan klien menurun. 5.1.2. Fase Identifikasi klien Ketidakberdayaan Pada fase ini penulis menggali perasaan–perasaan yang dialami klien ketidakberdayaan. Fase ini merupakan tahap pengkajian sebagai penulis menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap klien. Menurut Shives (1998) ; Laraia (2005) : kemampuan perawat menggali permasalahan yang dialami klien merupakan langkah besar dalam pengkajian mengingat klien ketidakberdayaan memiliki kecenderungan menggunakan mekanisme koping maladapif yaitu fantasi, regresi, disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang lain, denial, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi dan magical thinking. Hasil identifikasi/pengkajian klien dengan ketidakberdayaan di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta terdiri atas karakteristik klien, faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor dan sumber koping. Pada uraian pembahasan berikut beberapa komponen faktor predisposisi dan presipitasi pada klien ketidakberdayaan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

126

terintegrasi dengan karaktersitik klien. Hal ini dikarenakan beberapa karaktersitik klien merupakan bagian dari faktor predisposisi dan presipitasi, seperti usia merupakan bagian dari faktor predisposisi dan presipitasi aspek sosial budaya. 5.1.2.1. a.

Karakteristik Klien

Usia

Klien dengan masalah ketidakberdayaan yang diberikan terapi kognitif logo dan psikoedukasi keluarga sebanyak 70% berusia 40–65 tahun dan 25% berusia 21-40 tahun. Stuart (2009) menyatakan bahwa usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa. Erikson (1963, dalam Townsend, 2009) menggolongkan usia 26-65 tahun ke dalam usia dewasa (Generativity Versus Stagnation). Pada tahap usia dewasa individu mampu terlibat dalam kehidupan keluarga, masyarakat, pekerjaan dan mampu membimbing anaknya. Usia dewasa merupakan masa produktif dimana klien memiliki tuntutan aktualisasi diri, baik dari diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan. Seseorang sebagai individu akan melewati masa usia tumbuh kembang dengan berbagai tugas perkembangannya akan mempersepsikan segala stimulus baik internal maupun eksternal. Seiring dengan yang diuraikan Erickson (1963, dalam Townsend, 2009) maka pada usia dewasa seseorang berusaha mencapai aktualisasi diri sesuai dengan ideal diri. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan ini menyebabkan individu merasa sebagai orang yang gagal, tidak berkompeten, tidak berharga, minder, tidak mampu, putus asa, tidak berdaya.dan lain-lain. Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa usia berhubungan dengan pengalaman

seseorang

dalam

menghadapi

berbagai

macam

stresor,

kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan ketrampilan dalam Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

127

mekanisme koping. Disisi lain Stuart (2009) menjelaskan bahwa perubahan usia akan berpengaruh terhadap kecenderungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan mental. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menjelaskan bahwa pada rentang usia dewasa, seseorang akan berfikir lebih rasional untuk mencari pelayanan kesehatan. b.

Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya masalah psikososial. Jenis kelamin yang teridentifikasi dari 20 klien dengan ketidakberdayaan ini mayoritas laki-laki, yaitu 12 orang (60%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita (2007) masalah ketidakberdayaan yang berdampak terhadap ketidakberdayaan banyak dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Apabila dilakukan analisa lebih lanjut bahwa masalah ketidakberdayaan lebih banyak terjadi pada laki-laki dikarenakan tuntutan tanggungjawab atau peran yang harus dipenuhi seorang laki-laki didalam keluarga. c.

Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan

presipitasi

terjadinya

gangguan

jiwa.

Klien

dengan

masalah

ketidakberdayaan yang dikelola mayoritas (60%) memiliki latar belakang pendidikan rendah, yaitu SD. Berdasarkan Model Stres Adaptasi Stuart pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi sosial budaya untuk terjadinya gangguan jiwa. Stuart (2009) menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu tolak ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi termasuk dalam hal ini kemampuan dalam merespon/mempersepsikan stresor yang dihadapi yang menyebabkan klien mengalami masalah ketidakberdayaan. Menurut Townsend (2009) dan Stuart Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

128

(2009) pendidikan merupakan salah satu faktor sosial budaya yang dapat dikaitkan dengan terjadinya ketidakberdayaan. Semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki (Kopelowicz, 2002). Pendidikan sebagai sumber koping berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi seseorang. Klien kelolaan ini sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai sumber koping dalam menghadapi masalah. Pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan pengetahuan yang lebih besar sehingga menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan yang lebih baik (Potter & Perry, 1997). Menurut Stuart (2009) pada individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan jiwa. Kesimpulan dari temuan ini bahwa dengan pendidikan tinggi akan membantu dalam proses menghadapi masalah karena pendidikan seseorang meningkatkan kemampuan dalam berfikir, serta menerima, mengolah serta mempersepsikan informasi. d.

Status Perkawinan

Status perkawinan juga merupakan salah satu dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya gangguan jiwa. Klien yang dengan masalah ketidakberdayaan yang dikelola sebagian besar (66,67%) memiliki status menikah. Friedman (1998) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) fungsi dalam sebuah keluarga, yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan sosial, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, serta memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota keluarga. Seseorang yang telah menikah akan menjalankan fungsi-fungsi keluarga di atas. Berbagai fungsi keluarga ini merupakan stresor setiap orang yang menikah sehingga tidak terpenuhinya

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

129

fungsi ini atau ketidakmampuan dalam melaksanakan fungsi tersebut menyebabkan terjadinya ketidakberdayaan. Berbagai masalah perkawinan merupakan sumber stress yang dialami seseorang (Hawari, 2001). Kintono (2010) juga menyatakan bahwa pernikahan merupakan salah satu penyebab umum gangguan jiwa. Pertengkaran, ketidaksetiaan, kematian salah satu pasangan, dan perceraian merupakan sumber stres yang menyebabkan masalah kejiwaan. e.

Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan pada klien ketidakberdayaan mayoritas (75%) tidak bekerja. Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya proses terjadinya gangguan jiwa. Menurut Hawari (2001) masalah pekerjaan merupakan sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit. Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus kelolaan ini semakin membuat klien mengkritik diri, merasa tidak berguna atau tidak berharga dan tidak berdaya. Masalah yang ditemukan pada klien ketidakberdayaan terkait dengan pekerjaan adalah adanya perasaan tidak mampu, merasa diri bodoh, merasa tidak ada orang lain yang peduli, tidak memiliki ketrampilan, serta kurangnya lapangan pekerjaan. Masih sejalan dengan yang diungkapkan Tarwoto dan Wartonah (2003) bahwa status pekerjaan akan mempengaruhi timbulnya stres. Status pekerjaan terkait dengan status ekonomi seseorang, orang dengan status ekonomi yang kuat akan jauh lebih sukar mengalami stres dibanding mereka yang status ekonominya lemah. Masalah ekonomi yang tidak sehat seperti tidak adanya pekerjaan, hutang, kebangkrutan, pendapatan lebih kecil daripada pengeluaran akan berpengaruh besar terhadap kesehatan jiwa seseorang (Hidayat, 2005). Masalah tersebut bila Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

130

tidak diatasi maka akan menjadi faktor risiko terjadinya depresi dan skizofrenia. Salah satu diagnosis keperawatan pada klien depresi adalah ketidakberdayaan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kondisi kehidupan yang dijalani meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya pemenuhan perawatan untuk anggota keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan sehingga berusaha menarik diri dari lingkungan. Stres kehidupan dalam kelompok sosial ekonomi rendah cukup sering mencetuskan terjadinya gangguan jiwa pada masyarakat. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk menyediakan sumbersumber ekonomi yang memadai dan mengalokasikan sumber-sumber tersebut secara efektif (Friedman, dkk, 1998). Adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan mengganggu kondisi ekonomi keluarga karena klien menjadi tidak produktif dan anggota keluarga yang harus merawat klien juga kehilangan waktu produktifnya. f.

Lama dirawat

Lama dirawat merupakan bagian dari aspek biologis faktor predisposisi dan presipitasi gangguan jiwa. Pada klien kelolaan teridentifikasi bahwa sebagian besar klien (70%) dirawat selama 8 – 15 hari. Stuart (2009) menyatakan bahwa waktu atau lamanya terpapar stresor, yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa kali kejadian (frekuensi) akan memberikan dampak adanya keterlambatan dalam mencapai kemampuan dan kemandirian. Keliat (2002) juga menyatakan semakin singkat klien sakit maka akan memberikan keuntungan bagi klien dan keluarga. Hal ini akan meminimalkan kemungkinan kemunduran fungsi sosial. Rata-rata waktu dirawat klien kelolaan relatif belum lama sehingga kemungkinan besar klien dapat mencapai kemampuan mengatasi masalah dan kemandirian khususnya dalam hal ini kemampuan menghadapi stresor yang menyebabkan ketidakberdayaan klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

131

5.1.2.2. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres (Stuart, 2009). Beberapa bagian faktor predisposisi telah dibahas secara terintegrasi dengan karakteristik klien. Faktor predisposisi yang paling menonjol berdasarkan hasil pengkajian pada 20 klien ketidakberdayaan dari segi biologis adalah biologis penyakit kronis dan riwayat dirawat di rumah sakit, dari segi psikologis adalah kepribadian tertutup dan konsep diri negatip, dari segi sosial kultural adalah jarang bersosialisasi, tidak bekerja dan tidak taat beragama. Predisposisi biologis yang utama adalah penyakit kronis. Suatu penyakit dianggap sebagai penyakit kronis bila gangguan berlangsung lebih dari 3 bulan. Kondisi penyakit apapun itu jika memiliki durasi yang lama disebut sebagai penyakit kronis. Dampak dari penyakit kronis adalah impairment atau kerusakan yang permanen atau statis terjadi sebagai akibat dari suatu penyakit, kondisi,

cedera, atau malformasi

kongenital. Penyakit kronis dapat

mengakibatkan penurunan atau bahkan menghilangnya kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi, terutama fungsi sistem muskuloskeletal serta organ - organ penginderaan. Penurunan atau menghilangnya kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi tubuh yang tidak diimbangi dengan keyakinan adanya makna / hikmah positif di balik itu akan menyebabkan seseorang mengalami masalah psikososial terutama kecemasan dan ketidakberdayaan. Stuart (2009) yang menyatakan bahwa kondisi kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap ansietas yang dialami oleh seseorang. Predisposisi psikologis yang paling menonjol adalah kepribadian yang tertutup (introvert). Seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri dari hubungan dengan orang lain menyebabkan tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Kepribadian yang tertutup dapat disebabkan karena kegagalan dari tugas perkembangannya. Menurut Erikson (2000, dalam Keliat, 2006) untuk mengembangkan hubungan positif setiap orang harus dapat melalui delapan tugas perkembangan (development task) Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

132

sesuai dengan proses perkembangan usia. Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percayz ba diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, tidak mampu merumuskan dan mengungkapkan keinginan, dan merasa tertekan. Predisposisi yang terakhir adalah tidak taatnya beragama. Klien memiliki kebutuhan secara holistik, faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang juga bersifat holistik karena seluruh aspek dalam diri seseorang saling berkaitan dan mempengaruhi.

Gangguan

pada

aspek

fisik

dan

psikososial

akan

mempengaruhi kehidupan spiritual seseorang termasuk ketaatan menjalankan agamanya (Youdha, 2012). Seseorang yang memiliki masalah psikososial akan memperlihatkan kecenderungan untuk mengalami perubahan interes akan agama dan bermoral baik, tetapi keterbatasan fisik juga dapat mengakibatkan kegiatan keagamaannya menjadi terhambat dan menyebabkan perasan bersalah / berdosa. 5.1.2.3. Faktor Presipitasi Pengkajian terhadap faktor presipitasi yang penulis lakukan meliputi sifat stresor, asal stresor, waktu dan jumlah stressor. Sifat stressor pada klien yang penulis dapatkan terdiri atas presifitasi biologis, psikologis dan sosial kultural. Faktor presipitasi yang paling menonjol berdasarkan hasil pengkajian pada 20 klien ketidakberdayaan dari segi biologis adalah penyakit fisik dan kelemahan fisik, dari segi psikologis adalah perawatan di rumah sakit dan konsep diri negatif, dari segi sosial kultural adalah masalah ekonomi dan berhenti bekerja. Presipitasi dari segi biologi yang tertinggi adalah kondisi fisik. Kondisi fisik seseorang secara integral berkaitan dengan kondisi psikososial dan rohaninya. Manusia adalah satu kesatuan, apa yang terjadi dengan kondisi fisik manusia akan mempengaruhi pula kondisi psikososial dan rohaninya. Penyakit fisik yang dialami seseorang tidak hanya menyerang manusia secara fisik saja tetapi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

133

juga dapat membawa masalah-masalah bagi kondisi psikososial dan rohaninya (Youdha, 2012). Selain kondisi fisik, hospitalisasi (perawatan di rumah sakit) juga menjadi presipitasi dari aspek psikologi karena perawatan di rumah sakit menyebabkan ketidakberdayaan, dan ketidakberdayaan pada klien maupun keluarga. Penyebab dari ketidakberdayaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru

maupun

keluarga

yang

mendampinginya

selama

perawatan.

Ketidakberdayaan pada klien terjadi karena meraka harus pasrah terhadap prosedur yang menyakitkan, kehilangan kebebasan, menghadapi berbagai intervensi yang tidak dipahaminya. Ketidakberdayaan pada keluarga sering terjadi berkaitan dengan perkembangan kliennya, pengobatan, peraturan dan keadaan di rumah sakit, serta biaya perawatan. Masalah akan terus berlanjut apabila segala upaya yang dilakukan untuk mengatasi ketidakberdayaan tersebut mengalami kegagalan dan mengakibatkan ketidakberdayaan. Presipitasi dari aspek psikologi berikutnya adalah konsep diri yang negatif. Klien dengan konsep diri negatip selalu mengkritik diri, merasa tidak mampu, merasa

segala

upaya

akan

sia-sia,

menunjukkan

klien

mengalami

ketidakberdayaan. Penyakit yang berulang mengakibatkan klien merasa tidak berdaya. Faktor presipitasi dari aspek sosial kultural adalah sosial ekonomi yang rendah dan berhenti bekerja. Berhenti bekerja dan tingkat sosial ekonomi memberikan dampak yang timbale balik. Klien yang tidak memiliki pekerjaan dan dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang akan berpengaruh terhadap stresor yang mereka hadapi yaitu beban di dalam keluarga. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Vega, et al. (1999, dalam Stuart, 2009) bahwa individu dengan status ekonomi rendah akan rentan terhadap masalah kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakmampuan membayar biaya rumah sakit yang dianggap mahal menjadi salah satu faktor pencetus masalah ansietas pada klien yang dirawat di rumah sakit dan menyebabkan ketidakberdayaan. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

134

Tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa termasuk masalah psikososial (Townsend, 2009). Seseorang yang memiliki kemampuan secara ekonomi rendah berpengaruh terhadap kondisi kehidupan yang dijalani meliputi nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya pemenuhan perawatan untuk anggota keluarga, putus asa, dan perasaan tidak berdaya untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan. Analisa lebih lanjut kondisi pendidikan rendah dan sosial ekonomi rendah saling memperburuk keadaan klien karena kebodohan, kemiskinan, dan gangguan jiwa bagaikan lingkaran setan. Kondisi sosial ekonomi rendah ditambah dengan stres psikologis menyebabkan ketidakberdayaan dan persepsi diri yang buruk serta mengalami keterbatasan sumber koping terhadap situasi yang dihadapi. Stresor pada klien ketidakberdayaan berasal dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara biologis dan psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart (2009) pada Model Stres Adaptasi Stuart bahwa stresor dapat berasal dari internal maupun eksternal. Stresor internal pada klien ketidakberdayaan yang tertinggi adalah penyakit fisik, konsep diri negatif dan berghenti bekerja. Stresor ekternal yang tertinggi adalah

tindakan medis,

perawatan di rumah sakit dan beban keluarga. Lama stresor rata-rata kurang dari satu tahun dan seetiap klien memiliki lebih dari satu stresor. Menurut Stuart dan Laraia (2005) jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu. Setiap stresor atau masalah membutuhkan koping masing-masing sehingga semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu tersebut makin dituntut untuk memiliki koping yang adekuat yang dapat mengatasi stresornya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

135

5.1.2.4. Penilaian Terhadap Stresor Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Penilaian terhadap stresor yang ditemukan berdasarkan hasil pengkajian pada klien dengan ketidakberdayaan dimanifestasikan dalam bentuk respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, perilaku dan respon sosial. Respon kognitif yang paling tinggi pada klien kelolaan adalah mengalami kebingungan dan sulit konsentrasi. Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stres, memilih koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial seseorang (Stuart, 2009). Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu dengan lingkungannya terhadap suatu stresor. Pada klien ketidakberdayaan kegagalankegagalan yang dialaminya yang tidak sesuai dengan harapan dan ideal diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan menyebabkan klien tidak mampu lagi berfikir secara tenang dan rasional, semakin sulit berkonsentrasi, tidak mampu dan mengalambil keputusan. Penilaian terhadap stresor dalam bentuk respon afektif menunjukkan bahwa sebagian besar klien (75%) merasa khawatir, sedih, dan takut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Stuart (2009) yang menjelaskan bahwa pada respon afektif terkait erat dengan respon emosi dalam menghadapi masalah berupa perasaan sedih, gembira, takut, tidak menerima, tidak percaya, dan menolak hubungan dengan orang lain. Penilaian afektif sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Rasa sedih, khawatir dan takut disebabkan karena merasa tidak mampu lagi menghadapi masalah yang terjadi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

136

Respon fisiologis yang ditemukan pada klien ketidakberdayaan yang menjadi kelolaan adalah nafsu makan menurun, gangguan pola tidur kelemahan / kelelahan. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data bahwa klien dengan masalah ketidakberdayaan motivasi dan aktivitas sehari-hari menurun. Ketika seseorang mengalami stres, korteks serebri

lobus parietal akan menerima

impuls dan berespon untuk menafsirkan dan menterjemahkan perubahan yang terjadi. Korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian menstimuli syaraf simpatis untuk melakukan perubahan. Sinyal dari hipotalamus ditangkap oleh sistem limbik salah satu bagian pentingnya adalah amigdala yang bertanggung jawab terhadap status emosional, menyebabkan perubahan emosi pada seseorang. Gangguan pada sistem limbik menyebabkan hambatan emosional, perubahan perilaku dan kepribadian. Kerusakan pada hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang aktivitas dan malas melakukan sesuatu (Kaplan et al, 2007). Hambatan emosi pada klien dengan ketidakberdayaan, kadang berubah sedih/ murung, dan terus merasa tidak berguna atau merasa gagal terus menerus. Perasaan ini menyebabkan klien tidak nafsu makan, perubahan pola tidur dan kelemahan / kelelahan.

