Fikih Demo

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fikih Demo as PDF for free.

More details

  • Words: 8,993
  • Pages: 19
FIKIH DEMONSTRASI oleh Galih Ari Permana Minggu, 15/06/2008 08:41 WIB Cetak | Kirim | RSS Pada harian Republika edisi jumat 6 Juni 2008 saya baca sebuah tulisan yang cukup menarik dan memberikan banyak pelajaran. Tulisan tersebut berjudul Fikih Demonstrasi yang ditulis oleh Nur Faizin Muhith seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan calon mufti di Darul Ifta' Mesir. Tulisan ini menarik untuk dicermati di tengah maraknya demonstrasi-demonstrasi yang berujung dengan kerusuhan dan bentrokan yang cenderung mengakibatkan kerugian bagi semua pihak. Tulisan tersebut mengupas persoalan demonstrasi mulai dari secara bahasa dan bagaimana Islam membahas masalah ini. Nur Faizin Muhith menuliskan bahwa menurut KBBI 1997 demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal, baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Sementara Ensiklopedi Britanic online memberikan definisi demonstrasi dengan a public display of group feelings toward a person or cause (tahun 2008). Menurutnya, di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia, demonstrasi seakan menjadi sebuah cara bagi orang lemah yang terbungkam untuk menyuarakan inspirasi kepada pihak yang kuat. Secara khusus di Indonesia semenjak demo akbar yang digelar mahasiswa menurunkan Presiden Soeharto pada 1998 lalu, demonstrasi selalu menjadi kejadian yang menghiasi berita-berita harian masyarakat Indonesia. Lebih lanjut Nur Faizin Muhith menjelaskan kata demonstrasi dalam bahasa arab diterjemahkan dengan muzhaharat (demonstrasi) dan juga masirah (long- march). Dua kata yang hampir mirip tetapi dalam pandangan Islam memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang pertama sering mendekati pada hukum haram (hurmah), yang kedua seakan sangat jelas dibolehkan (ibahah). Keduanya dibedakan dari tindakan-tindakan para demonstran ketika menyampaikan suara dan juga bentuk tuntutan atau protes itu sendiri. Jika kembali pada Alquran, dua kata tersebut dalam arti sebagaimana definisinya tidak dapat ditemukan juga dalam definisi yang lain. Begitu juga di dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa demonstrasi adalah sebuah fenomena baru yang muncul dikarenakan kebebasan berpendapat yang sering terbungkam, tidak terdengar, atau mungkin sengaja tidak didengarkan. Dalam sejarah Rasulullah SAW dan kepimimpinannya selama Makkah dan Madinah, kita belum pernah membaca kejadian demonstrasi yang menuntut Rasulullah atas hak atau kebijakannya karena beliau memang seorang Rasul dan pemimpin yang telinganya sepenuhnya diberikan untuk mendengarkan umatnya yang terpimpin. Ada beberapa kejadian yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya yang mirip dengan demonstrasi. Kejadian-kejadian itu antara lain pertama tatkala umat Islam di Makkah sedang berkumpul di rumah Al-Arqam, Umar bin Khaththab datang untuk menyatakan keIslamannya. Kemudian Umar bertanya, "Bukankah kita berada di atas kebenaran ya Rasulullah? Lalu kenapa dakwah masih secara sembunyi-sembunyi?" Saat itulah semua sahabat berkumpul dan membentuk dua barisan, satu dipimpin Umar dan satu lagi dipimpin Hamzah bin Abdul Muththalib. Mereka kemudian berjalan rapi menuju Kabah di Masjidil Haram dan orang-oang kafir Quraisy menyaksikannya. (Imam As-Suyuthi: kitab Tarikh Al-Khulafa halaman:114). Kejadian ini dalam bentuk terminologi di atas adalah masirah atau long-march yang jelas diperbolehkan. Atau bahkan dianjurkan jika dalam kondisi tertekan sementara kita dalam posisi lemah

seperti kondisi umat Islam saat pertama kali dakwah di Makkah yang ditekan oleh kaum kafir Quraisy di Makkah. Kedua, ketika turun perintah dari Allah SWT kepada Rasulullah untuk berdakwah secara terangterangan (QS Asy-Syuara:214) beliau kemudian memanggil seluruh kerabatnya dan kabilah-kabilah di Makkah untukberkumpul di bukit Shafa. Setelah berkumpul, beliau kemudian berorasi tentang agama yang dibawanya secara argumentatif dan logis. (kitab Tafsir Ibn Katsir, vol:3, halaman:350) Meskipun ini dilakukan Rasulullah sendiri, tetapi orasi tentang Islam dan dakwahnya dengan mengumpulkan penduduk Makkah ketika itu mirip demonstrasi yang terjadi sekarang. Yang jelas Rasulullah ingin menyuarakan suara Allah yang selama ini ditekan dan disembunyikan. Ketiga, pada waktuumrah qadha tahun 7H, Rasulullah datang bersama sahabat Muhajirin dan Anshar ke Makkah untuk melakukan umrah yang sempat dilarang kafir Makkah di tahun sebelumnya. Dalam umrah ini, Rasulullah memerintahkan kepada umat Islam agar terlihat gagah dan kuat untuk menepis anggapan kafir Makkah bahwa umat Islam di Madinah menjadi lemah karena penyakitan. (kitab Uyun Al-Atsar, vol:2, halaman:185). Dalam kejadian-kejadian di atas, Nur Faizin Muhith menyatakan bahwa sama sekali tidak pernah dijumpai perbuatan pengrusakan atau perbuatan-perbuatan anarkis yang sudah layaknya sering dilakukan oleh para demonstran saat ini. Lebih-lebih ketika keinginannya tidak dapat dipenuhi atau aspirasinya tidak disetujui. Menurut Nur Faizin Muhith, ada beberapa kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan dalam demonstrasi, antara lain pertama mendahului suara Tuhan. Artinya, demo dilakukan untuk menentang suara yang sudah jelas-jelas menjadi perintah Tuhan di muka bumi. Dalam hal inilah Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jangalah kamu mendahului (suara) Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS AlHujarat:1). Menyuarakan protes menentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah mendahului suara-Nya yang dilarang dalam ayat tersebut. Kedua, overacting dalam berorasi mengungkapkan protes sehingga terkesan berlebih-lebihan. Di dalam Alquran Allah telah mengingatkan agar tidak terlalu mengeraskan suaranya berlebih-lebihan. Firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengeraskan suaramu melebihi suara Nabi. (QS Al-Hujarat:2) berlebihan pada umumnya memang dilarang dalam Islam. Ketiga, provokasi yang hanya bertujuan meluapkan emosi tanpa dibarengi dengan saran untuk selalu tertib dan bergerak sesuai kesepakatan. Provokasi seperti itulah yang disebut sebagai hasutan. Seharusnya provokasi dibarengi dengan penekanan kesabaran pada sisi para demonstran sehingga demonstrasi bisa hidup dan berjalan dengan aman. Keempat, demonstrasi yang merugikan baik terhadap pihak yang bersangkutan yang didemo maupun yang tidak bersangkutan. Larangan ini ditegaskan Allah dalam berbagai ayat Alquran di antaranya firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai (membenci) orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash:77). Kelima, melakukan penyiksaan diri sendiri, seperti mogok makan sehingga beberapa dari mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Penyiksaan terhadap diri sendiri dilarang dalam Islam, apalagi jika sampai membahayakan nyawa. Allah menegaskan:Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. (QS Al-Baqarah:195). Penjelasan Nur Faizin Muhith mengenai etika berdemonstrasi kiranya bisa memberikan gembaran bagaimana seharusnya penyampaian aspirasi dilakukan. Demonstrasi yang disertai tindakan anarkis

akan lebih memberikan madharat daripada manfaatnya. Di satu sisi pihak yang menjadi objek demonstrasi haruslah lebih peka dan menyediakan telinganya lebar-lebar untuk dapat mendengarkan apa yang mejadi aspirasi para demonstran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah pemimpin yang telinganya sepenuhnya diberikan untuk mendengarkan umatnya yang terpimpin. Wallahu'alam. www.galih0302.multiply.com

FIKIH DEMONSTRASI Oleh : Nur Faizin Muhith Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Calon Mufti di Darul Ifta’ Mesir. Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI 1997), baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Dia juga biasa disebut dengan istilah unjuk rasa. Ensiklopedi Britannic online memberikan definisi demonstrasi dengan a public display of group feelings toward a person or cause. (tahun 2008). Di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia, demonstrasi seakan menjadi sebuah cara bagi orangorang lemah yang terbungkam untuk menyuarakan inspirasi kepada pihak yang kuat. Secara khusus di Indonesia semenjak demo akbar yang digelar mahasiswa menurunkan Presiden Soeharto pada 1998 lalu, demonstrasi selalu menjadi kejadian yang menghiasi berita-berita harian masyarakat Indonesia. Dalam bahasa Arabnya demonstrasi diterjemahkan dengan muzhaharat (demonstrasi) dan juga masirah (long-march). Dua kata yang hampir mirip tetapi dalam pandangan Islam memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang pertama sering mendekati pada hukum haram (hurmah), yang kedua seakan sangat jelas diperbolehkan (ibahah). Jika kembali pada Alquran, dua kata tersebut dengan arti sebagaimana definisinya di atas tidak dapat kita temukan meskipun kata muzharat dan masirah dengan definisi lain dapat dijumpai. Begitu juga di dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa demonstrasi adalah sebuah fenomena baru yang muncul dikarenakan kebebasan berpendapat yang sering terbungkam, tidak terdengar, atau mungkin sengaja tidak didengarkan. Dalam sejarah Rasulullah SAW dan kepemimpinannya selama di Makkah dan Madinah, kita belum pernah membaca kejadian demonstrasi yang menuntut Rasulullah atas hak atau kebijakannya karena beliau memang seorang Rasul dan pemimpin yang telinganya sepenuhnya diberikan untuk mendengarkan umatnya yang terpimpin. Sungguh beliau dalam hal ini adalah contoh bagi para pemimpin. Namun, sebaliknya, ada beberapa kejadian yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya yang mirip dengan demonstrasi yang sekarang menjadi berita suguhan sehari-hari di media-massa. Kejadian-kejadian itu antara lain pertama tatkala umat Islam di Makkah sedang berkumpul di rumah Al-Arqam, Umar bin Khaththab yang masih kafir tiba-tiba datang dan meminta izin masuk. Lalu, Rasulullah menemuinya menyatakan masuk Islam. Spontan terdengar takbir seluruh penghuni rumah. Umar kemudian bertanya. Bukankah kita berada di atas kebenaran ya Rasulullah? Lalu kenapa dakwah masih secara sembunyi-sembunyi? Saat itulah semua sahabat berkumpul dan membentuk dua barisan, satu dipimpin Umar bin Khaththab dan satu lagi dipimpin Hamzah bin Abdul Muththalib. Mereka

