Kisah Ku.docx

  • Uploaded by: hanna
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kisah Ku.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,993
  • Pages: 21
Cinta Pertamaku Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Aku terbaring meringkuk layaknya seorang anak kecil yang ketakutan. Aku takut akan ketidakadilan yang menimpaku membuat diriku menjadi sosok terhina dimata orang lain bahkan anakku sendiri. Namun dengan jari jemari ini yang sudah keriput dan bergetar, aku tuliskan sebuah perjalanan hidupku untuk kau anakku Muhammad Abu Bakar. Namamu yang aku buat karena kekagumanku kepada Aisyah ra (Ibunda Kaum Mukmin) dan terdapat dua tokoh lelaki yang Aisyah ra cintai, suaminya Nabi Muhammad SAW dan ayahnya Abu Bakar. Aku ingin menceritakan kisah hidupku layaknya Aisyah menceritakan kehidupannya dalam sebuah buku kepada kemenakannya Abdullah ketika ia sedang sekarat. Anakku tersayang, aku tidak ingin dikenang akan kisah hidupku ini, namun aku hanya ingin engkau tahu mengapa aku bisa seperti ini yang tak berdaya melawan dan menegakkan keadilan didunia yang kejam ini. Bahwa masih ada sebuah surga ditelapak kakiku untukmu anak lelakiku. Anakku tersayang, ini dimulai pada saat aku telah berusia 14 tahun dan baru lulus sekolah menengah bawah. Al Fatih ayahku tersayang, sosok seorang ayah yang aku takuti ketika marah dan aku sayangi sepenuhnya mendidikku agar menjadi anak yang sholehah. Namun aku merasa masih jauh dari kata itu, aku hanyalah anak bungsu yang ingin dimanja dan berkeinginan untuk menghabiskan waktu dengan kedua orang tuaku.Tapi entah mengapa, ayahku ingin aku menimba ilmu di Pesantren yang jauh dari rumahku...hal itu membuatku sungguh kecewa dan keheranan. Aku pernah berpikir bahwa dia hanya ingin melepaskan beban tanggungjawabnya untuk merawatku karena kesusahan dalam mendidik kedua kakak saudaraku.Tapi pada saat itu aku masih belia, keluarga kami pun tidak begitu tahu mendalam tentang agama islam. Aku hanya menjalani masa kecil ku dengan sahabat ku Alif dan Nazwa, setidaknya mereka menerima akan sifatku yang terkadang cengeng dan manja. Keluargaku pun tidak terlalu fanatik terhadap agama dan ibuku Maria tidak mengharuskan anaknya untuk sholeh dan sholehah. Kami hidup dengan dimanja, terutama pamanmu Ridho dan Ikhsan yang merupakan anak kesayangan Ibuku. Pamanmu yang hampir mengurung diri dikamarnya dan jarang berada dirumah membuat jarak antara kami bertiga. Aku merasa

kesepian, mereka sungguh berbeda denganku yang lebih senang didalam rumah....namun kesendirian sudah menjadi biasa seiring berjalannya waktu. Meskipun kami hidup dengan kesederhanaan dan kebebasan dalam memilih pilihan hidup, kami sudah cukup bahagia. Hanya saja ayahku menghancurkannya dalam satu kalimat yang mampu mengubah hidupku sampai saat ini “Kamu harus pergi ke pesantren agar menjadi anak sholehah dan tidak seperti kakak-kakak mu itu.” Seketika jantungku berhenti berdetak dan aku pasang wajah murka terhadap ayahku, mengapa harus aku yang melakukannya? Apakah ayah ingin mebuangku dan sudah tidak mencintaiku lagi? Seharusnya ayahku lebih suka gadisnya didalam rumah ketimbang merantau, tanggungan yang seharusnya dilimpahkan kepada kedua kakak ku membuatku merasa dibuang. Aku langsung pergi dan mengurung diri dikamar, lututku lemas rasanya jantungku dicabik cabik. Hal didunia ini yang paling aku benci adalah ketidakadilan yang selalu menghampiriku. Ketidakadilan disaat ibuku memarahiku ketika aku berbuat salah, namun bersikap biasa ketika kedua kakakku berbuat salah. Ketidakadilan ini membuatku muak tak bernafsu minum dan makan, tapi itu percuma. Karena keesokan harinya aku didaftarkan oleh ayahku ke Pesantren Ar Rahman yang begitu jauh dari rumahku kepada teman dekatnya ustadz Syaiful. Beliau adalah kepala sekolah pesantren tersebut yang cukup terkenal didaerah itu. Aku tidak bisa berbuat apalagi selain menerima ketidakadilan ini dan berharap waktu berjalan dengan begitu cepat hingga aku dewasa dan bisa memilih jalan hidupku sendiri. Aku bukanlah orang yang pendendam, keesokan harinya aku keluar dari kamarku yang sederhana dan kecil namun tetap terasa nyaman. Aku menyapa dan bersikap seperti biasa kepada ayahku. Dia mengerti aku butuh waktu untuk tidak membahas tentang masa depan pendidikanku. Ibuku seperti biasa mempersiapkan sarapan untuk ayah dan aku, karena hanya kami yang terbangun dipagi hari saat libur panjang. Setelah selesai sarapan aku langsung pamit kepada kedua orang tuaku dan pergi kerumah Nazwa untuk menceritakan hidupku yang naas ini. Rumahku dan Nazwa hanya berjarak sekitar 3 km, aku pergi berlari kerumahnya karena ingin cepat-cepat melampiaskan curahan hatiku. Aku merasakan hembusan angin dingin yang mendekapku dipagi hari. Hanya sekitar 5 menit aku sampai dirumah Nazwa, namun lampu rumahnya menyala padahal ini sudah lewat jam 10 pagi. Sepertinya tidak ada siapa-siapa dirumahnya. Garasinya yang luas pun nampak kosong, karena sepertinya Nazwa tidak ada dirumahnya aku pergi

