Family Folder Pneumonia.docx

  • Uploaded by: Sandra Magdalena Devina
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Family Folder Pneumonia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,359
  • Pages: 37
BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama

kematian balita di dunia. Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian pada balita setelah diare. Riset

Kesehatan

Dasar

(Riskesdas)

melaporkan

bahwa

kejadian

pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2013. Kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%. Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pad a tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007. Menurut definisi, pneumonia adalah

infeksi

jaringan

paru-paru

(alveoli)

yang

bersifat

akut.

Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa menyebabkan pneumonia adalah Streptococcusdan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus

yang

menyebabkan pneumonia adalah adenoviruses, rhinovirus, influenza virus, respiratory syncytialvirus (RSV) dan para infl uenza virus. Terjadinya pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Pada umumnya, pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara, den gan sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin. Untuk selanjutnya,

1

kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses inhalasi (udara yang dihirup), atau den gan cara penularan langsung, yaitu percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin, dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita. Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, perilaku orang tua (ibu), maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan perilaku pe nggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia. Rumah yang padat penghuni, pencemaran udara dalam ruang akibat penggunaan bahan bakar padat (kayu bakar/ arang),

dan

perilaku

merokok

dari

orang tua

merupakan

faktor

lingkungan yang dapat meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia. Proporsi penduduk di Indonesia yang tinggal di rumah yang memenuhi persyaratan rumah sehat masih rendah, yaitu 24,9%. Menurut Riskesdas 2013, penduduk yang tingg al di rumah dengan atap rumah berplafon hanya 59,4%, dinding terbuat dari tembok hanya 69,6%, dan lantai bukan tanah 93,1%. Perilaku yang dapat menimbulkan risiko pencemaran udara dalam ruang, seperti penggunaan bahan bakar yang tidak aman (minyak tanah, kayu bakar, arang, batu bara) dan kebiasaan merokok di dalam rumah, proporsinya masih cukup tinggi. Sebanyak 64,2% rumah tangga di perdesaan masih menggunakan arang dan kayu bakar untuk memasak dan 76,6% (dari 28,2% perokok) merokok di dalam rumah ketika be rsama dengan anggota keluarga lainnya. Laporan kasus diharapkan dapat menjadi pembelajaran dalam manajemen tatalaksana holistik pada pasien ini, yang dilakukan oleh dokter layanan primer di puskesmas.

2

BAB II LAPORAN KASUS

2.1.

Identitas Pasien Nama

: MAM

Tanggal lahir : 10 Mei 2013 Umur

: 5 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Alamat

: Ukp Sumoharjo RT 13 Rw 03 Gang Taqwa Kota Palembang

Pekerjaan 2.2.

: Tidak Berkerja

Anamnesis (Autoanamnesis) (Dilakukan pada tanggal 23 Juni 2018 pukul 09.00 WIB)

2.2.1

Keluhan Utama Sesak Nafas

2.2.2

Keluhan Tambahan Batuk

2.2.3

Riwayat Perjalanan Penyakit Kisaran 3 hari sebelum dateng ke puskesmas, penderita demam, tidak terlalu tinggi, penderita masih mau minum susu, muntah (-), BAB cair (-), belum ada sesak napas. Ibu pasien membawa penderita berobat ke bidan, namun belum ada perbaikan. Kisaran 1 hari, penderita masih demam, muncul sesak napas yang terjadi terus menerus dan tidak dipengaruhi suhu, pasien juga menderita batuk disertai pilek. Pasien lalu dibawa membeli obat penurun panas. Keluhan panas berkurang, namun sesak napas semakin parah. Pasien dateng ke puskesmas untuk pengobatan.

3

2.2.4

Riwayat Pengobatan 

Pasien dateng ke puskesmas diberikan obat amoxcilin, paracetamol, salbutamol dan diberikan rujukan ke RSMH Kota Palembang



Pasien melakukan pemeriksaan Foto thorax dan pengobatan selama 5 bulan, keluhan membaik.

2.2.5

2.2.6

2.2.7

2.2.8

2.2.9

Riwayat Penyakit Dahulu 

Keluhan yang sama pada pasien sebelumnya tidak ada.



Riwayat asma disangkal.



Riwayat TB paru disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga 

Keluhan yang sama pada pasien pada keluarga disangkal.



Riwayat asma disangkal.



