Farmaka - Jurnal Universitas Padjadjaran

  • Uploaded by: Hanna Asyfa
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Farmaka - Jurnal Universitas Padjadjaran as PDF for free.

More details

  • Words: 3,137
  • Pages: 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Natrium Diklofenak 2.1.1 Uraian bahan Rumus bangun :

Rumus molekul

: C14H10Cl2NNaO2

Berat molekul

: 318,13

Nama kimia

: asam

benzeneasetat, 2 -[(2,6- diklorofenil)

amino]

monosodium Nama lain

: Sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat

Pemerian

: serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa (USP 30, 2007).

Kelarutan

: Sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform dan eter;

bebas

larut dalam

alcohol metal pH larutan 1% dalam air adalah 7.0 dan 8 (USP 30, 2007). PKa

: 4,2 (Moffat, et al, 2005).

6

antara

2.1.2 Farmakologi natrium diklofenak Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang menyerupai fluorbiprofen

maupun

meklofenamat.

Obat

ini

adalah

penghambat

siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Seperti fluorbiprofen, obat ini berkumpul di cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada naproksen. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut (Katzung, 2007). Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh ezim cyclo-oksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin. Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu COX-1 (tromboxan dan prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain dipelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 lah yang memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung) (Katzung, 2007). Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang bersifat tidak selektif dimana kedua jenis COX di blokir. Dengan dihambatnya COX-1, dengan demikian tidak ada lagi yang bertanggung jawab

7

melindungi mukosa lambung-usus (Tan dan Rahardja, 2007). 2.1.3 Efek samping Efek samping yang dapat terjadi meliputi distress gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi daripada dengan beberapa antiinflamasi non-steroid (AINS) lainnya. Peningkatan serum aminotransferases lebih umum terjadi dengan obat ini daripada dengan AINS lainnya (Katzung, 2014). 2.1.4 Dosis Oral 3 kali sehari 25 - 50 mg garam-Na/K, rektal 1 kali sehari 50 - 100 mg, i.m. pada nyeri kolik atau serangan encok: 1 - 2 kali sehari 75 mg selama 1 - 3 hari. Pra dan pasca bedah dalam tetes mata 0,1% 3 - 5x 1 tetes, juga dalam krem/gel 1% (Tan dan Rahardja, 2007). 2.1.5 Sediaan Dalam perdagangan natrium diklofenak tersedia dalam bentuk tablet setara 25 mg, 50 mg dan 100 mg, tablet salut enterik setara 50 mg, injeksi setara 25 mg/ml, 75 mg/ml, supositoria setara 50 mg, 100 mg (ISO, 2007). 2.2 Sustained Release (SR) 2.2.1 Pengerian Sediaan lepas lambat merupakan bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap supaya pelepasannya lebih lama dan memperpanjang aksi obat. Rute pemberian obat secara oral adalah rute paling umum dan nyaman digunakan oleh pasien. Tablet dan kapsul merupakan bentuk sediaan obat solid (padat) yang paling banyak digunakan saat ini, termasuk di dalamnya tablet konvensional dan pelepasan

8

terkontrol hingga kapsul gelatin keras dan lunak (hard and soft gelatin capsules) (Sharma, et al, 2011). Namun di antara penggunaan keduanya tablet merupakan bentuk sediaan yang paling disukai karena mudah diproduksi, mudah pengemasan begitu juga penggunaannya. Bentuk sediaan padat banyak digunakan karena mudahnya pemberian, memiliki dosis yang akurat dan dapat digunakan sendiri tanpa adanya rasa sakit. Bentuk sedian padat yang umum adalah tablet dan kapsul, bentuk sediaan ini bagi beberapa pasien sulit untuk ditelan. Pasien harus minum air untuk dapat menelan bentuk sediaan tersebut. Pasien sering sekali merasa kesulitan dan tidak nyaman dalam menelan tablet konvensional (Parmar, et al, 2009). Istilah yang digunakan untuk sediaan lepas lambat ada bermacam-macam. Sediaan lepas lambat sering disebut dengan “susteined-release”, “controlled release”, “time release” dan “extended action”.Secara umum sediaan lepas lambat yang digunakan secara peroral dapat digolongkan menjadi tiga golongan: 1.

