“HAKIKAT FIKIH INDONESIA” MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIKIH INDONESIA Dosen Pengampu : Prof. Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D.
DISUSUN OLEH : Rizal Salim
: 16360033
Muhammad Iqbal
: 16360036
Madhur M
: 16360035
Bian Ambarayadi
: 16360037
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2019
A. Pendahuluan Berbicara hukum tentang hukum Islam tentulah tidak dapat terlepas dari syariat dan fikih. Kedua kata ini sering disalah pahami oleh sebagian umat muslim, tak terkecuali Indonesia. Syariat merupakan fundamen yang menetapkan pokok-pokok hukum Islam yang bersifat universal serta memiliki kebenaran yang mutlak dan absolut karena terdapat dalam Alquran dan Hadis. Sedangkan fikih merupakan produk ijtihad atau pemahaman mujtahid terhadap syariat serta kebenarannya relatif.1 Dari makna dasar fikih diatas, tidak mengherankan dalam produk-produk fikih yang dihasilkan oleh para ulama dan mujtahid berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini dapat kita lihat misalnya dalam fikih mazhab, dimana antara satu mazhab dengan mazhab yang lain saling berbeda dalam memahami syariat atau nash-nash Alquran dan Hadis. Bahkan, dalam satu mazhab pun dapat terjadi perbedaan pemikiran dan pemahaman para ulama di dalamnya. Hal ini tentunya tidak mengherankan apabila makna syariat dan fikih dipahami secara mendalam dan menjadi hal yang lumrah. Diantara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pemahaman dalam bidang fikih adalah perbedaan tempat, waktu, dan sosial budaya masyarakat. Imam Syafi’i adalah salah satu contohnya, beliau memiliki dua pendapat fikih yang berbeda yakni qoul qodim dan qoul jadid. Qoul qodim merupakan pendapat atau produk ijtihad imam Syafi’i sebelum beliau tinggal di Mesir, kemudian setelah tinggal di Mesir beliau mendapatkan keadaan dan sosial masyarakat yang berbeda kemudian merubah pendapatnya atau yang terkenal dengan qoul jadid. berubahnya qoul qodim menjadi qoul jadid ini mejadi bukti bahwa perbedaan tempat dan sosial budaya masyarakat dapat mempengaruhi produk ijtihad. Produk-produk fikih di tanah air kita sendiri yang banyak menjadi pegangan serta rujukan adalah produk atau kitab fikih yang disusun oleh ulama-ulama Timur Tengah, bahkan ditulis ratusan puluhan sampai ratusan tahun yang lalu. Dalam ranah tempat, waktu, kultur, serta sosial budaya masyarakat Indonesia tentunya berbeda dengan daerah Arab. Artinya, apa yang ada dalam fikih klasik, memliki corak yang beragam, seperti fikih Hijazi, fikih Iraqi, fikih, Hindi, fikih Misri, dan lain sebagainya. Atas dasar inilah, beberapa tokoh di Indonesia berupaya menggagas sebuah produk fikih yang memiliki corak khas Indonesia yang tidak lagi terikat dengan fikih klasik.
1 Dr. Ali Sodiqin, Dkk, Fiqh, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 18.
2
Berdasarkan pemaparan diatas, maka pada makalah ini akan dibahas dua pokok permasalahan, yaitu (1) Unsur-unsur pembentuk fikih Indonesia, dan (2) Unsur pembeda fikih Indonesia dengan fikih yang lain. B. Unsur-Unsur Pembentuk Fikih Indonesia Salah satu unsur dalam pembentukan fikih Indonesia adalah adat. budaya serta sosial masyarakat yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan agara fikih dapat dipakai dan di praktikan oleh masyarakat Indonesia, maka bukan saja fikih itu harus mampu memecahkan persolanpersoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil, tetapi juga harus mudah dipahami dan tidak terasa asing bagi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Hasbi Ash Shiddieqy bahwa fikih Indonesia sangat mungkin untuk diwujudkan. Jika adat kebiasaan Arab dapat menjadi sumber fikih yang berlaku di Arab, maka adat kebiasaan Indonesia juga dapat menjadi sumber fikih yang diterapkan di Indonesia. Memaksakan ‘urf Arab atau India diberlakukan untuk umat Islam Indonesia, menurutnya bukan saja bertentangan dengan azaz persamaan yang dianut ajaran Islam, tetapi juga fikih akan terasa asing, sehingga menimbulkan sikap mendua dari masyarakat apabila ada perbedaan antara fikih dengan adat. Oleh karena itu adanya fikih Indonesia merupakan sebuah