Pada klien ketidakberdayaan perilaku yang ditampilkan yakni penurunan motivasi disebabkan karena klien pikiran dan persepsi klien terfokus pada diri sendiri dan khusunya pada klien dengan depresi selain mengalami kehilangan minat dan kegembiraan juga berkurangnya energi yang meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2001). Adanya perasaan tidak mampu yang dialami secara berulang dalam menghadasi stresornya sehingga individu menilai dirinya gagal dan tidak berguna serta memiliki keyakinan tidak

ada

lagi

upaya

yang

dapat

dilakukan

menyebabkan

klien

ketidakberdayaan yang penulis kelola sangat tergantung kepada orang lain. Respon sosial merupakan serangkaian hasil dari respon kognitif, afektif, fisiologis, dan perilaku yang ditunjukkan dalam berhubungan dengan orang Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

137

lain. Hasil pengkajian pada klien ketidakberdayaan teridentifikasi dua respon sosial yang negatif, yaitu jarang bersosialisasi dan partisipasi sosial yang kurang. Individu yang memandang masalahnya sebagai

akibat dari

kelalaiannya. Kelalaian yang dilakukan karena klien tidak dapat melakukan respon koping yang adaptif sehingga mungkin individu akan lebih menyalahkan diri sendiri, bersikap pasif, dan menarik diri (Stuart, 2009). Koping klien ketidakberdayaan yang penulis kelola pada umumnya menggunakan respon sosial berupa hubungan yang buruk dengan orang lain, menghindari interaksi, jarang bersosialisasi dan partisipasi social yang kurang. 5.1.2.5. Sumber Koping Sumber koping terdiri dari kemampuan personal, dukungan sosial, aset materi / pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh pasien. Kemampuan personal klien yang dikelola hampir seluruhnya belum memiliki kemampuan cara mengatasi ketidakberdayaan. Kemampuan personal yang harus dimiliki klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa kemampuan yang harus dimiliki klien dalam mengatasi masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah,

menentukan

masalah

yang

akan

diatasi,

dan

kemampuan

menyelesaikan masalahnya. Dukungan sosial utama yang diperlukan oleh pasien psikososial adalah dari keluarga (Hamera et al, 1998 dalam Stuart, 2009). Keluarga bisa merupakan sumber dukungan utama untuk kesembuhan klien, karena pasien lebih sering kontak dengan keluarga. Keluarga sebagai sumber social support bagi klien sebagian

besar

tidak

memiliki

kemampuan

dalam

merawat

klien

ketidakberdayaan. Menurut Friedman (1998), salah satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Anggota keluarga sebagai orang terdekat dan selalu berdampingan dengan klien idealnya memiliki kemampuan dalam merawat klien (caregiver) secara optimal.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

138

Sebagian besar klien tidak mendapatkan support dari kelompok dengan masalah yang sama dan masyarakat di wilayah tempat tinggalnya. Kader kesehatan jiwa merupakan sumber daya masyarakat yang potensial dan diharapkan mampu berpartisipasi dalam perawatan klien gangguan jiwa di masyarakat (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kader kesehatan jiwa merupakan sumber dukungan sosial bagi klien di komunitas. Menurut Taylor, dkk (2003) dukungan sosial sangat membantu seseorang dalam meningkatkan pemahaman terhadap stresor sehingga mampu mencapai ketrampilan koping yang efektif. Klien yang penulis kelola sebagian besar tidak mendapat dukungan dari kelompok maupun keluarga karena tidak ada kelompok klien yang memiliki masalah yang sama dan kader kesehatan belum mendapatkan latihan tentang penanganan masalah psikososial khususnya ketidakberdayaan. Tetangga dan masyarakat di sekitar klien memberikan dukungan tetapi tidak ada yang memiliki kemampuan merawat klien masalah fisik dan psikososial klien. Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material aset dan sumber pelayanan kesehatan merupakan salah satu sumber koping (Stuart, 2009). Pada klien kelolaan

sebagian

besar

biaya

perawatan

di

tanggung

oleh

Jamkesmas/Jamkesda/SKTM serta sebagian besar bertempat tinggal terjangkau pelayanan kesehatan baik Puskesmas masupun rumah sakit. Seseorang yang memiliki material asset memungkinkan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sebagai solusi terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi. Sebagian besar klien memiliki keyakinan positif terhadap kondisi penyakitnya. Keyakinan

positif

diperlukan

meningkatkan

motivasi

klien

dalam

menyelesaiakan stresor yang dihadapi. Pada pengkajian teridentifikasi bahwa klien sebenarnya memiliki keinginan besar untuk hidup lebih baik, dan merasa optimis dengan bantuan perawat serta dukungan keluarga an mampu mengatasi masalahnya. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

139

5.1.2.6. Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk menannggulangi stres yang dihadapinya (Stuart, 2009). Mekanisme koping dibagi menjadi tiga (Stuart, 2009) yaitu : Koping yang berpusat pada masalah (problem focused coping mechanism) misalnya : konfrontasi (mengubah keadaan secara agresif), isolasi (tidak mau tahu masalah yang dihadapi), kompromi (usaha mengubah keadaan secara hati-hati, bekerja sama dengan orang lain, mengurangi keinginan / memilih jalan tengah). Koping yang berpusat pada kognitif ( cognitively focused coping mechanisms) seseorang berusaha mengontrol masalah dan menyelesaikannya, misalnya : perbandingan yang positif, penggantian penghargaan, devaluasi dari keinginan. Koping yang berpusat pada emosi ( emotion focused coping mechanisms) merupakan upaya pembatasan / menghilangkan / tolerasi stress secara subjektif, misalnya : denial, rasionalisasi, kompensasi, represi, sublimasi, identifikasi, regresi, proyeksi, konversi atau displacement. Mekanisme koping pada klien ketidakberdayaan yang penulis kaji, dibagi dua yaitu mekanisme koping adaptif (suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor / tekanan yang bersifat positif, rasional dan kosntruktif yaitu : menjalankan terapi medis, berdoa/beribadah dan bercerita kepada orang lain (problem focused coping mechanism : kompromi). Koping yang maladaptif (suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor / tekanan yang bersifat negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas) yaitu : tidak melakukan apapun / memndam masalah dan ketergantungan pada orang lain ( emotion focused coping mechanisms : represi).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

140

5.1.3. Diagnosis Keperawatan Penetapan diagnosis keperawatan dilakukan berdasarkan pada analisa data yang diperoleh dari pengkajian secara holistik. Analisa dan sintesa dilakukan dengan mengacu pada penilaian terhadap stresor model adaptasi stress (Stuart, 2009). Diagnosis yang dihasilkan dapat bersifat diagnosis fisik maupun psikososial. Hasil manajemen kasus spesialis menunjukkan bahwa diagnosa keperawatan ketidakberdayaan dialami oleh seluruh klien yang dikelaola. Berdasarkan teori hubungan interpersonal Peplau, masalah ketidakberdayaan timbul akibat pengalaman negatif dalam mengatasi masalah, ketidakjelasan atau kelebihan peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai tingkat kesehatan yang diharapkan, krisis identitas atau kurang kemampuan melaksanakan peran.

Diagnosa keperawatan yang terbanyak menyertai diagnosa ketidakberdayaan pada klien yang penulis kelola adalah ansietas dan koping keluarga inefektif. Ansietas menyertai diagnosis ketidakberdayaan karena didapatkan data : segi kognitif : konfusi, kesulitan berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah, gangguan perhatian, khawatir dan melamun ; dari segi afektif : gelisah, kesedihan yang mendalam, ketakutan, peningkatan kewaspadaan, perasaan tidak adequat ; dari segi fisiologis : wajah tegang, suara gemetar, anoreksia, perubahan tanda vital, lemah, mual, gangguan tidur ; dari segi perilaku : produktifitas menurun, kekhawatiran terhadap perubahan dalam peristiwa hidup, gelisah, kontak mata kurang, gugup, peningkatan rasa ketidakberdayaan yang persisten, bingung dan tidak percaya diri. Koping keluarga inefektif menyertai diagnosis ketidakberdayaan karena didapatkan data : perubahan dalam pola komunikasi yang biasa, tidak mampu minta bantuan orang lain, kesulitan menerima informasi, letih, ketidakmampuan memenuhi

kebutuhan

dasar,

kesulitan

berkonsentrasi,

tidak

mampu

memecahkan masalah, perilaku tidak focus untuk mencapai tujuan, gangguan tidur, mengungkapkan tidak mampu mengatasi masalah. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

141

5.1.4. Fase Eksploitasi Klien Ketidakberdayaan dengan Menggunakan Pendekatan Teori Hubungan Interpersonal Hildegard E. Peplau. Menurut Peplau keperawatan adalah terapeutik karena keperawatan itu merupakan seni dalam menyembuhkan, memberi bantuan pada individu yang sakit atau membutuhkan perawatan (George, 2009). Berdasarkan konsep yang dinyatakan oleh Peplau tersebut, jelas bahwa asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat harus berdasarkan pada konsep hubungan interpersonal. Aplikasi hubungan ini secara operasional di tatanan klinik berbentuk sebagai komunikasi terapeutik. Manajemen kasus pada klien ketidakberdayaan dilaksanakan dengan menggunakan asuhan keperawatan yang diberikan melalui proses keperawatan. Proses keperawatan merupakan landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew & Boyle, 1995). Proses keperawatan yang dilaksanakan terdiri atas pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, dan melakukan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan. Tahapan proses keperawatan identik dengan tahapan interaksi menurut model hubungan interpersonal Peplau. Pendekatan Peplau sangat tepat keperawatan

yang

terdiri

dari

pengkajian

(orientasi),

dalam proses perencanaan

(identifikasi), implementasi (eksploitasi) dan evaluasi (resolusi). Begitu juga dengan tahapan komunikasi terapeutik yang digunakan dalam terapi kognitif yaitu: orientasi, kerja dan terminasi. Pengkajian terhadap masalah klien dalam manajemen kasus ini dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai kondisi klien secara biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pengkajian secara detail menggunakan pendekatan Model Stres Adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, serta mekanisme koping (Stuart, 2009). Tahap Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

142

pengkajian identik dengan dengan tahap Orientasi menurut Peplau. Pada tahap orientasi klien dan perawat dapat bersama-sama sebagai orang asing, pertemuan dimulai dengan klien yang mengemukakan keluhannya, bekerja sama untuk saling mengenal, memahami dan mendefinisikan hubungan yang dibentuk untuk dapat memenuhi

kebutuhan. (catatan : data selalu

dikumpulkan). Berdasarkan hasil pengkajian pada pelaksanaan manajemen kasus pada Karya Ilmiah Akhir ini maka teridentifikasi masalah dan kebutuhan pelayanan keperawatan jiwa di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta. Selanjutnya perawat bersama-sama klien dan keluarga menetapkan masalah yang dihadapi klien, menentukan tujuan yang akan dicapai, mengidentifikasi cara atau rencana kegiatan atau tahap intervensi. Tahap perencanaan identik dengan tahap identifikasi pada teori model menurut Peplau yaitu menentukan tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan bersama klien. Klien merasakan keluhannya dan memberikan tanggapan secara selektif yang dapat memenuhi kebutuhannya. Intervensi keperawatan yang disusun didasarkan pada penilaian stresor dan sumber koping yang dimiliki klien. Dua intervensi utama yang diberikan meliputi intervensi generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis difokuskan pada kemampuan dasar klien dalam menghadapi stresor. Intervensi spesialis disusun untuk memenuhi kebutuhan kemampuan advance yang harus dimiliki oleh seorang individu. Seluruh intervensi disusun berdasarkan pada sumber koping yang dimiliki oleh klien. Jika sumber koping yang dimiliki oleh klien telah positif maka rencana kegiatan yang dilakukan adalah melakukan sustainability kemampuan klien. Tahap pelaksanaan untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan dalam karya ilmiah ini dengan memberikan intervensi generalis dan spesialis berupa terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Intervensi generalis terhadap Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

143

klien ketidakberdayaan dilakukan oleh penulis dan perawat ruangan setelah dilakukan pelatihan dan pendampingan intervensi masalah psikososial. Intervensi generalis pada

klien ketidakberdayaan meliputi : asesmen

ketidakberdayaan dan latihan berfikir positif : membantu klien menguraikan perasaannya, mengungkapkan penyebab, perilaku akibat ketidakberdayaan, masalah yang dihadapi, pikiran negatif, identifikasi persepsi yang tidak tepat/tidak rasional, meningkatkan pemikiran positif dengan afirmasi positif. Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan : bantu mengidentifikasi situasi yang tidak dapat dikontrolnya, mendukung kekuatan yang masih dimiliki klien, Terapi spesialis pertama yang penulis lakukan adalah logo terapi. Logoterapi menurut (Frankl, 2004) berasal dari kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat klien menyadari secara tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab. Logoterapi tidak menggurui

atau

berkotbah melainkan klien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya sendiri. Sesi pertama terapi logo adalah membina hubungan saling percaya Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara terapis dan klien. Selain itu sesi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang muncul akibat respon ketidakberdayaan. Pada tahap ini terapis menanyakan perasaan klien, menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi. Terapi mengidentifikasi masalah yang muncul dan respon ketidakberdayaan yang dirasakan. Sesi ini dilakukan bercama-sama dengan sesi dua. Seluruh klien yang menjadi kelolaan melaksanakan terapi sesi pertama. Tahap satu terapi logo identik dengan tahap identifikasi orientasi, perawat dan klien sebagai orang asing dan mulai saling mengenal. Penulis berupaya Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

144

memperlakukan klien dengan sopan, tidak memberikan penilaian dan menerima klien apa adanya. Sesi dua penulis mengidentifikasi reaksi dan respon klien terhadap masalah. Pada sesi kedua ini, klien diminta untuk mengungkapkan reaksi atau respon ketidakberdayaan yang dialami oleh klien. Adapun respon tersebut meliputi respon emosional, respon perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatan. Terapis menanyakan kepada klien cara yang dilakukan

untuk mengatasi masalah tersebut,

bagaimana hasilnya serta mengidentifikasi masalah yang belum teratasi. Tahap dua ini sama dengan tahap dua menurut Peplau yaitu tahap identifikasi, penulis mulai dikenal oleh klien, klien lebih terbuka mengungkapkan perasaan dan respon terhadap ketidakberdayaan. Pada saat ini perawat berperan sebagai nara sumber yang siap menerima pertanyaan klien. Tahap dua diikuti oleh seluruh klien kelolaan : 20 orang. Hasil yang didapat sebagian besar klien mampu mengungkapkan respon yang yang terjadi baik respon emosional, maupun respon perilaku. Sesi tiga yaitu teknik medical ministry. Tahap ini identik dengan tahap eksploitasi model hubungan interpersonal Peplau. Pada fase inilah penulis berperan sebagai pendidik, narasumber, pemimpin pengganti dan juga peran sabagai penasehat. Penulis berperan sebagai pendidik untuk

mengajarkan

tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah bila munculnya perasaan tidak berdaya dalam menghadapi penyakitnya. Peran perawat sebagai narasumber yang memberikan informasi kepada klien tentang penyakit yang dihadapi klien, pengobatan, tindakan keperawatan yang dilakukan termasuk dampak psikososial yang muncul yang menyebabkan ketidakberdayaan dan cara mengatasinya. Pada sesi ketiga ini penulis membantu klien merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

145

dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaan waktu lalu, bagaimanakah cara mengatasinya, bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. Upaya ini akan membuat klien menjadi lebih percaya diri karena klien mengingat kembali bahwa dirinya pernah mengalami masalah sebelumnya dan berhasil mengatasinya, disamping itu klien juga menyadari ada hikmah / pelajaran yang dapat diambil dari kejadian tersebut. Selain itu klien juga diminta untuk menghubungi klien lain yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan

hikmah apa

yang diperolehnya

dari

peristiwa

itu selanjutnya

membandingkan dengan keadaan sekarang. Hal ini akan membuka wawasan klien bahwa seberat apapu masalah yang dihadapi pasti ada jalan keluarnya dan terkandung banyak hikmah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam mengatasi masalah. Sesi empat adalah Evaluasi. Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry, menemukan makna hidup yang klien dapatkan dan mampu menerima perpisahan. Terapis mendiskusikan bersama klien yang sudah dan belum teratasi. Fase ini identik dengan fase resolusi menurut Peplau. Tahap ini hanya diikuti oleh Sembilan orang klien karena sebelas klien pulang sebelum terapi ini dilaksanakan tuntas , tetapi klien sudah memiliki kemampuan mengambil makna / hikmah dari kejadian yang dialami serta klien memiliki motivasi yang meningkat untuk menghadapi dan mengatasi masalahnya. Terapi kognitif adalah suatu bentuk, tindakan kolaborasi terapis dan klien yang berfokus pada masalah psikologis dengan menggunakan tehnik spesifik untuk meningkatkan kesejahteraan emosi dan fungsi secara keseluruhan dari seseorang (Sanderson, 2002). Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, dan membantu mengendalikan diri (Burns, 1988). sedangkan Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

146

menurut Copel (2007) terapi kognitif bertujuan untuk membantu klien mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal. Berdasarkan uraian di atas, klien ketidakberdayaan sangat tepat dilakukan terapi kognitif karena klien memiliki pemikiran negatip yang tidak realistik yang harus diubah sehingga klien memiliki keyakinan diri yang positif. Pelaksanaan

terapi

kognitif

menggunakan

pedoman

yang

disepakati

berdasarkan Workshop Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia tahun 2011. Pedoman terapi kognitif ini telah teruji melalui beberapa riset yang menunjukkan hasil keefektifan terapi kognitif pada klien

harga

diri

rendah

yang

dapat

berakibat

ketidakberdayaan.

(Rahayuningsih, 2007; Sasmita, 2007; Kristyaningsih, 2009; Prasetya, 2010). Terapi kognitif terdiri dari empat sesi pertemuan. Pada sesi satu perawat dan klien secara bersama-sama mengidentifikasi pikiran otomatis negatif klien dan alasan timbulnya pikiran tersebut. pada sesi dua berfokus pada mengidentifikasi tanggapan rasional dan problem solving serta sesi tiga tentang manfaat tanggapan rasional dan ungkapan hasil latihan. Pada sesi-sesi terapi kognitif ini perawat hanya berperan sebagai fasilitator yang membantu klien memberikan alternatif-alternatif penyelesaian masalahnya. Klien dalam hal ini melakukan pengambilan keputusan terhadap pilihan perawatan atau penyelesaian masalah yang dihadapi. Peran perawat dan klien pada pelaksanaan terapi kognitif di atas sesuai dengan konsep Peplau pada fase eksploitasi ini perawat berperan sebagai wali dan penasihat. individu mempunyai hak untuk mengetahui tentang dirinya dan berpartisipasi

dalam

membuat

keputusan

terkait

dengan

hidupnya,

kesehatannya, klien berhak untuk menerima ataupun menolak pelayanan kesehatan. Proses pelaksanaan terapi kognitif tidak ada unsur pemaksaan kehendak perawat kepada klien, perawat merupakan fasilitator. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

147

Pada sesi satu terapi kognitif ditemukan pikiran otomatis negatif pada klien berupa penilaian diri sebagai orang yang tidak berguna, tidak berharga, gagal dalam hidup, tidak ada orang yang peduli dengan klien, klien merasa tidak memiliki kemampuan apapun, ragu-ragu, serta malu dengan kondisi diri. Temuan ini sesuai dengan yang telah diungkapkan NANDA (2011); Townsend (2009); dan Stuart (2009) bahwa pada klien ketidakberdayaan ditemukan perasaan dan penilaian diri tidak mampu mengendalikan keadaan yang dihadapinya. Pada sesi dua yaitu mengidentifikasi tanggapan rasional dai pikiran negatip yang muncul, klien rata harus dituntun untuk menemukan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang dimilikinya. Kondisi klien memiliki pendidikan rendah. Latar belakang pendidikan seseorang mempengaruhi kemampuan dalam merespon atau mempersepsikan stresor yang dihadapi. Kopelowicz (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki. Pendidikan sebagai sumber koping berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi seseorang. Pelaksanaan terapi kognitif pada klien ini lebih banyak melibatkan keluarga karena keluarga selama 24 jam mendampingi klien sehingga keluarga dapat memotivasi dan mendampingi klien dalam latihan mandiri. Keluarga membantu klien untuk mengidentifikasi pikran rasional terkait dengan pencapaian kemampuan positif yang pernag dialami klien. Selain itu penulis berusaha untuk lebih menunjukkan sikap empati terhadap masalah yang dihadapi

klien.

