Fikih Haji.docx

  • Uploaded by: rayan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fikih Haji.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,483
  • Pages: 8
Fikih Haji : Rukun Haji Rukun Haji 1. 2. 3. 4.

Ihram Thowaf ifadhoh Sa’i Wukuf di Arafah

Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.

Rukun pertama: Ihram Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‫ئ َما ن ََوى‬ ِ ‫إِنَّ َما األ َ ْع َما ُل بِالنِِّيَّا‬ ْ ‫ َوإِنَّ َما ِل ُك ِِّل‬، ‫ت‬ ٍ ‫ام ِر‬ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Wajib ihram mencakup: 1. Ihram dari miqot. 2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf). Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan. 3. Bertalbiyah.

Sunnah ihram: 1. Mandi. 2. Memakai wewangian di badan. 3. Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram. 4. Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah. 5. Berniat ihram setelah shalat. 6. Memperbanyak bacaan talbiyah. Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.

Lafazh talbiyah: َ‫َلَ ش َِريْكَ لَك‬. ُ‫إِ َّن ال َح ْم َد َوالنِِّ ْع َمةَ لَكَ َوال ُم ْلك‬. َ‫لَبَّيْكَ ََل ش َِريْكَ لَكَ لَبَّيْك‬. َ‫لَبَّيْكَ اللَّ ُه َّم لَبَّيْك‬ “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagiMu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, lakilaki disunnahkan mengeraskan suara.

Rukun kedua: Wukuf di Arafah Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ُ‫ع َرفَة‬ َ ‫ْال َح ُّج‬ “Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud wukuf adalah hadir dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1: 494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut, wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50). Jika seseorang wukuf di waktu mana saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam, maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari, maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam. Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1: 494). Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol (lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih Sunnah, 1: 495)

Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh) Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, َّ َ‫َو ْلي‬ ‫ق‬ ِ ‫ط َّوفُوا بِ ْالبَ ْي‬ ِ ‫ت ْالعَتِي‬ “Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat thowaf:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Berniat ketika melakukan thowaf. Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama). Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat. Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah. Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf. Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran. Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat. Memulai thowaf dari Hajar Aswad.

Sunnah-sunnah ketika thowaf, yaitu: 1. Ketika memulai putaran pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar. Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika, wa wafaaan bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar Aswad bertakbir “Allahu akbar”. 2. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad. 3. Memulai thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib. 4. Istilam (mengusap) dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan pada setiap putaran. Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan mulut pada tangannya dan menciumnya. 5. Roml, yaitu berjalan cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan. Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh pada tiga putaran pertama. 6. Idh-tibaa’, yaitu membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan dilakukan oleh lakilaki saja, tidak pada perempuan. 7. Istilam (mengusap) rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk diusap. 8. Berdo’a di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) 9. Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan. 10. Menjaga pandangan dari berbagai hal yang melalaikan. 11. Berdzikir dan berdo’a secara siir (lirih). 12. Membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa mengeraskan suara. 13. Beriltizam pada Multazam. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan, kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat terkabulnya do’a berdasarkan hadits yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As Sadlan (Taisirul Fiqih, 347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah selesai thowaf dan multazam terletak antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad.”

14. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim. Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas. Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi dalam keadaan idh-tibaa’. 15. Minum air zam-zam dan menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan shalat dua raka’at sesudah thowaf. 16. Kembali mengusap Hajar Aswad sebelum menuju ke tempat sa’i.

Catatan: 1. Ulama Syafi’iyah berkata, “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji) diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan melakukan idhtibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih Sunnah, 1: 480). 2. Tidak ada bacaan dzikir atau do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf. Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering memberatkan.

Rukun keempat: Sa’i Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫ى‬ َّ ‫علَ ْي ُك ُم ال‬ َّ ‫ا ْسعَ ْوا إِ َّن‬ َ ‫َب‬ َ ‫َّللاَ َكت‬ َ ‫س ْع‬ “Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Syarat sa’i: 1. Niat. 2. Berurutan antara thowaf, lalu sa’i. 3. Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benarbenar butuh. 4. Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran. 5. Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.

Sunnah-sunnah sa’i: 1. Ketika mendekati Shofa, mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.” 2. Berhenti sejenak di antara Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.” Ketika di Marwah melakukan hal yang sama. 3. Berlari kencang antara dua lampu hijau bagi laki-laki yang mampu. 4. Berdo’a dengan do’a apa saja di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a, dzikir atau bacaan tertentu.