Tablet aksi berulang (repeat action tablet) Repeat action tablet dimaksud sebagai sediaan lepas lambat, yang terdiri

dari dua bagian, pertama mempunyai bentuk dosis yang dapat dilepaskan dengan cepat (immediate release) dan bagian kedua merupakan bagian yang dosisnya baru dapat dilepaskan setelah beberapa waktu berlangsung. Beberapa produk bahkan memiliki bagian ketiga, yaitu dosis yang baru dilepaskan setelah bagian kedua dilepaskan. Pelepasan obat yang berurutan ini dikontrol dengan suatu “time barrier” atau suatu “enteric coating”.

9

2.

Tablet lepas lambat (sustained release tablet) Bentuk sediaan ini memiliki dua macam dosis, yaitu “initial dose” yang

mirip dengan bagian pertama dan repeat action tablets dan “maintained dose” yang memiliki karakteristik pelepasan lambat. Tujuan dari penggunaan bentuk sediaan ini adalah dosis pertama (initial dose) untuk mendapatkan konsentrasi obat dalam darah pada rentang terapeutiknya dan selanjutnya konsentrasi terapeutik ini dipertahankan oleh bentuk kedua (maintained dose). Konsentrasi obat dalam darah pada bentuk sediaan ini berbeda dengan sediaan repeat action tablets karena tidak dijumpai adanya puncak dan lembah. 3.

Tablet aksi diperlama (prolonged action tablets) Sediaan ini mirip dengan sustained release dosage form, hanya tidak

mempunyai dosis muatan untuk mendapatkan kadar terapi pada awal pemakaian obat. Pelepasan obat berlangsung lambat dan memberikan cadangan obat secara terus-menerus dalam waktu tertentu (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.2.2

Kelebihan dan kekurangan sediaan sustained release Sustained release memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan

dari sediaan sustained release diantaranya: a. Meningkatkan kenyamanan pasien dalam menggunakan obat, karena dapat mengurangi frekuensi pemakaian obat sehingga dapat menghindari adanya ketidakpatuhan menggunakan obat seperti pada pengobatan dengan sediaan konvensional dan dapat menghindari pemakaian obat pada malam hari; b. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah; c. Tidak adanya puncak dan lembah pada kurva konsentrasi obat dalam darah versus waktu maka dapat dihindari fluktuasi kadar obat dalam darah;

10

d. Kontrol pemberian dosis terapeutik dapat dibuat pada kecepatan penghantaran yang diinginkan; e. Memelihara konsentrasi obat dalam rentang terapeutik optimum untuk pengobatan jangka panjang; f. Memaksimalkan hubungan antara efektivitas-dosis; g. Mengurangi efek samping obat karena konsentrasi obat dalam darah yang berada pada dosis terapeutik (Charles dan Wikarsa, 2010). Kekurangan dari sediaan sustained release diantaranya adalah: a. Biaya pembuatan lebih mahal dibandingkan dengan sediaan konvensional; b. Terdapat kemungkinan terjadinya dose dumping, yaitu adanya sejumlah besar zat aktif lepas secara cepat dari sediaan, hal ini dapat menimbulkan keracunan karena pasien melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, misalnya mengunyah sediaan yang seharusnya ditelan; c. Sering memiliki korelasi in vitro-in vivo yang buruk; d. Mengurangi fleksibilitas pemberian dosis; e. Efektivitas pemberian obat dipengaruhi oleh lama tinggal di saluran pencernaan (gastrointestinal residence time) (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.2.3 Mekanisme pelepasan sediaan lepas lambat 2.2.3.1 Difusi Pada mekanisme ini, obat dapat berdifusi keluar melalui sistem matriks.. Pada sistem reservoir, inti obat dienkapsulasi dalam membran polimer, sehingga difusi obat melalui membran dapat dikendalikan kecepatan pelepasannya. Mekanisme pelepasan obat yang terjadi berawal dari terlarutnya obat di dalam membran dan diikuti oleh difusi dan terlepasnya obat dari permukaan pada sisi