Penulis

juga

menerapkan

prinsip-prinsip

hubungan

interpersonal menurut Peplau yang terapetik.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

148

Pada sesi tiga yaitu manfaat tanggapan, ungkapkan hasil dan membuat buku harian pada seluruh klien mampu mengikuti latihan dengan baik. Seluruh klien menyatakan mendapatkan manfaat terhadap latihan yang dilakukan dan klien mampu mengungkapkannnya. Sebagian besar klien mampu menggunakan buku harian dengan baik. Sesi ke-empat merupakan support system yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi perawat dengan klien, klien mendapat support system, dan keluarga dapat menjadi support system bagi klien. Terapi kognitif sesi empat dilaksanakan dengan melibatkan keluarga sebagai care giver utama klien. Care giver utama diberikan penjelasan dan teknik terapi kognitif secara singkat sehingga diharapkan mampu mendampingi atau mengontrol klien dalam melakukan latihan secara mandiri. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip terapi kognitif yang disampaikan Townsend (2009) bahwa terapi kognitif merupakan suatu pendekatan terapi yang bersifat edukatif dengan tujuan mengajarkan klien untuk dapat menolong dirinya sendiri. Hasil akhir pelaksanaan terapi kognitif pada klien ketidakberdayaan dengan pendekatan teori Peplau menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan klien dalam melawan pikiran otomatis negatif secara membudaya pada seluruh klien dan kemampuan memanfaatkan system pendukung pada 45% klien. Kemampuan klien ini berdampak pada kemampuan klien dalam menerima kondisi diri (aspek positif dan negatif yang dimiliki) yang menunjukkan penurunan ketidakberdayaan klien. Menurut Stuart dan Laraia (2005); Townsend (2009); Copel (2007); dan Beck et al (1987 dalam Townsend, 2009) terapi kognitif difokuskan untuk mengenal pikiran-pikiran otomatis negatif, mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan (anggapan) yang tidak logis, penalaran salah, mengembangkan pola pikir yang rasional, dan mengatasi kelainan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara menggantikannya dengan pikiranUniversitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

149

pikiran yang lebih realistis. Dengan demikian hasil yang dicapai pada klien sesuai dengan rumusan beberapa pakar tentang tujuan dan fokus terapi kognitif. Hasil akhir juga menunjukkan adanya peningkatan keberdayaan klien setelah diberikan intervensi keperawatan generalis serta terapi kognitif. Hal ini tampak dari adanya perubahan penilaian klien terhadap stresor baik berupa respon kognitif, fisiologis, afektif, perilaku, maupun sosial. Terapi kognitif memberikan pengaruh yang besar terutama pada respon kognitif dan respon perilaku, walaupun selanjutnya berpengaruh juga pada respon-respon yang lainnya. Terapi spesialis psikoedukasi keluarga yang dirancang berdasarkan sumber koping yang dimiliki oleh klien pada faktor dukungan sosial. Indikasi pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini adalah keterbatasan dukungan keluarga yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga khususnya care giver dalam menghadapi stresor. Terapi psikoedukasi keluarga pada manajemen kasus diberikan pada seluruh care giver. Dampak dari pemberian terapi psikoedukasi ini adalah meningkatnya kemampuan care giver dan anggota keluarga lainnya dalam membentuk koping yang adaptif dalam merawat klien ketidakberdayaan karena terapi ini mengoptimalkan fungsi keluarga sebagai suatu sistem keseluruhan yang fungsional dalam memberi dukungan terhadap care giver dalam mengurangi beban keluarga (fisik, mental dan finansial) dalam merawat klien ketidakberdayaan. Tujuan lain dari program ini secara tidak langsung adalah menjadikan care giver sebagai sumber pendukung klien dalam mengatasi ketidakberdayaannya. Setiap keluarga (care giver) selalu berupaya memberikan perawatan yang terbaik bagi usia lanjutnya. Namun hal ini tidak selalu memberikan dampak yang positif bagi kedua belah pihak. Hal ini terkait beberapa faktor yang mempengaruhi

baik

kondisi

klien

dengan

masalah

psikososial

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

150

ketidakberdayaan akibat penurunan fungsi tubuhnya dan kurang pengetahuan keluarga (care giver) dalam merawat klien. Dengan pemberian terapi Psikoedukasi Keluarga dapat meningkatkan pengetahuan keluarga baik care giver maupun anggota keluarga lainnya. Care giver dan anggota keluarga lainnya dapat merupakan suatu sistem keluarga yang utuh berupaya memenuhi seluruh kebutuhan perawatan diri klien ketidakberdayaan. Dengan terapi Psikoedukasi Keluarga, care giver dan anggota keluarga merupakan suatu sistem yang kondusif dalam merawat klien ketidakberdayaan sehingga dapat meningkatkan kesehatan jiwa dan kesejahteraan. 5.1.5. Fase resolusi Klien Ketidakberdayaan Fase resolusi menurut Peplau identik dengan fase evaluasi. Fase ini merupakan fase mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini penulis mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun. Evaluasi sangat penting dilakukan untuk menentukan keberhasilan dari intervensi yang telah dilakukan baik intervensi generalis maupun spesialis dan menentukan rencana tindak lanjut yang harus dilakukan oleh perawat di ruangan mapun oleh klien dan keluarga / care giver setelah mendapatkan terapi. Tahapan proses interpersonal yang dikembangkan Peplau dalan empat fase dinilai sangat relevan dengan manajemen kasus pada klien ketidakberdayaan. Teori Peplau yang berfokus pada interpersonal relationship ini sangat sesuai bagi intervensi pada klien dengan ketidakberdayaan dalam mengaplikasikan terapi-terapi spesialis seperti logoterapi, kognitif terapi dan psikoedukasi keluarga yang sangat membutuhkan hubungan yang trust dari klien kepada perawat sehingga klien bersedia mengungkapkan kebutuhan dan masalah yang Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

151

dihadapi, pengalaman-pengalaman traumatik dan mengecewakan, termasuk harapan-harapan yang mungkin dirasakan klien belum tercapai yang mengakibatkan merasa tidak berdaya, perasaan tidak berharga, kesedihan, keputusasaan. Proses interpersonal menjadi dasar atas hubungan partisipasi antara perawat dan klien yang mana perintah perawat mempunyai tujuan dan merupakan suatu proses, serta intinya adalah mengontrol klien untuk dapat berhubungan sosial dengan rang lain terutama dalam keluarga klien. Fitzpatrick (1989) mengatakan : proses interpersonal merupakan gambaran secara operasional dalam menjelaskan empat fase yang berbeda yaitu orientasi, identifkasi, eksploitasi, dan resolusi

5.2. Manajemen Pelayanan consultant liaison mental health nursing (CLMHN) Keberhasilan pelaksanaan asuhan keperawatan tidak terlepas dari manajemen pelayanan keperawatan yang digunakan. Adanya keselarasan antara proses manajemen keperawatan dengan proses asuhan keperawatan diharapkan keduanya saling menopang dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang profesional. Manajemen pelayanan keperawatan jiwa dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan praktik keperawatan professional. Di rumah sakit umum dilakukan dengan pendekatan consultant liaison psychiatric nursing (CLPN) atau consultant liaison mental health nursing (CLMHN). Peran seorang CLMHN di area pelayanan umum adalah peran sebagai perawat klinik (manager kasus psikososial), perawat Manager (Manager Human Resources, Supervisor dan Suport), peran perawat riset (Evidence based) dan peran sebagai perawat pendidik (Tutor dan mentor). Pencapaian kemampuan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

152

seorang CLMHN dalam empat area peran tersebut dilatih melalui masa pendidikan magister dan spesialis. Dalam menjalankan perannya tersebut diatas, seorang CLMHN memerlukan beberapa ketrampilan khusus. Salah satunya adalah ketrampilan konsultasi. Keterampilan konsultasi dari seorang CLMHN, dibutuhkan dalam rangka pengkajian dan wawancara, khususnya dalam mengidentifikasi respons normal atau patologis terhadap penyakit fisik (Jackson, 1969; Stickney & Hall, 1981; Tunsmore, 1990). Disamping itu, pemberian konseling juga terkait dengan masalah psikososial dan pemberian psikoterapi. Keterampilan yang lain dari seorang CLMHN adalah untuk mengajarkan problem solving dalam mengatasi masalah kesehatan fisik, anxietas, gangguan citra tubuh, ketidakberdayaan dan masalah psikososial lainnya, sebagai akibat masalah kesehatan fisik (Jackson, 1969; Nelson & Schilke, 1976; Lipowski & Wolston, 1981; Tunsmore, 1990). Pernyataan diatas nampak jelas bahwa peran seorang CLMHN sangat dibutuhkan dipelayanan umum. Peran ini tidak hanya terbatas pada klien tetapi juga pada sumberdaya manusia yang ada pada intansi pelayanan umum tersebut. Kemampuan menjadi seorang konsultan merupakan kemampuan utama seorang CLMHN. Aplikasi CLMHN di rumah sakit umum meliputi empat pilar (sama dengan MPKP). Aspek pendekatan manajemen (management approach) sebagai pilar praktik profesional yang pertama diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang terdiri dari: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling). Selanjutnya pilar compensatory reward sebagai pilar kedua terkait dengan manajemen SDM yang meliputi rekruitmen, seleksi, orientasi, evaluasi / penilaian kinerja, dan pengembangan staf. Pada pilar ketiga yaitu professional relationship meliputi rapat tim kesehatan, rapat tim keperawatan, konferensi kasus, dan visite dokter. Pilar keempat yaitu

patient care delivery meliputi pemberian asuhan

keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

153

Salah satu peran CLMHN yang dilakukan oleh penulis yaitu sebagai manajer kasus

psikososial,

dalam

hal

ini

ketidakberdayaan.

Penatalaksanaan

ketidakberdayaan pada klien dilakukan dengan terapi keperawatan, melalui hubungan interpersonal perawat-klien dan dengan penggunaan diri perawat secara terapeutik (terapeutik use self) sesuai dengan konsep model yang kembangkan oleh Hildegard E. Peplau.

5.3. Keterbatasan/Kendala Proses pelaksanaan asuhan keperawatan klien ketidakberdayaan dengan menggunakan pendekatan teori Peplau di Ruang Cempaka Bawah dan Kardiologi RSUP Persahabatan Jakarta penulis menemukan beberapa kendala. Kendala ini terkait dengan manajemen asuhan keperawatan maupun manajemen pelayanan keperawatan jiwa. Berikut beberapa kendala tersebut : 5.3.2. Sistem

pelayanan

keperawatan

di

RSUP

Persahabatan

masih

memprioritaskan diagnosis fisik, asuhan keperawatan psikososial masih dianggap sebagai kegiatan asuhan keperawatan tambahan. 5.3.3. Perawat

ruangan

yang

melakukan

intervensi

generalis

masih

memerlukan pendampingan sehingga asuhan memerlukan waktu lebih lama. 5.3.4. Keterbatasan kemampuan klien dan keluarga dalam mengikuti terapi karena kelemahan fisik, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya kesadaran

pentingnya

mengatasi

masalah

ketidakberdayaan

memberikan konsekuensi bagi penulis untuk menyediakan waktu yang cukup dalam memberikan pengertian kepada klien agar pencapaian tujuan secara optimal sesuai kebutuhan klien. 5.3.5. Belum ada perawat yang memiliki kualifikasi Spesialis keperawatan jiwa sehingga kesinambungan asuhan

keperawatan spesialis masih

belum dapat dilaksanakan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

154

5.3.6. Evaluasi kemampuan klien ketidakberdayaan yang penulis lakukan terbatas dengan membandingkan kemampuan serta tanda dan gejala / respon

klien

sebelum

dan

sesudah

diberikan

terapi,

belum

menggunakan instrumen yang baku karena selama ini penulis belum mendapatkan

instrumen

pengukuran

ketidakberdayaan

yang

dikembangkan oleh peneliti sebelumnya. 5.3.7. Program pengembangan manajemen pelayanan CLMHN di RSUP Persahabatan masih belum berjalan, sehingga alur konsultasi untuk masalah psikososial belum ada.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa di RSUP Persahabatan. 6.1 Kesimpulan Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus dan pelayanan pada klien ketidakberdayaan yang diberikan terapi terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan pendekatan teori model hubungan interpersonal Peplau. Kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 6.1.1 Hasil

pengkajian

Persahabatan

karakteristik

mayoritas

berusia

klien

ketidakberdayaan

dewasa, jenis

di

kelamin

RSUP

laki-laki,

pendidikan rendah (SD dan tidak tamat SD), tidak bekerja, sudah menikah dan lama dirawat 8 – 15 hari. 6.1.2 Hasil pengkajian faktor predisposisi terjadinya ketidakberdayaan yang paling banyak ditemukan pada aspek biologis adalah penyakit kronis dan riwayat dirawat di rumah sakit, aspek sosial budaya yaitu jarang terlibat dalam kegiatan sosial tidak pernah bekerja dan tidak taat beragama, aspek psikologis : kepribadian tertutup dan konsep diri negatip. 6.1.3 Hasil pengkajian faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada aspek biologi adalah penyakit fisik dan kelemahan fisik, aspek psikologis yaitu perawatan di rumah sakit dan konsep diri negatip, aspek sosial kultural adalah masalah ekonomi. 6.1.4 Hasil pengkajian penilaian terhadap stresor aspek kognitif adalah kebingungan, sulit konsentrasi dan merasa gagal, aspek afektif adalah khawatir, sedih dan takut, aspek fisiologis nafsu makan menurun dan gangguan pola tidur, aspek perilaku adalah tergantung pada orang lain, respons sosial adalah jarang bersosialisasi dan partisipasi kurang.

155 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Universitas Indonesia

156

6.1.5 Hasil pengkajian sumber koping mayoritas klien tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi ketidakberdayaan, ada dukungan dari keluarga tetapi tidak mampu merawat, tidak ada dukungan kelompok dan masyarakat, menggunakan pembiayaan dengan Jamkesmas/Jamkesda fasilitas pelayanan kesehatan terjangkau dan klien memiliki keyakinan positif tentang masalah yang dialami. 6.1.6 Rencana tindakan keperawatan yang disusun untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan

menggunakan

standar

asuhan

keperawatan,

menggunakan pendekatan proses terjadinya masalah, dan menggunakan pendekatan teori hubungan interpersonal Peplau. 6.1.7 Pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien ketidakberdayaan dilakukan menggunakan manajemen pelayanan MPKP / CLMHN dengan melibatkan perawat di ruangan untuk intervensi generalis dan intervensi spesialis dilakukan oleh penulis. 6.1.8 Sebagian besar klien mendapatkan terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga secara tuntas sehingga klien mampu mengatasi ketidakberdayaannya setelah menghayati makna hidup yang dari pengamannya serta memiliki pikiran yang positif dan keluarga mampu melaksanakan perannya sebagai social support. 6.1.9 Penerapan manajemen kasus dan pelayanan keperawatan pada klien ketidakberdayaan yang diberikan terapi terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan teori Peplau memberikan dampak yang efektif dalam meningkatkan kemampuan klien untuk berdaya menghadapi masalah yang terjadi. 6.1.10 Manajemen kasus yang sudah dilaksanakan memberikan dampak positif terhadap

kemampuan

dan

motivasi

perawat

ruangan

untuk

menindaklanjuti intervensi yang sudah dilaksanakan. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan hasil karya ilmiah ini maka ada beberapa saran yang dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di RSUP Persahabatan Jakarta. Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

157

6.2.1. Untuk Kementrian Kesehatan Perlu adanya kebijakan pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum dalam

bentuk

CLMHN

dengan

menempatkan

perawat

spesialis

keperawatan jiwa sebagai konsultan di setiap Rumah Sakit Umum.

6.2.2. Untuk Pelayanan Keperawatan di rumah sakit 6.2.2.1. Perlunya penempatan perawat spesialis jiwa sebagai konsultan klinis di RSUP Persahabatan sehingga asuhan keperawatan dapat dilaksanakan secara holistik. 6.2.2.2. Kepala bidang perawatan perlu meningkatkan kemampuan perawat ruangan dalam memberikan asuhan keperawatan generalis untuk masalah psikososial, dengan melakukan pelatihan standar asuhan keperawatan, pendampingan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan generalis, dan supervisi yang berkesinambungan. 6.2.2.3. Perlu disusun standar pemberian asuhan keperawatan dengan masalah psikososial, baik tindakan keperawatan generalis maupun tindakan keperawatan spesialis.

6.2.3. Untuk pendidikan keperawatan 6.2.3.1. Perlu adanya pengembangan standar pelaksanaan terapi logo, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga untuk pasien di ruang rawat inap umum. 6.2.3.2. Mengembangkan standar terapi yang lebih sederhana yang dapat dilakukan oleh perawat ruangan sesuai kewenangannya, misalnya afirmasi positif.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

158

6.2.4. Untuk Profesi Keperawatan 6.2.4.1. Pemberian ijin praktik oleh PPNI kepada spesialis jiwa untuk melakukan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di seluruh tatanan pelayanan kesehatan. 6.2.4.2. Bagi kolegium keperawatan jiwa, diharapkan menetapkan kemampuan melakukan manajemen kasus spesialis pada pasien ketidakberdayaan sebagai salah satu kompetensi ners spesialis keperawatan jiwa di Rumah Sakit Umum.

6.2.5. Untuk Penelitian Keperawatan 6.2.5.1. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas terapi spesialis : logo terapi, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga terhadap beberapa diagnosa psikososial yang lain sehingga didapatkan tingkat efektifitas penggunaan terapi tersebut pada berbagai masalah psikososial. 6.2.5.2. Melakukan penelitian tentang efektifitas pemberian paket terapi spesialis logo terapi, terapi kognitif, dan terapi psikoedukasi keluarga pada berbagai karakteristik klien ketidakberdayaan. 6.2.5.3. Melakukan penelitian untuk mendapatkan instrumen yang baku dan terstruktur untuk mengukur tingkat kemampuan klien ketidakberdayaan sebelum dan setelah mendapatkan terapi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DepKes RI. 2008). Laporan nasional riset kesehatan dasar 2007. Jakarta : Depkes RI. Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi : psikologi untuk menemukan makna hidup dan memilih hidup bermakna. Edisi 1. Jakarta : raja Grafindo Persada Boyd, M. A. (1998). Psychiatric nursing: contemporary practice. Philadelphia: Lippincott Carpenito, L.J., (2008). Handbook of nursing diagnosis.(12th.ed). Philadelphia. Lippincott Company. Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company. Copel Linda Carman (2007) Psychiatric and mental health care : Nurse’s clinical guide, 2nd edition, alih bahasa Akemat, Jakarta : EGC. Fitzpatrick, J. J. (1989). Concepal models of nursing: analysis and application. California: Appleton & Lange. Fontaine, K. L. (2003). Mental health nursing. (5th ed). New Jersey: Pearson Education, Fortinash, K.M. dan Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd ed.). St. Louis: Mosby Frankl, V.E. (2008). Optimisme di tengah tragedi: analisis logoterapi. Alih bahasa: Lala Herawati Dharma. Bandung: Nuansa. __________ (2006). Logoterapi: terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi. Alih bahasa: M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3th ed). New York : Thomson Delmar Learning. George (2009). interpersonal_theory, 2 Mei 2012 http://currentnursing.com/nursing theory/interpersonal_theory.htm&ei=q-OgT4QOofNrQe6tZWLCQ&sa=X&oi/ Dhildegard%2Bpeplau Hardiawan Ridwan. (2007). Hidup bermakna versi logo terapi, http://psikologidini. com/2007/09/hidup-bermakna-versi-logoterapi.html (2Mei 2012) Hawari, D. (2001). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizoprenia, Jakarta : FKUI

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Herdman, T. Heather (2012). Nanda International Nursing Diagnoses : Definitions and classification 2012 – 2014, Oxford : Wiley – Blackwell a John-Wiley & Sons, Ltd Publication. _________________ (2009). Nanda International Nursing Diagnoses : Definitions and classification 2009 – 2011, United Kingdom : John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex. Hidayat, T (2005). Masyarakat Dilarang Sakit Jiwa. http://www.pikiran-rakyat. com/ cetak /2005 /1205/18/0901.htm, diperoleh tanggal 22 Januari 2008. Kaplan, H.L., Sadock, B.J., (2005). Compehensiv Book of Psychiatry (6 th ed), Baltimore: Williams & Wilkins _________________________ (2007). Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, Lippincott Williams & Wilkins Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta : FKM UI. tidak dipublikasikan Keliat, BA, Akemat, et.al. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa, Jakarta : EGC. Keliat, B. A, dkk (2006) Modul Basic community mental health nursyng ______________ (2010). Management Praktek Keperawatan Profesional, EGC Jakarta Leddy S,Mae Pepper,J.(1993),Conseptual Bases of Professional Nursing 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Company. Lewis, M.H.,(2011). A logotheraphy /mhlewis/papers/practicum.pdf.

practicum.

http://homepage.mac.com

Lewis, S.M., Heitkemper, M.M., & Dirksen, S.N, (2008), Medical surgical nursing assesment and management clinical problem (2nd.ed), St.louis, Missouri. mosby Elsevier. Lubkin, I.M & Larsen P.O., (2006). Chronic illness : impact and intervention. Jones and Barlett Publisher, Inc Sudbuy Messachusetts. Miller, F.J., (1991). Coping with chronic illness : overcoming powerlessness. (Ed.2). Davis Company F.A. Philadelphia. Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan jiwa, PPDGJ III, Jakarta : FK Unika Atmajaya Miklowicz, A., Liberman, P., & Zarare, R. (2002). Psychosocial treatment for shizhophrenia. New York: Oxford University Press.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Mohr, W. K. (2006). Psychiatric mental helath nursing. (6th ed.). Philadhelpia: Lippincott Williams Wilkins. Muhid, Abdul. (2008) Dimensi spiritual dalam psikoterapi (Kajian logoterapi Voctor E. Frankl), http://duniapsikologi.multiply.com/journal/item/54?&show interstitial =1&u=%2Fjournal%2Fitem (diperoleh 2 Mei 2012) Notoatmojo, S., (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Reneka Cipta Peplau, H. (1963). Interpersonal relations in nursing. New York: Springer. Potter P.A., & Perry, A.G., (2005), Buku saku: ketrampilan & prosedur dasar (Terjemahan). Edisi 5. Jakarta: EGC. Priatmaja Agung. (2012). Pengaruh Logoterapi Untuk Menurunkan Derajat Depresi Dan Meningkatkan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bhakti Surakarta, Tesis tidak dipublikasikan, Surakarta : Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Rahayuningsih (2008) Penerapan terapi kognitif pada pasien kanker di Darmais. Tesis, Jakarta FIK-UI. Rawlins, Wiliam & Beck, (1993). Mental Health Psychiatric Nursing A Holistic Life Cycle Approach. Third Edition, USA: Mosby Years Books. Rudiyanto Theodora ( 2011) Konseling dengan Pendekatan Logoterapi; ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami melalui Hubungan Seksual; Menjadi Orangtua Tunggal, Jakarta Magister Profesi Psikologi Unika Atma Jaya Sanderson, 2002,: terapi kogniti, http://drsanderson.com./cogther.html, diperoleh 2 April 2008. Sasmita, (2007) Efektifitas Cognitive Behavior Therapi pada klien Harga Diri Rendah di RS MArzuki Mahdi Bogor, Tesis tidak dipublikasikan Seli Fauzi Luthfi (2008). Konseling Logoterapi http://luthfis.wordpress.com/2008/ 05/11/konseling-logoterapi/ (diperoleh 2 Mei 2012) Shives, L.R. (2005). Basic Concept of Psychiatric-Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Shives, L. R. (1998). Basic concepts in psychiatric - mental health nursing. (4th ed.) New York: Lippincott. Sutejo., (2007). Pengaruh logoterapi kelompok terhadap ansietas pada penduduk pasca gempa di Kabupaten kalten propinsi Jawa tengah. Tesis. Tidak dipublikasikan.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Suliswati, dkk. (2005). Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC. Stuart, G.W., (2009), Principles and practice of psychiatric nursing, 9th ed. Missouri: Mosby Inc. Stuart,G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis: Mosby Townsend, M.C., (2009). Psychiatric mental health nursing : concepts of care in evidence based practice pliladephia : Davis Company. _______________ (2005). Essentials of psychiatric mental health nursing.(3rd ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company. Varcarolis, Hater,. (2010). Foundations of psychiatric mental health nursing: a clinical approach. (6th ed). St. Louis: Saunders. Videbeck, Sheila. L.(2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Alih Bahasa : Renata Komalasari, Afrina Hany, Jakarta : EGC. __________________(2001). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Wartonah. (2003). Kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika. Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse. St. Louis: Mosby. Inc World Health Organization, (2009). Improving health systems and services for mental health (Mental health policy and service guidance package), Geneva 27, Switzerland : WHO Press. Youdha, Moh. _(2012). konseling penyebab_masalah_kejiwaan Jakarta : Universitas Gunadharma, 03 April 2012 http://c3i.sabda.org/30/jan/2012/konseling.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