kemudian berjalan rapi menuju Kabah di Masjidil Haram dan orang-orang kafir Quraisy menyaksikannya. (Imam As-Suyuthi: kitab Tarikh Al-Khulafa` halaman: 114 ). Kejadian ini dalam terminologi di atas adalah masirah atau long-march yang jelas diperbolehkan. Atau bahkan dianjurkan jika dalam kondisi tertekan sementara kita dalam posisi lemah seperti kondisi umat Islam saat pertama kali dakwah di Makkah yang ditekan oleh kaum kafir Quraisy di Makkah. Kedua, ketika turun perintah dari Allah SWT kepada Rasulullah untuk berdakwah secara terangterangan (QS Asy-Syu’ara: 214) beliau kemudian memanggil seluruh kerabatnya dan kabilah-kabilah di Makkah untuk berkumpul di bukit Shafa. Setelah berkumpul, beliau kemudian berorasi tentang agama yang dibawanya secara argumentatif dan logis. (kitab Tafsir Ibn Katsir, vol: 3, halaman: 350) Meskipun ini dilakukan Rasulullah sendiri, tetapi orasi tentang Islam dan dakwahnya dengan mengumpulkan penduduk Makkah ketika itu mirip dengan demonstrasi yang terjadi sekarang. Yang jelas Rasulullah ingin menyuarakan suara Allah yang selama ini ditekan dan disembunyikan. Ketiga, pada waktu umrah qadha tahun tujuh Hijriyyah, Rasulullah datang bersama sahabat Muhajirin dan Anshar ke Makkah untuk melakukan umrah yang sempat dilarang kafir Makkah di tahun sebelumnya. Dalam umrah ini, Rasulullah memerintahkan kepada umat Islam agar terlihat gagah dan kuat untuk menepis anggapan kafir Makkah bahwa umat Islam di Madinah menjadi lemah karena penyakitan. (kitab Uyûn Al-Atsar, vol: 2, halaman: 185) Dalam kejadian-kejadian di atas, sama sekali tidak pernah kita jumpai perbuatan pengrusakan atau perbuatan-perbuatan anarkis yang sudah layaknya sering dilakukan oleh para demonstran saat ini. Lebih-lebih ketika keinginannya tidak dapat dipenuhi atau aspirasinya tidak disetujui. Kesalahan demonstrasi Sebagaimana disinggung di atas, mudzaharat adalah demonstrasi yang dilarang dan masirah adalah demonstrasi yang diperbolehkan atau dianjurkan. Yang membedakan keduanya adalah tindakantindakan para demonstran ketika menyampaikan suara dan juga bentuk tuntutan atau protes itu sendiri. Ada beberapa kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan dalam demonstrasi, antara lain pertama mendahului suara Tuhan. Artinya, demo dilakukan untuk menentang suara yang sudah jelas-jelas menjadi perintah Tuhan di muka bumi. Dalam hal inilah Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului (suara) Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Hujurat: 1). Menyuarakan protes menentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah mendahului suara-Nya yang dilarang dalam ayat tersebut. Kedua, over-acting dalam berorasi mengungkapkan protes sehingga terkesan berlebih-lebihan. Di dalam Alquran Allah telah mengingatkan agar tidak terlalu mengeraskan suaranya berlebih-lebihan. Firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengeraskan suaramu melebihi suara Nabi. (QS Al-Hujurat: 2). Berlebihan pada umumnya memang dilarang dalam Islam. Ketiga, provokasi yang hanya bertujuan meluapkan emosi tanpa dibarengi dengan saran untuk selalu tertib dan bergerak sesuai kesepakatan. Provokasi seperti itulah yang disebut sebagai hasutan. Hasutan dilarang dalam Islam. Seharusnya provokasi dibarengi dengan penekanan kesabaran pada diri para demonstran sehingga demonstrasi bisa hidup dan berjalan dengan aman. Keempat, desolasi yang merugikan baik terhadap pihak bersangkutan yang didemo maupun yang tidak bersangkutan. Larangan ini ditegaskan Allah dalam berbagai ayat Alquran, di antaranya firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai (membenci) orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AlQashash: 77). Kelima, melakukan penyiksaan diri sendiri, seperti aksi mogok makan sehingga beberapa mereka harus

dilarikan ke rumah sakit. Penyiksaan terhadap diri sendiri dilarang dalam Islam, apalagi jika sampai membahayakan nyawa. Allah menegaskan: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS Al-Baqarah: 195). Ikhtisar: - Islam membolehkan demonstrasi sepanjang tak keluar dari koridor Alquran dan Hadis. - Menyampaikan aspirasi yang merugikan diri sendiri dan orang lain jelas haram. dimuat di : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=336596&kat_id=16 TERTIPU DIRI SENDIRI Kunci bahagia adalah mawas diri. Sumber celaka adalah terlena dan kelalaian. Tiada kenikmatan teragung melebihi keimanan dan kema’rifatan. Tiada sarana untuk mencapainya selain kelapangan dada. Tiada siksa terpedih selain kekufuran dan kedurhakaan. Tiada pula pendorong padanya selain kebutaan hati oleh gelapnya kebodohan. Seorang yang punya kecerdasan rohani itu bagai lampu lentera, laksana bintang kejora yang terang benerang menyinari sekelilingnya, bak pohon zaitun yang tanpa tersentuh api ia akan tetap menerangi. Orang yang tertipu dirinya sendiri itu tak ubahnya seorang yang terjerembab ke dasar samudera yang diselimuti ombak berombak. Di atasnya awan yang tertutup awan. Begitu gelap gulita, sehingga ia seakan tidak mampu melihat tangannya sendiri. Mereka tidak pernah dapat cahaya dari Allah. Seorang yang beruntung ialah orang yang dikehendaki Allah mendapat hidayah-Nya. Sehingga Allah akan melapangkan dadanya untuk Islam. Sedangkan al maghrur (orang yang tertipu) adalah orang yang dikehendaki Allah kesesatannya. Sehingga hati mereka sempit terhimpit. Mereka tidak mau membuka mata hatinya untuk menuntun jiwanya pada hidayah Allah. Mereka lebih suka menjadikan hawa nafsu dan syetan sebagai penuntun dan pembimbing mereka. Maka barang siapa yang di dunia ini sudah dibutakan oleh keduannya, kelak di akherat dia akan lebih buta dan lebih tersesat. Al Ghurur (tertipu diri sendiri) merupakan sumber malapetaka dan kehancuran. Penyakit ini pun bisa menjerat semua kalangan. Mulai dari yang melarat sampai pejabat, dari yang ahli maksiat sampai yang ahli tirakat. Begitu banyaknya orang yang bisa terkena virus ini sehingga Imam Ghozali kemudian mengkelompokkan mereka menjadi empat kelompok. Yaitu: 1). Kelompok ulama, 2). Kelompok ‘ubbad, 3). Kelompok sufi, dan 4). Kelompok orang berharta. Dari keempat kelompok di atas itu semua mempunyai ghurur yang berbeda satu sama lainnya. Sebagian mereka ada yang menganggap sesuatu yang munkar itu sebagai kebaikan, seperti seorang yang membangun dan memperindah masjid dengan memakai uang haram. Ada pula dari mereka yang masih belum tahu betul sebenarnya untuk siapa mereka bekerja dan beribadah. Apakah untuk hawa nafsunya ataukah untuk Allah swt. Sebagian lain ada yang rela meninggalkan santan dan rela dengan hanya kulit kelapa. Seperti halnya orang yang ketika sholat hanya disibukkan dengan manfashihkan bacaannya namun dia melupakan rukun-rukun yang lainnya. Kehinaan, Esensi, dan Tamtsil Ghurur “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu raguragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.” Demikian arti dari firman Allah QS. Al Hadid 14. Al Ghurur sangat identik dengan kebodohan. Karena dari sanalah muara semua bentuk cikal bakal segala malapetaka. Ghurur merupakan ungkapan akan keberpihakannya hati untuk lebih memilih bersekongkol dengan nafsu dan syetan yang banyak menampilkan muslihat kerusakan daripada mengikuti apa kata hati nuraninya yang selalu membisikkan kebenaran. Sehingga orang yang terpengaruh penyakit ini akan selalu membenarkan argumen nafsu-syetan, meskipun sebenarnya keliru. Tidak sedikit manusia yang terkena penyakit ini. Bahkan bisa dikatakan merata pada semua lini.