11

lain dari membran. Jika polimer tidak larut air, maka kelarutan obat dalam membran merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya difusi melintas membran. Sedangkan jika membran merupakan polimer larut air, sebagian polimer akan terlarut membentuk saluran-saluran yang merupakan panjang lintasan difusi yang bersifat konstan (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.2.3.2 Disolusi Obat disalut dalam bahan polimerik dan kecepatan disolusi polimer menentukan kecepatan pelepasan obat. Sistem ini dapat digunakan untuk menahan pelepasan obat melalui cara yang berbeda-beda. Salah satunya dengan menempatkan partikel-partikel obat ke dalam penyalut yang masing-masing memiliki ketebalan yang bervariasi, akibatnya pelepasan obat akan terjadi secara bertahap. Partikel obat yang memiliki lapisan penyalut yang paling tipis akan memberikan pelepasan yang segera, sehingga dapat memenuhi konsentrasi obat yang dibutuhkan pada tahap awal pemberian dosis, sedangkan lapisan penyalut yang lebih tebal akan memenuhi kadar obat yang dibutuhkan utuk menjaga agar konsentrasi obat tetap konstan di dalam tubuh (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.2.3.3 Osmosis Penempatan membran semipermeabel di sekeliling tablet, partikel atau larutan obat, menyebabkan adanya pembentukan perbedaan tekanan osmotik antara bagian dalam dan bagian luar tablet sehingga memompa larutan obat keluar dari tablet

melalui celah kecil dan memberikan sifat pelepasan obat yang

diperlama. Pada sistem ini, membran semipermeabel digunakan untuk mengendalikan kecepatan pelepasan obat. (Charles dan Wikarsa, 2010).

12

2.2.3.4 Swelling Ketika suatu polimer kontak dengan air, maka terjadi penyerapan air yang menyebabkan polimer dapat mengembang, sehingga obat yang terdispersi di dalam polimer akan berdifusi keluar. Akibatnya, pelepasan obat bergantung pada dua proses kecepatan yang simultan yaitu antara proses berdifusinya air ke dalam polimer dan peregangan rantai polimer (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.2.3.5 Proses erosi Pada sistem ini, polimer pada matriks akan mengalami erosi atau pengikisan karena terbentuk ikatan labil akibat reaksi yang terjadi secara hidrolisis maupun enzimatis. Seiring dengan terkikisnya polimer, maka obat akan dilepaskan ke dalam medium di sekitarnya (Charles dan Wikarsa, 2010). 2.3 Salut Film 2.3.1 Pengertian Dalam penyalutan lapis film pada tablet biasanya mengandung jenis-jenis bahan seperti polimer (pembentukan selaput), plasticizer, surfaktan, pewarna, pemanis/perasa/pengharum, pengkilap, dan pelarut. Bahan polimer yang digunakan adalah hidroksipropil metilselulosa (HPMC). Polimer ini merupakan suatu bahan pilihan untuk sistem suspensi udara dan sistem panci penyalut dengan penyemprotan (Lachman, et al, 1994). Tablet salut selaput merupakan bagian terpadu dari proses pengembangan bentuk sediaan. Proses salut selaput meliputi penyalutan salut polimer tipis yang seragam pada permukaan substrat solid. Substrat dapat berupa tablet, kaplet granul atau partikel-partikel. Secara khas salut itu kira-kira setebal 25 sampai 100