5. Berturut-turut sa’i dilakukan setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan. -bersambung insya Allah-

Bahasan ini sengaja kami susun bagi kaum muslimin yang akan menunaikan haji, barangkali tahun ini atau tahun-tahun akan datang. Materi ini amatlah ringkas, yang kami sarikan dari beberapa buku haji. Semoga kami pun bisa mengambil manfaat dari apa yang kami susun. Bahasan ini dibagi menjadi delapan pembahasan: 1. Hukum dan syarat haji 2. Tiga cara manasik haji 3. Rukun haji 4. Wajib haji 5. Larangan ketika ihram 6. Miqot 7. Tata cara manasik haji 8. Kesalahan-kesalahan ketika haji

HUKUM HAJI Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama). 1. Dalil Al Qur’an Allah Ta’ala berfirman, ‫س بِ ا‬ َ َ ‫ت َم ِن ا ْست‬ َ َ‫َّللا‬ َ‫ع ِن ْالعَالَ ِمين‬ ِ ‫اس ِح ُّج ْالبَ ْي‬ َّ ‫يًل َو َم ْن َكفَ َر فَإ ِ َّن‬ َ ‫طا‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫ي‬ َ ِ ‫َو ِ ََّلِل‬ َ ‫ع إِلَ ْي ِه‬ ٌّ ِ‫غن‬ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97). Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang

berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim. 2. Dalil As Sunnah Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫َاء‬ َ ‫علَى َخ ْم ٍس‬ ِ ‫ َوإِيت‬، ِ‫صًلَة‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمداا َر‬ َّ َّ‫ش َها َدةِ أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬ َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬، ِ‫َّللا‬ َ ‫اإل ْسًلَ ُم‬ ِ ‫ى‬ َ ِ ‫ب ُن‬ َّ َ‫ضان‬ َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َ ‫ َو‬، ِ‫ َو ْال َح ِّج‬، ِ‫الز َكاة‬ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16). Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya. Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‫ت َحتَّى‬ َ ‫س َك‬ َّ ‫ع ٍام يَا َرسُو َل‬ َّ ‫ض‬ ُ َّ‫« أَيُّ َها الن‬ َ ‫ فَقَا َل َر ُج ٌل أَكُ َّل‬.» ‫علَ ْيكُ ُم ْال َح َّج فَ ُح ُّجوا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ َ‫َّللاِ ف‬ َ ‫اس قَ ْد فَ َر‬ َ َ ‫ت َولَ َما ا ْست‬ ْ َ‫ « لَ ْو قُ ْلتُ نَعَ ْم لَ َو َجب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ‫ط ْعت ُ ْم‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫قَالَ َها ثًَلَثاا فَقَا َل َر‬ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.” Lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim no. 1337). Sungguh banyak sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib. 3. Dalil Ijma’ (Konsensus Ulama)

Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum minad diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.

SYARAT WAJIB HAJI 1. Islam 2. Berakal 3. Baligh 4. Merdeka 5. Mampu Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam penetapan syaratsyarat ini.” (Al Mughni, 3:164) Catatan: 1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu’ (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). 2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan. 3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang. 4. Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa ‘iddah.

SYARAT SAHNYA HAJI

1. Islam 2. Berakal 3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. ‘Abullah bin ‘Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah. 4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka’bah. Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya. -bersambung insya AllahPenulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Pengasuh Rumaysho.Com dan RemajaIslam.Com. Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta (2003-2005). S1 Teknik Kimia UGM (2002-2007). S2 Chemical Engineering (Spesialis Polymer Engineering), King Saud University, Riyadh, KSA (2010-2013). Murid Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsriy, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir Al Barrak, Syaikh Sholih bin 'Abdullah bin Hamad Al 'Ushoimi dan ulama lainnya. Sekarang memiliki pesantren di desa yang membina masyarakat, Pesantren Darush Sholihin di Panggang, Gunungkidul. View all posts by Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. »

Related Documents

Fikih Pertanian
November 2019 37
Fikih-perempuan.pdf
June 2020 20
Fikih Demo
June 2020 18
Fikih Zakat
June 2020 15
Fikih Haji.docx
April 2020 21
Fikih Indonesia.docx
December 2019 18

More Documents from "rizal salim"