1

UNIVERSITAS INDONESIA

MODUL

LOGOTERAPI MEDICAL MINISTRY INDIVIDU PADA KLIEN DM DENGAN RESPON KETIDAKBERDAYAAN

Oleh : Ns. Esrom Kanine., S.Kep, MKep. Novy Helena, C.D., SKp.,MSc

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA 2011

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

2

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes mellitus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama dinegara dengan populasi penduduk terbanyak di benua Asia seperti China, India dan Indonesia. Statistik kesehatan pada tahun 2010 menunjukkan angka morbiditas klien diabetes mellitus (DM) pada usia 20-79 tahun, menempatkan India diurutan teratas sebanyak 50.768.300. Disusul China sebanyak 43.157.200 dan Indonesia sebanyak 6.963.500 klien DM. Angka morbiditas ini, diperkirakan akan meningkat 1-2 % hingga tahun 2030 (International Diabetes Federation, 2010). Penyakit diabetes mellitus atau disingkat DM secara epidemiologis disebut penyakit degeneratif, tidak menular dan menjadi penyebab utama kematian akibat komplikasi DM. Komplikasi DM meliputi penyakit cardiovaskular, nephropathy, neuropathy, amputasi dan retinopahty. Penyebab utama kematian akibat komplikasi DM adalah penyakit kardiovaskular terdiri dari angina pectoris, infark myocard, stroke¸ penyakit arteri perifer dan gagal jantung kongestif. Menurut Centres for Diseases Control and Prevention (CDC) tahun 2005, DM merupakan penyebab kematian keenam dari 18,2 juta populasi DM di Amerika Serikat. Kematian tersebut diakibatkan oleh komplikasi kardiovaskuler selain gagal ginjal, kebutaan dan amputasi (LeMone & Burke, 2008). International Diabetes Federation (IDF) tahun 2010, memperkirakan sebesar 147.390 klien DM meninggal setiap tahun di Indonesia. DM termasuk penyakit heterogenetik disebabkan hiperglikemia, gangguan intoleransi glukosa dan defisiensi glukosa. Gangguan toleransi glukosa adalah kondisi tanpa gejala (asymptomatic) sebagai masa transisi dari normal ke DM, hal ini dikaitkan dengan perubahan kadar glukosa 2 jam postprandial. Menurut WHO (1999) dan American Diabetic Assosiation (2003), diagnosa DM ditegakkan apabila nilai kadar toleransi glukosa terganggu diatas nilai normal 140 -  200 mg/dl dan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 melaporkan prevalensi nasional toleransi glukosa terganggu (TGT) adalah 10.2% dan total DM 5,7 % pada penduduk perkotaan Indonesia. Angka total DM merupakan gabungan persentasi diagnosa diabetes mellitus (DDM) 1,5% dan undiagnosed diabetes mellitus (UDDM) 4,2% (Dep.Kes RI, 2007). Tipe DM secara etiologi terdiri dari 4 tipe yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lainnya (LeMone & Burke, 2008). DM tipe 1 umumnya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, disebabkan oleh destruksi produksi insulin oleh sel beta di pankreas. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin, defisiensi insulin, faktor obesitas, kurangnya aktifitas, umur, riwayat genetik dan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

3

etnik (IDF, 2010). DM gestasional disebabkan intoleransi glukosa pada awal kehamilan sedangkan DM tipe lainnya dikaitkan dengan proses infeksi, trauma dan karena penyakit kanker (LeMone & Burke, 2008). Akibat gangguan produksi insulin pada klien DM akan menyebabkan gejala hiperglikemia dan hipoglikenia (Honas, 2004). Homeostatis hormon insulin dalam darah sering dikaitkan dengan kondisi stress dan ketegangan psikologis sehingga berdampak pada perubahan perilaku dan psikososial. Menurut Honas (2004) kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia akan memengaruhi perubahan perilaku dan psikososial seperti mudah marah, merasa cemas, sulit berkonsentrasi, sering bermimpi buruk dan merasa bingung. Solowiejczyk (2010), dalam penelitiannya pada klien DM menjelaskan bahwa perasaan ketidakberdayaan disebabkan pengalaman distress dan perubahan emosional seperti agitasi, frustrasi, marah, takut dan cemas. Perasaan ketidakberdayaan yang dialami oleh klien DM, seringkali disertai gangguan depresi. Harper dan Jacques (2004, LeMone & Burke, 2008) mengemukakan bahwa klien DM beresiko mengalami depresi, perubahan perilaku dan perasaan negatif. Solowiejczyk (2010), mengatakan 1015 % klien DM menunjukkan gejala depresi terkait hiperglikemia dan penatalaksanaan medis. Townsend (2009) menekankan ketidakberdayaan dengan kondisi depresi, apatis dan kehilangan kontrol yang diekpsresikan oleh klien secara verbal. Ketidakberdayaan didasari atas pertimbangan respons individu, karakteristik klien, validasi ketidakberdayaan. Carpenito (2008), mengidentifikasi batasan karakteristik ketidakberdayaan pada perasaan subjektif terhadap pola pengambilan keputusan, tanggung jawab dan peran klien. NANDA (2010), mengkategorikan ketidakberdayaan pada karakteristik ringan, sedang dan berat. Miller (1991), memvalidasi ketidakberdayaan melalui respon verbal, respon emosional, partsipasi klien dalam kegiatan sehari-hari serta tanggung jawab klien terlibat dalam perawatan dirinya. Tindakan keperawatan dikembangkan berdasarkan pada pengkajian yang komprehensif pada sumber daya yang dimiliki klien untuk meningkatkan perasaan ketidakberdayaan. Miller (2000, dalam Lukbin & Larsen, 2006), menjelaskan sumber daya klien meliputi kekuatan fisik, energi, harapan, motivasi, pengetahuan, konsep

diri positif,

dukungan psikologis dan sosial support.

Ketidakberdayaan secara nyata berkaitan dengan hilangnya power, kapasitas dan autoritas yang dimiliki oleh klien penyakit kronis dalam mempersepsikan tindakan yang diharapkan (Lubkin & Larsen, 2006). White dan Roberts (1993, dalam Lukbin & Larsen, 2006), mengidentifikasi aspek psikologis, kognitif, lingkungan dan keputusan klien sebagai sumber kekuatan dalam mendesain intervensi ketidakberdayaan. Modifikasi pemecahan masalah klien dengan respon ketidakberdayaan menurut Hagerty dan Patusky (2003, dalam Ackley & Ladwig, 2008) adalah meningkatkan sikap opitimis dan keyakinan yang

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

4

realisitis melalui perilaku kognitif (behavior cognitive) pada situasi perpekstif yang berbeda dan melalui cara penghentian pikiran (thought stoping) untuk distorsi kognitifnya. Upaya pemecahan masalah klien melalui perilaku kognitif dan penghentian pikiran merupakan jenis psikoterapi untuk meminimalkan respon akibat ketidakberdayaan selain logoterapi. Logoterapi dapat diimplementasikan pada klien dengan penyakit kronis dengan seperti klien dengan penyakit fisik seperti artritis, stroke, systemic lupus eritomateus, penyakit jantung, penyakit paru kronis (Lantz, 1988). Lewis (2011) menjelaskan logoterapi dapat diaplikasikan klien dengan masalah koping pada penyakit kronis terminal, koping pada penyakit fisik kronis, proses berduka atau berkabung depresi, post traumatic syndrome disorder (PTSD), manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat ketergantungan alkohol, gangguan personal, gangguan obsesi kompulsi, phobia, gangguan neurosis somatogenik, gangguan neurosis psikogenik, gangguan neurosis noogenik, depresi. Aplikasi penelitian logoterapi dalam keperawatan dilakukan oleh Stefanics pada tahun 1996. Penelitiannya mengeksplorasi pengalaman klien lansia yang mengalami perasaan tidak bermakna dan tidak memiliki tujuan hidup sehingga beresiko bunuh diri oleh karena depresi, keputusasaan, perubahan fisologis, kehilangan pasangan hidup, perubahan sikap dan persepsi diri. Hasil penelitiannya menjelaskan klien lansia dapat menerima secara realistik akan kehidupan yang dijalani pada masa yang akan datang untuk memaknai hidupnya dengan nilai-nilai sikap dalam logoterapi. Meraih kehidupan yang bermakna (the meaningful life) adalah motivasi utama manusia. Medical ministry merupakan salah satu teknik dalam logoterapi yang diindikasikan pada klien penyakit kronis termasuk klien DM yang mengalami respon ketidakberdayaan. Medical ministry bertujuan mengarahkan klien untuk mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif dan merealisasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Nilai-nilai bersikap menurut Bastaman (2007) adalah sikap menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, keberanian meghadapi bentuk penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, kematian dan menjelang kematian setelah semua upaya dilakukan maksimal. Mendalami nilai-nilai bersikap pada dasarnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisi tragis dan kegagalan yang telah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Teknik pendalaman nilai- nilai bersikap dengan: 1) Merenungkan penderitaan : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaan waktu lalu, bagaimanakah cara mengatasinya, bagaimanakah perasaan kta sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

5

2) Membandingkan penderitaan : menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu, membandingkan dengan keadaan sekarang . Esensi logoterapi adalah menekankan asas-asas kehidupan manusia meraih hidup yang bermakna (the meaningful life) yakni kebahagiaan sebagai motivasi utama manusia. Setiap manusia memiliki makna hidup dalam situasi dan kondisi apapun, bakhan makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan atau pada keadaan penderitaan sekalipun. Demikian halnya klien DM meskipun dalam kondisi ketidakberdayaan menghadapi penyakit kronis, sesungguhnya klien DM masih dapat diberdayakan dengan mengubah pandangan dan mengembalikan kesadaran dalam memaknai hidupnya.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

6

Tujuan Setelah mempelajari modul ini diharapkan mampu : a. Mempelajari konsep yang mendasari logoterapi individu pada klien diabetes mellitus yang mengalami respon ketidakberdayaan b. Mengaplikasikan logoterapi individu pada klien diabetes mellitus yang mengalami respon ketidakberdayaan yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit 1.2 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan modul ini terdiri dari : Bab I

:

Pendahuluan

Bab II

:

Pedoman pelakasanaan logoterapi

Bab III

:

Implementasi logoterapi individu pada klien DM dengan respon ketidakberdayaan Daftar pustaka

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

7

BAB 2 PEDOMAN PELAKSANAAN LOGOTERAPI 2.1 Pengertian Logoterapi Dalam Bastaman (2007), dikatakan bahwa logoterapi berdasarkan etimologinya mengandung dua arti.

Logoterapi berasal dari kata logos suatu istilah dalam bahasa Yunani yang dapat berarti

spiritual atau makna, sedangkan terapi berarti penyembuhan atau pengobatan. 2.2 Karakteristik Manusia Dalam Kajian Filsafat Logoterapi Pandangan logoterapi

tentang manusia dikenal sebagai logophilosophy atau filsafat logoterapi.

Berikut ini akan diuraikan pandangan logoterapi tentang manusia dikenal dengan filsafat logoterapi : a.

Manusia Sebagai Unitas bio-psiko-sosiokultural-spiritual Manusia merupakan kesatuan utuh dimensi ragawi, kejiwaan dan spiritual atau disebut unitas bio-psiko-sosiokultural-spiritual. Frankl (1959, dalam Lewis, 2011), memandang manusia itu unik yang terdiri dari ragawi, psikis dan spirit dengan memiliki tiga segmen kesadaran manusia yaitu : alam sadar (conscious), alam pra sadar (preconscious) dan alam tidak sadar (unconscious). Manusia merupakan makluk yang luar biasa yang mampu melakukan transendensi diri dan perbuatan luar biasa pula karena adanya karunia potensi spiritual dalam dirinya. Trasendensi diri dalam kehidupan sehari dikaitkan dengan perbuatan merenungkan keadaan diri sendiri dan mendambakan kondisi diri seperti yang diidam-idamkan, menyukai atau tidak menyukai diri sendiri serta. menilai diri sendiri dengan tolok ukur moralitas. Dengan kemampuan transendensi diri manusia mampu keluar dan membebaskan diri dari kondisi raga, jiwa dan lingkungan untuk melakukan komitmen dengan nilai-nilai dan makna hidup yang layak diraih (Bastaman, 2007).

b. Manusia Memiliki Dimensi Spiritual Dimensi spirituality dalam pandangan logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimensi ini dimiliki oleh manusia tanpa memandang ras, ideologi, agama dan keyakinan. Dimensi spiritual bercorak antropologi bukan teologis, bersifat sekuler disebut noetic sebagai padanannya. Fenomena spiritual ditinjau dari segi medik berarti sumber kesehatan (the source of health) yang tidak pernah terkena sakit sekalipun klien menderita sakit secara fisik dan mental (Bastaman, 2007). Tindakan manusia seakan-akan terdorong atau didorong (driven) keatas oleh kebutuhannya. Dilain pihak tindakan-tindakan noetik merupakan respons yang benar-benar disadari seperti mengambil tanggung jawab, menerima komitmen, menentukan pribadi dan melakukan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

8

transendensi diri untuk memenuhi motivasi utama manusia yaitu untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang secara sadar berusaha meraih hidup bermakna atau the meaningful life (Bastaman, 2007). c.

Manusia Memiliki Self Detachment Dimensi noetik menjelaskan bahwa manusia mampu melakukan self detachment yakni manusia secara sadar mengambil jarak terhadap dirinya serta mampu meninjau dan menilai dirinya seperti mengenali keunggulan dan kelemahan sendiri serta merencanakan masa depan untuk mengubah kondisi buruk saat ini agar lebih baik lagi. Kemampuan manusia ini disebut transendensi diri (self transcendence) yang memungkinkan manusia mampu mengalihkan dimensi yang diartikan bahwa manusia mampu melepaskan perhatian dari kondisi saat ini dan memusatkan perhatian kepada kondisi diri yang diidam-idamkan dari aktualisasi diri ke ideal diri (Bastaman, 2007).

d. Manusia Sebagai Makluk Terbuka Manusia senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik sekitarnya. Keterbukaan ini menyebabkan manusia senantiasa melibatkan dirinya dengan berbagai nilai sosial budaya dan menentukan hal-hal yang bermakna dalam hidupnya yang dalam logoterapi dapat dicapai melalui karya bermanfaat dan kebajikan pada orang lain, meyakini dan menghayati keindahan, kearifan dan cinta kasih serta mengambil sikap yang tepat atas penderitaan yang tidak dapat dihindarkan lagi (Bastaman, 2007).

2.3 Landasan Filsafat Logoterapi Landasan filsafat logoterapi menurut Frankl (1969, dalam Lewis, 2011) menekankan pada tiga asumsi dasar yaitu : kebebasan berkehendak (freedom of the will), hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) dan makna hidup (the meaning of life). Tiga asumsi dasar tersebut merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) dan dianggap sebagai gambaran kepribadian yang ideal. Menurut Frankl (1973, dalam Bastaman, 2007), menjelaskan bahwa logoterapi memiliki filsafat manusia yang melandasi asa-asas, ajaran dan tujuan logoterapi sebagai berikut : a.

Kebebasan Berkehendak (the freedom of will) Kebebasan sifanyat bukan tak terbatas karena manusia adalah makluk terbatas meskipun memiliki potensi luar biasa. Frankl (1969, dalam Lewis, 2011), menjelaskan bahwa kebebasan bukan saja terbebas dari kondisi sakit, rasa bersalah dan kematian tetapi kebebasan mengaktualisasi nilai-nilai kehidupan sebagai suatu peluang. Selanjutnya, Frankl (1973, dalam Bastaman, 2007) menekankan bahwa kebebasan manusia menentukan sikap terhadap kondisi

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

9

lingkungan maupun diri sendiri artinya manusia dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan dan kebebasan untuk mengubah kondisi hidupnya guna meraih kehidupan yang berkualitas disertai rasa tanggung jawab (responsbility) agar tidak berkembang menjadi kesewenang-wenangan. Menurut Frankl (1973, dalam Bastaman, 2007) menjelaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, kejiwaan dan kerohanian. Keterbatasan aspek ragawi meliputi tenaga, daya tahan, stamina, usia sedangkan keterbatasan aspek kejiwaan meliputi keterbatasan dalam hal kemampuan, ketrampilan, kemauan, ketekunan, bakat, sifat, tanggungjawab pribadi dan keterbatasan aspek kerohanian menjelaskan manusia juga mengalami keterbatasan dalam hal iman, ketaatan beribadah dan cinta kasih. b. Hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) Hidup bermakna merupakan gerbang kearah kepuasan dan kebahagiaan hidup sebagai ganjarannya karena setiap manusia menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat disekitarnya dan berharga di mata Tuhan (Bastaman, 2007). Menurut Lewis (2011), hasrat untuk hidup bermakna merupakan dasar motivasi utama manusia menemukan kehidupan yang bermakna diyakini memiliki karakteristik objektif terhadap lingkungannya. Manusia memang mendapat pengaruh lingkungan tetapi manusia pun mampu mempengaruhi lingkungan dan dapat mengambil sikap, memberikan respons serta melakukan tindakan atas kemauan sendiri (Bastaman, 2007). Frankl (1973, dalam Bastaman, 2007), menjelaskan bahwa jika manusia memenuhi hasrat untuk hidup bermakna maka kehidupan akan dirasakan sangat berguna, berharga dan berarti (meaningful life) dan penghargaannya adalah kebahagiaan (happiness) sebaliknya jika tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tak bermakna (meaningless). Kehidupan tak bermakna (meaningless) menurut Frankl (1973, dalam Bastaman, 2007) dimanifestasikan dengan kekecewaan, kehampaan hidup, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti, bosan dan apatis. Jika kondisi ini tidak teratasi dan berlarut larut akan menjelma menjadi mejadi gangguan neurosis noogenik, karakter totaliter dan konformis. Gangguan neurosis noogenik dimanifestasikan dengan keluhan serba bosan, hampa, keputusasaan, kehilangan minat, kehilangan inisiatif, merasa hidup tidak berarti, merasa kehidupan sehari-hari sebagai rutinitas disertai perasaan sekan-akan dirinya tak pernah mencapai kemajuan apapun dalam hidupnya bahkan prestasi yang pernah dicapai dirasakan tidak ada harganya sama sekali dan sikap acuh tak acuh berkembang, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya seakan-akan menghilang. Frankl (2003) menjelaskan bahwa neurosis

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

10

noogenik muncul sebagai akibat konflik moral dan berbeda dengan neurosis psikogenik tetapi lebih pada noological dari bahasa Yunani “noos” yang berarti dimensi pikiran dari keberadaan manusia yang dalam istilah logoterapi berkaitan dengan sisi spiritual. Karakter totaliter mencerminkan gambaran pribadi yang memiliki kecenderungan memaksakan tujuan, kepentingan, kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Sebaliknya karakter konformis menjelaskan pribadi yang cenderung kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan sekitarnya meskpun berawal dari kekecawaan dan kehampaan hidup sebagai akibat tidak berhasilnya memenuhi motivasi utama yaitu hasrat untuk hidup bermakna (Bastaman, 2007). c.