kerumah sahabat ku yang satu lagi Alif. Meskipun aku tampak ragu untuk berkeluh kesah kepadanya karena dia selalu mengejekku jika aku lebai dan menangis. Tapi saat itu aku hanya membutuhkan seseorang untuk menjadi pendengar. Aku memutuskan mengabaikan ejekan Alif nanti dan menceritakan masalahku padanya. Pada saat aku berjalan kerumah Alif yang lumayan agak jauh dari rumah Nazwa, aku melihat dia sedang bersepedah. Aku langsung memanggilnya dan bersuara terenga-engah karena berusaha mengejarnya yang lumayan cepat. “Ada apa Aisyah? Aku harus pergi mengantarkan susu kerumah nenekku.” “Aku ikut ya?” aku langsung naik dijok belakang sepedahnya, namun ia malah tersenyum melihat tingkahku ini sambil mencubit pipiku dengan gemas. Kami tidak berbicara diperjalanan, kami hanya menikmati dinginnya udara dan hangatnya matahari. Alif adalah sahabat yang baik, ia lebih tinggi dariku, berkulit putih dan bersih tidak serpeti teman lelakiku pada umumnya, bibirnya lebih merah dan menawan dari bibirku, alisnya tebal sehitam arang dan ketika ia tersenyum terdapat dua lesung pipit yang membuatnya lebih manis. Pada saat itu aku tidak tahu rasanya cinta, tapi mungkin bisa dikatakan aku telah jatuh cinta kepadanya karena hampir setiap hari kami bertemu dan aku tidak mempunyai lagi sahabat lelaki seperti dirinya. Ketika kami sudah sampai dihalaman rumah neneknya, aku menunggu dikoridor halaman. Rumah itu tampak tua namun megah dan besar. Halamannya pun begitu kosong, namun aku terpikat pada bunga anggrek yang menempel dipepohonan berwarna ungu. Mataku tak lepas dari bunga anggrek itu, warna ungu adalah warna kesukaanku karena tidak terlalu mecolok dan tidak terlalu gelap. Ketika aku sedang asyik menikmati pemandangan, Alif keluar dan mengajakku untuk masuk. Alif ingin memperkenalkan aku kepada neneknya. Entah mengapa aku merasa malu dan pipiku tiba-tiba memerah layaknya seorang kekasih yang gugup bertemu calon mertuanya. “Ayo masuk Aisyah, nenekku ingin melihatmu” Tidak seharusnya aku merasa malu, itu hanyalah neneknya Alif. Namun karena tidak adanya respon dariku, Alif memegang tanganku dan menariknya. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, perutku terasa sakit dan sekujur tubuhku dingin. Namun Alif bersikap biasa saja dan terpaksa aku harus masuk.

“Ini Aisyah? Cantik sekali.” Nenek Alif hanya memberikan senyuman dan kata-kata singkat kepadaku, namun senyumannya terlihat menyembunyikan kesedihan diwajahnya. Tiba-tiba Alif menarik tanganku lagi keluar pintu rumah. Aku tersipu malu dan kebingungan juga melihat neneknya begitu sedih ketika Alif pergi dari rumahnya. Padahal Alif hampir tiap hari mengunjungi neneknya. Aku tidak tahan dengan rasa penasaranku, aku ingin lontarkan pertanyaanku mengapa nenek Alif begitu tampak letih dan sedih seperti kehilangan seseorang yang penting dalam dirinya. Apakah ada masalah antara beliau dengan Alif? Tapi aku tidak punya energi untuk membahas masalah orang lain dan fokus terhadap masalahku sendiri. Alif mengajakku ke lapangan dekat dari rumah neneknya. Dilapangan itu hanya ada satu pohon dan kebanyakan semuanya adalah rerumputan. Kami pun memilih pohon rindang untuk bersandar dan berteduh seperti halnya sepasang kekasih yang sedang bermesraan. “Apa yang kamu ingin bicarakan Aisyah?” ia memasang senyum yang begitu manis ketika bertanya. Anehnya dia tidak menanyakan Nazwa, tapi aku mengabaikannya dan membalas senyumnya. “Alif aku akan meneruskan pendidikanku dipesantren, itu adalah pilihan ayahku. Aku hanya merasa ayahku tidak suka padaku lagi, aku kira ayahku tidak ingin sering bertemu denganku. Aku tidak akan banyak bertemu denganmu dan Nazwa juga, mungkin aku tidak akan bermain lagi dengan kalian...ataukah mungkin aku tidak akan sering pulang...” Tidak sengaja air mataku bercucuran, aku tidak sanggup berbicara lagi. Tapi Alif malah tersenyum dan menepuk pundakku. Sepertinya dia ingin mengejekku seperti yang biasa dia lakukan ketika aku menangis. Namun pada saat itu Alif malah membuat jantungku yang remuk tersusun kembali, ia tampak seperti orang dewasa bukan lagi seorang lelaki yang baru baligh. “Karena kamu spesial Aisyah. Kamu adalah anak kedua orang tuamu yang paling spesial. Mereka ingin kamu hadiahi surga dengan menjadi anak sholehah, karena kamu adalah cahaya dan harapan mereka. Aku yakin ketika kamu sudah dewasa kamu akan mengerti dan kamu akan lebih cantik ketika kamu menutupi dirimu dengan Hijab.” “Jadi sekarang aku jelek?” aku memasang muka yang cemberut. “Du bist schon lieb...”

“Artinya apa? Aku lagi serius nih!” Aku meneteskan air mata lagi tak henti-henti, namun aku senang melihat muka Alif yang merasa bersalah. Dia terlihat begitu tampan dan memesona ketika dia merasa canggung. Aku tidak tahu bahwa Alif bisa romantis juga dan membuatku begitu kaku ketika menghapus air mataku dengan ujung kaosnya.Tangisanku berubah jadi senyuman yang merekah. Hari itu tidak akan pernah aku lupakan anakku. Karena hari itu adalah hari terakhir aku melihat senyum manis sahabatku. Hari dimana aku masih merasakan hembusan nafasnya dan detak jantungnya. Aku senang melihat senyuman terakhirnya, namun ia malah menatapku dengan tatapannya yang begitu tajam, tiba tiba saja senyumannya hilang bagaikan pasir terkena ombak. Ada yang ingin dikatakan dia namun tak bisa dia katakan. Bibirnya terkatup rapat dan aku melihat dahinya yang berkerut kerut membuat aku merasa kebingungan dengannya, apakah ia sedih bahwa aku akan pergi? “Ada apa Alif? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?” Tanyaku dengan rasa penasaran. “Aku merasa sedih ketika kamu sedih Aisyah, maka berjanjilah kamu tidak akan sedih lagi. Aku tidak ingin melihat dan membuatmu terluka.” “Alif, kamulah yang membuat aku bahagia ketika aku berduka. Mana mungkin aku sedih karena kamu.” Ketika aku melihat wajahnya aku merasa kebingungan. Apakah dia benar benar Alif? Dia bercahaya laksana rembulan dimalam hari, ia seratus ribu kali lebih tampan dari biasanya, matanya berbinar seperti melihat sesuatu yang indah, ia melihatku. Apa yang dia lihat dariku sehingga ia tak bisa lepas dari pandanganku, aku merasa canggung namun aku hanya memberikan rasa senyumku untuk melepas ketegangan ini. “Aku berjanji untuk mengunjungimu ketika aku sempat, kita akan bertemu lagi.” Aku ingin mengatakan bahwa aku akan merindukannya namun aku terlalu malu dan naif untuk mengatakannya. Namun Alif membaca mataku yang berkaca-kaca dan berkata “Aku akan merindukanmu Aisyah, kau sahabat terbaikku.” Alif selalu tahu cara menenangkan diriku, melihat wajahnya pun sudah memberikanku kedamaian. Setelah sekian lama kita berbincang, dia mengantarkan ku pulang dengan sepedahnya, aku ingin sekali memeluk dan mendekapnya. Tapi aku tak punya