Namun penyakit ini sangat bervariasi dan bertingkat-tingkat. Tingkatan yang paling parah adalah ghururnya seorang kafir, lalu ahli maksiat, disusul kemudian orang-orang fasiq. Sebagian besar orang kafir tertipu oleh masalah-masalah duniawi dan tertipu dengan dzatnya Allah. Tertipunya mereka dalam masalah duniawi dapat dilihat dari keberadaan mereka di dunia ini yang lebih suka mengumpulkan materi duniawi dan melalaikan masalah ukhrowi. Bagi mereka dunia adalah kenyataan yang sedang mereka hadapi dan merupakan sebuah kepastian. Sedangkan akhirat bagi mereka masih semu dan tidak nyata. Dalam benak mereka, “Buat apa mencari sesuatu untuk hal-hal yang masih tidak jelas keberadaannya.” “Sesuatu yang sudah pasti (yakin) saat sekarang ini (dunia) itu lebih baik dari pada sesuatu yang tidak pasti (syak) di kemudian hari (akherat).” Untuk menangani penyakit ini ada dua alternatif pengobatan. Pertama, memberikan keyakinan akan kebenaran iman kepada Allah. Kedua, memberikan bukti konkrit akan kebenaran keimanan kepada Allah dan semua anggapan mereka sangat salah dan keliru. Penanganan dengan cara yang pertama, artinya orang tersebut harus memiliki keyakinan seyakinyakinnya akan kebenaran firman Allah dalam QS. Al Nahl 96 yang artinya, “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” Dan cara inilah yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw. untuk menaklukkan jiwa-jiwa materalistis yang dimiliki kabilah-kabilah Arab masa itu. Bahkan mereka tidak meminta dalil-dalil yang melebihi akan hal itu. Penanganan dengan cara yang kedua artinya dengan memberi pengertian bahwa apa yang ada dalam benak mereka itu salah. Logika-logika yang menjadi pembenar argumen mereka adalah rekayasa dan muslihat syetan untuk mengelabuhi mangsanya. Analogi yang diberikan syetan sebagaimana dalam anggapan mereka itu mencerminkan dua hal: 1. Dunia adalah kenyataan sekarang dan akherat adalah kenyataan di masa yang akan datang. Pemikiran ini sangat benar. 2. Kenyataan sekarang (dunia) itu lebih baik dari pada kenyataan yang akan datang (akhirat). Pemikian inilah yang sangat salah. Memang, kalau yang dihasilkan pada saat sekarang itu nilai dan kadarnya sama dengan apa yang akan dihasilkan pada masa yang akan datang, maka masa sekarang itu lebih baik dari masa yang akan datang. Namun kalau yang dihasilkan pada masa sekarang itu nilai lebih kecil dari pada masa yang akan datang, maka masa sekarang sangatlah tidak lebih baik dari pada masa yang akan datang. Dan inilah hakekat akhirat sebenarnya. Logikanya, ketika seseorang berdagang tentu pada saat tersebut dia akan mencurahkan segenap tenaga, waktu dan pikiran guna mendapatkan laba yang banyak di kemudian hari. Juga seorang pasien yang dilarang oleh dokter untuk mengkonsumsi makanan tertentu agar di kemudian hari dia tidak jatuh sakit, si pasien pasti mengikuti apa kata dokternya tersebut. Dari kedua contoh di atas jelas tergambar bahwa baik si pedagang dan si pasien keduanya rela berkorban apa pun pada saat itu dengan harapan agar keduanya bisa lebih baik di kemudian hari. Jelasnya, pengorbanan mereka adalah sesuatu yang nyata. Dan keinginan dari jerih payah mereka tersebut adalah merupakan hal yang masih belum pasti berhasil. Namun demikian mereka masih tetap rela melakukannya. Walhasil, masa depan bagi mereka meskipun masih belum jelas wujudnya itu masih lebih baik dari pada saat ini, meskipun sudah jelas. Dalam situasi demikian biasanya syetan membuat analogi kedua, “Sesuatu yang pasti (yaqin) itu lebih baik dari sesusatu yang tidak pasti (syak).” Ini pun sangat salah. Buktinya pengorbanan pedagang tersebut adalah sesuatu yang nyata (yaqin) dan laba yang dia harapan adalah hal yang belum jelas (syak). Energi yang dibutuhkan seorang pemburu itu juga sesuatu yang nyata. Namun hasil buruan yang dia impikan itu masih dalam tanda tanya. Pahit yang dirasakan seorang pasien ketika minum obat itu jelas dan nyata. Tetapi kesembuhan yang dia idam-idamkan itu masih sangat meragukan. Yang perlu diluruskan adalah tentang anggapan mereka, “Akherat itu belum pasti (syak).” Hal ini sangat luar biasa salahnya. Karena ini merupakan prinsip dan ideologi seorang mukmin. Dalam hal ini

kesalahan mereka dapan diluruskan melalui dua pengertian. Pertama, keimanan dan mentasdiqkan (membenarkan) hal tersebut (kenyataan akherat) adalah sebagai bentuk taqlid (ikut) kepada para nabi dan ulama. Keimanan dengan model demikian memang identik dengan keimanan seorang awwam. Namun demikian ia bisa mengikis habis perasaan ghurur yang muncul. Mereka tak ubahnya seperti pasien yang tidak tahu obat penyakitnya. Sehingga dia akan menurut saja pada resep dokter. Dia tidak pernah punya keraguan akan benar tidaknya resep tersebut. Karena baginya mereka sudah punya kredibilitas tinggi dan resep yang mereka buat itu sudah berdasar konsensus (ijma’) tim medis. Sehingga keraguan akan kemampuan dokter dengan sendirinya akan hilang. Dan jika dalam kondisi demikian dia masih tidak percaya pada dokter dan lebih mempercayai dirinya atau bahkan tukang sampah yang tidak mengerti apa-apa tentang ilmu kedokteran, maka dialah hakekatnya seorang yang tertipu akan kebodohannya sendiri. Begitu pula tentang keimanan pada akhirat karena ikutan (taqlid) kepada anbiya dan ulama. Mereka adalah makhluq-makhluq Allah yang mempunyai hubungan khusus dengan-Nya. Kapabilitas dan kredibilitas mereka tidak perlu diragukan lagi. Mempercayai apa yang mereka sampaikan itu sejatinya dengan sendirinya bisa memberhangus keraguan akan ada dan tidaknya akherat. Maka seorang yang tidak mempercayai mereka sehingga kemudian dia lebih percaya pada dirinya atau nafsu-syetannya yang secara haqqul yaqin mereka tidaklah lebih tahu tentang akhirat dari pada para nabi dan ulama, maka merekalah hakekat sebenarnya seorang yang terperdaya oleh ketololannya. Yang kedua, keimanan pada akhirat dengan didasarkan pada wahyu yang diterima oleh para nabi atau wahyu yang didapat oleh pada wali. Artinya mereka itu bisa mengetahui masalah-masalah ukhrowi maupun duniawi itu semua adalah dengan jalan mukasyafah dan musyahadah (melihat langsung). Meskipun pada dhahirnya mereka mendapatkan itu melalui wahyu yang disampaikan (diperdengarkan) oleh Jibril. Karena memang logikanya seorang yang mengetahui seseuatu dengan jalan mendengarnya dari orang lain maka pengetahuannya tidaklah lebih baik dari orang yang memberitahu. Namun itu tidak berlaku bagi anbiya dan auliya. Karena sekali lagi mereka mendapatkan segala macam pengetahuan secara mukasyafah dan musyahadah. Seperti halnya seseorang yang tahu akan sesuatu karena dia menyaksikannya langsung, maka ketika dia menceritakan hal tersebut pada orang lain, dia akan bisa bercerita dengan jelas dan detail. Maka anbiya sudah menjadi keharusan untuk lebih dipercaya dari pada yang lain. Termasuk apa yang disampaikan tentang adanya akhirat. Tertipu Dzatnya Allah Tertipu dengan dzatnya Allah itu bisa terjadi pada orang-orang mukmin juga kafir. Seorang mukmin biasanya beranggapan bahwa keimanan yang dimilikinya itu sudah cukup untuk mengantarkan dirinya pada ampunan Allah. Ia tidak menyadari bahwa itu adalah bentuk penipuan terhadap dirinya sendiri. Allah Maha Pengampun. Itu memang sangat benar. Semua orang mukmin juga pasti diampuni Allah. Itu juga benar. Yang tidak benar adalah jika beranggapan bahwa dengan keimanan saja itu sudah cukup untuk mendapatkan maghfirohnya Allah. Karena yang perlu dicatat adalah bahwa di dalam Al Qur’an semua janji Allah untuk memberikan ampunan kepada seorang mukmin adalah apabila dia juga mau beramal sholeh. Tidak hanya berbekal keimanan saja

FIKIH DEMONSTRASI Posted by: penulis biasa on: Juni 13, 2008 • •

In: Tulisanku Comment!