keniscayaan.2 Perlunya pembentukan fikih Indonesia didasarkan pada kenyataan bahwa fikih yang dikemukakan oleh berbagai mazhab yang telah ada kebanyakan merupakan representasi dari kondisi masyarakat Arab, sementara yang dihadapi disini adalah masyarakat Indonesia. Karena fikih untuk masyarakat Arab belum tentu cocok untuk masyarakat Indonesia. Demikianlah pemikiran yang digagas oleh Hazairin dalam upaya pembentukan fikih Indonesia.3 Pembaruan pemikiran tentang Islam adalah hal yang harus dikerjakan terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Akan tetapi makna pembaruan bukanlah dengan meninggalkan nash. Yang dimaksud dengan
pembaruan
ialah
memperbarui
barang
lama
yang
telah
usang
dengan
mengembalikannya seperti keadaan semula. Nash syara’ yang qoth’i bukanlah sesuatu yang bisa diubah-ubah bentuknya menurut selera. Karena itu, yang boleh dilakukan hanyalah mentakwilkan nash dengan cara yang tidak berlawanan dengan maksud syara’ sendiri dan tidak bertentangan pula dengan kemaslahatan umum serta memenuhi segala persyaratan kaidah hukum dan logika yang benar. Ijtihad yang menghapuskan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’ atau berlawanan dengan 2 Agus Moh. Najib, Perkembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 58 3 Ibid., hlm. 64
3
ketetapan syara’ sama sekali tidak dibenarkan. Lapangan yang menjadi garapan ijtihad hanyalah masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang memerlukan penetapan hukum yang prinsip-prinsip umumnya telah ada dalam syariat dan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang terinci mengenai masalah atau perkara mubah.4 Montesquiu dalam bukunya yang terkenal yaitu L’ Esprit de lois (jiwa hukum) yang dikutip oleh Hasbi, bahwa adat istiadat manusia tidaklah tetap pada suatu keadaan saja, akan tetapi berubah-ubah menurut perbedaan zaman, bahkan berbeda pula karena berlainan tempat dan iklim. Apa yang dijelaskan oleh Montesquiu ini jauh lebih dahulu mendapat perhatian dari sarjana islam yaitu, Ibn Kholdun dalam moqaddimah-nya dan Ibn Qayyim dalam i’lamul muwaqi’in.5 Mereka berdua menetapkan bahwa kemaslahatan manusia terus berganti sesuai dengan pertukaran dan perkembangan masyarakat. Kemaslahatan masyarakat itulah yang diperhatikan oleh syariat, karena sudah logis apabila hukum-hukum syariat itu berganti sesuai dengan pergantian zaman dan keadaan. Inilah sebabnya banyak fuqaha mutaakhkhirin dalam megeluarkan fatwa berbeda dengan fatwa dari para imam mazhab yang mereka anut. Syariat Islam mengakui ‘urf sebagai sumber hukum karena, sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memerankan peran penting dalam mengatur hubungan dan tertib sosial dikalangan masyarakat. Karena itulah, hal-hal yang tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, tauhid, dan tidak pula bertentangan dengan rasa keadilan dan perikemanusiaan. Syariat Islam bukan saja membiarkan hukum adat terus berlangsung bahkan menempatkannya dalam kerengka hukum islam itu sendiri. Rasulullah membiarkan Abbas bin Abdul muthalib menerima laba dari modalnya dan diputarkan oleh orang lain, kerena hal itu sudah menjadi ‘urf dikalangan masyarakat Mekkah. Karena pentingnya kedudukan adat kebiasaan dalam fiqih maka para fuqaha membahas masalah urf secara teliti. Sebab, ‘urf itu ada yang menyangkut agama disamping hanya mengatur hubungan tata tertib antar manusia baik yang berhubungan dengan hukum maupun yang menyangkut moral. Karena itulah mereka menetapkan syarat terhadap urf yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Syarat yang terpenting adalah tidak boleh bertentangan dengan syariat yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist.6 Dari berbagai pemaparan di atas maka harus mempelajari fiqih secara baru, yaitu dengan cara mempelajari perkembangannya dari zaman ke zaman dan membandingkannya 4
Nouruzzaman Shidiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 82. 5 Hasbi Ash Shiddieqi, syari’at Islam menjawab tantangan zaman, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961), hlm. 34. 6 Nouruzzaman Shidiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, hlm. 124.