keberanian untuk melakukannya, aku hanya memegangi kaosnya sambil menikmati pemandangan akan dirinya dari belakang. Seperti biasa kita tak saling berbicara, padahal rumahku lumayan jauh. Aku ingin memulai pembicaraan agar tidak merasa canggung dan tegang. Tapi ketika Alif menoleh kebelakang untuk melihatku....hilang semua rasa ketegangan yang ada hanyalah kedamaian. Aku seperti orang gila karena tidak berhenti tersenyum. Aku baru tersadar bahwa Alif yang kukenal dengan candaannya ternyata bisa juga romantis dan manis. Apakah Alif merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan? Beberapa menit kemudian kami sampai didepan halaman rumahku, aku mengajak Alif masuk namun dia berkata bahwa dia harus segera pulang. Dia memberi senyuman kepadaku dan mencubit pipiku yang kemerahan. Sudah menjadi kebiasaanya ketika kami masih kecil. Menurut dia aku selalu bertingkah menggemaskan dan membuatnya ingin mencubit pipiku dengan manja. Lalu ia memalingkan pandangannya dan pergi. Ketika aku berjalan kedalam rumahku dengan penuh harapan. Ayah dan ibuku berada diambang pintu seperti menantikanku dan mengkhawatirkanku. Namun ketika aku melihat mata ibuku yang berlinang air mata dan melihat ayahku yang begitu resah, senyumku berubah dengan raut wajah penasaran dan kebingungan. Aku merasa kecewa karena telah membuat mereka begitu sedih, tapi aku merasakan aku tidak berbuat apa-apa untuk menyakiti hati mereka. Lalu tiba tiba ayah memelukku dan membisikkan sesuatu. “Maafkan ayah aisyah, ayah sangat ingin memberitahumu tapi ayah takut membuatmu lebih sedih dan kecewa.” Aku melepaskan pelukan ayah dan memasang muka keheranan. “Anakku, sebenarnya sudah seminggu lalu Alif dioperasi pencakokan jantung. Namun kata keluarganya setelah operasi dia tidak bangun lagi dan koma.” Tiba tiba badanku lemas dan bergetar, aku sempat melamun dan ayah ibuku memelukku. Tidak ada air mata yang menetes, aku hanya menutup mataku dan berharap terbangun dari mimpi burukku. Namun ketika aku membuka mataku, aku berteriak menjerit-jerit. Air mataku mengalir begitu deras hingga jatuh kepipi ku, aku merasa kesakitan seakan ada sesuatu yang menekan jantungku. Aku meremas kedua orangtuaku karena tidak kuat

merasakan sakit yang begitu mendera ini. Anakku tersayang, aku menuliskan ini dengan bercucuran air mata. Hingga saat ini aku masih merasakan rasa sakit ketika mengetahui bahwa sahabatku terbaring tak berdaya. Ayahku berkata bahwa Alif akan bangun dari komanya, tapi itu bukanlah kepastian. Bahwa memang takdirnya Alif pergi dahulu meninggalkanku. Aku yang sekarang sudah tua renta masih merasakan ingatan yang begitu tajam akan Alif. Terkadang ingatanku dapat membuat aku tersenyum, namun kenanganku juga mampu membuatku menangis sejadi-jadinya secara tiba tiba. Ketika kesedihanku mulai reda dan tubuhku mulai kuat, ayahku mengajakku untuk pergi kerumah sakit. Tidak seharusnya aku melihat sahabatku dalam keadaan setengah mati diusianya yang masih belia begini, ketika teman-teman sebayaku masih bermain gembira dengan sahabatnya. Ketika diperjalanan aku masih membayangkan senyumannya yang lebar bagaikan bulan sabit. Aku merasa berada didua dimensi, aku tak tahu mana yang nyata dan yang hanya ada dalam mimpi, tapi untuk sekarang aku merasakan bahwa yang tadi itu hanyalah mimpi. Namun genggamannya yang aku rasakan terasa begitu nyata, bahkan meskipun itu mimpi begitu mampu memberiku sebuah harapan. Mungkinkah Alif dalam tidurnya sedang memikirkanku? Disaat kami sudah sampai diparkiran rumah sakit. Dari jendela mobil, aku melihat disitu ada mobil sahabatku Nazwa. Sepertinya dia sudah tahu tentang penyakit yang diderita Alif. Aku merasa sakit dan sedih ketika melihat Nazwa saja yang berada disisi Alif. Mengapa Nazwa begitu kejam kepadaku, aku berhak tahu apa yang dirasakan Alif. Seharusnya kami berbagi duka bersama, apakah terjadi sesuatu antara Alif dan dia? Sesuatu yang sekarang aku rasakan terhadap Alif. Aku bersumpah disaat itu bahwa sahabatku yang aku sayangi sejak aku kecil, sekarang akan menjadi musuh bebuyutku. Disaat aku berada dilorong rumah sakit, ayahku meminta agar diriku bisa menahan rasa tangisku. Beliau takut aku malah menambah luka kepada Alif dan keluarganya. Ayahku memegang tanganku erat-erat untuk memberiku kekuatan, dan aku menutup mataku ketika kami mulai melangkah untuk melihat Alif. Langkah demi langkah aku menghelakan nafas untuk menahan rasa sakit ini, tapi ketika aku terlalu takut membuka mataku...aku merasakan ada orang yang menggenggam tangan kananku, tangannya begitu dingin namun sehalus kapas putih. Aku mulai membuka mataku untuk mengetahui siapakah dia, dan