Jum’at pagi tanggal 6 Juni 2008 sekitar jam 8-an, saya pergi ke warnet. Biasanya kalau di warnet kegiatan saya nggak jauh-jauh dari ngecek email. Kali-kali aja ada email penting yang masuk. Ada 3 email yang biasa saya cek, 2 di gmail dan satunya lagi di yahoo. Sambil ngecek email, saya buka-buka juga yang lain. Waktu itu, salah satu situs yang saya buka adalah situs Koran Republika (republika.co.id). Setelah situs terbuka, saya klik rubrik opini. Kemudian keluarlah sebuah tulisan berjudul: Fikih Demonstrasi yang ditulis oleh Nur Faizin Muhith. Karena tertarik dengan tulisan ini, saya pun kemudian mem-print out-nya untuk nantinya saya baca di rumah. Pengennya sih baca langsung di warnet. Tapi takut kelamaan. Ntar biaya ngenetnya jadi mahal, sementara uang yang ada dikantong takut tidak mencukupi buat bayar ngenet. Setelah keperluan di warnet selesai, sayapun pulang dengan membawa 2 lembar hasil prin-prinan. Ternyata, setelah artikel itu saya baca, saya menemukan beberapa kejanggalan. Di artikel itu tertulis bahwa Islam membolehkan demo selama tidak keluar dari Alquran dan Hadis. Tapi dalil yang dibawakan nggak nyambung dengan definisi demo yang dikemukakan penulis. Jadinya, kesimpulan ini masih perlu dikaji ulang. Benarkah Islam membolehkan demo secara mutlak selama tidak menyimpang dari Alquran dan Hadis? Kalau ya, mana dalilnya? Sebab, dalil yang dibawakan penulis menurut saya tidak tepat untuk dijadikan sebagai dasar pijakan (hujjah). Saya pun kemudian tertarik untuk menulis tanggapan. Awalnya saya ragu, ditulis apa nggak ya? Saya nggak yakin tulisan saya bakalan dimuat. Sebab, yang saya tanggapi adalah seorang ” Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Calon Mufti di Darul Ifta’ Mesir.”, sementara saya ini siapa? Gelar saya cuma ”MSl. (Baca: Muslim). Mungkinkah saya yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa menanggapi seorang ”Mahasiswa Pasca Sarjana ….. ? Ditambah lagi, hampir semua masyarakat setuju dengan demo. Berarti saya menentang arus. Apa nantinya nggak menimbulkan fitnah? Setelah saya pikir-pikir, akhirnya tanggapan itu saya tulis juga. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk memberi nasehat kepada kaum Muslimin agar mereka kritis dalam menilai sesuatu. Jadi, jika dalam kehidupan sehari-hari mendapati sebuah perndapat, apalagi masalah agama, jangan buru-buru menerimanya. Hendaknya dikaji lebih mendalam. Baru kemudian, jika diyakini pendapat itu benar, maka baru boleh diambil. Kemudian, lewat tanggapan ini, saya pun ingin mengajak teman-teman yang setuju demo untuk menghormati orang lain yang tidak setuju demo. Sebab mereka punya hujjah, sebagaimana kalian juga punya hujjah. Yang penting masing-masing kita punya hujjah yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Sehingga, jika ada kelompok yang setuju demo mengajak orang lain untuk bergabung, kemudian orang itu menolaknya, jangan langsung divonis ”Wah, nggak solider! Wah, nggak peduli nasib ummat dll”. Dan, hendaknya kita tidak anti untuk mendengar masukan dari pihak lain yang memiliki pendapat berbeda. Kita pun harus saling menghormati. Sebagaimana para sahabat Rasul dahulu. Mereka pernah berbeda pendapat. Namun perbedaan pendapat mereka tidak membuat hubungan mereka retak. Mereka tetap hidup harmonis meski perbedaan pendapat ada di antara mereka. ***

Setelah mencari referensi dari sana-sini, dan dilanjutkan menuliskannya di komputer, maka jadilah sebuah tulisan sederhana. Judulnya: Demonstrasi Dalam Islam (Tanggapan untuk Nur Faizin Muhith). Pada sore hari Minggu (8/6) ba’da shalat Ashar, tulisan itupun langsung saya kirim ke alamat redaksi koran Republika lewat email ([email protected]). Tapi, karena saya kurang yakin tulisan saya ini bakalan dimuat, maka disurat pengantar saya tulis begini:” Besar harapan saya pihak redaksi berkenan untuk memuat artikel ini. Namun, jika belum layak muat, saya sangat berterima kasih seandainya pihak redaksi berkenan menyampaikan tanggapan saya kepada saudara Nur Faizin Muhith. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.” Inilah tulisan yang saya kirim. Selamat membaca dan mengkritisi. Kalau ada yang tidak sesuai di hati silakan ditanggapi. Dengan senang hati saya akan menerimanya. Sebelum membaca, agar tidak timbul prasangka yang nggak-nggak, saya ingin menegaskan, bahwa DENGAN MENULIS TANGGAPAN INI BUKAN MAKSUD SAYA UNTUK MENJELEKJELEKKAN TEMEN-TEMEN YANG SENANG DEMO. SEKALI LAGI, BUKAN ITU MAKSUD SAYA. Silakan saja Anda berdemo jika Anda meyakini itulah yang benar. Tapi kita harus selalu ingat bahwa di akhirat nanti kita akan berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan semua amal yang pernah kita lakukan selama hidup di dunia. Sudahkan Anda mempersiapkan diri dengan hujjah yang mantap? Jika belum, coba dikaji kembali tentang hukum demo yang Anda lakukan. Semoga kita semua ditunjuki Allah ke jalan yang lurus. *** Demonstrasi Dalam Islam (Tanggapan untuk Nur Faizin Muhith) Tulisan Nur Faizin Muhith (NFM) yang berjudul “Fikih Demonstrasi” (Republika, 06 Juni 2008) menarik untuk ditanggapi. Dalam tulisannya NFM membawakan sejumlah dalil yang dijadikan hujjah bolehnya demonstrasi. Namun, dalil-dalil tersebut tidak tepat untuk dijadikan alasan bolehnya demonstrasi dengan pengertian seperti yang dikemukakannya. NFM telah keliru dalam menggunakan dalil (istidlal). Maka, kesimpulan bahwa Islam membolehkan demonstrasi sepanjang tak keluar dari koridor Alquran dan Hadis (seperti yang tertulis pada bagian ikhtisar) perlu ditinjau kembali. Kalau kita perhatikan, demonstrasi yang terjadi sehari-hari di sekitar kita umumnya adalah aksi sekelompok masyarakat (rakyat) dalam mengritik dan memrotes kebijakan pemerintah. Dalam Islam, perbuatan ini jelas-jelas dilarang. Sebab, Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah melakukannya terang-terangan. Namun, hendaklah dia menasihatinya secara sembunyi-sembunyi. Jika (nasihat) diterima, maka itulah yang diharapkan. Namun, jika tidak diterima, maka dia (si pemberi nasihat) telah menunaikan kewajibannya.” (HR Imam Ahmad dalam AlMusnad, vol: 3, halaman: 403-404, no: 15.369; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, dll.) Hadits ini secara gamblang melarang kita untuk meluruskan kekeliruan pemerintah secara terangterangan (di hadapan khalayak ramai). Terkait hal ini, Imam Asy-Syaukani berkata,”Orang yang melihat kesalahan seorang pemimpin dalam beberapa masalah, maka hendaklah dia memberikan nasihat kepadanya dengan cara tidak menampakkan kejelekannya di depannya dan di depan khalayak ramai.” (Imam Asy-Syaukani: kitab As-Sail Al-Jarrar, vol: 4, halaman:556) Kemudian, tidak pernah pula kita dapati para sahabat Rasul melakukan perbuatan seperti ini. Pernah suatu ketika sekelompok orang mendatangi Usamah bin Zaid ra. Mereka meminta beliau untuk menasihati Utsman bin Affan ra (selaku khalifah pada waktu itu). Beliau pun menjawab,”Apakah setiap yang aku katakan harus aku perdengarkan kepada kalian!? Adapun aku –demi Allah- tidak ingin membuka pintu fitnah (kerusakan). Sesungguhnya aku telah menasihatinya secara sembunyi-