4
satu sama lain. Tidak hanya membandingkan antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, tetapi harus pula membandingkan fiqih dengan perundang-undangan buatan manusia. Fiqih Indonesia adalah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian, tabiat, dan watak Indonesia. C. Unsur-Unsur Pembeda Fikih Indonesia Dengan Fikih Lainnya Fikih Indonesia menurut Prof. Yudian Wahyudi merupakan produk hukum Islam sebagai hasil dialektika antara nash dengan adat Indonesia yang kemudian diformalkan dalam bentuk aturan perundangan. Aturan perundangan yang dihasilkan melalui mekanisme legislasi yang ada ini dapat dipandang sebagai ijma’ Indonesia baik yang hanya berlaku bagi umat Islam maupun yang berlaku bagi seluruh warga negara. Oleh karenanya, dalam upaya pemberlakuan fikih Indonesia sendiri, semua tokoh penggagas berpandangan bahwa fikih Indonesia hanya diberlakukan bagi orang Islam di Indonesia.7 Disamping itu, semua tokoh yang menggagas fikih Indonesia menganggap pentingnya ijtihad, karena hanya dengan ijtihad, hukum Islam dapat disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia. Kemudian mereka, sebagaimana pandangan para ulama umumnya mengenai lapangan ijtihad, membatasi gagasan fikih Indonesia hanya pada masalah-masalah muamalah kemasyarakatan dan tidak menyentuh bidang ibadah mahdlah (ibadah ritual yang memiliki kaitan langsung antara individu manusia dengan Tuhannya). Selaras dengan itu mereka juga membedakan secara tegas antara syariah yang merupakan ketetapan Allah dan Rasul-Nya dengan fikih yang merupakan upaya pemahaman terhadap ketetapan syar’i tersebut.8 Hal ini mememang dimaksudkan agar supaya fikih yang terbentuk disamping bersifat fleksibel dan dapat berubah, juga berkaitan langsung dengan konteks masyarakat Indonesia. Tidak dapat terelakan bahwa fikih yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah fikih Hijazi, yakni fikih yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, ataupun fikih Mishri dan fikih Hindi. Selama ini kita belum mewujudkan kemampuan untuk berijtihad serta mewujudkan hukum fikih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu, kadang-kadang kita paksakan fikih Hijazi, Mishri, atau Hindi dan Iraqi di Indonesia atas dasar taqlid.9 Dari fakta yang terjadi ini, fikih Indonesia diharapkan mampu menciptakan fikih yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, sesuai dengan berbagai permasalahan
7
Agus Moh. Najib, Perkembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional, hlm. 122. 8 Ibid., hlm. 123. 9 Gatot Suhirman, Fiqh Mazhab Indonesia, dalam jurnal Al Mawarid, Vol. XI, No.1, Februari-Agustus 2010, hlm. `122.
5
yang terjadi di Indonesia, serta tidak lagi terikat pada fikih Hijazi, Mishri, Iraqi, ataupun Hindi yang seringnya terkesan dipaksakan karena situasi dan kondisi yang berbeda dengan Indonesia. Dalam kaitannya dengan perlunya formulasi hukum Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia sehingga dapat diajukan sebagai bahan bagi pembentukkan hukum nasional, fikih Indonesia dianggap sebagai pemikiran yang paling sesuai. Hal ini karena pemikiran fikih Indonesia merupakan pemikiran yang berupaya melakukan kontekstualisasi hukum Islam dengan budaya dan realitas masyarakat Indonesia, kemudian setelah itu berupaya diformalkan untuk diberlakukan sebagai peraturan perundang-undangan. Pemikiran fikih Indonesia pada dasarnya merupakan jalan tengah di antara pemikiran formal-tekstual dan kultural-substansial, atau dengan kata lain fikih Indonesia merupakan pemikiran hukum Islam yang formalkontekstual.10 Aturan perundang-undangan menurut Prof. Yudian Wahyudi, juga merupakan manifestasi dari fikih Indonesia. Bahkan, aturan perundang-undangan yang tidak berlabelkan Islam juga merupakan manifestasi dari fikih Indonesia secara substansial serta membela maqashid asy syari’ah, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan barang yang halal, serta kemaslahatannya bersifat hakiki, nyata dan untuk kepentingan umum.11 D. Penutup Salah satu unsur dalam pembentukan fikih Indonesia adalah adat. budaya serta sosial masyarakat yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan agara fikih dapat dipakai dan di praktikan oleh masyarakat Indonesia, maka bukan saja fikih itu harus mampu memecahkan persolanpersoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil, tetapi juga harus mudah dipahami dan tidak terasa asing bagi mereka. fikih Indonesia sangat mungkin untuk diwujudkan. Jika adat kebiasaan Arab dapat menjadi sumber fikih yang berlaku di Arab, maka adat kebiasaan Indonesia juga dapat menjadi sumber fikih yang diterapkan di Indonesia. Hal yang membedakan fikih Indonesia dengan fikih lain adalah bahwa fikih Indonesia merupakan produk hukum Islam sebagai hasil dialektika antara nash dengan adat Indonesia yang kemudian diformalkan dalam bentuk aturan perundangan. Aturan perundangan yang dihasilkan melalui mekanisme legislasi yang ada ini dapat dipandang sebagai ijma’ Indonesia baik yang hanya berlaku bagi umat Islam maupun yang berlaku bagi seluruh warga negara. Hal ini tentunya berbeda dengan produk fikih lain, yang mana fikih klasik tidak ditujukan untuk dibentuk menjadi sebuah aturan perundang-undangan negara. Hal lain yang membedakan pula 10 Agus Moh. Najib, Perkembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional, hlm. 53. 11 Ibid., hlm. 115.
6
adalah seperti yang dikatakan Prof. Hasbi Ash Shiddiqie bahwa gagasan fikih Indonesia hanya pada masalah-masalah muamalah kemasyarakatan, walaupun hal ini kemudian dikritisi oleh penggagas setelahnya.
7
Daftar Pustaka
Dr. Ali Sodiqin, Dkk, Fiqh, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2014 Agus Moh. Najib, Perkembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011 Nouruzzaman Shidiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Hasbi Ash Shiddieqi, syari’at Islam menjawab tantangan zaman, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961 Gatot Suhirman, Fiqh Mazhab Indonesia, dalam jurnal Al Mawarid, Vol. XI, No.1, Februari-Agustus 2010
8