Makna hidup (the meaning of life) Makna hidup memiliki karakteristik karena sifatnya unik, pribadi dan temporer, spesifik dan nyata, pedoman dan arah. Bastaman (2007) memberi penekanan pada karakteristik makna hidup tersebut mengandung arti bahwa, apa yang dianggap berarti belum tentu berarti bagi orang lain karena makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya sifatnya khusus, berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain dari waktu ke waktu akan berubah. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun melainkan harus dicari, dijajaki dan ditemukan sendiri. Frankl (2003) mengemukakan bahwa makna hidup selalu berubah bakhan tidak pernah berhenti melalui tiga cara yang berbeda yaitu : 1) Melakukan suatu perbuatan dengan cara mencapai prestasi 2) Dengan mengalami sebuah nilai seperti bekerjanya alam atau kebudayaan dan pengalaman seseorang 3) Makna penderitana diartikan dengan mengaktualisasikan nilai tertinggi melalui situasi yang tidak terhindarkan, nasib yang tidak pernah berubah, penaykit yang tidak terobati.

Individu yang mampu menghayati hidup bermakna menujukkan corak kehidupan penuh semangat dan tanggung jawab, penuh gairah hidup dan jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan kebahagiaan (happiness). Meskipun pada suatu saat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan atau mengalami penderitaan, individu tersebut akan menghadapinya dengan sikap tabah serta sadar bahwa ada hikmah yang tersembunyi dibalik penderitaannya sehingga makna hidup yang diraih melalui sumber-sumber makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan bernilai tinggi (Bastaman, 2007).

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

11

2.4 Indikasi Logoterapi Institut Viktor Frankl mempublikasi studi kasus sejak tahun 1996 sampai dengan 2010 menggunakan pendekatan logoterapi pada masalah dan diagnosis, yaitu : koping pada penyakit kronis terminal, koping pada penyakit fisik kronis, proses berduka atau berkabung depresi, post traumatic syndrome disorder (PTSD), manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat ketergantungan alkohol, gangguan personal, gangguan obsesi kompulsi, phobia, gangguan neurosis somatogenik, ganggua neurosis psikogenik, gangguan neurosis noogenik, depresi (Lewis, 2011). 2.5 Teknik Logoterapi Frankl (1979 dalam Bastaman, 2007) mengemukakan metode dan aplikasi klinik logoterapi antara lain paradoxical intention, dereflection dan medical menistry. a. Teknik Paradoxical Intention Teknik paradoxical intention atau pembalikan keinginan merupakan terapi yang unik dalam logoterapi dalam psikoterapi eksistensial, dikenalkan pertama kali oleh frankl pada tahun 1929 di

Wina Austria. Teknik paradoxical intention diindikasikan pada kasus fobia, obsessive

compulsive, insomnia (Frankl, 2003). Sedangkan kontra indikasi adalah pada kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri (Bastaman, 2007). Pada dasarnya teknik paradoxical intention memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan dengan memanfaatkan rasa humor (sense of humor). Teknik paradoxical intention diaplikasikan pada kasus fobia dengan mengubah perasaan yang semula takut menjadikan akrab dengan objek yang ditakutinya sedangkan pada kasus obsessive compulsive yaitu dengan mengendalikan dan memunculkan secara ketat dorongan – dorongannya agar tak tercetus dengan sikap humor. Teknik ini memiliki keterbatasan karena akan terasa sulit dilakukan pada klien yang kurang memiliki rasa humor (Bastaman, 2007). b. Teknik Derecflection Salah satu bentuk eksistensi manusia yaitu kemampuannya untuk bangkit dari semua kondisi dan mengatasi dirinya kemudian mencurahkan perhatian pada hal-hal positif dan bermanfaat disebut dereflection (Frankl, 2003). Keinginan berlebihan (hyperintention) dan merenungkan berlebihan (hypereflection) harus dilawan dengan meniadakan perenungan atau dereflection (Frankl, 2003). Bastaman (2007) menjelaskan bahwa gejala hyperintention dan hyperreflection akan menghilang dan terjadi perubahan sikap yaitu sikap yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri (self concerned) menjadi komitmen terhadap sesuatu yang penting bagi klien sendiri (self comitment).

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

12

c.

Teknik Medical Ministry Logoterapi dengan mengarahkan klien untuk berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif dan merealisasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu sumber makna hidup disebut medical ministry. Tujuan utama teknik ini adalah membantu seseorang menemukan makna hidup dari penderitaannya. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan manfaat apabila seseorang dapat mengubah sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi (Bastaman, 2007). Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai bersikap menurut Bastaman (2007) adalah sikap menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, keberanian meghadapi bentuk penderitaan yang tidak mungkn terelakkan lagi seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, kematian dan menjelang kematian setelah semua upaya dilakukan maksimal. Bastaman (2007) menjelaskan bahwa hal yang akan diubah bukanlah keadaannya melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan. Bastaman memberikan contoh apabila menghadapi keadaan yang tidak mungkin diubah atau dihindari maka sikap yang tepat adalah menerima dengan penuh ikhlas dan tabah pada hal-hal tragis yang tidak mungkin dihindari lagi dapat mengubah pandangan seseorang dari semula yang diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan. Mendalami nilai-nilai bersikap pada dasarnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisi tragis dan kegagalan yang telah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Bastaman (2007), menjeaskan teknik pendalaman nilai- nilai bersikap dengan: 1) Merenungkan penderitaan Teknik untuk mendalami nilai-nilai bersikap terkait dengan merenungkan penderitaan, yaitu : - Mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu - Bagaimanakah perasaan waktu lalu - Bagaimanakah cara mengatasinya - Bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut - Pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. 2) Membandingkan penderitaan : - Menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya - Menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu - Membandingkan dengan keadaan sekarang

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

13

2.6 Pelaksanaan Logoterapi Individu Teknik pelaksanaan logoterapi ini mengacu pada modul pedoman pelaksanaan logoterapi yang dikembangkan oleh Sutejo (2009) dan Wijayanti (2010) tentang implementasi logoterapi kelompok pada klien ansietas menggunakan metode paradoxical intention dan dereflection melalui 4 sesi dalam pelaksanaannya. Pada penyusunan modul ini, penulis mengaplikasi metode medical ministry pada sesi 3. Adapun 4 sesi tersebut sebagai berikut : 1. Sesi 1 : Membina hubungan saling percaya Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara terapis dan klien DM. Selain itu sesi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang muncul akibat respon ketidakberdayaan pada klien DM. Pada tahap ini terapis memperkenalkan diri, menanyakan perasaan klien, menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi. Terapi mengidentifikasi masalah yang muncul akibat respon ketidakberdayaan terhadap penyakit DM 2. Sesi 2 : Mengidentifikasi reaksi dan respon klien terhadap masalah pada sesi kedua ini, klien diminta untuk mengungkapkan reaksi atau respon ketidakberdayaan yang dialami oleh klien. Adapun respon tersebut meliputi respon emosional, respon perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatan penyakit DM. Terapis menanyakan kepada klien cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, bagaimana hasilnya serta mengidentifikasi masalah yang belum teratasi. 3.

Sesi 3 : Teknik medical ministry Pada sesi ketiga ini terapis membantu masalah klien dan mendiskusikannya melalui teknik medical ministry. Pada sesi ini terapis membantu merealisasikan nilai-nilai bersikap (the attitude values) sebagai salah satu sumber dalam menemukan makna hidupnya. Teknik pendalaman nilai-nilai bersikap (the attitude values) yaitu merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien DM dengan : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaan waktu lalu, bagaimanakah cara mengatasinya, bagaimanakah perasaan kta sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. Selain itu klien DM juga diminta untuk menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu selanjutnya membandingkan dengan keadaan sekarang

4.

Sesi 4 : Evaluasi Evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry, menemukan makna hidup yang klien dapatkan dan mampu menerima perpisahan.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

14

Terapis mendiskusikan bersama klien yang sudah dan belum teratasi. Pada akhir sesi ini, terapis mendiskusikan rencana tindak lanjut dari masalah yang belum diatasi. 2.7 Peran dan Kegiatan Terapis Peran terapis dalam pelaksanaan kegiatan logoterapi menurut Samiun (2007, dalam Sutejo, 2009) adalah menjaga hubungan baik yang akrab dan pemisahan ilmiah, mengendalikan filsafat pribadi, terapis bukan guru atau pengkhobat dan membantu individu menemukan makna hidupnya. Adapun peran terapis dalam kegiatan kelompok sebagai berikut : 1. Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan ilmiah Terapis menciptakan hubungan antara klien dengan mencari keseimbangan antara dua ekstrem yaitu hubungan yang akrab seprti simpati dan pemisahan secara ilmiah dalam menangani klien sejauh ia melibatkan diri dalam teknik terapi. 2. Mengendalikan filsafat pribadi Terapis tidak memaksakan konsep tentang nilai-nilainya sendiri pada klien atau memindahkan filsafat pribadi pada klien karena logoterapi bertujuan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual seperti aspirasi terhadap hidup yang bermakna, makna cinta, makna penderitaan dan sebagainya. 3. Terapis bukan guru atau pengkhotbah Terapis harus membiarkan klien untuk tugas hidupnya sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap masyarakat, terhadap suara hatinya atau terhadap Tuhan. Terapis adalah seorang spesialis mata dalam pengertian ia memberikan kemungkinan kepada klien untuk melihat dunia sebagaimana adanya dan bukan seorang pelukis yang menyajikan dunia sebagaimana ia melihat sendiri. 4. Membantu individu menemukan makna hidupnya Penemuan makna hidup adalah sesuatu hal yang kompleks dan membutuhkan proses perenungan yang mendalam. Hal yang perlu diperhatikan terapis selama pelaksanaan logoterapi adalah menghindari untuk memaksakan suatu makna tertentu kepada klien, melainkan sebaliknya mengarahkan dan mempertajam akan makna hidupnya. Upaya terbaik dari seorang terapis dalam membantu klien agar mengenali apa yang dilakukan dalam hidupnya adalah mempedulikan dan menciptakan kondisi bersahabat sehingga klien secara bebas memahami keunikan dirinya tanpa merasa takut atau kuatir ditolak.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

15

BAB 3 APLIKASI LOGOTERAPI INDIVIDU PADA KLIEN DM RESPON KETDAKBERDAYAAN SESI I : Membina Hubungan Yang Baik Dan Nyaman 1.

Tujuan a. Mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara terapis, klien dan keluarga b. Menjelaskan tujuan dan manfaat logoterapi bagi klien DM c. Mengidentifikasi masalah yang muncul dan dialami klien akibat penyakit DM

2.

Setting a. Pertemuan dilakukan di ruangan yang telah disiapkan b. Suasana ruangan tenang c. Terapis dan klien duduk berhadapan

3.

Alat a. Alat tulis b. Buku kerja klien c. Format dokumentasi perawat

4.

Metode a. Diskusi dan tanya jawab b. Curah pendapat

5.

Langkah Kegiatan 5.1 Persiapan a. Membuat kontrak waktu dan tempat dengan klien b. Menjelaskan teknik pelaksanaan logoterapi yang terdiri dari 4 sesi selama 45 menit 5.2 Pelaksanaan 1. Fase orientasi a. Salam terapeutik  Salam dari terapis kepada klien  Memperkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama) b. Evaluasi/validasi  Menanyakan bagaimana perasaan saat ini  Menanyakan masalah yang dihadapi terkait dengan pengalaman selama menderita penyakit DM

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

16

c. Kontrak  Menjelaskan tujuan pertemuan yaitu mengembangkan hubungan baik dan nyaman antara terapis dan klien mengenai masalah yang dihadapi selama menderita penyakit DM  Menjelaskan aturan main dalam pelaksanaan logoterapi yaitu lama kegiatan 45 menit yang diikuti oleh klien dari awal sampai akhir. 2. Fase kerja a. Meminta klien untuk memperkenalkan

diri (nama, umur, alamat tempat tinggal,

menyebutkan anggota keluarga, dirumah tinggal dengan siapa) b. Beri penjelasan tujuan dan manfaat logoterapi bagi klien c. Meminta klien menyebutkan perubahan yang dirasakan selama mengalami penyakit DM d. Diskusikan bersama klien tentang masalah yang dihadapi selama menderita penyakit DM e. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan pendapatnya terhadap masalahnya selama menderita penyakit DM f. Beri pujian atas partisipasi klien dalam mengidentifikasi masalahnya selama menderita penyakit DM g. Berikan kesimpulan tentang topik yang telah dibahas 3. Fase terminasi a. Evaluasi  Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti logoterapi  Terapis memberikan reinforcement positif kepada klien b. Rencana Tindak Lanjut  Menganjurkan klien untuk mencoba mengidentifikasi masalah atas respon ketidakberdayaan yang dialami selama menderita penyakit DM yang akan didiskusikan pada sesi berikutnya.  Menganjurkan klien mengidentifikasi masalahnya dan menuliskan pada buku kerja klien c. Kontrak yang akan datang  Menyepakati kontrak yang akan datang yaitu mengidentifikasi reaksi atau respon terhadap masalah yang dirasakan, mengidentifikasi cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah serta mengidentifikasi pelajaran / hikmah yang diperoleh atas masalah yang dialaminya. 5.3 Evaluasi dan Dokumentasi 1.

Evaluasi Format evaluasi dilakukan selama proses fase kerja berlangsung. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan pencapain tujuan selama terapi berlangsung (memperkenalkan diri,

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

17

mengidentifikasi dan mengungkapkan pendapat terhadap respon ketidakberdayaan selama menderita penyakit DM ) Format Evaluasi Sesi 1 Logoterapi Individu : Membina Hubungan Baik dan Nyaman Ruangan

:

Hari/Tanggal

:

No

Aspek yang di nilai

1.

Memperkenalkan diri

2.

Mengidentifikasi masalah / respon

Nama klien

ketidakberdayaan selama menderita DM 3.

Mengungkapkan pendapat terhadap masalah / respon ketidakberdayaan selama menderita DM Jumlah

Petunjuk : - Nilai 1 jika perilaku tersebut dilakukan - Nilai 0 jika perilaku tersebut dilakukan - Nilai ≥ 2 jika klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya - Nilai ≤ 1 klien tidak dapat melanjutkan ke sesi berikutnya 2.

Dokumentasi Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien, apabila klien dinilai mampu mengikuti logoterapi sesi 1 maka catatan terapis adalah kemampuan klien mampu memperkenalkan diri, mengidentifikasi respon ketidakberdayaan dan mengungkapkan pendapat terhadap respon ketidakberdayaan selama menderita penyakit DM. Klien tidak dapat melanjutkan pada sesi kedua apabila dianggap tidak mampu memperkenalkan diri, mengidentifikasi respon ketidakberdayaan dan mengungkapkan pendapat terhadap respon ketidakberdayaan selama menderita penyakit DM

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

18

Format Dokumentasi Sesi 1 Logoterapi Individu : Membina Hubungan Baik dan Nyaman Nama Klien : Tanggal

:

No

Memperkenalkan diri

Mengidentifikasi masalah / respon ketdakberdayaan selama menderita penyakit DM

Mengungkapkan pendapat terhadap masalah / respon ketdakberdayaan selama menderita penyakit DM

1 2 3 Catatan : SESI II : Mengidentifikasi Reaksi Dan Respon Masalah Terhadap Masalah 1.

Tujuan a. Klien mampu mengungkapkan reaksi dan respon ketidakberdayaan meliputi respon verbal, respon emosional, partisipasi klien dalam aktifitas sehari-hari dan tanggung jawab serta kerterlibatan klien dalam perawatannya selama menderita penyakit DM b. Klien mampu mengungkapkan perasaannya atau penderitaannya atas respon ketidakberdayaan selama menderita penyakit DM c. Klien mampu mengungkapkan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi perasaan atau penderitaannya atas respon ketidakberdayaan selama menderita penyakit DM d. Klien mampu mengungkapkan hikmah/pelajaran yang diperoleh atas penderitaannya selama menderita penyakit DM

2.

Setting a. Pertemuan dilakukan di ruangan yang telah disiapkan b. Suasana ruangan tenang c. Terapis dan klien duduk berhadapan

3.

Alat a. Alat tulis b. Buku kerja pasien c. Format evaluasi dan dokumentasi perawat

4.

Metode a. Diskusi dan tanya jawab b. Curah pendapat

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

19

5.

Langkah Kegiatan 5.1 Persiapan a. Mengingatkan kontrak waktu dan tempat dengan klien b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 5.2 Pelaksanaan 1. Fase orientasi a. Salam terapeutik  Salam dari terapis kepada klien  Terapis memakai pakai papan nama b. Evaluasi/validasi 

Menanyakan bagaimana perasaan saat ini



Menanyakan kembali tentang masalah lain yang dialami klien

c. Kontrak - Menjelaskan tujuan pertemuan kedua yaitu mengidentifikasi reaksi klien mengenai masalah yang dihadapi,klien mampu mengungkapkan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi perasaan atau penderitaannya atas respon ketidakberdayaan dan, mengungkapkan hikmah/pelajaran yang diperoleh atas penderitaannya selama menderita penyakit DM 

Menjelaskan aturan main dalam pelaksanaan logoterapi yaitu lama kegiatan 45 menit yang akan diikuti oleh klien dari awal sampai akhir.

2.

Fase kerja a. Diskusikan bersama

klien bagaimana reaksi dan respon yang dirasakan selama

menderita penyakit DM b. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan pendapatnya terhadap masalah selama menderita penyakit DM meliputi respon emosional, perilaku, partisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan tanggung jawab klien dalam keterlibatan perawatannya selama menderita penyakit DM c. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara mengatasi masalah yang dirasakannya selama menderita penyakit DM d. Berikan pujian pada klien atas partisipasinya selama mengikuti proses logoterapi e. Berikan kesimpulan tentang topik yang telah dibahas 3.

Fase terminasi a.

Evaluasi 

Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti logoterapi



Terapis memberikan reinforcement positif kepada klien

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

20

b. Rencana Tindak Lanjut 

Motivasi klien untuk mengidentifikasi reaksi dan respon lain yang ditimbulkan selama menderita penyakit DM



Motivasi klien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi masalah akibat menderita penyakit DM

c. Kontrak yang akan datang 

Menyepakati kontrak yang akan datang yaitu mendiskusikan teknik medical ministry yaitu klien diminta untuk merenungkan penderitaan dengan : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaannya waktu itu, bagaimana cara mengatasinya, bagaimana perasaan sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran dan hikmah apa yang diperoleh dibalik penderitaan ini.

5.3 Evaluasi dan Dokumentasi 1.

Evaluasi Evaluasi dilakukan selama proses fase kerja berlangsung. Aspek atau hal yang dievaluasi pada sesi kedua adalah kemampuan pencapain tujuan selama terapi berlangsung adalah klien mampu: mengungkapkan reaksi/respon ketidakberdayaan melalui respon verbal, respon emosional, partisipasi klien dalam aktifitas sehari-hari dan tanggung jawab serta kerterlibatan klien dalam perawatannya, mengungkapkan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi perasaan atau penderitaannya atas respon ketidakberdayaan, mengungkapkan hikmah/pelajaran yang diperoleh atas penderitaannya selama menderita penyakit DM. Klien tidak dapat melanjutkan ke sesi tiga apabila dianggap tidak mampu mengungkapkan reaksi atau respon ketidakberdayaan melalui respon verbal, respon emosional, partisipasi klien dalam aktifitas sehari-hari dan tanggung jawab serta kerterlibatan klien dalam perawatannya, mengungkapkan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi perasaan atau penderitaannya atas respon ketidakberdayaan, mengungkapkan hikmah/pelajaran yang diperoleh atas penderitaannya selama menderita penyakit DM.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

21

Format Evaluasi Sesi 2 Logoterapi Individu : Mengidentifikasi Reaksi dan Respon Klien Terhadap Masalah Ruangan

:

Tanggal

:

No 1.

Nama klien

Aspek yang di nilai Mengungkapkan

reaksi

atau

respon

ketidakberdayaan yang dirasakan selama menderita penyakit DM 2.

Mengungkapkan

perasaan

penderitaannya

atas

ketidakberdayaan

selama

atau respon menderita

penyakit DM 3.

Mengungkapkan cara untuk mengatasi masalah yang dirasakan selama menderita penyakit DM

4.

Mengungkapkan hikmah/pelajaran yang diperoleh

atas

penderitaannya

selama

menderita penyakit DM Jumlah Petunjuk : - Nilai 1 jika perilaku tersebut dilakukan - Nilai 0 jika perilaku tersebut dilakukan - Nilai ≥ 2 jika klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya - Nilai ≤ 1 klien tidak dapat melanjutkan ke sesi berikutnya 2.