sembunyi.” (Lihat Shahih Muslim, Vol: 4, halaman: 2990, no: 2989; Shahih Bukhari, vol: 4, halaman: 108, no: 3267) Bukti sejarah Sejarah telah membuktikan dampak buruk perbuatan mengkritik pemerintah di depan umum. Di zaman kekhalifahan Utsman bin Affan ra, ketika masyarakat yang diprovokasi kelompok Khawarij (kelompok sesat pertama dalam tubuh ummat Islam) melakukan kritik dan protes terhadap pemerintahan Utsman secara terang-terangan, maka berkecamuklah api kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Pertumpahan darah dan kerusakan terjadi di mana-mana. Demikian pula sengketa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, terbunuhnya Utsman bin Affan lalu disusul Ali bin Abi Thalib ra, serta terbunuhnya para sahabat Rasul dalam jumlah banyak. Semua peristiwa itu terjadi sebagai akibat masyarakat (rakyat) mengingkari kesalahan pemerintah dan menyebutkan segala kekurangan mereka di hadapan umum. (baca kisah detailnya di kitab Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir) Kelemahan dalil Terkadang orang yang membolehkan mengritik pemerintah di depan umum berhujjah dengan hadits Rasulullah SAW. Sayangnya, hujjah mereka lemah dari dua sisi. Pertama, dalil yang mereka kemukakan tidak valid (shahih). Kedua, mereka keliru dalam ber-istidlal. Dalil yang sering dipakai, di antaranya seperti yang dibawakan NFM dalam tulisannya ini, yaitu peristiwa masuk Islamnya Umar bin Khattab ra yang saat itu semua sahabat berkumpul dan membentuk dua barisan, satu dipimpin Umar bin Khattab dan satu lagi dipimpin Hamzah bin Abdul Muththalib. Mereka kemudian berjalan rapi menuju Kabah di Masjidil Haram dan orang-orang kafir Quraisy menyaksikannya. Kisah ini lemah (dha’if). Sebab, dalam sanadnya terdapat seorang yang bernama Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah. Imam An-Nasa’i berkata:”Dia seorang yang matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya).” Imam Al-Bukhari berkata,”Para ulama meninggalkannya”. Imam Baihaqi berkata,”Dia matruk”. (lihat kitab: Adh-Dhu’afa wal Matrukin oleh An-Nasa’i, no. 50; Adh-Dhu’afa Al-Kabir oleh Al-Bukhari, no. 20; Adh-Dhu’afa wal Matrukin oleh Al-Baihaqi, no. 94, dll.) Kemudian, kalaupun kisah ini valid, namun tidak tepat jika digunakan sebagai dalil bolehnya mengritik pemerintah di depan umum. Begitupun dengan kisah-kisah lainnya yang dibawakan NFM. Sebab, pada kisah-kisah itu, Rasulullah dan para sahabatnya tidak sedang melakukan kritik atau protes terhadap pemerintah. Yang mereka lakukan pada waktu itu adalah unjuk kekuatan di hadapan orang-orang kafir (idzharul quwwah). Dan inilah yang dibolehkan dalam Islam. Adapun mengritik pemerintah di depan umum telah jelas dalil larangannya sebagaimana telah saya sebutkan di atas. Jadi, tidak semua bentuk demonstrasi (baca: pengerahan massa) dibolehkan dalam Islam. Harus dilihat terlebih dahulu tujuannya. Ada juga yang berdalil dengan hadits,”Seutama-utama jihad adalah perkataan yang hak (benar) di hadapan penguasa yang jahat/zalim.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Namun, hadits ini pun tidak bisa dijadikan hujjah. Sebab, dalam hadits ini Rasulullah SAW mengatakan “di hadapan”. Jadi, kritikan/nasihat harus disampaikan langsung di hadapan penguasa. Dan, cara menyampaikannya telah dijelaskan dalam hadits lain yang menyuruh untuk tidak dilakukan secara terang-terangan. Jika pemerintah zalim Umumnya para pelaku demo beralasan bahwa pemerintah telah berbuat zalim, sehingga tidak bisa dibiarkan dan harus ditentang. Salah satu caranya yaitu dengan melancarkan aksi kritik dan protes di depan umum. Harapannya, pemerintah mau sadar dan menghentikan kezalimannya.

Memang, kalau hawa nafsu dan perasaan yang jadi ukuran kebenaran, perbuatan seperti ini sah-sah saja dilakukan. Kezaliman pantas untuk dibalas dengan kezaliman. Namun, Islam tidak dibangun di atas hawa nafsu dan perasaan. Ukuran kebenaran dalam Islam adalah dalil (Alquran dan Hadis). Dalam hadis, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang cara menyikapi pemerintah yang tidak menunaikan hak rakyatnya dan hanya mementingkan diri sendiri (zalim), beliau menjawab,”Tunaikanlah kewajiban kalian (menaati pemerintah pada perkara yang bukan maksiat), dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(HR Muslim, no: 1843). Beliau SAW juga pernah bersabda,”Hendaklah kalian mendengar dan menaati pemimpin kalian, walaupun punggung kalian dipukul dan harta kalian dirampas.”(HR Muslim, no: 1847) Kemudian, sezalim-zalimnya pemerintah kita, masih kalah zalim dengan Firaun yang mengaku dirinya sebagai tuhan (QS An-Naazi’at:24) dan telah banyak menumpahkan darah (QS. Al-Qoshos: 4). Walaupun kezaliman dan kerusakan Fir’aun sangat melampaui batas, namun Allah SWT tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar mendatangi langsung Firaun dan menasihatinya secara lembut dan sopan (QS. Thoha:43 – 44). Cara terbaik Maka, cara terbaik dalam menyikapi kekeliruan dan kezaliman pemerintah ialah dengan mengikuti petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Pertama, kita nasihati langsung dengan lemah-lembut dan secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak bisa secara langsung, kita gunakan cara lain yang mubah seperti lewat surat, telpon, atau melalui orang terdekat yang suaranya kemungkinan akan didengar. Jika segala cara yang ditempuh tidak berhasil, hendaknya kita ingat firman Allah,”Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.”(QS Al-Baqarah: 286) Kedua, hendaknya kita bersabar. Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa melihat sesuatu yang ia benci dari pemimpinnya, hendaknya dia bersabar.” (HR Muslim, no. 1849). Kita tetap penuhi kewajiban kita terhadap pemerintah, yaitu menaatinya pada perkara yang bukan maksiat (QS An-Nisa: 59), dan kita minta hak kita kepada Allah SWT. Terakhir, hendaknya kita doakan kebaikan untuk pemerintah. Semoga pemerintah kita mau bertobat dan berbuat baik (adil) kepada rakyatnya. Fudhail bin Iyadh berkata,”Seandainya saya memiliki doa yang mustajab, maka saya akan doakan kebaikan bagi pemimpin. Sebab, kebaikan pemimpin akan berdampak bagi kebaikan rakyat. Jika rakyat baik, maka negara akan aman sentausa.” (Imam Ibnu Katsir: kitab Al-Bidayah wan Nihayah, vol: 10, halaman: 199) . Imam Ahmad bin Hambal juga pernah berkata,”Sungguh saya akan mendoakan kebaikan, taufiq dan pertolongan bagi pemerintah setiap pagi dan malam. Dan saya menganggap bahwa mendoakannya adalah kewajiban atasku.”(Al-Khollal: kitab As-Sunnah, vol: 1, halaman: 83). Wallahu a’lam.

CATATAN Saya menulis sebuah artikel pendek dengan judul “ Demonstrasi sebagai jalan perlawanan”, rencananya akan dikirim ke situs KAMMI. Artikel itu Saya tulis sebagai interaksi balik dan sekaligus menjawab tuduhan teman-teman Salafi yang menyatakan bahwa demonstrasi itu bid’ah dan merupakan cara-cara kafir. Memang terkesan reaksioner. Sebenarnya, Saya agak malas menanggapi hal-hal seperti

itu, tapi biar suasana agak kondusif, Saya menuliskanya…yah sekedar untuk memberikan legitimasi (pemahaman) bahwa sebenarnya demonstrasi itu diperbolehkan dalam Islam. Saya menulis berdasar salah satu buku yang membahas tentang Fikih Demonstrasi karya Ustadz Aus Hidayat Nur, kurang lebih begini; Demonstrasi (Muzhaharoh) itu diperbolehkan untuk mencapai sasara-sasaran dakwah asalkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i, demonstrasi ini sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pengambil kebijakan (pemerintah). Disebutkan bahwa demonstrasi yang diniatkan karena Alloh dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam adalah salah satu bentuk inkarul munkar (mengingkari kemungkaran). Demonstrasi seperti ini memiliki ahammiyyah kabirah ( nilai urgensi besar) dalam taktsir sawad al muslimin (menampakkan kekuatan kaum muslim). Di lain bab disebutkan bahwa demonstrasi yang sesuai dengan tuntutan Islam meliputi salah satu dari maksud seperti; 1. Upaya mengagungkan kebenaran dan ajaran Islam. 2. Menunjukkan kelemahan yang batil. 3. Membangun kesatuan sikap dan opini umat. 4. Menunjukkan solidaritas bagi sesama yang tertindas dan menderita akibat kezaliman penguasa. 5. Berpartisipasi untuk mengurangi penderitaan masyarakat umum. 6. Menolak diberlakukannya aturan yang zhalim di tengah suatu komunitas. 7. Menampakkan kejahatan dan tipu daya Yahudi dan para pengikutnya. Waktu menuliskan artikel itu Saya hanya berharap semoga tidak mengendorkan semangat kader-kader KAMMI yang selama ini terlibat dalam berbagai aksi turun kejalan. Saya yakin bahwa kader-kader KAMMI sering sekali melakukan aksi jalanan. Nah, semoga saja ketika tahu bahwa aksi jalanan itu di benarkan secara syar’I, justru akan semakin mempertebal militansi mereka. Sepengetahuan Saya, bahwa militansi itu akan terbangun ketika seseorang melibatkan diri secara intens dengan permasalahan-permasalahan umat. Namun, sebenarnya Saya juga berterimakasih--berkat kritikan teman-teman Salafi tersebut, Saya lantas bisa menemukan sebuah penjelasan yang cukup komprehensif (menyeluruh) tentang esensi sebuah demonstrasi. Salah satunya ya penjelasan dalam bukunya Ustazd Aus Hidayat itu. Memang, sudah seharusnya setiap individu itu paham akan apa yang di lakukannya, termasuk juga perihal demonstrasi. Kepahaman ini yang akan melahirkan sebuah kerja-kerja dakwah menjadi tertata dan sistemik..Semoga.