ternyata dia adalah Alif sahabatku. Ia memberikan senyuman kekuatan padaku, dia menarikku untuk memeberi semangat kepadanya. Tidak ada rasa takut didalam diriku, aku tidak mengedipkan mataku karena aku tidak ingin ketika aku memejamkan mata Alif benar-benar pergi. Aku melihat sesosok roh Alif bagaikan malaikat, ia melihatku dan melihat kedepan. Ia ingin aku melihat dirinya yang sedang koma dan dipasang dengan berbagai selang ditubuhnya. Lalu aku palingkan mataku dari wajahnya dan aku melihat dia yang begitu pucat beda dengan Alif biasanya. Saat itu juga aku merasakan kehampaan ditangan kananku, dan aku tak berdaya untuk memalingkan mukaku kepada roh Alif. Karena aku tahu rohnya sudah pergi dan aku tak bisa merasakan keberadaanya lagi. Aku ingin memegang tangannya dan memeluk erat tubuh yang lemas itu. Namun saat aku melihat disebelahnya disana ada Nazwa, ia terlihat berduka sama sepertiku, terdapat kantung mata yang menandakan bahwa dia terjaga semalaman untuk menemani Alif. Ayahku memberikan isyarat kepada Nazwa dan keluarga Alif untuk meninggalkanku berdua dengannya. Ketika mereka semua keluar, hanya ada aku dan Alif. Aku duduk didekat telinganya...aku pegang tangannya yang begitu dingin. Seketika Alif bangun dari tidurnya, tubuhku gemetaran aku langsung pergi untuk memanggil suster. Namun alif menarik tanganku, entah mengapa tangannya begitu kuat disaat dia baru saja bangun dari komanya. Dia menatapku dengan tatapan begitu tajam, dia terlihat marah karena aku pergi meninggalkannya sesaat. Lalu aku duduk kembali didekatnya sembari menangis terisak-isak. “Aku...memimpikan...dirimu menangis a..isyah.” “Bagaimana aku bisa menahan tangis jika sahabatku pergi meninggalkanku!” “Sabar aisyah, terimalah segalanya dengan sabar. Mungkin susah, tapi kelak kamu akan mengerti..” “Kau tau aisyah? Tadi aku memimpikan seorang bidadari. Aku melihatnya menangis terisak-isak, lalu aku mendekatinya...semakin aku mendekatinya...semakin nampak wajah cantiknya. Ketika aku melihatnya, nyatanya aku melihat dirimu. Kau terlihat sedih namun tetap cantik dan sekarang bidadari itu sedang memanggilku. Aku harus menjemputnya aisyah, dia sedang bersedih karena terlalu lama menungguku....sekarang dia tersenyum.....dia jalan kearahku......”

Disitulah terakhir kali aku merasakan detak jantung dan nafasnya. Aku keluar dari ruangan itu ketika semua orang berdesak-desakan masuk. Aku berjalan, terus berjalan, tanpa sebuah arah. Merasa sendiri disebuah keramaian, semua orang hanyalah orang asing. Pada saat itu, aku merasa tubuhku berpisah dengan rohku. Aku tidak bisa merasakan diriku sendiri. Hingga pada saat aku sampai dilorong kosong, ada seseorang yang menepuk pundakku dan beliau adalah neneknya alif. “Aisyah...aisyaahhh!!! tidak apa untuk menangis sayang. Tapi janganlah kamu berduka begitu dalam, bukan itu yang Alif inginkan. Dia ingin kamu bahagia.” Beliau menghapus air mataku dengan ujung kerudungnya, seperti yang Alif lakukan untuk menghapus air mataku dan aku malah membayangkannya lagi. Sekarang aku sadar bahwa itu nyata, Alif mengucapkan salam perpisahannya kepadaku. Meskipun aku tak berada disisinya, tapi aku masih merasakan genggaman tangannya walaupun itu hanya berwujud roh. Lalu nenek Alif membawaku kehalaman mesjid untuk menenangkanku dengan berwudhu, disaat aku melihat sekitar masjid hanya kami berdua disana. Aku juga mengerti bahwa beliau juga tidak sanggup melihat jasad cucunya. Kami hanya menunggu hingga saatnya Alif dikuburkan. Beberapa jam kemudian kami menunggu, ayah menemuiku dan mengajakku untuk pergi mengantarkan Alif sahabatku. Aku harus kuat seperti yang dikatakan neneknya Alif, aku ingin menjadi sahabat terbaik Alif hingga saat terakhirnya. Ayahku mengajakku untuk ikut menyaksikan pemakaman Alif, tapi aku lebih memilih berdiam diri dimobil. Bagaimana bisa aku melihat sahabatku sendiri terbalut kain kafan dan ditutupi tanah. Rasa sakitku begitu terasa ketika aku sendirian, aku berusaha menahan tangisanku namun air mata tetap bercucuran hingga terasa pedih dipipiku. Sahabatku Alif yang selalu memberi kebahagiaan kepada setiap orang yang dijumpainya, yang memiliki senyuman manis, selalu tak lupa untuk pergi ke masjid ketika adzan berkumandang, dan menjaga kebersihan dirinya sehingga terlihat tampan dan rapih. Namun sekarang yang aku lihat bahwa semua manusia didunia ini sama, bahkan Nabi Muhammad SAW pun yang begitu mulia didunia ini dan manusia paling sempurna akan kembali kepada Allah SWT. Tapi aku yakin bahwa Alif akan masuk syurga, kenyataan bahwa Allah mencitainya sehingga ia diambil olehNya ketika ia belum baligh, belum berdosa dan suci sesuci bayi yang baru lahir.