13

mikrometer dan disalutkan untuk menyempurnakan sifat-sifat fisik dan kimia substrat (Charles dan Wikarsa, 2010). Penyalutan adalah proses dimana lapisan luar yang kering dari bahan penyalut melapisi permukaan dari bentuk sediaan untuk mencapai tujuan tertentu. Tablet salut dapat menutupi rasa, bau maupun warna obat. Tablet salut dapat mengatur laju pelepasan obat dari tablet. Selain itu, penyalutan tablet juga dapat memberikan perlindungan fisik dan kimia, serta dapat melindungi obat dari suasana asam di gastrointestinal (dengan pembuatan tablet salut enterik). Penyalutan juga dapat menghindari inkompantibilitas dalam formulasi sediaan. Salut film ini berfungsi untuk memperbaiki tampilan tablet, memperlama waktu release tablet/waktu disolusi (Ankit, et al, 2012). 2.3.2 Tujuan salut film Beberapa tujuan penggunaan salut film (selaput) dibandingkan tablet standart antara lain: 1.

Melindungi zat aktif dalam substrat dari faktor lingkungan, seperti cahaya, kelembaban dan udara serta memperbaiki stabilitas kimia dan fisika.

2.

Memodifikasi penampilan produk

3.

Menutupi cita rasa, tekstur dan aroma yang tidak menyenangkan

4.

Mengendalikan atau memodifikasi pelepasan zat aktif (Ansel, 2008)

2.3.3 Komponen salut film 2.3.3.1 Polimer Polimer adalah zat yang membentuk lapisan pada penyalutan film. Polimer yang banyak digunakan pada salut film ada beberapa macam diantaranya turunan

14

selulosa dan polimer akrilik yang banyak ditemui seperti polietilen glikol dengan berat molekul besar, polivinil pirolidon, polivinil alkohol dan lain-lain. 2.3.3.2 Plasticizer Plasticizer pada umumnya adalah zat dengan berat molekul rendah yang punya kapasitas merubah sifat fisik polimer sehingga dapat berfungsi lebih baik sebagai bahan dalam proses salut film. Mekanisme kerja plasticizer pada umumnya dengan menginterposemolekul plasticizer pada helaian polimer sehingga memecah interaksi polimer-polimer. Contoh plasticizer yang standart digunakan adalah polyol seperti gliserol (gliserin), propilen glikol, polietilen glikol, ester organik seperti ester phthalate, ester sitrat, gliserida seperti minyak jarak, monogliserida terasetilasi, dan minyak kelapa terfraksionasi. Pada salut film, plasticizer memiliki kemampuan untuk stress internal pada salut film, selain itu pada salut film yang bertujuan memiliki efekmodifikasi pelepasan pada sediaan, harus kuat secara mekanik supaya lapisan film tidak rusak pada saat proses penyalutan. 2.3.3.3 Pewarna / opacifier Kelompok bahan ini digunakan untuk meningkatkan penampilan produk yang dihasilkan namun juga bermanfaat dalam beberapa hal lain diantaranya: 1.

Identifikasi produk oleh produsen yang standard digunakan pada GMP (Good Manufacturing Practice) serta membantu mengidentifikasi obat pada pasien dengan pengobatan lebih dari 1 obat.

2.

Meningkatkan kesan merek suatu produk sehingga menghindari kesempatan produsen lain untuk meniru produknya.

15

3.

Pewarna pada batasan tertentu memiliki efek opacifiying yang dapat menentukan hasil optimal yang dapat melindungi bahan obat dari cahaya pada saat penyalutan (Hogan, 2002).