Dr YUSUF QORDHOWI PENGGAGAS KONTEMPORER Oleh : Husnul Aqib Ameen Umat Islam kontemporer bersama-sama mengumandangkan syi’ar kebangkitan dan kemajuan peradaban, sebagai sebuah upaya untuk menilik kembali pada ajaran Islam yang orisinil. Tetapi yang disayangkan upaya ini terkadang tidak mampu menjawab kenyataan kekinian. Oleh karena itu, menurut Dr. Yusuf Qardlawi dibutuhkan sebuah model fikih kontemporer yang dapat menjawab tuntutan masyarakat. Ini akan dapat merealisasikan pandangan umat Islam, bahwa Islam adalah agama realita dan aktual. Menurutnya, fikih adalah materi yang hidup dan fleksibel dapat dielaborasi ke seluruh tuntutan masa dan perubahan kehidupan yang bergonta-ganti. Dan ini bisa dilihat dari perbedaanperbedaan ulama fikih, jikalau dikaji dari segi sejarah dan manusianya.(1) Apabila Islam sebagai wahyu Allah Swt (wadl’un ilahiyun) dan fikih sebagai karya akal (wadl’un basyariyyun), maka tak bisa dipungkiri bahwa perubahan kehidupan kontemporer menuntut model fikih kontemporer, menuntut sebuah model fikih dan ijtihad supaya pararel dengan kehidupan manusia sepanjang masa.(2) Oleh karena itu, Dr. Yusuf Qardlawi menawarkan fikih taysîr (mempermudah) yang menurutnya sebuah jalan keluar (solusi) untuk memahami hukum Islam. Sebagaimana umat Islam mungkin akan merasa asing dan heran tatkala mendengar fikih dengan metode taysîr. Karena selama ini umat Islam, diakui atau tidak, dalam melendingkan hukum (fikih) masih memakai metode ikhtiyâth. Maka dalam kesempatan ini, Qardlawi menuturkan, bahwa taysîr bersumber dari Qur’an dan Hadis yang pernah diimplementasikan pada zaman sahabat. Dan ini secara rinci, ia tulis pada Jurnal Islamiyatu al-Ma’rifah edisi ke 5 bulan Juli 1996 M. Walaupun tawaran fikih taysîr, baik secara langsung maupun tidak, dapat dipahami dalam bukunya yang berjudul Fatâwâ Mu’âshirah. Dr. Yusuf Qardlawi, Pemikir Islam Kontemporer : Sebuah Petualangan dari Bangku Azhar hingga Faishal King Award Pemikir yang lahir pada tahun 1926 ini berasal dari keluarga biasa. Tak ubahnya para pemikir yang lain, ia sudah hafal Qur’an ketika berumur 9 tahun. Kondisi yang semacam ini justru mendorongnya untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman, hingga akhirnya masuk sekolah Ibtida'iy (sekarang I’dadiy) Azhar di Tanta. "Saya cinta Azhar sejak kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah satu ulamanya. Azhar menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan ilmu pengetahuan. Atas bimbingan ulama Azhar, orang-orang bodoh bisa belajar dan para pelaku maksiat mau bertaubat".(3) Bagi Qardlawi kecil, menuntut ilmu di Azhar hanya untuk belajar ilmu agama, bahasa, dapat berkhutbah dan membimbing masyarakat seperti para syaikh yang disimaknya sejak dini. Diantaranya, syaikh Ahmad Moh. Shaqr, Syaikh Ahmad Abdullah, Syaikh al-Battah dan Syaikh Abd. Muthallib al-Battah. Oleh karena itu ketika menjadi pelajar di sekolah I’dadiy, ia sudah didesak oleh masyarakatnya untuk berfatwa, mengimami shalat, berkhutbah serta-merta mengajari mereka ilmu-ilmu agama. Sejak ini pula ia mulai mempunyai perhatian besar untuk mendalami ilmu fikih secara otodidak agar mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang cukup pelik. Pada masa pendidikan sekolah Tsanawiy, ia aktif mengikuti kegiatan- kegiatan ilmiah, seperti seminar, diskusi, muktamar dan yang semacamnya, baik di Tanta atau di propinsi-propinsi lain. Kegiatan tersebut telah menghasilkan konsensus yang spketakuler sekaligus sebagai terobosan-terobosan baru bagi pengembangan azhar masa yang akan datang. Pertama, masuknya pelajaran bahasa Inggris di lembaga-lembaga pendidikan Azhar. Kedua, dibukanya kemiliteran dan sipil bagi pelajar yang meraih ijazah tsanawiyah Azhar. Ketiga, dibukanya lembaga-lembaga keagamaan bagi wanita. Keempat,

dibukanya kesempatan bagi mahasiswa yang sukses dengan nilai baik untuk melanjutkan studi pascasarjana. Kelima, evaluasi terhadap metodologi dan mata pelajaran. Bahkan menurutnya, ia telah sering kali mengajukan tuntutan dan rekomondasi dengan cara melakukan demonstrasi. "Mayoritas apa yang saya lakukan itu selalu berhubungan dengan polisi, saya mengingkari sumpah dan tak sedikit disakiti hanya demi Azhar", tegasnya.(4) Kapan ia mulai mengenal Syaikh Moh. Ghazali ? Menurut Qardlawi muda, ia sudah mengenalnya pada tahun 40-an lewat tulisan yang dibacanya dari majalah Ikhwan al-Muslimin dalam rubrik tetap, Khawatir Hurrah, yaitu akhir masa studi tsanawiyah. Ikatan batin semakin terasa intim, sejak ia masuk anggota Ikhwan Muslimin dan setelah mengetahuinya sebagai seorang dosen di Azhar, lulusan kuliah Ushuluddin, di mana kelak ia melanjutkan kuliah di fakultas yang sama. "Syaikh Moh. Ghazali adalah moncong pertahanan umat Islam", ujarnya.(5) Hari-hari Qardlawi muda dihabiskan dengan menuntut ilmu di fakultas Ushuluddin Kairo. Pada masa kuliah, ia lebih leluasa menyampaikan tuntutan. Wahana dialog di perguruan tinggi lebih akrab, ia senantiasa berbincang-bincang dengan Prof. Moh. Khudlar Husein. Sehingga akhirnya pada tahun 1953, ia bersama rekan-rekannya mendirikan lajnah al-Ba’ats al-Islamiy yang bertujuan untuk memberikan sumbangsih dalam pengembangan peradaban Islam di masa mendatang. Sedangkan yang termasuk aktifitasnya yaitu menerbitkan majalah Syabâbu al-Muslim. Namun penerbitan perdananya gagal, karena ia harus masuk penjara Ameria di awal tahun 1954. Peristiwa ini terjadi seusai meraih gelar Alamiyah (sederajat dengan licence) pada tahun 1953 dan dapat menyelesaikan diploma pada lembaga studi Arab jurusan bahasa dan sastra pada tahun 1958. Akhirnya ia dapat meraih gelar doktoral pada tahun 1973 dengan natijah martabah ma’a syaraf al-ulâ dengan judul disertasi al-Zakâh wa atsaruhâ fî halli musykilati al-ijtimâiyyah. Menurutnya, kendatipun ia memilih untuk studi di fakultas Ushuluddin yang identik dengan akidah, filsafat, tafsir dan hadis, namun hal itu tidak menjadi kendala baginya untuk menelaah fikih; dari sejarah, dasar hingga kaidah-kaidahnya. Barangkali merupakan sebuah bukti yang kongkrit, pada tahun 1415 H, Dr. Yusuf Qardlawi meraih Faishal King Award dalam kriteria Khidmatu al-Islâm lewat karyanya Fiqhu al-Zakâh. Mengomentari penghargaan terbesar dalam dunia Islam ini, ia melihat bahwa Faishal King Award sebagai nobel umat Islam yang secara de jure diakui oleh para ulama. Pun sebagai penghargaan terhadap produk pemikiran yaitu ekuilibrium Islam yang menyatukan antara salaf dan tajdid. Mata rantai perjalanan Dr. Yusuf Qardlawi dapat dikatakan sebagai pintu untuk mengetahui secara lebih detail lagi tentang fikih taysîr yang nantinya menjadi salah satu model fikih kontemporer. Taysîr dalam Pandangan Qur’an dan Sunnah Fikih taysîr adalah tuntutan umat Islam secara konstitusional (Syara’) untuk mempermudah kehidupan manusia di era globalisasi. Tapi bukanlah semata-mata sebagai jawaban terhadap desakan kenyataan atau senandung kemodernan, seperti yang dipretensikan sebagian orang. Sebab pondasi Islam adalah kemudahan, bukan kesulitan. Di mana senantiasa mengajak manusia pada tabsyîr (kabar gembira), bukan pada ancaman ansich. Adapun pijakan syari’ah terhadap kemudahan ini amat jelas, laksana terangnya matahari di pagi hari. Allah berfirman : "Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur" (Q.S. 5:6). "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (Q.S. 2:185). "Dan tiadalah Kami

mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (Q.S. 21 :107). Bukan hanya berpijak dari teks Qur’an saja, namun juga memiliki pijakan dari hadis. Antara lain ; ketika nabi bersabda; "Sesungguhnya aku hanya rahmat dan petunjuk" Begitu pula ketika nabi mengutus Abu Mûsa al-Asy’ariy dan Mu’âdz bin Jabal ke Yaman, nabi berwasiat pada keduanya, "Permudahlah dan jangan dipersulit, berbahagialah dan jangan mengintimidasi serta bersukarelalah." Terminologi Taysîr Sebelum mamasuki pembahasan yang lebih intens, perlu kiranya untuk diperjalas terminologi taysîr dalam sebuah bingkai yang sistimatis dan aplikatif. Barangkali dalam konteks ini ada dua terminologi : Pertama, mempermudah pemahaman fikih terhadap umat Islam kontemporer yang sibuk dalam persolan dunia. Mereka dituntut untuk menghadapi letupan-letupan pengetahuan dan revolusi informasi yang muncul setiap hari, bahkan setiap detik. Kedua, mempermudah pengamalan hukum-hukum fikih dengan menghindari pikiran yang pelik dan berat.(6) A. Mempermudah Pemahaman Fikih Dalam mempermudah pemahaman fikih ke seantore umat Islam, Qardlawi memunculkan poin-poin yang dianggapnya mudah diterima, bahkan dilaksanakan. Antara lain : Menulis sebuah buku dengan bahasa yang mudah dan luas, jauh dari bahasa yang sulit serta tidak membebasi seseorang dalam metode penulisannya. Menghadapi akal seorang muslim kontemporer dengan perkataan yang relevan dengan watak kepribadiannya. Allah berfirman : "Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya" (Q.S. 14 : 4). Menggunakan istilah-istilah yang baru kalau memang lebih mengantarkan pada hukum syara’. Seperti kalimat wi’a’ al-zakâh sebagai pengganti dari al-maqâdîr al-latî tajibu fîhâ al-zakâh. Menghindari istilah-istilah yang sulit bagi pembaca sehingga dapat dipahami oleh rakyat biasa. Menetapkan catatan kaki yang rinci di akhir penulisan tentang fikih. Menerangkan hikmah tasyri’sehingga akal menjadi puas dan hati menjadi tenang. Karena Allah tidak mensyari’atkan sesuatu kecuali ada hikmahnya. Seperti Qur’an menjadikan ibadah mahdlah memiliki alat, hikmah dan konotasinya sendiri. Dalam shalat misalnya, Allah berfitman : "Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari kekejian dan kemungkaran.(7) Secara umum kita dapat melihat lebih tajam lagi, bahwa keseluruhan rumusan di atas mengacu pada kelompok manusia yang masih awam dan memiliki spesialisasi pada fikih. B. Mempermudah Pengamalan dan Pelaksanaan Fikih. Adapun bagian yang kedua berhubungan pada hukum-hukum fikih itu sendiri, sekiranya mudah bagi umat Islam untuk melaksanakan fikih yang berkesinambungan dalam ibadah kongkrit, mu’amalah dan seluruh tingkah laku kehidupan individual dan kolektif. Definisi taysîr bukanlah membuat sebuah konstitusi baru atas kehendak sendiri, menggugurkan apa yang telah diwajibkan Allah atas manusia atau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, atau membuat pembaharuan dalam agama yang tidak diperbolehkan olehNya. Ini semua bukanlah taysîr yang ditawarkan oleh Qardlawi, tapi merupakan tahrif yang tidak dapat diterima oleh akal seorang muslim. Taysîr yang dimaksud Qardlawi adalah taysîr dalam furu’ dan tasyaddud dalam ushul.(8) Maka dapat dipahami secara gamblang, bahwa taysîr adalah sebuah upaya untuk memberikan pencerahan

terhadap umat Islam dalam memahami Qur’an dan hadits seiring dengan perkembangan zaman. Untuk mengkaji lebih tajam pandangan Qardlawi dalam konteks kedua ini, perlu rasanya dijabarkan beberapa hal berikut ini : Memperhatikan aspek rukhshah. Memperhatikan aspek dispensasi terletak pada kemauan masing-masing. Sebab kita tidak bisa berinteraksi pada manusia dengan satu kualitas. Maka tuntutan orang yang lemah, tidak sama dengan tuntutan orang yang kuat. Keharusan taysîr di zaman sekarang. Apabila taysîr adalah sebuah tuntutan, sebagaimana yang diperintahkan oleh nabi, maka taysîr adalah sesuatu yang paling penting dan harus dilaksanakan pada zaman sekarang ini. Melihat karena terkelupasnya keagamaan dalam jiwa manusia dan semakin santernya tendensi-tendensi materialis serta terpengaruhnya umat Islam dengan umat yang lain, di mana ini semua adalah inti dari hubungan erat dunia antara satu dan lainnya. Sehingga dunia ibarat kampung kecil (small village) dan seseorang tidak bisa hidup menyendiri dari yang lainnya. Alat-alat komunikasi yang sudah tersebar luas serta memperlihatkan apa yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Terlebih dengan adanya siaran langsung. Inilah yang digambarkan oleh ulama mutaakhirîn dengan perubahan zaman. Mereka menjadikan semua ini sebab berubahnya fatwa seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin. Ia berkata dalam risalahnya, Nasyru al-’Urfi fî mâ buniya min al-Ahkâm alâ al-Urfi, hukum itu dapat berubah dengan berubahnya zaman dan kebiasaan umat atau adanya darurat, yang sekiranya kalau hukum seperti semula, maka manusia akan mempunyai beban dan kesulitan serta bertentangan dengan kaidah syari’ah yang mempermudah dan menolak kesulitan serta beban.(9) Dari perubahan fatwa inilah yang menyebabkan kita untuk meninjau kembali segala ucapan yang dikatakan atau pendapat yang diambil pada zaman dahulu. Kalau memang pendapat tersebut sesuai dengan kondisi dahulu, namun belum tentu cocok dengan zaman sekarang. Misalnya, pembagian wilayah pada dar al-harb dan dar al-Islam. Ungkapan bahwasanya hubungan umat Islam dengan lainnya adalah peperangan serta ungkapan bahwasanya jihad adalah fardlu kifayah dan lain-lain yang berhubungan dengan hal tersebut. Secara de facto ucapan ini tidak relevan sekali dengan zaman sekarang dan tidak ada teks yang menguatkannya. Bahkan ada teks yang menentangnya. Sedangkan Qur’an sendiri memerintahkan kita untuk mengenal sesama manusia. Jihad yang diwajibkan pada zaman dahulu, mempunyai tujuan yang jelas yaitu menghilangkan rintangan materialistis dalam propaganda Islam. Kini, jihad tidak ada lagi rintangan yang mengganjal. Bahkan di negara-negara terbuka, orang muslim dapat menyampaikan dakwahnya dengan ucapan langsung, baik lewat radio maupun televisi, sehingga mereka dapat berdakwah ke penjuru dunia dengan bahasa yang berbeda-beda.(10) C. Bebas dari Fanatisme Madzhab Taysîr yang ideal adalah bebas dari belenggu madzhab tertentu, yang sementara ini dijadikan referensi dari seabrek permasalahan, baik di dalam ibadah maupun mu’amalah. Kendatipun di dalamnya terdapat ta’sîr wa tadlyîq yang tampak terdapat kelemahan bukti dan pijakan-pijakan konstitusional, bila dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain. Karena madzhab tertentu kadang kala mempersempit dalam beberapa masalah. Padahal apabila kita tinjau dari segi syari’ah dengan teksteksnya, maqâshid dan warisan para fuqaha’, terdapat kelenturan dan keluwesan yang memberikan solusi terhadap segala masalah. Karena menurut Qardlawi, syari’ah itu ibarat dokter yang memberikan

obat pada setiap penyakit.(11) Pandangan fanatisme madzhab ia katagorikan sebagai taklid buta, yang merupakan perbuatan tercela dan merintangi kemajuan umat Islam. Sebab ulama-ulama Islam yang memiliki kredibilitas, secara riil mencela taklid serta mengingkarinya. Muqallid dalam pandangan mereka bukanlah orang yang alim, melainkan mereka adalah pengekor. Karena taklid adalah menerima ucapan orang lain tanpa ada hujjah. Sedangkan ilmu adalah mengetahui kebenaran dengan dalil. Sebagaimna Ibnu al-Jauzi mengatakan, seorang muqallid tidaklah dapat dipercaya dengan apa yang diikutinya. Karena taklid menghapus manfaat akal. Akal dijadikan untuk menelaah dan berpikir. Maka betapa buruknya orang yang diberikan sinar yang menerangi, tapi ia memadamkannya seraya berjalan dalam kegelapan. Begitupun dalam hal ini, Moh. Abduh mengatakan : "Sesungguhnya taklid itu walaupun ada dalam kebenaran, tapi pada hakekatnya merupakan hal yang membahayakan. Begitu juga walaupun taklid bermanfaat akan sampai pula pada kesesatan. Maka taklid adalah sesat yang hanya pantas dilakukan oleh hewan."(12) Termasuk orang orang yang paling vokal menentang taklid adalal Ibnu al-Qayyim dalam bukunya ‘I’lâmu al-Muwaqqi’ien yang terdapat di dalamnya 81 segi menolak orang-orang yang menyuarakan taklid, diantaranya adalah : bahwa Allah SWT jelas-jelas mencela orang-orang yang menkotak-kotakan agama dan merasa bangga dengan golongannya, inilah salah satu contohnya para muqallid jelas berbeda sekali dengan para ahli ilmu mereka walaupun berbeda pendapat tetapi tetap satu tidak terkotak-kotak yang bertujuan kepada kebaikan. Dan Allah SWT berfirman : "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung". Allah mengkategorikan orang yang mengajak kepada kebaikan termasuk orang yang beruntung, yang mengajak kepada kebaikan adalah orang-orang yang mengajak kembali kepada al-qur’an dan sunnah bukan orang yang mengajak kepada pendapat si pulan dan si pulan atau si zaid.(13) Kebebasan dari kungkungan madzhab, bukan berarti mencela madzhab-madzhab yang ada dan juga tidak berarti merasa cukup dengan fikih madzhab serta kitab-kitabnya yang penuh dengan ratio logis dan perincian-peinciannya. Namun yang dimaksud dengan kebebasan madzhab, seorang ahli fikih tidak boleh terikat dengan selain Allah dan RasulNya. Maka ia boleh mengambil dari madzhab manapun yang menurut pandangannya lebih kuat sesuai dengan neraca syari’at. Karena di dalamnya terdapat kelenturan dan kemudahan yang luas. Ini semua berlandaskan pada sebab-sebab yang dapat diklasifikasikan pada enam hal; Sesungguhnya keterikatan pada suatu madzhab adalah sebuah komitmen yang tidak diwjibkan oleh agama. Karena seluruh yang diwajibkan hanya dari Allah dan rasulNya. Allah dan RasulNya tidak mewajibkan umat Islam mengikuti madzhab ad hoc, tetapi Dia hanya mewajibkan untuk mengikuti Kitab dan Sunnah. Semua madzhab itu berkembang setelah agama ini sempurna dan terputusnya wahyu pada masa dua atau tiga hijriyah. Sesungguhnya para imam yang diikuti selama ini melarang untuk bertaklid kepadanya. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Hâfid Ibnu Abdu al-Bârî, yang dinukil oleh Ibnu Qayyim dan lainnya. Qur’an, Hadis dan Ijma’ tidak mewajibkan mengikuti para imam madzhab. Sedangkan, jikalau masih ada yang mewajibkan bermadzhab, ungkapannya tidak logis atau tidak beralasan. Karena seorang muqallid tak layak ditaklid. Bisa diambil contoh ucapannya Abu Daud kepada Ahmad al-Auza’i yang mengikuti mazhabnya malik, "Janganlah kau bertaklid dalam perkara agamamu kepada seseorang, dan ambillah apa-apa yang datangnya dari rasulullah dan sahabatnya". Imam Ahmad sendiri telah menyuarakan dengan lantang kepada seluruh umat agar jangan mengikutinya dan jangan mengikuti Imam Malik, Imam Tsauri atau yang lainnya.(14). Ulama-ulama yang bertaklid sudah mengungkapkan sebuah alasan, bahwa orang awam baginya tidak ada madzhab. Karena madzhabnya adalah ulama-ulama yang memberikan fatwa kepadanya. Sedangkan masyarakat akademis di era ini perlu dilontarkan sebuah fikih kontemporer yang mudah