Riwayat TB paru disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Masa kehamilan

: 38 minggu

Partus

: Spontan, pervaginam, langsung menangis

Tanggal

: 10 Mei 2013

BB

: 3,45

PB

: 48

Riwayat Makan ASI

: Sejak lahir hingga usia 2 tahun

Susu Botol

: Usia 2 tahun

Bubur Nasi

: Sudah

Nasi biasa

: Sudah

Sayur

: Sudah

Buah

: Sudah

Riwayat Imunisasi

4

Imunisasi Dasar Umur 1 bulan 2 DPT 1 bulan Hepatitis B 2 bulan 1 BCG

Umur DPT 2

4 bulan Hepatitis B 3 bulan Hepatitis B 4 2 3 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan

2 Polio 2 bulan 1 Polio 1 bulan 9 Campak bulan Kesan: imunisasi dasar lengkap Hib 1

2.3

Pemeriksaan Fisik

2.3.1

Status Generalis

2.3.2

Umur

3 bulan DPT 3

2 bulan Polio 3

Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: compos mentis

Nadi

: 120 x/menit

Pernapasan

: 30 x/menit

Suhu

: 36,8oC

Polio 4

3 bulan 2 tahun

Keadaan spesifik a. Kepala

:

Kulit kepala

: tidak ada kelainan

Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung

: tidak ada kelainan

Telinga

: tidak ada kelainan

Tenggorokan

: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Mulut dan mukosa: tidak ada kelainan b. Leher

: pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O

c. Thorax

:

5

Jantung Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: dalam batas normal

Auskultasi

: Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Inspeksi

: statis dan dinamis kanan dan kiri simetris

Palpasi

: Stemfremitus kanan dan kiri simetris

Perkusi

: sonor kanan dan kiri

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

d. Abdomen

:

Inspeksi

: Datar, simetris

Palpasi

: Lemas, hepar lien tidak teraba, massa (-)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

e. Ekstremitas

: Edema (-), CRT < 2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang Ro thorax AP Kesan: limfadenopati mediastinum kanan

6

2.5 Diagnosis Banding 

Pneumonia



Bronkiolitis



Asma Bronchiale

2.6 Diagnosis Kerja Pneumonia

2.7

Terapi A. Farmakologis - Amoxcilin 3 x 100 mg 3 kali pemberian - Paracetamol sirup 3 x 1sendok pemberian - Vit B complek 1 x 1 tablet B. Non- medikamentosa - Bila anak sesak, lakukan penguapan dengan cara taruh air panas di wadah dan uap dari air dihirup. - Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak dipuasakn telebih dahulu dan dipasang NGT - Bila anak demam, beri minum yang cukup, dan beri obat penurun panas

2.7 Komplikasi Infeksi sitemik - Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial. - Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak. 2.9

Prognosis Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Definisi Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.

3.2

Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang.

3.3. Etiologi Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi

8

pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain. Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju. Usia Lahir - 20 hari

Etiologi yang sering Bakteri E.colli Streptococcus grup B Listeria monocytogenes

3 miggu – 3 bulan

Bakteri Clamydia trachomatis Streptococcus pneumoniae Virus Adenovirus Influenza Parainfluenza 1,2,3 Bakteri Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumoniae

4 bulan – 5 tahun

Etiologi yang jarang Bakteri Bakteri anaerob Streptococcus grup D Haemophillus influenza Streptococcus pneumonie Virus CMV HMV Bakteri Bordetella pertusis Haemophillus influenza tipe B Moraxella catharalis Staphylococcus aureus Virus CMV Bakteri Haemophillus influenza tipe B Moraxella catharalis

9

tahun – remaja

Streptococcus pneumoniae Virus Adenovirus Rinovirus Influenza Parainfluenza Bakteri Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae

Staphylococcus aureus Neisseria meningitides Virus Varisela Zoster

Bakteri Haemophillus influenza Legionella sp Staphylococcus aureus Virus Adenovirus Epstein-Barr Rinovirus Varisela zoster Influenza / Parainfluenza

3.4. Klasifikasi WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria. Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO. Klasifikasi Pneumonia Sangat Berat

Pneumonia Berat

Pneumonia Ringan

Anak usia < 2 bulan  Kesadaran turun, letargis  Tidak mau menetek / minum  Kejang  Demam atau hipotermia  Bradipnea atau pernapasan ireguler  Napas cepat  Retraksi yang berat

Anak usia 2 bulan – 5 tahun  Kesadaran turun, letargis  Tidak mau minum  Kejang  Sianosis  Malnutrisi

 Retraksi (+)  Masih dapat minum  Sianosis (-)  Takipnea  Retraksi (-)

10

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.

Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS). Diagnosis Klinis Pneumonia berat (rawat inap): - tanpa gejala hipoksemia - dengan gejala hipoksemia - dengan komplikasi Pneumonia ringan (rawat jalan) Infeksi respiratorik akut atas

Klasifikasi (MTBS) Penyakit sangat berat (Pneumonia berat) Pneumonia Batuk: bukan pneumonis

3.5. Patogenesis Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain: 1. Inhalasi langsung dari udara 2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring. 3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain. 4. Penyebaran secara hematogen. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari: 1. Susunan anatomis rongga hidung. 2. Jaringan limfoid di nasofaring. 3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. 4. Refleks batuk. 5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. 6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. 7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.