Anakku tersayang, aku memikul beban yang berat pada saat itu. Alif ingin melihatku selalu bahagia, namun kebahagiaan dan harapanku terkubur bersama dengannya. Namun ini adalah awal dari kisahku, sebelum terjadinya kisah yang mampu menguji imanku. Pertolongan Allah SWT Sudah hampir seminggu aku mengurung diri dikamar, aku bangun dari kasurku hanya ketika aku berwudhu dan sholat selebihnya aku habiskan waktu diatas tempat tidurku. Terkadang ibuku mengunjungi kamarku untuk memberiku makan walau hanya satu suap. Ketika aku melihat ibuku aku mengamati ada yang berbeda dari ibuku, biasanya melihat tingkahku yang seperti ini ibu langsung marah dan memukulku. Tapi yang aku lihat dari matanya yang begitu coklat dan menyala nyala adalah rasa kasihan, ia seperti melihat gadis yang malang karena kehilangan kekasihnya. Melihat keluargaku mengasihaniku malah membuatku merasa terpuruk dan teringat kesakitan yang aku alami. Aku lebih menutup rapat bibirku, dan memilih bercerita kepada Tuhanku. Hanya Dialah yang mampu memahami dan mengerti perasaanku. Ketika semua orang menciptakan jarak kepadaku, Allah SWT mendekapku erat dalam sujudku. Sudah berapa banyak tetesan air mata yang membasahi sajadahku. Apakah aku akan kehilangan masa kecilku? Aku hanya bisa menyerah dan berpasrah kepada dunia ini, dan membiarkan Allah SWT yang memberikanku pertolongan. Ini sudah hari ke 8 dan aku belum menemukan cahaya lagi dihidupku. Ayahku bilang Nazwa pernah sesekali mengunjungiku, katanya ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku tidak sanggup untuk melihat Nazwa, rasa sakit dan bebanku terasa bertambah ketika melihat Nazwa. Pipiku memerah dan panas menandakan aku masih menaruh dendam kepadanya. Oleh karena itu ayahku memberikanku waktu hingga esok, jiga saja aku masih terbaring ditempat tidurku ayahku akan mengirimku kerumah paman di Padang agar aku bisa melupakan rasa dukaku. Sesungguhnya aku ingin bangkit menjadi diriku seperti yang dulu, tapi ketika aku mencobanya malah bertambah rasa dukaku dan sadar bahwa Alif tidak menjadi bagian dari masa depanku. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar meringankan beban yang begitu berat ini, dan memejamkan mata sambil bertasbih. Aku membuka mataku, tiba tiba aku berada disuatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Ditempat itu banyak bebatuan besar seperti

bukit yang menjulang tinggi, dan sisanya hanyalah gurun pasir dengan sedikit rerumputan. Aku sadar bahwa itu bukan tempat dari negaraku Indonesia, itu seperti Mesir atau memang tidak ada tempat seperti itu. Disana begitu sepi dan terik matahari membuat kulitku memerah. Aku merasakan tenggorokanku kering, aku melihat disekitarku tidak ada satu orangpun hanya diriku. Aku berusaha mencari air untuk memenuhi dahaga ini, aku berjalan cukup lama dipasir yang begitu panas membuat kakiku terasa amat sakit dan ngilu. Aku istirahat sebentar dan berdzikir, tapi yang aku lihat setelah berjalan jauh hanyalah gurun yang tidak berujung. Aku berlari ketakutan berharap menemukan sesuatu, hingga akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan tubuhku terhuyung dan terjatuh digurun pasir. Aku menutup mataku erat erat dan berserah diri kepada Allah SWT, pada saat itu tiba tiba angin dingin menusuk sukmaku. Aku menggigil kedinginan, tulangku terasa ngilu dan berdenyutdenyut. Aku ingin terbangun dan berteriak tapi suaraku terasa hilang, lalu angin itu berhenti. Aku menantikan bencana apalagi yang akan menimpaku karena aku sudah tidak kuat dan merasakan bahwa aku akan mati. Lalu terlihat sesosok lelaki berjalan memakai jubah putih, aku melihatnya dari kejauhan dan bersinar bagaikan kaca yang memantulkan sinar matahari yang menyakitkan. Aku menutup mataku karena cahaya itu melukaiku, tapi beberapa saat kemudian aku merasakan gengggaman tangannya. “Bangun Aisyah, bukalah matamu.” Aku bagaikan anak kecil yang ketakutan, aku takut ketika membuka mataku... itu akan menjadi bencana utukku lagi. Tapi aku memilih pasrah dan menurutinya. Ketika aku membuka mataku perlahan lahan, aku melihat cahaya matahari itu pergi berganti menjadi cahaya rembulan, aku melihat seorang lelaki yang tidak pernah aku temui didunia ini, kulitnya tampak mulus seperti tidak pernah disentuh oleh manusia manapun, ia tidak tua maupun muda, rambutnya ikal berwarna hitam lebih hitam dari warna hitam didunia ini, apakah dia malaikat mautku? Apakah sakit yang tadi kurasakan adalah sakaratul mautku? Namun tiba tiba dia memberikan senyuman begitu indah kepadaku dan menjawab semua pertanyaanku tanpa berkata sedikitpun. Dialah sahabatku Alif, akupun merasa bahwa ini adalah mimpi yang merupakan anugrah bagiku dan peringatan untukku karena sudah melampaui batas. Alif menyeka air mataku dengan tangannya, dan seketika rasa hausku, dan sakit sekujur tubuhku hilang begitu saja.