diterima sesuai dengan dalil dalil yang menentukan sebuah hukum. Para ulama dituntut untuk memaparkan hukum-hukum Islam supaya umat cinta pada agama yang diturunkan 14 abad silam. Maka, apakah logis memaparkan pada mereka empat misal, tujuh atau delepan yang dikategorikan sebagai madzhab yang diikuti. Kemudian sebagai orang berkata, sesungguhnya setiap misal dari semua itu merupakan format ajaran Islm pada sebuah madrasah gagasan atau madzhab ? Bagaimana para ulama mentransformasikan Islam kepada mereka yang baru masuk Islam atau golongan minoritas Islam. Apa yang hendak disampaikan kepada mereka ? Madzhab apa ? Layakkah berkata bagi orang yang baru masuk Islam, sesungguhnya di depan kamu terdapat banyak misal, maka pilihlah satu saja ? Upaya-upaya ke arah itu sudah dilakukan oleh garda depan Grand Azhar dan mentri agama Mesir, apakah pantas ditulis sebuah buku yang menerangkan satu madzhab saja ? Dalam konteks ini, Dr. Yusuf Qardlawi telah menulis sebuah buku yang berjudul al-Halâl wa al-Harâm fi alIslâm. Para pemikir kontemporer semakin menuntut untuk membuat sebuah undang-undang yang jelas, apakah kita akan menyusunnya hanya dengan empat madzhab saja atau lebih ? Akankah kita harus mengikuti dalil yang lebih kuat di bawah naungan Qur’an dan hadis?(15) D. Taysîr bagi sesuatu yang membawa bencana umum. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardlawi membidik persoalan-persoalan yang memiliki persesuaian dengan poin di atas dalam dua hal, antara lain : Pertama, apabila terdapat sebagian madzhab yang bernada keras dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan masalah thahârah, misalnya Imam Syafi’ie, maka dalam hal ini tidak ada kelaziman bagi manusia untuk mengikutinya. Oleh karena itu, ketika berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, seorang ahli fikih bisa menggunakan madzhab Malik, bahwa semua (binatang) yang dapat dimakan dagingnya, maka kencing dan kotorannya suci. Dan air tidak najis kecuali mengalami perubahan. Ini seperti yang diperkuat dan difatwakan oleh Ibnu Taymiyah. Imam Ghalazi mengutarakan dalam buku Ihya’ Ulumuddin (bab thahârah) tentang Syafi’ie, "saya ingin madzhabnya (Syafi’ie) dalam masalah air seperti madzhabnya Malik." Kemudian menjelaskan tujuh alasan untuk mendukung Malik. Padahal ia bermadzhab Syafi’ie. Kedua, dalam menghadapi perbedaan pendapat yang tidak dijelaskan oleh Qur’an dan hadis, kemudian muncul sebuah pendapat yang dianggap lemah dan pada sisi lain orang menganggapnya kuat, maka sebaiknya memilih yang mudah saja. Karena sesuatu yang dipermasalahkan tidak sama dengan sesuatu yang sudah mendapat kesepakatan. Ini erat kaitannya dengan amanat ilmiah. Di samping itu dalam masalah-masalah ijtihad tidak ada kemungkaran di dalamnya. Namun yang terpenting, tetap mempertahankan otensitas agama. Dalam satu contoh, Syaikh al-Azhar, Syaikh Moh. Musthafa alMaraghi, ketika menyikapi masalah yang dilakukan oleh manusia di pasar-pasar dengan ungkapanungkapan yang menjurus pada talak, beliau tidak berfatwa bahwa saat itu talak telah terjadi. Namun senggama antara suami dan istri tetap sah, karena ini sangat berhubungan dengan mempertahankan otensitas agama.(16) E. Memperhatikan maksud dan perubahan fatwa. Dalam hal ini pula merujuk pada tradisi yang telah dilakukan oleh para sahabat, bahkan nabi sendiri. Seperti ketika seorang badui kencing di mesjid. Barangkali yang mendapat penekanan lebih gamblang, bahwa sebenarnya yang berubah itu bukan hukumnya, namun fatwanya saja. Dari sekian pandangan di atas - baik yang mengarah kepada pemahaman maupun pelaksanaan yang mudah - Dr. Yusuf Qardlawi hanya menginginkan sebuah kemudahan sekaligus memperbaharuinya

sehingga dapat diadaptasikan dengan perkembangan kontemporer. Karena menurutnya, konsep taysîr lebih lengket dengan masalah-masalah kekinian di tengah-tengah kepengapan masalah kehidupan. Oleh karena itu harus dibedakan antara syari’ah dan fikih. Syari’ah adalah wahyu Allah, sedangkan fikih adalah kerja akal Islam di bawah pondasi syari’ah. Nah, kalau seandainya diketemukan perbedaan antara Abu Hanifah dan rekan-rekannya (dalam satu aliran) itu hanya perbedaan zaman dan masa. Maka jelas sudah, apabila ada ungkapan, bahwa pintu ijtihad sudah ditutup setelah abad empat, tiga dan dua, ungkapan itu tidak bisa diterima. Sebab sebenarnya yang membuka pintu ijtihad adalah Rasulullah, maka tak ada kemudian yang bisa menutupnya. Khitâm Demikianlah paparan Dr. Yusuf Qardlawi yang bersangkut paut dengan fikih taysîr. Ini mungkin sebuah kado untuk memahami fikih kontemporer. Sebab sangat diherankan, kalau di abad yang pesat dengan perkembangan mutakhir ini, masih ada orang yang mau menutup diri (esklusif) seraya tidak menerima pendapat yang berbeda dengan ketetapan pribadinya. Juga tidak ada maksud lain dalam kebebasan dari kungkungan mazhab melainkan agar seorang muslim dapat merasakan kebebasan berfikir yang sempurna layaknya seorang khalifah di muka bumi ini, semoga dengan adanya fiqih taysir ini dapat membuka jalan pikiran umat Islam di era infijar al-ma’rifah atau tsaurah al-ma’lumat ini. Catatan Kaki Majalah Bulanan, al-Wa’yu al-Islami, edisi 266, Juli 1996, hal 36 Imarah, DR .Mohamad, Hal Islamu Huwa al-Hall, Dar el-Shouruk, cetakan tahun 1995, Hal 57 Qordlowi, DR Yusuf, al-Azhar Bayna al-Amsi wa al-Yaum wa al-Ghad, Maktabah Wahbah cetakan tahun 1992 Ibid Qordlowi, DR Yusuf, Assyekh alGhazali kama araftuhu rihlah nisfu qarnin. Dar el wafa tahun 1995, hal 11 Jurnal islamiyah al ma’rifah, tahun ke-2 edisi 5, Juli 1996, hal 101 Ibid, hal 101-106 Loc.Cit, al-Wa’yu al-Islami, hal 37 Ibid, Islamiyah al-Ma’rifah hal 107 Qordlowi, DR. Yusuf , Fiqhu al-Awlawiyat fi Dlau' al-Qur’an wa al-Sunnah, Maktabah Wahbah, tahun 1996, hal 90-91 Loc.Cit. Islamiyyah al-Ma’rifah hal 108-109 Abduh, Moh. Risalah al-Tauhid Dar al-Shouruk, tahun 1994 hal 32 Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim, Dar al-Hadist, tahun 1993, jilid 2, hal 196 Ibid. Hal 173 Loc.Cit. Islamiyyah al-Ma’rifah, hal 111-112 Ibid. Hal 114.

Related Documents

Fikih Demo
June 2020 18
Fikih Pertanian
November 2019 37
Fikih-perempuan.pdf
June 2020 20
Demo
May 2020 46
Demo
May 2020 44
Demo
June 2020 37