Dokumentasi Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien, apabila klien dinilai mampu mengikuti logoterapi sesi

kedua maka catatan terapis adalah

kemampuan klien mampu

mengungkapkan reaksi respon yang dirasakan akibat menderita penyakit DM,

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

22

Format Dokumentasi Sesi 2 Logoterapi Individu : Mengidentifikasi Reaksi dan Respon klien Terhadap Masalah Nama Klien : Tanggal : N o

Mengungkapkan reaksi/

Mengungkapkan perasaan

Mengungkapkan cara

Mengungkapkan

respon

/ penderitaannya atas

untuk mengatasi masalah

hikmah/pelajaran yang

ketidakberdayaan yang

respon ketidakberdayaan

yang dirasakan selama

diperoleh atas

dirasakan selama

selama menderita

menderita penyakit DM

penderitaannya selama

menderita penyakit DM

penyakit DM

1 2 3 4 Catatan :

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

menderita penyakit DM

23

SESI III : Teknik Medical Ministry

1.

Tujuan a. Klien mampu menjelaskan cara-cara yang dilakukan untuk mangatasi masalah yang terkait dengan penderitaannya selama menderita penyakit DM b. Klien mampu mengatasi masalah yang belum teratasi dengan mendalami nilai-nilai bersikap (the attitude values) melalui teknik medical ministry

2.

Setting a. Pertemuan dilakukan di ruangan yang telah disiapkan b. Suasana ruangan tenang c. Terapis dan klien duduk berhadapan

3.

Alat a. Alat tulis b. Buku kerja klien c. Format evaluasi dan dokumentasi perawat

4.

Metode a. Diskusi dan tanya jawab b. Curah pendapat

5.

Langkah Kegiatan 5.1 Persiapan a.

Mengingatkan kontrak waktu dan tempat dengan klien

b.

Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

5.2 Pelaksanaan 1.

Fase orientasi a. Salam terapeutik 

Salam dari terapis kepada klien



Terapis (pakai papan nama)

b. Evaluasi/validasi 

Menanyakan bagaimana perasaan saat ini



Menanyakan kembali tentang masalah yang dihadapi terkait dengan pengalaman selama menderita penyakit DM

c. Kontrak 

Menjelaskan tujuan pertemuan ketiga yaitu mengatasi masalah yang dirasakan sebagai penderitaan bagi klien selama menderita penyakit DM dengan mendalami nilai-nilai bersikap (the attitude values) melalui teknik medical ministry.



Menjelaskan aturan main dalam pelaksanaan logoterapi yaitu lama kegiatan 45 menit yang diikuti oleh klien dari awal sampai akhir.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

24

2.

Fase kerja a. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan/penderitaannya yang pernah dialami dan belum teratasi selama menderita penyakit DM b. Diskusikan bersama klien untuk mengatasi masalahnya dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry dengan cara pertama yaitu merenungkan penderitaan yang pernah dialami oleh klien DM dengan : mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu, bagaimanakah perasaan waktu lalu, bagaimanakah cara mengatasinya, bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut, pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik penderitaan ini. c. Diskusikan bersama klien nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry dengan cara kedua yaitu : menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang sama dan telah berhasil mengatasinya, menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari peristiwa itu selanjutnya membandingkan dengan keadaan sekarang. d. Beri motivasi klien untuk mempraktekkan kemampuan teknik medical ministry dalam mengatasi masalahnya yang lain e. Berikan kesempatan pada klien untuk memberikan tanggapan tentang cara yang telah diajarkan oleh terapis. f.

3.

Berikan puijan pada klien atas partispasinya

Fase terminasi a. Evaluasi -

Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti logoterapi

-

Terapis memberikan reinforcement positif kepada klien

b. Rencana Tindak Lanjut -

Menganjurkan klien untuk mengidentifikasi masalah yang belum teratasi

-

Motivasi klien untuk mencoba cara yang telah diajarkan terapis terhadap masalah lain dengan teknik medical ministry

c. Kontrak yang akan datang 

Menyepakati kontrak yang akan datang yaitu mengevaluasi hasil pelaksananaan teknik medical ministry serta menemukan makna yang klien dapatkan.



Menyepakati waktu dan pertemuan berikutnya

5.3 Evaluasi dan Dokumentasi 1.

Evaluasi Evaluasi dilakukan selama proses fase kerja berlangsung. Aspek atau hal yang dievaluasi pada sesi ketiga adalah kemampuan mengatasi masalah dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry.

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

25

Format Evaluasi Sesi 3 Logoterapi Individu : Teknik Medical ministry Terhadap Ketidakberdayaan Ruangan

:

Hari/Tanggal

:

No

Nama klien

Aspek yang di nilai

1.

Mengidentifikasi masalah yang belum teratasi selama menderita penyakit DM

2. Mengungkapkan

masalahnya

dengan

mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara pertama. 3.

Mengungkapkan

masalahnya

dengan

mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara kedua 4.

Memberikan tanggapan cara yang telah diajarkan Jumlah Petunjuk : -

Nilai 1 jika perilaku tersebut dilakukan

-

Nilai 0 jika perilaku tersebut dilakukan

-

Nilai ≥ 2 jika klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya

-

Nilai ≤ 2 klien tidak dapat melanjutkan ke sesi berikutnya 2.

Dokumentasi Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien. Apabila klien dinilai mampu mengikuti logoterapi sesi ketiga maka catatan terapis adalah apakah klien mampu mengidentifikasi masalah yang belum teratasi selama menderita penyakit DM, mengungkapkan masalahnya dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara pertama, mengungkapkan masalahnya dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara kedua memberikan tanggapan cara yang telah diajarkan. Klien tidak dapat melanjutkan pada sesi ke empat apabila dianggap tidak mampu mengidentifikasi masalah yang belum teratasi selama menderita penyakit DM,

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

26

mengungkapkan masalahnya dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara pertama, mengungkapkan masalahnya dengan mendalami nilai-nilai bersikap melalui teknik medical ministry cara kedua, memberikan tanggapan cara yang telah diajarkan. Format Dokumentasi Sesi 3 Logoterapi Individu : Teknik Medical ministry Terhadap Ketidakberdayaan Nama Klien : Tanggal

:

N Mengidentifikasi o

masalah teratasi

yang

Mengungkapkan

Mengungkapkan

Memberikan

belum

masalahnya

dengan

masalahnya

dengan

selama

mendalami

nilai-nilai

mendalami

nilai-nilai

menderita penyakit DM

bersikap melalui teknik MM

bersikap melalui teknik

cara pertama

MM cara kedua

tanggapan

cara yang telah diajarkan

1 2 3 Catatan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

27

SESI IV : Evaluasi

1.

Tujuan a. Klien mampu mencoba teknik medical ministry dalam mengatasi masalah akibat menderita penyakit DM b. Klien mampu mengidentifikasi makna hidup setelah menggunakan teknik medical ministry c. Klien mampu menerima perpisahan setelah kegiatan logoterapi selesai diberikan

2.

Setting a. Pertemuan dilakukan di ruangan yang telah disiapkan b. Suasana ruangan tenang c. Terapis dan klien duduk berhadapan

3.

Alat a. Alat tulis b. Buku kerja klien c. Format evaluasi dan dokumentasi perawat

4.

Metode a. Diskusi dan tanya jawab b. Curah pendapat

5.

Langkah Kegiatan 5.1 Persiapan a.

Mengingatkan kontrak waktu dan tempat dengan klien

b.

Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

28

5.2 Pelaksanaan 1.

Fase orientasi a. Salam terapeutik 

Salam dari terapis kepada klien



Terapis (pakai papan nama)

b. Evaluasi/validasi 

Menanyakan bagaimana perasaan saat ini



Menanyakan kembali cara yang telah diajarkan oleh terapis yakni teknik medical ministry dalam mengatasi masalah/respon ketidakberdayaan klien DM

c. Kontrak 

Menjelaskan tujuan pertemuan keempat yaitu mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry sehingga mampu menemukan makna hidup dan mampu menerima perpisahan



Menjelaskan aturan main dalam pelaksanaan logoterapi yaitu lama kegiatan 45 menit yang diikuti oleh klien dari awal sampai akhir.

2. Fase kerja a.

Diskusikan bersama klien mengenai hasil dari teknik medical ministry dalam mengatasi masalah yang dirasakan selama menderita penyakit DM.

b.

Beri kesempatan pada klien untuk menjelaskan masalah yang sudah dan belum teratasi.

c.

Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara mengatasi masalah yang dirasakan.

d.

Berikan puijan pada klien atas partisipasinya.

e.

Berikan kesimpulan tentang topik yang telah dibahas

3. Fase terminasi a.

b.

Evaluasi -

Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti logoterapi

-

Terapis memberikan reinforcement positif kepada klien

Rencana Tindak Lanjut -

Menganjurkan klien mempraktekkan teknik medical ministry cara pertama dan kedua untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

-

Bekerjasama dengan perawat diruangan untuk mempertahankan logoterapi individu

c.

Kontrak yang akan datang -

Mengakhiri pertemuan logoterapi dan melaporkan pelaksanaan kepada perawat/petugas di ruanagan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

29

5.3 Evaluasi dan Dokumentasi 1. Evaluasi Evaluasi dilakukan selama proses fase kerja berlangsung. Aspek atau hal yang dievaluasi pada sesi kemepat adalah hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik medical ministry , menemukan makna hidup yang klien dapatkan dan mampu menerima perpisahan. Format Evaluasi Sesi 4 Logoterapi Individu : Evaluasi Ruangan

:

Hari/Tanggal

: Nama klien

No 1.

Aspek yang di nilai Menjelaskan

hasil

dari

teknik

medical ministry dalam mengatasi masalah 2.

Mengungkapkan

masalah

yang

sudah dan belum teratasi 3

Mengungkapkan setelah

makna

menggunakan

hidup teknik

medical ministry 4.

Menerima perpisahan Jumlah 1) Dokumentasi Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien dan apabila klien dinilai mampu Menjelaskan hasil dari teknik medical ministry dalam mengatasi masalah, Mengungkapkan masalah yang sudah dan belum teratasi, Mengungkapkan makna hidup setelah menggunakan teknik medical ministry dan Menerima perpisahan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

30

Format Dokumentasi Sesi 3 Logoterapi Individu : Evaluasi Nama Klien : Tanggal No

:

Menjelaskan teknik

hasil

medical

dari

ministry

dalam mengatasi masalah

Mengungkapkan

Mengungkapkan

makna

masalah yang sudah dan

hidup

setelah

belum teratasi

menggunakan

teknik

medical ministry

1 2 3 Catatan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Menerima perpisahan

Universitas Indonesia

MODUL

TERAPI KOGNITIF

Oleh: Tjahjanti Kristyaningsih, SKp Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc. Novi Helena C. Daulima, SKp, M.Sc

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2009

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB I PENDAHULUAN Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang prevalensi cukup banyak. WHO mencatat pada tahun 2006 terdapat 121 juta orang mengalami depresi, sebanyak 5,8 % pria dan 9,5 % wanita di dunia pernah mengalami episode depresif dalam hidup mereka (Andra, 2007). Diperkirakan, pada tahun 2020, depresi akan menempati peringkat kedua setelah penyakit jantung, yang umum dialami masyarakat di dunia. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian bunuh diri akibat depresi menempati peringkat ke-11 penyebab kematian penduduk (Amril, 2007). Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitasaktivitas umum (Copel, 2007). Pasien dapat mengungkapkan bahwa mereka merasa murung, tidak ada harapan, terbuang dan tidak berharga. Depresi yang merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa khususnya gangguan mood atau gangguan alam perasaan ini dapat mengganggu kehidupan individu. Individu diliputi kesedihan jangka panjang dan drastis, agitasi, disertai dengan keraguan terhadap diri sendiri, rasa bersalah, dan marah yang dapat mengubah aktivitas hidupnya terutama aktivitas yang melibatkan harga diri, pekerjaan dan hubungan dengan orang lain (Videbeck, 2001). Seseorang yang mengalami kondisi depresi pada umumnya mengalami masalah dalam aspek harga diri, yaitu harga diri rendah. Harga diri rendah adalah evaluasi atau perasaan yang negatif terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (NANDA, 2005). Individu yang mengalami kondisi depresi dan menunjukkan perilaku harga diri rendah biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau aspek positif dirinya sendiri. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada individu yang mengalami depresi dan menunjukkan perilaku harga diri rendah adalah dengan membantu pasien memeriksa penilaian kognitif dirinya terhadap situasi yang berhubungan dengan perasaan untuk membantu pasien dalam meningkatkan penghayatan diri dan

2 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

kemudian melakukan tindakan untuk mengubah perilaku. Pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah berupa meluaskan kesadaran diri, eksplorasi diri, evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005). Pada kondisi depresi yang memiliki masalah keperawatan harga diri rendah mungin membutuhkan intervensi keperawatan yang lebih lanjut. Hal ini dikarenakan pasien cenderung memiliki pikiran-pikiran negatif pada dirinya. Intervensi keperawatan lanjut yang dimaksud adalah pemberian terapi-terapi spesialistik yang tertuju untuk individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dimana salah satu dari terapi individu adalah terapi kognitif, yaitu suatu bentuk psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif. Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). Untuk lebih terarah dalam mencapai tujuan kegiatan terapi kognitif, maka dibuat sebuah modul Terapi Kognitif pada pasien Depresi dan Harga Diri Rendah. Kegiatan terapi kognitif yang dikembangkan dalam modul ini merupakan modifikasi modul Terapi Kognitif yang telah direkomendasikan dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK – UI pada tahun 2008 lalu yang meliputi 9 sesi dan dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Dengan pemberian terapi kognitif ini diharapkan pasien dapat merubah pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan dirinya.

3 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB II PROSES PELAKSANAAN TERAPI KOGNITIF A. Pengertian Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berfikir yang diinginkan (positif) dan merubah pikiranpikiran yang negatif (Boyd & Nihart, 1998). Menurut Granfa (2007), terapi Kognitif adalah suatu proses-proses mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap. Terapi kognitif bukanlah suatu cara bagaimana memecahkan masalah pasien, namun suatu cara membantu pasien untuk mengembangkan cara-cara baru dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman di masa lalu dan mencari alternatif penyelesaian masalahnya sendiri (Boyd & Nihart, 1998). Dengan demikian maka, terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan, sehingga pasien dapat menjadi lebih baik dan dapat kembali produktif. B. Tujuan Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). Menurut Copel (2007), terapi kognitif bertujuan untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesanpesan internal. Dengan demikian, maka 4dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran tidak logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif, obyektif, dan masuk akal (rasional). C. Indikasi Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah untuk pengontrolan marah dan pengguna obat (Beck et al, 1979 dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat bermanfaat pada pasien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti pada pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al, 1993 dalam Boyd & Nihart, 1998).

4 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan, tidak mampu berkonsentrasi atau membuat keputusan, merasa sedih, tidak berharga atau sangat bersalah. Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut adalah harga diri rendah (NANDA, 2005). Sedangkan diagnosa keperawatan lainnya yang berhubungan dengan kondisi depresi ini adalah ansietas, berduka disfungsional, keputusasaan, ketidakberdayaan, isolasi sosial, koping individu tidak efektif, dan resiko bunuh diri (Copel, 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikasi pemberian terapi kognitif adalah untuk pasien dengan masalah depresi maupun masalah psikiatrik lainnya yang memiliki diagnosa keperawatan tersebut, khususnya pada pasien dengan harga diri rendah baik situasional maupun kronik. D. Karakteristik Pasien Pasien yang dapat diberikan terapi kognitif adalah pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah dengan karakteristik perilaku adalah: 1. Mengkritik diri sendiri atau orang lain, 2. Penurunan produktivitas, 3. Perilaku destruktif tertuju pada orang lain atau diri sendiri, 4. Gangguan dalam berhubungan, 5. Rasa diri penting yang berlebihan, 6. Perasaan tidak mampu, 7. Rasa bersalah, 8. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, 9. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, 10. Ketegangan peran yang dirasakan, 11. Pandangan hidup yang bertentangan, 12. Penolakan terhadap kemampuan personal, 13. Pengurungan diri/menarik diri secara sosial, 14. Penyalahgunaan zat, 15. Menarik diri dari realitas 16. Khawatir.

5 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Prasyarat kondisi lain yang dibutuhkan dalam pemberian terapi ini adalah : 1. Pasien bersedia untuk mengikuti/menjalani terapi. 2. Kondisi fisik saat dilakukan terapi dalam keadaan sehat, ditunjukkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah) dalam keadaan normal dan stabil 3. Komunikasi pasien koheren 4. Pasien kooperatif E. Kriteria Terapis Semua profesi di bidang kesehatan yang memiliki legalitas dalam melakukan terapi kognitif dapat melaksanakan terapi ini, seperti medis (khususnya psikiater), psikolog dan perawat spesialis keperawatan jiwa. F. Peran Terapis Tiga konsep fundamental dalam terapi kognitif yang dapat dilakukan oleh seorang terapis (Anonim, 2008), yaitu: 1. Collaborative Empirisme, yaitu pasien-terapis menjadi co-investigator dan menguji fakta yang dapat menunjang dalam menolak kognisi pasien yang keliru. 2. Socratic Dialogue, yaitu dengan menggunakan tehnik bertanya yang merupakan anjuran utama dalam proses terapeutik dimana tujuan pertanyaan adalah untuk mengklarifikasi dan mendefinisikan persoalan, membantu mengidentifikasikan pikiran, images, dan asumsi menilai konsekuensi dari pikiran maladaptif bagi pikiran dan perilaku. 3. Guide Discovery, yaitu terapis memandu pasien untuk memodifikasi keyakinan dan asumsi yang maladaptif dimana pasien-terapis secara bersama-sama merekam perkembangan gangguan yang dialami pasien. G. Strategi Pelaksanaan Terapi kognitif yang akan dijabarkan dalam modul ini merupakan hasil modifikasi dari modul terapi kognitif dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK-UI pada tahun 2008. Terapi yang awalnya terdiri dari 9 sesi diringkas menjadi 4 sesi dengan tidak menghilangkan/mengurangi kemaknaan dari kesembilan sesi tersebut. Adapun penjelasan dari keempat sesi tersebut adalah sebagai berikut:

6 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

1. Sesi Pertama: Identifikasi pikiran otomatis, yaitu dengan mengidentifikasi seluruh pikiran otomatis negatif, berdiskusi untuk 1 pikiran otomatis yang dipilih, memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif pertama dan membuat catatan harian. 2. Sesi Kedua: Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri dalam sesi 1 (memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif 1), mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis kedua dengan langkah-langkah yang sama seperti dalam sesi 1. 3.

Sesi Ketiga: Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri sesi kedua di rumah, mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis ketiga dengan langkah-langkah yang sama seperti dalam sesi 1 – 2, mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan diskusikan manfaat dan perasaan setelah pasien mengikuti terapi (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi).

4. Sesi Keempat : Support system, yaitu melibatkan keluarga untuk dapat membantu pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri. H. Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan terapi kognitif untuk kelompok intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan responden. Responden diberikan alternatif pilihan waktu, yaitu saat proses haemodialisa, setelah haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal haemodialisa di pagi hari), atau sebelum haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal haemodialisa di siang hari). Intervensi terapi kognitif yang terdiri dari 4 sesi ini dilakukan dalam 4 kali pertemuan/kunjungan pasien untuk menjalani terapi haemodialisa. Dalam proses pemberian terapi kognitif, peneliti mengamati kemampuan responden dalam pembuatan catatan harian secara mandiri melalui buku catatan harian pasien/responden. Peneliti juga mencatat hasil evaluasi pelaksanaan terapi pada buku raport pasien/responden yang dipegang peneliti.

7 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

I. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan pemberian terapi kognitif ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien dengan mengutamakan privasi pasien. Mungkin dapat menggunakan ruangan khusus (tertutup) dan/atau ruangan yang tenang/tidak bising sehingga proses pelaksanaan terapi dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan dari lingkungan sekitar dan privasi pasien terjaga.