2.4 Salut Enterik 2.4.1 Pengertian Tablet salut salut enterik merupakan tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak melarut atau hancur dilambung melainkan di usus, supaya tablet dapat diabsorbsi di usus.Polimer yang banyak digunakan dengan tujuan salut enterik adalah selulosa asetil ptalat, polivinil asetil ptalat, dan akrilat (Aulton, 1988). Keinginan untuk mengubah salut enterik dengan pelarut organik menjadi pelarut air disebabkan karena farktor toksisitas mudah terbakar, serta faktor lingkungan dan ekonomi mulai dipertimbangkan. Polimer yang sering digunakan untuk penyalut enterik ialah turunan akrilat, beberapa diantaranya dapat menggunakan air sebagai pelarut dan pembawa (Goeswin, 1983). 2.4.2 Tujuan salut enterik Tujuan dari tablet dibuat salut enterik antara lain: 1. Menunda pelepasan obat di tempat aksi yang dituju, umumnya di usus halus. 2. Melindungi lambung dari obat-obat yang bersifat iritan. 3. Melindungi obat-obatan yang tidak stabil dalam saluran cerna. 4. Menghindari bau dan rasa obat yang tidak enak. Dalam penyusunan formula tablet enteric coating, perlu diperhatikan fisiologi tubuh terutama lambung dan usus halus. Lambung mempunyai pH 1-4. Dalam keadaan lapar, pH lambung sekitar 1,4 dan saat setelah makan pH lambung meningkat sekitar 1-3. Sementara pH di duodenum pH nya 4,5-7 di jejunum pH

16

6.5-7 sedangkan di ileum 7.5 / 8. Dari pH fisiologis itu dapat dicari penyalut yang sesuai yang dapat larut dalam pH di tempat tujuan tersebut. Tablet salut enterik tidak pecah saat di lambung. Namun bisa pecah apabila ada substansi yang dapat menaikkan atau menetralkan pH asam lambung misalnya antasida atau makanan. Oleh karena itu, penggunaan enteric coating tablet tidak boleh bersamaan dengan antasida dan makanan (Goeswin, 1983). 2.5 Evaluasi Sediaan 2.5.1 Uji keseragaman kandungan Sediaan yang diuji adalah tablet natrium diklofenak dengan berat satu tablet 230 mg dan kapsul natrium diklofenak dengan berat satu kapsul 280 mg dan mengandung natrium diklofenak 75 mg, berarti bobot zat berkhasiat lebih kecil dari 50% bobot sediaan, karena itu penetapan keseragaman sediaan dilakukan dengan menetapkan keseragaman kandungan. Satu tablet digerus lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml dan dilarutkan dan diencerkan dengan larutan NaOH 0,1 N hingga garis tanda. Kemudian disaring, 10 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,4 ml filtrat, dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga garis tanda, lalu dikocok sampai homogen hingga diperoleh konsentrasi. Larutan ini lalu diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 276 nm (Ditjen POM, 1995). 2.5.2 Uji penetapan kadar Timbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet. Timbang seksama sejumlah serbuk setara dengan 75 mg natrium diklofenak (penimbangan serbuk dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan), dimasukkan ke dalam labu tentukur 100

17

ml. Kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N, dikocok hingga larut dan dicukupkan dengan NaOH 0,1 N hingga garis tanda. Disaring, 10 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,6 ml filtrat, dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga garis tanda, lalu dikocok sampai homogen. Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Tablet natrium diklofenak mengandung zat berkhasiat tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari hingga 110,0% dari yang tertera pada etiket (USP 30, 2007). 2.5.3 Uji kekerasan tablet Sebanyak 6 tablet, masing-masing diletakkan pada tempat yang tersedia pada alat dengan posisi tidur, alat diatur, kemudian ditekan tombol start. Pada saat tablet pecah angka yang tertera pada layar digital dicatat. Syarat kekerasan tablet salut 10-20 kg (Abu-Izza, et al, 2004). Kekerasan tablet mencerminkan kekuatan tablet secara keseluruhan, diukur dengan cara memberi tekanan terhadap diameter tablet. Kekerasan merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, benturan dan keretakan selama pengemasan, penyimpanan, transportasi, dan sampai ke tangan pengguna. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang dikempa. Peningkatan jumlah bahan pengikat akan meningkatkan kekerasan tablet meskipun tekanan kompresinya sama. Kekerasan tablet berhubungan langsung dengan waktu hancur dan disolusi (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). 2.5.4 Uji friabilitas Sebanyak 20 tablet yang telah dibersihkan dari debu, dicatat beratnya (a gram). Tablet dimasukkan ke dalam alat friabilator, lalu alat dijalankan selama 4