“Jangan tinggalkan aku Alif.” Aku menatapnya dengan rasa memohon yang begitu mendalam. “Aisyah, hiduplah seperti namamu Aisyah yang artinya kehidupan.” Lalu Alif mengecup dahiku dan berbisik ditelingaku. “Temui Nazwa....” Lalu sekujur tubuh Alif memancarkan cahaya dan kilauan yang membuat aku menundukkan kepalaku, cahaya itu lama kelamaan redup dan hilang. Aku membuka mataku dan aku merasa menggigil, aku berteriak membangunkan ayah dan ibuku. Mereka langsung bergerak cepat ke kamarku. Aku berteriak meminta tolong kepada ibuku. “Ibu dingin, sakit dan dingin..” ayahku langsung membawakan selimut tebal dan menyelimuti diriku. Tapi aku masih merasakan dingin yang mencekam, ibu memegang dahiku yang begitu panas. Ayahku bergegas menghubungi dokter Zulvan yang rumahnya dekat dari sini dan sudah menjadi langganan keluarga kami. Aku melihat jam dinding ternyata ini pukul 12.00 malam. Ketika dokter Zulvan masuk ke kamarku, aku melihat kakak kakakku berdiri didepan pintu dengan wajah cemas. Baru kali ini aku melihat mereka memperdulikanku, bahkan dulu mereka tidak pernah membantuku mengerjakan PR seperti yang seharusnya seorang kakak lakukan. Dokter Zulvan memberikan infusan kepadaku, rasa sakit jarum terkalahkan oleh sakitnya disekujur tubuhku. Dokter berkata bahwa aku mengalami demam dan kurangnya cairan. Ibuku langsung mendekapku dan mengelus ngelus rambutku berharap aku berhenti dari kesedihanku ini. Sekarang aku melihat ibuku menatapku dengan rasa kekhawatiran kepada anaknya. Aku tersenyum kepada ibuku untuk menenangkan beliau. “Maafkan aku ibu.” Kalimat itu mampu membuat ibuku senyum menandakan rasa syukur dan kebahagiaan. Disaat itu aku merasa bahwa ibuku juga sangat menyayangiku, beliau menciumi tanganku tanda rasa terimakasih bahwa aku akan segera membaik. Begitu juga dengan kakak kakak dan ayahku mereka terlihat bahagia. Dan aku berbisik kepada ibu agar besok Nazwa berkunjung kerumahku. Aku berdoa agar kebahagiaanku ini tidak sirna sampai esok hari dan aku tertidur dalam dekapan ibuku yang membuatku begitu tenang.

Surat dari Alif Aku terbangun oleh suara adzan yang begitu dekat, padahal rumahku lumayan agak jauh dari mesjid. Tapi suara adzan shubuh menggelegar dimana mana. Aku beranjak dari tidurku dan melihat ibuku sudah tidak ada disampingku. Aku berjalan sendirian dengan memegang infusku untuk pergi berwudhu. Terasa ngilu ketika aku menyentuh air, tapi aku yakin aku akan segera membaik. Aku melaksanakan sholat shubuh dengan layaknya orang sehat lakukan. Aku masih bisa berdiri dan bangkit dari sujudku, aku tidak ingin lemah lagi. Aku harus kuat menjalani hidup ini, semoga rasa sakit ini menjadi penawar dosaku meskipun aku masih belum baligh. Nurul datang ke kamarku untuk menjengukku, dia memberikan secangkir susu hangat untuk memulihkan kekuatan tubuhku. “Terimakasih kak.” Aku merasa berada disuasana yang canggung karena biasanya dia tidak pernah selembut ini kepadaku. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak membiarkan adik kesepian. Aku kakak yang bodoh.” Dia memeluk erat tubuhku tanda penyesalan karena membiarkan aku sendirian ketika aku mempunyai dua saudara. Dia beranjak pergi dari tidurku, kemudian Zakaria masuk silih bergantian dengan ayahku. Mereka tidak berkata apapun hanya mencium pipiku dan pergi.

Aku merasa bersalah, tidak seharusnya aku membawa dukaku ini kepada keluargaku. Aku bertekad untuk lebih kuat kedepannya dan lebih baik memendam perasaanku daripada membuat orang disekitarku ikut terhanyut dalam kesedihanku. ~ Tidak terasa matahari terbit menyinari kamarku, aku sedang membaca novel “Dalam Perjamuan Cinta” karena merasa bosan dikamarku. Lalu ayahku mengetuk pintu kamarku, aku mepersilahkan ayah untuk membuka pintu dan aku melihat Nazwa berdiri dilorong pintu. Dia masuk ke kamarku, dan ayah menutup pintu kamarku karena merasa bahwa akan ada perdebatan sengit diantarakami. Aku berusaha mengabaikannya dan tetap melanjutkan membaca novelku. Dia mengambil kursi belajarku dan duduk disebelahku. “Kamu selalu saja membaca buku yang berat diusiamu ini.” Aku mengabaikan Nazwa dan tetap terfokus membaca seperti halnya tidak ada Nazwa dikamarku. Aku merasakan keheningan menghampiri kami, aku ingin lihat apa yang dia lakukan. Bahkan nafasnyapun tak terdengar. Aku langsung menghela nafasku memberikan isyarat kepadanya untuk menjelaskan semuanya. Tapi dia malah mengambil bukuku dan menyimpannya, dan ia menatap mataku dengan tajam. Aku melipat tanganku didekat uluh hatiku dengan wajah sinis. Lalu dia mengambil nafas panjang-panjang dan aku mempersiapkan telingaku untuk mendengar semuanya. “Aisyah, ini tidak yang seperti kamu kira. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu, aku hanya ingin menjadi sahabat yang baik.” “Sahabat yang baik seperti tidak memberitahuku ketika sahabatku sakit dan sedang membutuhkanku? Yang kamu lakukan begitu munafik. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi diantara kalian. Tapi setidaknya aku sudah menjadikan kalian seperti saudara sendiri.” Teriakku dengan lantang. “Aku bersumpah Aisyah aku juga menyayangimu seperti saudara kandungku sendiri. Aku hanya berusaha menyimpan amanah dari Alif untukmu.” “Lalu jelaskan Nazwa, mengapa aku tidak berhak berada disisi Alif disaat terakhirnya.” Aku mengubah nada suaraku menjadi suara memohon dan lemah lembut.