8 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB III PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI KOGNITIF A. Sesi 1 : Identifikasi pikiran otomatis yang negatif 1. Tujuan a. Pasien mampu mengungkapkan pikiran-pikiran otomatis yang negatif. b. Pasien mampu memilih 1 pikiran otomatis negatif yang dirasakan paling utama (mengganggu) untuk didiskusikan dalam pertemuan saat ini. c. Pasien mampu memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif pertama d. Pasien dapat menuliskan pikiran otomatis negatif dan tanggapan rasionalnya e. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah 2. Setting Tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman 3. Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat 4. Metode a. Sharing b. Diskusi dan tanya jawab 5. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Membuat kontrak dengan pasien 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik a) Perkenalkan nama dan nama panggilan terapis (pakai papan nama) b) Menanyakan nama dan panggilan pasien 2) Evaluasi / Validasi a) Menanyakan perasaan pasien pada saat ini b) Menanyakan apa yang sudah dilakukan pasien untuk mengatasi perasaannya

9 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

3) Kontrak a) Menjelaskan pengertian dan tujuan terapi, yaitu meningkatkan kemampuan pasien mengenal pikiran otomatis dan hal yang mendasari pemikiran tersebut. b) Menjelaskan tentang proses pelaksanaan, tugas-tugas yang harus dikerjakan pasien di rumah, buku kerja yang akan digunakan pasien dalam melaksanakan tugas-tugasnya. c) Menjelaskan jumlah pertemuan dan sesi-sesi dalam terapi. d) Menjelaskan bahwa pertemuan pertama berlangsung selama kurang lebih 45 – 60 menit. e) Menjelaskan peraturan terapi, yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai c. Tahap Kerja 1) Terapis mengidentifikasi masalah yang dihadapi pasien 2) Diskusikan sumber masalah, perasaan pasien serta hal yang menjadi penyebab timbulnya masalah. 3) Diskusikan pikiran-pikiran otomatis yang negatif tentang dirinya. 4) Minta pasien untuk mencatat semua pikiran otomatis yang negatif pada lembar pikiran otomatis negatif yang terdapat dalam buku catatan harian pasien. Perawat mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif dari pikiran otomatis negatif pasien dalam buku catatan perawat. 5) Bantu pasien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif yang paling mengganggu pasien dan ingin diselesaikan saat ini. 6) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif dengan memberi tanggapan positif (rasional) berupa aspek-aspek positif yang dimiliki pasien dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 7) Latih pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien untuk melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif dengan cara: a) Minta pasien untuk mengingat dan mengatakan pikiran otomatis negatif. b) Minta pasien untuk mengatakan aspek positif dalam (tentang) dirinya untuk melawan pikiran otomatis negatif tersebut. c) Lakukan kedua hal tersebut diatas minimal 3 kali d) Evaluasi perasaan pasien setelah melakukan latihan ini

10 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

8) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif tersebut 9) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain 10) Memberikan pujian terhadap keberhasilan pasien d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi sesi pertama ini b) Terapis memberikan pujian yang sesuai 2) Tindak Lanjut a) Menganjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis yang negatif dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif tersebut. b) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pemikirannya dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran negatif tersebut. c) Menganjurkan

pasien

untuk

mengidentifikasikan

pikiran-pikiran

otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi pertama ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. d) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi aspek-aspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif pertama yang belum diidentifikasi dalam pertemuan pertama ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya. 3) Kontrak akan datang a) Menyepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi kedua), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melaksanakan tugas-tugasnya di rumah dan berdiskusi untuk penyelesaian terhadap pikiran otomatis negatif yang kedua b) Menyepakati waktu dan tempat 6. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi

11 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF Hari /

No.

Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif

TANGGAPAN RASIONALKU Hari /

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggal

yang Negatif

Tanggapan Rasionalku

CATATAN HARIANKU Hari / Tanggal

Jam

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggapan

yang Negatif

Rasionalku

12 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Hasil

B. Sesi 2, yaitu Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif 1. Tujuan a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran otomatis negatif pertama yang telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya (Sesi 1). b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif kedua yang akan diselesaikan dalam pertemuan kedua ini. c. Pasien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif kedua dan menuliskannya di lembar/buku catatan harian. d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul. e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis lainnya. 2. Setting tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman 3. Alat a. Diri perawat dan kemampuan berkomunikasi secara terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat 4. Metode Diskusi dan tanya jawab 5. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien. 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif. b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik Salam dari terapis kepada pasien 2) Evaluasi Validasi a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien pada saat ini. b) Menanyakan apakah pasien telah melakukan latihan secara mandiri di rumah.

13 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

c) Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif pertama masih muncul, waktu atau situasi munculnya pikiran otomatis tersebut, pikiran otomatis negatif yang baru, dan tanggapan rasional yang lainnya. d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba berlatih mandiri dalam menyelesaikan masalah dan membuat catatan harian di rumah. Perawat melihat buku catatan harian pasien. e) Menanyakan apakah pasien telah mengidentifikasi pikiran otomatis kedua untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan pertemuan kedua ini adalah meningkatkan kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang kedua. b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 menit. c) Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai. c. Tahap Kerja 1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien dalam membuat catatan harian di rumah 2) Diskusikan dengan pasien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif kedua yang ingin diselesaikan dalam pertemuan kedua ini 3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif yang pertama yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 4) Latih kembali pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang sama seperti sesi pertama. 5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif keduanya tersebut. 6) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain 7) Memberikan pujian terhadap keberhasilan pasien.

14 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan pasien setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai 2) Tindak lanjut a) Menganjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif kedua tersebut. b) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi di rumah apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pemikirannya dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran negatif kedua tersebut. c) Menganjurkan

pasien

untuk

mengidentifikasikan

pikiran-pikiran

otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi kedua ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. b) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi aspek-aspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif kedua yang belum diidentifikasi dalam pertemuan kedua ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi ketiga), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melaksanakan tugasnya, berdiskusi untuk penyelesaian terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga, dan berdiskusi manfaat hasil daam mengikuti terapi kognitif. b) Menyepakati waktu dan tempat 6. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF

15 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Hari /

No.

Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif

TANGGAPAN RASIONALKU Hari /

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggal

yang Negatif

Tanggapan Rasionalku

CATATAN HARIANKU Hari / Tanggal

Jam

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggapan

yang Negatif

Rasionalku

Hasil

B. Sesi 3, yaitu Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif). A. Tujuan a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran otomatis yang negatif pertama dan kedua tentang dirinya yang telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya.

16 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif ketiga yang akan diselesaikan dalam pertemuan ini. f.

Pasien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif ketiga tentang dirinya dan menuliskannya di lembar tanggapan rasional dalam buku catatan harian pasien.

g. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul. a. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis negatif lainnya. b. Pasien dapat memberi tanggapan (perasaan) terhadap pelaksanaan terapi kognitif di rumah c. Pasien dapat mengungkapkan hambatan yang ditemui dalam membuat catatan harian. d. Pasien dapat mengungkapkan hasil dan manfaat dalam mengikuti terapi kognitif e. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran-pikiran otomatis negatif yang timbul. B. Setting Tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman C. Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat D. Metode Diskusi dan tanya jawab E. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif b. Tahap Orientasi 1) Salam Terapeutik : Salam dari terapis kepada pasien 2) Evaluasi Validasi a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien pada saat ini

17 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

a) Menanyakan apakah pasien telah melakukan latihan secara mandiri di rumah. b) Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif pertama dan kedua masih muncul, waktu atau situasi munculnya pikiran-pikiran otomatis negatif tersebut, adakah pikiran otomatis negatif yang baru, dan tanggapan rasional lainnya. c) Menanyakan apakah pasien telah mencoba berlatih mandiri dalam menyelesaikan masalah dan membuat catatan harian di rumah. Perawat melihat buku catatan harian pasien. b) Menanyakan apakah pasien telah mengidentifikasi pikiran otomatis ketiga untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan pertemuan dari sesi ketiga ini, yaitu meningkatkan kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga dan mengungkapkan hasil atau manfaat dalam mengikuti terapi. b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 menit c) Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai. c. Tahap Kerja 1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien dalam membuat catatan harian di rumah 2) Diskusikan ketiga yang ingin diselesaikan dalam pertemuan ini 3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif ketiga dengan cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif yang pertama/kedua yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 4) Latih kembali pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang sama seperti sesi pertama/kedua. 5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif keduanya tersebut.

18 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

6) Diskusikan perasaan pasien setelah menggunakan tahapan-tahapan dalam memberikan tanggapan rasional (melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif) dan beri umpan balik. 7) Diskusikan manfaat tanggapan rasional yang dirasakan pasien dalam menyelesaikan pikiran otomatis yang timbul. 8) Tanyakan apakah cara tersebut dapat menyelesaikan masalah yang timbul karena pikiran otomatisnya. 9) Tanyakan hambatan yang dialami pasien dalam memberi tanggapan rasional dan menyelesaikan masalahnya. 10) Diskusikan cara mengatasi hambatan. 11) Anjurkan pasien untuk mengungkapkan hasil yang diperoleh selama mengikuti pertemuan-pertemuan dalam terapi. 12) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan pasien. d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan pasien setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai

2) Tindak Lanjut a) Menganjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis negatif ketiga dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan rencana tindakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif ketiga tersebut. b) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi di rumah apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pemikirannya dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran negatif ketiga tersebut. c) Menganjurkan

pasien

untuk

mengidentifikasikan

pikiran-pikiran

otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi ketiga ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. d) Menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi aspek-aspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif ketiga yang belum

19 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

diidentifikasi dalam pertemuan ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi keempat), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melaksanakan tugasnya, berdiskusi bersama keluarga untuk mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri di rumah. b) Menyepakati waktu dan tempat F. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF Hari /

No.

Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif

TANGGAPAN RASIONALKU Hari /

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggal

yang Negatif

Tanggapan Rasionalku

20 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

CATATAN HARIANKU Hari /

Jam

Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggapan

yang Negatif

Rasionalku

Hasil

D. Sesi 4, yaitu Support system A. Tujuan a. Meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien dan keluarga b. Pasien mendapat dukungan (support sistem) dari keluarga c. Keluarga dapat menjadi support sistem bagi pasien B. Setting Pasien, keluarga dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman C. Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat D. Metode Diskusi dan tanya jawab E. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien dan keluarga 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik Salam dari terapis kepada pasien dan keluarga

21 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

2) Evaluasi / Validasi a) Menanyakan perasaan pasien dan keluarga pada saat ini b) Menanyakan apa pasien sudah membuat catatan harian (kegiatan) dalam upaya untuk mengatasi pikiran otomatis dan perasaannya. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan pertemuan keempat ini, yaitu keluarga dapat memberikan dukungan bagi pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri di rumah b) Menjelaskan pengertian dan tujuan terapi kepada keluarga, yaitu meningkatkan kemampuan pasien dalam mengatasi pikiran-pikiran otomatis (negatif) dan cara penyelesaian masalah yang timbul akibat pikiran otomatis tersebut. c) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 45 – 60 menit d) Menjelaskan peraturan terapi yaitu pasien dan keluarga duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai. c. Tahap Kerja 1) Jelaskan pada keluarga tentang pengertian, tujuan dan manfaat terapi kognitif bagi pasien 2) Jelaskan pada keluarga tentang pelaksanaan terapi kognitif yang telah dilakukan pasien termasuk pembuatan catatan hariannya. 3) Minta pasien untuk menjelaskan pada keluarga tentang pikiran-pikiran negatif yang dirasakan, cara mengatasi/melawan pikiran tersebut, pembuatan catatan harian, dan manfaat hasil yang dirasakan pasien dalam menjalani terapi kognitif. 4) Libatkan keluarga dalam mengidentifikasi perilaku pasien sebelum, selama dan sesudah mengikuti terapi kognitif. 5) Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang telah dimiliki pasien 6) Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan masalah-masalah (pikiranpikiran negatif) yang dialami pasien 7) Libatkan keluarga dalam diskusi untuk membantu penyelesaian masalah yang telah dilakukan pasien 8) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan pasien dan keluarga.

22 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan pasien dan keluarga setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai 2) Tindak Lanjut a) Menganjurkan pada keluarga untuk dapat menerima dan merawat pasien di rumah b) Menganjurkan

keluarga

untuk

mengingatkan

pasien

dalam

melaksanakan tugas-tugas mandiri yang telah dibuat bersama perawat dalam pertemuan sebelumnya. 3) Kontrak yang akan datang a) Membuat kesepakatan dengan keluarga untuk dapat menjadi support system bagi pasien b) Menyepakati waktu dan tempat F. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien dan keluarga pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan. DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF

No.

Hari / Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif

23 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

TANGGAPAN RASIONALKU Hari /

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggal

yang Negatif

Tanggapan Rasionalku

CATATAN HARIANKU Hari /

Jam

Tanggal

Daftar Pikiran Otomatis

Tanggapan

yang Negatif

Rasionalku

Hasil

E. Evaluasi Evaluasi akhir kemampuan pasien dan keluarga dalam melaksanakan terapi kognitif secara mandiri 1. Pasien Pasien No

Aspek yang dinilai

1

Mengungkapkan pikiran otomatis

2

Mengungkapkan alasan

3

Mengungkapkan tanggapan rasional

4

Mengungkapkan hasil/manfaat terapi

5

Membuat catatan harian

24 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Ya

Tidak

2. Keluarga Keluarga No

Aspek yang dinilai Ya

1

Tidak

Mengungkapkan dukungan dalam membantu pasien untuk melaksanakan terapi kognitif di rumah

2

Membantu pasien dalam pelaksanaan membuat catatan harian

3

Memberi pujian terhadap perilaku positif pasien

DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2008). Cognitive Therapy for Depression. ¶ http://www.psychology info.com/depression/cognitive.htm diperoleh tanggal 3 Januari 2009. Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice, Philadelphia: Lippincott. Burns, David D. (1988). Terapi Kognitif : pendekatan barubagi penanganan depresi. Jakarta : Erlangga. Copel, Linda C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawat (Psychiatric and Mental Health Care: Nurse’s Clinical Guide). Edisi Bahasa Indonesia (Cetakan kedua). Alihbahasa : Akemat. Jakarta : EGC. Grandfa. (2007). Tanggulangi Depresi Secara Tepat. ¶ http://id.shvoong.com/ medicineand-health/neurology/1670144-tanggulangi-depresi-secara-tepat/ diperoleh tanggal 28 Desember 2008. NANDA (2005). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification, Philadelphia : AR Stuart, G.W., and Laraia (2005). Principles and practice of psyhiatric nursing. (7th ed.). St. Louis : Mosby Year B. Varcarolis, E.M., Carson, V.B., & Shoemaker, N.C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing : A Clinical Approach. (5th ed). St. Louis : Saunders Elsevier. Workshop Keperawatan Jiwa FIK – UI, (2007). Kumpulan Terapi Individu. Jakarta: FIK – UI (Tidak dipublikasikan).

25 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

MODUL PANDUAN TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA

Oleh : Nurbani, S.Kp Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc Herni Susanti, S.Kp, M.N

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA 2009

0 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan salah satu sasaran dalam meningkatkan kesehatan mental, karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal baik secara fisik maupun mental. Keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Kesehatan keluarga terdiri dari kesehatan fisik dan mental keluarga yang saling ketergatungan. Kesehatan fisik dan mental tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Kesehatan fisik akan mempengaruhi kesehatan mental, begitu pula sebaliknya. Kesehatan mental keluarga, merupakan sebuah interaksi, kesehatan keluarga menunjukkan kepada keadaan, dimana terjadi proses internal atau dinamika, seperti hubungan interpersonal keluarga. Fokusnya terletak pada hubungan antara keluarga dan subsistem-subsistemnya, seperti subsistem orang tua atau keluarga dan para anggotanya (Friedman, 1998). Kesehatan fisik maupun kesehatan mental anggota keluarga dapat dipengaruhi oleh kesehatan yang ada dalam anggota keluarga, misalnya penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota keluarga. Penyakit fisik dapat menimbulkan masalah psikososial yang terjadi baik pada pasien sendiri maupun pada keluarga. Masalah psikososial ini banyak terjadi pada orangorang dan anggota keluarga yang menderita penyakit kronis atau penyakit generatif. Salah satu penyakit kronis yang sering kita jumpai adalah penyakit stroke. Data Worlh Health Organitation (2007), menunjukkan 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia setiap tahun. Sebanyak 5 juta orang mengalami kematian dan 5 juta mengalami kecacatan yang menetap (Stroke center, 2007) Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang penduduk Indonesia terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat, kecenderungan stroke menyerang generasi muda yang masih produktif (Yastroki, 2008). Stroke atau cidera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi system sarap pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak” ( Smeltzer & Bare, 2008). Stroke merupakan suatu penyakit yang dapat terjadi pada

1 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

setiap orang secara mendadak yang menyerang saraf pusat sehingga menimbulkan aliran darah keotak tidak lancar yang disebabkan oleh adanya sumbatan . Hasil dari penelitian Visser-Meily A, et al, dan Thommessen et al, (2002) penyakit stroke mempunyai dampak psikososial yang tinggi bagi anggota keluarganya sebesar 51% beban berat, 46% mengalami ketidakpuasan hidup, 51% mengalami gejala depresi selama 1 tahun setelah stroke, dan beban psikososial yang tinggi pada pasangan pasien stroke (= -13, p=0,01)

Perubahan fungsi psikososial antara 1-3

tahun setelah stroke dilaporkan 27%-57% oleh pasangan. Lamanya masa perawatan dan terganggunya fungsi anggota tubuh bagi individu yang mengalami stroke tentu akan berdampak pada psikososial keluarga yaitu menjadi beban bagi keluarga dan dapat menimbulkan ansietas pada keluarga. Menurut penelitian Wilz dan Kalytta (2008) yang dilakukan pada 114 pasangan pasien yang mengalami stroke setelah satu tahun rehabilitasi prevalensinya gejala ansietas cukup tinggi yaitu sekitar 27,6% 28,9%. Pada rumah sakit umum rata-rata belum adanya pelayanan khusus untuk mengatasi masalah psikososial baik pada klien maupun keluarga. Padahal kita ketahui keluarga akan mengalami masalah psikososial akibat dari adanya anggota keluarga yang mengalami sakit fisik, baik karena penyakit maupun lamanya masa perawatan. Untuk itu perlu penanganan masalah terhadap psikososial yang dialami oleh keluarga yang anggotanya mengalami sakit fisik seperti stroke yang dirawat di rumah sakit umum. Salah satunya adalah program PCLN (Psychiaric Consultan-Liasison Nursing). Salah satu proram PLCN yang dapat dilakukan untuk keluarga yang mengalami masalah psikososial seperti ansietas dan beban adalah psikoedukasi keluarga. Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia, 2005 ). Terapi keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya. Penelitian psikoedukasi yang berhubungan dengan masalah fisik yang menimbulkan masalah psikososial dilakukan oleh Boesen, dkk (1993) menunjukan hasil berkurangnya kelelahan, bersemangat atau tenaga lebih kuat, gangguan suasana hati lebih rendah dibandingkan dengan kelompok control.

2 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

B. Tujuan Setelah mempelajari modul ini diharapkan terapis mampu: 1. Melakukan psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggotanya mengalami penyakit fisik (stroke) 2. Melakukan melakukan evaluasi psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggotanya mengalami penyakit fisik (stroke) 3. Melakukan pendokumentasian

3 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA MASALAH PSIKOSOSIAL KELUARGA YANG ANGGOTANYA MENGALAMI PENYAKIT FISIK (STROKE)

A. Pengertian Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia, 2005 ). Psikoedukasi keluarga

adalah suatu metoda berdasar pada penemuan klinis untuk

melatih keluarga-keluarga dan bekerja sama dengan para profesional kesehatan jiwa sebagai bagian dari perawatan menyeluruh secara klinis yang direncanakan untuk anggota keluarga (Minddisorders, 2009). Sedangkan menurut Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala-gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi ini membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri.

B. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan utama dari terapi psikoedukasi keluarga adalah saling bertukar informasi tentang perawatan kesehatan mental akibat penyakit fisik yang dialami, membantu anggota keluarga mengerti tentang penyakit anggota keluarganya seperti gejala, pengobatan yang dibutuhkan untuk menurunkan gejala dan lainnya (Varcarolis, Carson and Shoemaker, 2006). 2.

Tujuan Khusus a. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan. b. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan atau serangan berulang pada penyakit yang diderita.

4 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

c. Mengembalikan fungsi pasien dan keluarga d. Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain. C. Indikasi Psikoedukasi Keluarga 1. Keluarga dengan masalah psikososial dan gangguan jiwa 2. Keluarga yang membutuhkan latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif. 3. Keluarga yang mengalami stress dan krisis, seperti pada keluarga dengan penyakit Stroke dan Alzheimer. 4. Keluarga yang membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin mempertahankan kesehatan mentalnya dengan latihan ketrampilan 5. Keluarga yang membutukan pendidikan dan dukungan dalam upaya preventif (pencegahan) timbulnya masalah kesehatan mental keluarga

D. Tempat Psikoedukasi keluarga dapat dilakukan dirumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan yang tenang. Dapat juga dilakukan dirumah keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi kepada perawat tentang bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam keluarga, nilai–nilai yang dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga tentang kesehatan . E. Kriteria Terapist 1. Minimal Lulus S2 Keperawatan Jiwa 2. Memiliki pengalaman dalam praktek keperawatan jiwa F. Metode Terapi, 1. Diskusi atau tanya jawab 2. Demontrasi tergantung kebutuhan terapi. G. Alat Terapi Alat

terapi

tergantung

metode

yang

dipakai.

Antara

lain

alat

tulis

dan

kertas,booklet/leaflet, poster dan lain sebagainya. Namun alat yang paling utama adalah diri perawat sebagai terapis.