18

menit (100 kali putaran). Setelah batas waktu yang telah ditentukan tablet dikeluarkan dan dibersihkan dari debu, lalu ditimbang beratnya (b gram). Tablet yang baik mempunyai friabilitas kurang dari 1% (Charles dan Wikarsa, 2010). F = (a – b)/a x 100%. Keterangan: F = friabilitas (%) a = bobot tablet sebelum diuji (g) b = bobot tablet setelah diuji (g) Kerapuhan tablet merupakan parameter yang menggambarkan kekuatan permukaan tablet dalam melawan berbagai perlakuan yang menyebabkan abrasi pada permukaan tablet. Uji kerapuhan/keregasan tablet berhubungan dengan kehilangan bobot akibat abrasi yang terjadi pada permukaan tablet. Semakin besar nilai persentase kerapuhan, semakin besar pula masa tablet yang hilang. 2.5.5 Uji waktu hancur Pengujian dilakukan terhadap 6 tablet. Dimasukkan 1 tablet pada masing-masing tabung dari keranjang. Tanpa menggunakan cakram jalankan alat, gunakan cairan lambung buatan LP bersuhu 370 + 20 sebagai media. Setelah alat dijalankan selama 1 jam, angkat keranjang dan amati semua tablet, tablet tidak hancur, retak atau menjadi lunak. Kemudian masukkan satu cakram pada tiap tabung dan jalankan alat, gunakan cairan usus buatan LP bersuhu 370 + 20 sebagai media selama jangka waktu 2 jam ditambah dengan batas waktu yang dinyatakan masing-masing monografi atau bila dalam monografi dinyatakan hanya tablet salut enterik, maka hanya selama batas waktu yang dinyatakan dalam monografi. Angkat keranjang dan amati semua tablet, semua tablet harus hancur sempurna.

19

Bila 1 tablet atau 2 tablet tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 tablet lainnya. Tidak kurang 16 dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna (Ditjen POM., 1995). Waktu yang diperlukan untuk menghancurkan tablet SR < 2 jam dan untuk tablet salut enterik < 1 jam. Agar dapat diabsorpsi setelah pemberian peroral, tablet harus dapat hancur, larut, dan tersedia dalam bentuk molekulnya. Waktu hancur tablet adalah waktu yang diperlukan sejumlah tablet untuk hancur menjadi granul/partikel penyusunnya yang mampu melewati ayakan nomor mesh 4, yang terdapat pada bagian bawah alat uji. Hasil uji waktu hancur yang baik tidak menjamin bahwa disolusi dan ketersediaan hayati tablet juga akan baik, karena waktu hancur bukan parameter yang dapat menggambarkan/berkaitan dengan ketersediaan hayati. Uji ini penting untuk kontrol variasi dari lot ke lot, sehingga menjamin mutu tablet. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi waktu hancur, antara lain bahan tambahan yang digunakan, metode pembuatan tablet, jenis dari konsentrasi pelicin, tekanan mesin pada saat pentabletan, dan sifat fisika kimia bahan penyusun tablet ((Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). 2.5.6 Uji disolusi Uji disolusi secara in vitro dilakukan untuk mengetahui pelepasan natrium diklofenak dari tablet. Uji dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tablet. Satu tablet dimasukkan ke dalam alat uji tablet dengan menggunakan dayung berisi medium 900 ml. Pengujian dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N selama 2 jam dan larutan dapar fosfat pH 6,8 selama 1 jam untuk tablet salut enterik dan 6 jam untuk sediaan sustained release pada suhu 370 + 0,50 C. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu 10, 20, 30, 40, 50, 60 menit untuk

20

tablet salut enterik dan pada waktu 10, 30, 60, 90, 120, 240, 360 menit untuk sediaan sustained release dengan volume 5 ml setiap kali pengambilan sampel. Volume medium diganti dengan larutan medium baru dengan volume dan suhu yang sama. Masing-masing sampel yang diambil dianalisa menggunakan spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang maksimum 276 nm untuk natrium diklofenak (Ditjen POM, 2014).

21

Related Documents


More Documents from "sora"