“Aisyah aku akan menceritakan apa yang Alif rahasiakan padaku, agar tak ada kesalahpahaman dan mampu menghapus sebagian lukamu. Kita selalu bersama-sama kemanapun kita pergi, namun ada suatu hari ketika kamu tidak ada diantara kami, pada saat itu kamu sedang jatuh sakit. Kami ingin mengunjungimu tapi ayahmu tidak ingin kami menganggu istirahatmu. Aku melihat raut wajah sedih dan cemberut diwajah Alif, ia selalu tampak bahagia jadi jika ada kesedihan sedikit diwajahnya itu begitu terlihat. Aku memandangnya berharap dia mengatakan sesuatu dan mencurahi isi hatinya. Dia mengatakan hal-hal yang sulit kupercaya, dia mencintaimu Aisyah. Dia memohon kepadaku untuk tidak memberitahumu, dan diapun tak akan pernah memberitahumu. Dia berkata bahwa hidupnya tak akan lama lagi, penyakit kelainan jantungnya membuat dia menguburkan harapan begitu dalam hingga kau sendiri tak merasakannya.” “Penyakit jantung? Kenapa dia tidak bilang saja kepadaku?” Nazwa membaca raut wajahku yang masih kebingungan sekaligus bercucuran air mata. “Ketika dia dirumah sakit ibunya menghubungiku agar aku berkunjung kesana. Aku melihat Alif terbaring lemah dan pucat dengan begitu banyak selang yang ada ditubuhnya. Alif menyuruh ibunya pergi dan meninggalkan kami berdua. Aku berkata padanya untuk menghubungimu tapi ia meneteskan air matanya dan memohon agar tidak memberitahumu. Dia tidak ingin melihatmu menangis Aisyah, dia tahu bahwa kamu pasti sedih karena dia mengerti hatimu begitu lembut dan rapuh. Aku berusaha menahan air mataku dan mendengarkan dirinya. Dia merasakan bahwa kematiannya semakin dekat, dia menyuruhku untuk tidak memberitahunya dulu sampai neneknya datang kerumah sakit. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Alif, tapi aku ingin menyenanginya untuk terakhir kali. Tapi yang pasti ia mencintaimu Aisyah, bahkan saat dimana ia mestinya membutuhkanmu sirna karena dia takut melukaimu dan membuatmu menangis. Dia mengatakan padaku bahwa dia bermimpi menemuimu dimimpinya, dia berharap bahwa dirimu akan menjadi jodohnya diakhirat nanti. Ini ada amanah dari Alif, sebuah surat yang ingin sekali aku langsung mengantarkannya kepadamu dan berbagi dukaku kepadamu.” Kami berdua menangis dan saling berpelukan, aku merasa menyesal dan bersalah kepada Nazwa. Seharusnya aku juga berada disisinya, kami sama-sama kehilangan sosok yang berharga. Tanpa Alif kami tidaklah sempurna. Aku

menarik lagi sumpahku yang menyatakan Nazwa adalah musuhku. Dia adalah saudaraku tercinta, hingga ada saatnya anakku aku juga akan kehilangan dia. ~ Aku menantikan adzan isya sambil menatap surat ini, tapi aku ingin sholat isya dulu dan berdoa kepada Allah SWT agar menguatkan hatiku. Ketika aku sudah selesai sholat dan duduk diatas keranjangku, aku menyiapkan diriku dan menarik nafasku panjang-panjang. Aku siap. Untuk sahabatku Aisyah, Assalamualaikum Aisyah, tidak ada rasa sedih, tidak ada rasa sakit, yang ada hanyalah harapan. Aisyah, bila aku melihat matamu yang begitu bersih dan suci, aku merasakan detak jantungku yang berdetak begitu hebatnya. Kamu memiliki mata coklat terang benderang yang diwarisi ibumu diselimuti oleh bulu matamu yang panjang, kamu memiliki kulit putih nan indah kemerahan, terkadang aku melihat semu kemerahan dipipimu ketika kamu kepanasan, marah, dan tersipu malu. Aku ingin menjadikanmu humairaku. Aisyah, bila umurku masih panjang. Aku berharap menantikan dan melihatmu memakai Hijab yang menutupi rambutmu yang bergelombang layaknya ombak dipantai, aku ingin melihatmu bertumbuh dewasa menjadi wanita sholehah yang menutup kemaluan dan pandangannya. Abiku pernah berkata sebelum beliau wafat kepada ibuku, bahwa cinta yang abadi dan suci adalah cinta yang dicurahkan setelah adanya pernikahan. Jika kau tahu begitu berat aku mengubur perasaanku padamu humairaku. Aisyah umurku 13 tahun saat ini, aku dianugrahkan sebuah mimpi oleh Allah SWT. Mimpi yang begitu menggairahkan diriku, dimimpi itu aku diberi kenikmatan untuk bercinta dengan dirimu. Aku tahu bahwa mimpi itu pertanda bahwa aku mencapai akhil balighku. Kekagumanku padamu sejak dari dulu membuat cintaku lebih berapi api ketika bermimpi akan dirimu. Tapi aku tak ingin menjadikan cintaku menjadi dosa dan nafsuku untuk memilikimu. Aisyah, mungkin bisa dibilang sekarang aku sedang sekarat. Aku merasakan kematian akan menghampiriku, dan aku lebih memilih membungkam hatiku untuk tidak mengutarakan cintaku kepadamu. Aku memilih kamu disyurga nanti.

*Pukul 12.30* Aisyah aku sungguh ketakutan, aku melihat kamu menangis didalam mimpiku. Aku merasa sedih melebihi dirimu ketika kamu menangis. Namun tiba-tiba kamu menengok kearahku, kamu memberikanku sebuah pertanyaan. “Kekasihku, dunia atau akhirat?” Aku kebingungan tapi kata hatiku mengatakan bahwa aku harus memilih akhirat. Engkau mengulurkan tanganmu dan menuntunku ke sebuah cahaya. Aisyah, didalam mimpiku kamu berubah menjadi seorang bidadari penghuni syurga. Engkau mengecup bibirku dengan tanda cinta dan kasih sayang. Tapi aku memohon kepada Allah SWT agar aku bisa menyelesaikan surat ini dan menitipkan Nazwa untuk diberikan kepadamu. Humairaku, aku sudah menemukan jodohku disyurga. Dia adalah dirimu. Aku lebih memilih dirimu dalam keabadian daripada harus mendera didunia yang begitu singkat ini. Tapi dia tetaplah dirimu, dan aku akan bercinta dengan Aisyah suatu saat nanti ketika pintu syurga dibuka. Aku mengejar cinta yang menciptakanku, dan dia memberikan dirimu sebagai hadiahnya. Untuk Aisyah, calon kekasihku disyurga. Aku menangis sendiri terisak-isak, aku merangkul tubuhku sendiri agar aku tak merasa kesunyian malam yang menghampiriku begitu pekat. Aku ambil sebuah kain berwarna hitam, kubelitkan kain itu menutupi rambutku yang hitam. Aku memandang diriku sendiri dalam cermin, dan melihat sesosok perempuan yang baru. Aku tersenyum pada cermin itu yang memantulkan kembali senyumanku, dia adalah aku Aisyah...yang berubah menjadi gadis remaja yang sholehah.