5 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

H. Evaluasi Evaluasi yang dilakukan pada disesuaikan dengan tujuan setiap sesi dan ada diformat setiap sesi yang akan dilakukan. Hal yang diharapkan tersebut adalah: 1. Keluarga bersedia menyepakati kontrak,mengetahui tujuan, dapat membagi pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan dengan penyakit stroke dan dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga 2. Perawatan pasien stroke yaitu pengertian stroke, tanda dan gejala, penyebab, dan cara merawatnya. 3. Manajemen ansietas yaitu pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan cara mengatasinya 4. Manajemen beban yaitu tanda dan gejala dan cara mengatasi mengatasi beban yang dirasakan. 5. Hambatan dan Pemberdayaan keluarga I. Proses Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga

akan dilakukan dengan anggota keluarga (caregiver) yang

anggota keluarganya mengalami penyakit stroke. Kemudian terapis akan bertemu dengan caregiver dan menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat anggota keluarga yang stroke, dan keluarga (caregiver) dapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan mencari cara pemecahan masalah yang dihadapi. Adapun proses kerja untuk melakukan psiko edukasi pada keluarga adalah : a. Persiapan 1. Identifikasi dan seleksi keluarga (caregiver) yang membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan 2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga 3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan anggota keluarga (caregiver) yang mengikuti keseluruhan pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal serumah dan yang merawat pasien yang sakit stroke. b. Pelaksanaan Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok menganalisa pencapaian terapi dapat dilakukan pada 5 sesi :

6 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarga dengan stroke) Sesi 2 : Perawatan pasien dengan penyakit stroke yang tediri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit stroke. Sesi 3 :

Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.

Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara mengatasi beban. Sesi 5 : Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran anggota keluarga dalam merawat pasien stroke dan hambatan yang akan ditemui.

7 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

BAB III PANDUAN TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA (FAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY)

SESI

I

:

PENGKAJIAN

MASALAH

YANG

DIALAMI

(PENGALAMAN

KELUARGA SELAMA MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN STROKE) A. TUJUAN SESI I : 1. Keluarga (caregiver) dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga. 2. Keluarga (caregiver) mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga. 3. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan penyakit stroke ( masalah pribadi yang merawat dan masalah dalam merawat) 4. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga. B. SETTING 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT DAN BAHAN Booklet atau leaflet, modul, name tag dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi) D. METODE Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab. E. LANGKAH – LANGKAH : 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi : a. Salam terapeutik : salam dari terapis. b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis, kemudian menggunakan name tag. c. Menanyakan nama dan panggilan keluarga (caregiver) . d. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) dalam mengikuti program psikoedukasi keluarga saat ini.

8 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

e. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan membantu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan dengan penyakit stroke yang menimbulkan masalah psikososial. f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1. Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi 2. Lama kegiatan 30 – 45 menit 3. Keluarga (caregiver)

mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan

anggota keluarga yang tidak berganti. Fase Kerja : a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan penyakit stroke yang dialami salah satu anggota keluarga. 1. Masalah pribadi dari anggota keluarga (caregiver) sendiri. 2. Masalah dalam merawat anggota keluarga yang sakit stroke. 3. Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga 4. Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri. b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya salah satu anggota keluarga yang menderita stroke. 1. Keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-perubahan yang dialami dalam keluarga seperti perubahan peran dalam keluarga dan fungsi keluarga setelah adanya anggota keluarga yang mengalami sakit stroke. c. Menanyakan

keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi

keluarga. d. Memberikan kesempatan peserta untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil diskusi yang sudah dilakukan. Fase Terminasi : a. Evaluasi : 1. Menyimpulkan hasil diskusi sesi I 2. Menanyakan perasaan keluarga (caregiver)setelah selesai sesi I b. Tindak Lanjut : 1. Menganjurkan keluarga (caregiver)untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada anggota keluarga yang lain tentang masalah psikososial dan perubahanperubahan yang terjadi pada keluarga dengan penyakit stroke c. Kontrak : 1. Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang penyakit stroke 2. Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya.

9 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan.

a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga No

Aspek yang dinilai

1 2

Menyepakati kontrak kegiatan Menyebutkan tujuan program psikoedukasi keluarga Menyampaikan pengalaman yang dialami selama merawat anggota keluarga dengan stroke Menyampaikan perubahan yang terjadi dalam keluarga misalnya perubahan peran dan fungsi keluarga setelah adanya anggota anggota keluarga yang mengalami stroke Menyampaikan keinginan dan harapan selama mengikuti program psikoedukasi keluarga Aktif dalam diskusi

3 4.

4 5

Nama anggota keluarga (caregiver)

Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ Perawat No 1 2 3 4 5 6 7 8

Aspek yang dinilai

Ya

Tida k

Menyepakati kontrak dengan keluarga Menjelaskan tujuan dari program psikoedukasi Mendengarkan pengalaman yang disampaikan oleh keluarga Mendengarkan keinginan dan harapan anggota keluarga selama mengikuti program psikoedukasi Kontak mata Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka

b. Format Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:.........................................................................................

10 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)

Perilaku yang ditampilkan     

............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ Tanda Tangan Perawat

SESI II : PERAWATAN PASIEN DENGAN PENYAKIT STROKE A. TUJUAN SESI II : 1. Keluarga (caregiver) mengetahui tentang penyakit stroke yang diderita oleh anggota keluarganya. 2. Keluarga (caregiver) mengetahui pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit stroke. B. SETTING 1. Keluarga (caregiver) dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT Booklet , modul, name tag dan buku kerja keluarga/caregiver (format evaluasi dan dokumentasi) D. METODE Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab E. LANGKAH – LANGKAH 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Salam terapeutik : salam dari terapis. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang masalah psikososial yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.

11 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan kedua yaitu keluarga mengetahui dan dapat menyebutkan tentang penyakit stroke yang dialami oleh anggota keluarganya serta mendapatkan informasi tentang penyakit stroke dari terapis yang terdiri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit stroke. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)

mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan

anggota keluarga (caregiver) yang tidak berganti. Fase Kerja a. Mendiskusikan tentang penyakit stroke yang dialami oleh salah satu anggota keluarga:caregiver menyampaikan stroke dari pengertian mereka sendiri b. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver. c. Menyampaikan tentang konsep stroke meliputi pengertian, penyebab, tanda, prognosis, cara merawat anggota keluarga yang mengalami stroke. d. Memberikan kesempatan pada caregiver untuk menanyakan tentang penyakit stroke setelah diberikan penjelasan (hal yang kurang jelas setelah diberi penjelasan). e. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver Fase Terminasi a. Evaluasi 1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi II 2) Menanyakan perasaan keluarga (caregiver) setelah sesi II selesai b. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga (caregiver) untuk menyampaikan tentang materi penyakit stroke yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain c. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya. F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

12 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga No 1 2 3 4

Nama anggota keluarga (caregiver)

Aspek yang dinilai Mengikuti informasi yang disampaikan Menyebutkan kembali pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit stroke Kontak mata Mengikuti kegiatan sampai selesai

Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Perawat

Aspek yang dinilai

Ya

Tidak

Memberikan informasi tentang penyakit stroke kepada anggota keluarga Memberikan umpan balik atas informasi yang diberikan kepada keluarga. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka

b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:............................................................................ Sesi terapi:............................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)

Perilaku yang ditampilkan     

............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................

Tanda Tangan Perawat

13 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Sesi III : MANAJEMEN ANSIETAS YANG DIALAMI OLEH KELUARGA A. TUJUAN: 1.

Keluarga (caregiver) mampu menyebutkan pengalaman ansietas yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami penyakit stroke dalam keluarga

2.

Keluarga (caregiver) mendapatkan informasi tentang ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit stroke seperti tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.

3.

Keluarga (caregiver) dapat mendemontrasikan cara menurunkan ansietas

B. SETTING : 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT : 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah dan redemontrasi E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya penyakit stroke yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.

14 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan ketiga yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat menyebutkan tentang ansietas yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala dan cara mengurangi ansietas. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)

mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan

anggota keluarga yang tidak berganti.

Fase Kerja a. Menanyakan anggota keluarga (caregiver) terkait dengan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit stroke. b. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) menyampaikan pendapat/ perasaannya c. Menjelaskan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit stroke dengan menggunakan booklet seperti pengertian, tanda dan gejala dan cara menurunkan ansietas. d. Meminta anggota keluarga (caregiver) mengidentifikasi tanda dan gejala dan cara mengurangi ansietas sesuai dengan penjelasan terapis. e. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) menyampaikan pendapat/ perasaannya f. Mendemontrasikan cara mengurangi ansietas yang dialami oleh anggota keluarga (caregiver) yaitu relaksasi atau deep breathing g. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan ulang cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing.

Fase Terminasi a. Evaluasi 1) Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti sesi III 2) Menyimpulkan hasil diskusi diskusi sesi III b. Tindak lanjut Menganjurkan anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih cara mengatasi ansietas.

15 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

c. Kontrak yang akan datang 1) Menyepakati untuk mendiskusikan tanda dan cara dalam mengatasi beban yang dialami oleh caregiver selama merawat anggota keluarganya yang sakit stroke. 2) Menyepakati waktu dan tempat terapi berikutnya F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga (Caregiver) No

Aspek yang dinilai

1

Menyampaikan perasaanya ansietas yang dirasakan akibat anggota keluarga menderita penyakit stroke Mengikuti informasi yang disampaikan yaitu tentang ansietas yaitu tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas caregiver. Mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara untuk menurunkan ansietas yang dialami caregiver Mendemontrasikan kembali cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing Mengikuti kegiatan sampai selesai Kontak mata

2

3 4 4 5

Nama anggota keluarga (caregiver

Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No

Aspek yang dinilai

1

Mendiskusikan perasaan ansietas keluarga (caregiver) yang dialami akibat anggota keluarga menderita stroke Memberikan informasi yang disampaikan yaitu tentang tanda dan gejala serta mengatasi ansietas. Mendemontrasikan cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati

2 3 4 5 6.

16 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Perawat Ya

Tidak

7. 8

Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka

b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)

Perilaku yang ditampilkan  ............................................................................ Tanda Tangan Perawat

Sesi 4 : MANAJEMEN MENGATASI BEBAN YANG DIALAMI OLEH KELUARGA (CAREGIVER) A. TUJUAN: 1. Keluarga (caregiver) mengenal tanda-tanda beban yang dialaminya akibat adanya anggota yang menderita stroke 2. Keluarga (caregiver) mengatahui cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke. 3. Keluarga dapat mendemontrasikan cara berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain untuk mengurangi beban. B. SETING : 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT : 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah, redomantrasi E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

17 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver)

hari ini dan menanyakan

apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya cara yang sudah diterapkan untuk mengurangi ansietas yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan keempat yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat menyebutkan tentang beban yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala dan cara mengurangi beban yang dialami.. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)

mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan

anggota keluarga yang tidak berganti. Fase Kerja a.

Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang tanda-tanda dan cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit stroke.

b.

Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya

c.

Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit stroke.

d.

Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya

e.

Menjelaskan tentang beban yang dirasakan oleh caregiver seperti pengertian, tanda-tanda, dan cara mengatasi beban yang dirasakan yaitu dengan berkomunikasi terbuka dalam keluarga.

f.

Meminta setiap anggota keluarga menyebutkan kembali tanda-tanda dan cara mengatasi beban keluarga yang sakit stroke.

18 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

g.

Memberikan

pujian/

penghargaan

atas

kemampuan

anggota

keluarga

menyampaikan pendapat/ perasaannya h.

Terapis mendemonstrasikan cara mengatasi beban dengan menyampaikan perasaan kepada anggota keluarga yang lain, bagaimana komunikasi terbuka didalam keluarga.

i.

Meminta anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.

j.

Memberikan pujian atas peran anggota keluarga

Fase Terminasi a. Evaluasi 1)

Menyimpulkan hasil diskusi sesi IV.

2)

Menanyakan perasaan anggota keluarga (caregiver) setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga sesi IV.

b. Tindak lanjut Menganjurkan setiap anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih komunikasi terbuka dalam keluarga dengan menyampaikan perasaannya dan mendiskusikannya dengan anggota keluarga yang lain. c. Kontrak yang akan datang 1) Menyepakati cara mengatasi hambatan pemberdayaan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke. 2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya. F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a.

Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi.

19 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Bagi Keluarga Nama anggota keluarga (caregiver)

No

Aspek yang dinilai

1

Menyebutkan tanda-tanda beban yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke Menyebutkan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke. Mendemonstrasikan cara yang diajarkan yaitu dengan komunikasi terbuka dalam keluarga. Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir Kontak mata Mendengarkan pendapat orang lain

2 3 4 5 6

Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ Perawat

No

Aspek yang dinilai

1

Mendiskusikan tanda-tanda beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke Mendiskusikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke Mendemonstrasikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita stroke dengan latihan komunikasi terbuka dalam keluarga. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka

2 3 4 5 6. 7. 8

Ya

Tidak

b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)

Perilaku yang ditampilkan     

............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ........................................................................... .......................................................................... Tanda Tangan Perawat

20 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

SESI V : MENGATASI HAMBATAN DAN PEMBERDAYAAN KELUARGA A. TUJUAN SESI V : 1. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga dengan stroke maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri. 2. Keluarga (caregiver) dapat berbagi peran dalam merawat anggota keluarga yang stroke dengan anggota keluarga lainnya. 3. Keluarga (caregiver) dapat membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang sakit stroke baik di rumah sakit maupun di rumah. B. SETTING 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT: 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah, latihan membuat jadual kegiatan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang stroke E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan keluarga (cregiver) 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver)

hari ini dan menanyakan

apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sesi sebelumnya. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak :

21 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Menjelaskan

tujuan

pertemuan

kelima

yaitu

keluarga

(caregiver)

dapat

memberdayakan anggota keluarga yang lain dan menyebutkan serta mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga yang stroke maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)

mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan

anggota keluarga yang tidak berganti.

Fase Kerja a. Menanyakan hambatan yang dirasakan keluarga (caregiver) dalam merawat anggota keluarga dengan stroke dan hambatan yang dirasakan oleh anggota keluarga (caregiver) sendiri. b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya c. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang peran setiap anggota keluarga selama merawat anggota keluarga dengan penyakit stroke. d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya e. Menjelaskan tentang cara berbagi peran dalam keluarga yang lain selama merawat anggota keluarga dengan stroke menggunakan booklet. f. Memberi kesempatan pada keluarga (caregiver) menyebutkan kembali bagaimana membagi peran dalam keluarga selama merawat anggota keluarga dengan stroke. g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) dalam memberikan pendapatnya. h. Bersama anggota keluarga (caregiver) untuk membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke baik dirumah sakit maupun saat dirumah. i. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan dan peran anggota keluarga (caregiver) dalam membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang mengalami stroke. j.

Mendiskusikan bersama anggota keluarga (caregiver) cara mengatasi hambatan dan mencari solusi yang terbaik untuk caregiver dan anggota keluarga yang lain.

22 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Fase Terminasi a. Evaluasi 1)

Menyimpulkan hasil diskusi pada sesi V

2)

Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga sebanyak lima sesi

b. Tindak lanjut 1)

Menganjurkan untuk saling berbagi peran dalam keluarga

2)

Membuat jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga yang stroke dalam keluarga

3)

Mengatasi hambatan yang dialami bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.

c. Terminasi dan menganjurkan anggota keluarga melakukan perawatan dan rehabilitasi dengan menggunakan faslitas kesehatan yang mudah terjangkau untuk tindak lanjut pasien stroke apabila sudah pulang kerumah.

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi Bagi Keluarga No

Aspek yang dinilai

1

Dapat menyebutkan hambatan yang dialami selama merawat pasien stroke dan hambatan bagi caregiver sendiri dengan masalah pribadi yang dirasakan. Menyebutkan cara berbagi peran dalam keluarga Membuat jadual kegiatan keluarga Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir Kontak mata Mendengarkan pendapat orang lain

2 3 4 5 6

Nama anggota keluarga 1

23 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ Perawat Aspek yang dinilai

No 1 2 3 4

5 6. 7. 8 9

Ya

Tida k

Mendiskusikan hambatan yang dirasakan dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke Mendiskusikan cara berbagi peran dalam keluarga Bersama-sama anggota keluarga membuat jadual kegiatan keluarga Mendiskusikan cara mengatasi hambatan dalam merawat pasien dengan stroke seperti berbagi peran dan menyusun jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga dengan stroke. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka

b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)

Perilaku yang ditampilkan     

............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ........................................................................... ...........................................................................

Tanda Tangan Perawat

24 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

DAFTAR PUSTAKA Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company Friedman, Marilyn (1998) Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktik, Ed.3. Jakarta EGC Stuart,G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Laouis: Mosby Thommessen , Bente, et.al (2001), The psychosocial burden on spouses of the elderly with stroke, dementia and Parkinson's disease, Department of Geriatric Medicine, Ullevaal Hospital, Oslo,Norway Section of Geriatric Psychiatry, Rogaland Psychiatric Hospital, Stavanger, Norway The Norwegian Centre for Dementia Research Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Varcarolis, Elizabet.M et.al (2006). Foundations Of Pshychiatric Mental Health Nursing A Clinical Approach, Edisi 5. Sounders Elsevier , St Louis Missouri Visser-Meily A,et al (2005), Psychosocial functioning of spouses in the chronic phase after stroke: improvement or deterioration between 1 and 3 years after stroke,Rudolf Magnus Institute of Neuroscience, University Medical Center Utrecht and Rehabilitation Center De Hoogstraat, Utrecht, The Netherlands. [email protected] Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

25 Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Lampiran …

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama

:

Eyet Hidayat

Tempat/Tanggal Lahir

:

Majalengka, 28 September 1967

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Pekerjaan

:

Pengajar Program Studi Keperawatan Cirebon Poltekkes Tasikmalaya

Alamat Instansi

:

Jl. Pemuda no 38 Cirebon. Telpon : (0231) 245739

Alamat Rumah

:

Jl. P. Janapura No. 16 RT 03 RW 02 Wanayasa – Beber – Cirebon Telpon : (0232) 8618041 - 081564706552

Riwayat Pendidikan SDN Burujulkulon, Jatiwangi, Majalengka

:

Lulus tahun 1980

SMPN 2 Jatiwangi, Majalengka

:

Lulus tahun 1983

SPK Depkes Cirebon

:

Lulus tahun 1986

SMA Mesperdam Bandung

:

Lulus tahun 1992

D III Keperawatan Akper PajajaranDepkes Bandung :

Lulus tahun 1990

S1 Pendidikan IKIP Bandung

:

Lulus tahun 1995

S1 Keperawatan FIK UI Jakarta

:

Lulus tahun 1999

S2 Keperawatan FIK UI Jakarta

:

Lulus tahun 2011

Staf Pendidikan SPK Depkes Cirebon

:

Tahun 1986 – 1990

Pengajar di SPK Depkes Cirebon

:

Tahun 1990 – 1995

Pengajar di Akper Depkes Cirebon

:

Tahun 1995 – 2002

Pengajar di Poltekkes, Program Studi Kep. Cirebon

:

Tahun 2002 - sekarang

Riwayat Pekerjaan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Lampiran …

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama

:

Eyet Hidayat

Tempat/Tanggal Lahir

:

Majalengka, 28 September 1967

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Pekerjaan

:

Pengajar Program Studi Keperawatan Cirebon Poltekkes Tasikmalaya

Alamat Instansi

:

Jl. Pemuda no 38 Cirebon. Telpon : (0231) 245739

Alamat Rumah

:

Jl. P. Janapura No. 16 RT 03 RW 02 Wanayasa – Beber – Cirebon Telpon : (0232) 8618041 - 081564706552

Riwayat Pendidikan SDN Burujulkulon, Jatiwangi, Majalengka

:

Lulus tahun 1980

SMPN 2 Jatiwangi, Majalengka

:

Lulus tahun 1983

SPK Depkes Cirebon

:

Lulus tahun 1986

SMA Mesperdam Bandung

:

Lulus tahun 1992

D III Keperawatan Akper PajajaranDepkes Bandung :

Lulus tahun 1990

S1 Pendidikan IKIP Bandung

:

Lulus tahun 1995

S1 Keperawatan FIK UI Jakarta

:

Lulus tahun 1999

S2 Keperawatan FIK UI Jakarta

:

Lulus tahun 2011

Staf Pendidikan SPK Depkes Cirebon

:

Tahun 1986 – 1990

Pengajar di SPK Depkes Cirebon

:

Tahun 1990 – 1995

Pengajar di Akper Depkes Cirebon

:

Tahun 1995 – 2002

Pengajar di Poltekkes, Program Studi Kep. Cirebon

:

Tahun 2002 - sekarang

Riwayat Pekerjaan

Manajemen kasus..., Eyet Hidayat, FIK UI, 2012

Related Documents

Presen.2pdf
December 2019 118
File
November 2019 29
File
April 2020 14
File
May 2020 13
File
November 2019 22
File
May 2020 10

More Documents from ""

Makalah Agama Ketuhanan.docx
November 2019 51
Cover Aspak.docx
April 2020 33
Jerman.docx
November 2019 48
File (2).pdf
April 2020 36
Gosdp.docx
April 2020 40