Hadiah Untuk Kekasihku

Waktu berlalu begitu lambat dari biasanya, namun Nazwa memberikan warna didalam hari-hariku yang semu. Kami bermain bersama seperti biasanya hanya saja terkadang kami teringat akan Alif. Nazwa senang mengepang rambutku dan mendadaniku layaknya boneka. Aku sempat berpikir mengapa Alif bisa mengagumiku, dibanding Nazwa aku merasa kalah. Aku hanya memiliki kecantikan yang melampauinya, tapi tetap saja kalah dari segalanya. Dia lebih kaya, pintar dan tubuhnya lebih tinggi dan ideal ketimbang aku yang kurus. Diumurnya yang sebaya denganku, dia sudah mendapat haid bahkan hampir semua temanku pun sudah mengalaminya. Aku merasa seperti kerdil ketika teman-temanku sudah tumbuh menjadi remaja dan memiliki dada yang bundar layaknya seorang gadis. Tapi Alif tidak melihat itu dari seorang gadis, ia mempunyai sudut pandangan berbeda dari lelaki lain. Dia membuatku menjadi mahakarya yang begitu indah disaat orang lain hanya melihat diriku sebagai gadis yang biasa. “Aisyah kamu jangan melamun!” “Aku sedang memikirkan sesuatu, kenapa ya Alif bisa menyukaiku?” “Entah. Sudahlah ayo kita kemakamnya Alif, besokkan kamu pergi ke pesantren.” Nazwa menarikku dan memaksaku untuk berdiri. Aku tidak pernah ke makamnya Alif, aku adalah sahabat yang begitu buruk. Aku merasa egois yang hanya mementingkan perasaanku, Alif pasti merasa kecewa jika aku tak mengunjunginya. ~ Kami berangkat berjalan kaki karena pemakannya lumayan dekat dari rumah, sepanjang jalan Nazwa melihatku dan merangkul pundakku untuk memberikan kekuatan. Aku terlihat biasa saja pada saat itu, tapi dilubuk hatiku yang paling dalam aku tidak mampu menghadapi kenyataan yang begitu pahit ini. Meskipun suatu saat aku juga akan menemui akhir dari hidupku. Ingin rasanya kembali mengunci diri dikamar tapi aku tak berdaya membuat kedua sahabatku kecewa. Kami sudah sampai dipemakaman Alif, tanah liat yang seperti masih baru ditaburi dan bunga-bunga bertebaran yang belum layu. Kami berdoa bersamasama, dan aku melihat Nazwa dan memberikan isyarat untuk meninggalkanku sendirian. Dia terlihat begitu takut untuk meninggalkanku dipemakaman

sendirian, tapi aku tak merasakan hal itu sedikitpun. Nazwa pun melangkahkan kakinya dan pergi. Anakku Muhammad, pada saat itu aku hanya berdua dengan Alif memadu kasih dengannya. Aku menaburi bunga indah untuk menghiasinya, aku tersenyum padanya. Aku tahu bahwa didalamnya hanya jasad Alif, maka aku kirimkan hadiah kepada kekasihku....hadiah terindah yang pernah aku berikan kepadanya. Yasin. Aku pun berharap engkau mengirimnya kelak kepadaku ketika aku sirna dalam dunia yang kelam ini anakku. Tapi sebuah doa yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak aka sirna dan habis dimakan waktu, bahkan akan mengalir begitu derasnya hingga memberikanku kedamaian dan cahaya didalam kuburku yang begitu gelap gulita. ‘Innaa lillaahi wa ‘Inna ‘ilayhi raaji’oon. Sesungguhnya kita milik Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya.

Pertemuan Tiga Sahabat Pada hari yang begitu cerah diTanah Sunda, burung-burung yang berkicauan nyaris membuat telingaku terngiung-ngiung. Inilah awal dari kisah hidupku, awal dari cinta, keimanan dan cobaan yang begitu pedih. Aku tancapkan niat didiriku untuk menutupi diriku dari pandanganku dalam setiap langkah untuk meninggalkan tanah kelahiranku. Hari yang cerah tak mampu mengalahkan hatiku yang mendung, terlalu banyak kenangan pahit dan manis disini. Anakku, aku pernah merasa begitu menyesal ketika aku meninggalkan mereka..jikalau aku tahu mereka tidak akan ada didalam duniaku saat ini. Tapi aku melihat orangtuaku begitu bahagianya melihatku menuntut ilmu dan berjihad dijalan Allah, ataupun itu merupakan suatu pertanda senyum perpisahan seperti halnya yang Alif lakukan. Entah.... Suhu yang begitu dingin menyelimutiku, ku dekap diriku sendiri. Aku menaiki bis yang langsung menuju ke Jawa. Baru kali ini aku berpergian sendiri tanpa ditemani ayah dan ibu. Sungguh aku merasa takut sekaligus gugup, namun apa daya jika aku tak bisa kembali ke rumah. Aku duduk dikursi ketiga dari belakang dan memilih untuk duduk dekat jendela agar tidak terlanda oleh kebosanan. Tapi aku tetap bosan, dan aku tak terbiasa dengan kebosanan. Biasanya aku langsung berlari kesana kemari menjadi penjelajah dikampungku ketika aku bosan, sekarang aku hanya duduk termenung layaknya orang dewasa. “Boleh aku duduk disini?” terdapat suara perempuan yang memakai cadar disebelahku, suaranya sangat merdu dan lembut. “Boleh.” “Kamu darimana asalnya?” “Aku dari bandung.”

“Pantes kamu cantik, orang bandung cantik-cantik.” Aku tersipu malu dan tersenyum, dan aku lihat matanya juga tampak berseri-seri. Dia seumuran denganku, tapi dia sudah memakai cadar dan bajunya menutupi seluruh tubunya. Sempat terbesit rasa penasaran ada apa dibalik cadar itu, tapi saat melihat matanya yang berbinar aku yakin bahwa dia adalah gadis yang cantik jelita. Dia seperti mutiara yang terjaga, mutiara yang didambakan Alif padaku. “Kamu juga cantik.” Jawab aku. Tapi disaat aku berkata seperti itu matanya yang berbinar berubah menjadi tatapan kosong. Apa aku melukai hatinya? Padahal itu adalah sebuah pujian yang memang benar adanya. “Ada apa?” kulontarkan rasa penasaranku jika aku memang melukai hatinya. “

Related Documents

Kisah-kisah
April 2020 62
Kisah Kisah Sukses
July 2020 37
Kisah Kisah Nabi
November 2019 58
Kisah-kisah Mula
May 2020 25

More Documents from "aireen"