11

8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: a.

Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari selsel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b.

Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

12

c.

Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d.

Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Gambar 1. Patofisiologi

13

3.6. Patofisiologi

Gambar 2. Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia

3.7. Gejala Klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

14

- Gejala infeksi umum, yaitu: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti: mual, muntah atau diare; kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. - Gejala gangguan respiratori, yaitu: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.

3.8. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut: -

Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

-

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

-

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

3.9. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000

15

/mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.

Pemeriksaan radiologi Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

Gambar 3. Rontgen infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: -

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi -

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,

16

berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia -

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan

kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

C-Reactive Protein (CRP) Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.

Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru

3.10. Diagnosis 

Pneumonia Ringan Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat. Kriteria napas cepat:

17

- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: > 50 kali/menit - pada anak umur 1 tahun – 5 tahun: > 40 kali/menit 

Pneumonia Berat Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut: - Kepala terangguk – angguk - Pernapasan cuping hidung - Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam - Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini: - Napas cepat: o Anak umur < 2 bulan: > 60 kali /menit o Anak umur 2 – 11 bulan: > 50 kali/menit o Anak umur 1 – 5 tahun: > 40 kali/menit o Anak umur > 5 tahun: > 30 kali/menit - Suara merintih (grunting) pada bayi muda - Pada auskultasi terdengar: o Crackles (ronki) o Suara pernapasan menurun o Suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: - Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya - Kejang, letargis atau tidak sadar - Sianosis - Distres pernapasan berat

18

3.11. Diagnosis Banding Tabel 5. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan bernafas Diagnosis Bronkiolitis

Tuberculosis (TB)

Gejala klinis yang ditemukan - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun - hiperinflasi dinding dada - ekspirasi memanjang - gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon dengan bronkodilator - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm) - pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun - demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas - batuk kronis (≥ 3 minggu) pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.

Asma

-

riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan pilek hiperinflasi dinding dada ekspirasi memanjang berespon baik terhadap bronkodilator

3.12. Penatalaksanaan Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia Bayi Saturasi oksigen < 92%, sianosis Frekuensi napas > 60 kali/menit Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting Tidak mau minum/menetek Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Anak Saturasi oksigen <92%, sianosis Frekuensi napas > 50 kali/menit Distres pernapasan Grunting Terdapat tanda dehidrasi Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi

19

pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis.  Pneumonia rawat jalan Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari. Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau menyusu. Ketika anak kembali: - Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari - Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi. - Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di bawah ini.

20

 Pneumonia rawat inap Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.  Tatalaksana Umum Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92% - Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat - Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia - Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali) - Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance

21

- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen  Nutrisi - Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang terkecil. - Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik  Kriteria pulang: - Gejala dan tanda pneumonia menghilang - Asupan peroral adekuat - Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral) - Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

3.13. Komplikasi Komplikasi dari pneumonia adalah:  Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.  Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.  Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.  Infeksi sitemik - Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial. - Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

22

3.14. Prognosis Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

3.15. Pencegahan Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain. Vaksinasi pneumokokus dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali. a. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 

Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.

23



Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal



sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian.



Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan.



Mengurangi kepadatan hunian rumah.

b. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 

Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan penambahan oksigen.



Pneumonia: diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau amoksilin.



Bukan Pneumonia: perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.

c. Pencegahan Tertier Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa:

24



Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.



Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

25

BAB IV PENCEGAHAN ATAU PEMBINAAN 4.1

Genogram Keluarga Tn. B Tn. B / 40tahun

Ny. R / 37 tahun

DS / 9 tahun

4.2

Home Visite (9 Fungsi Keluarga)

4.2.1

Fungsi Holistik

MAM / 5tahun

Fungsi holistik adalah fungsi keluarga yang meliputi fungsi biologis, psikologis, dan social ekonomi. a. Fungsi Biologis: Keluarga Tn. B telah menyangkal adanya penyakit seperti pneumonia, asma, maupun penyakit keturunan lainnya didalam kelurga yaitu seperti thalasemia, hemofilia, dan lain-lain. Didalam keluarga ini juga tidak terdapat penyakit menular, maupun penyakit kronis. b. Fungsi Psikologis: Didalam keluarga ini memiliki fungsi psikologis yang baik. Semua masalah yang ada dalam keluarga selalu diselesaikan secara bersama. Tidak terdapat kesulitan dalam menghadapi setiap masalah yang ada pada keluarga. Keluarga ini juga membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang sehingga tercipta suasanya yang harmonis di dalam keluarga c. Fungsi Sosial Ekonomi: Taraf ekonomi dalam keluarga ini merupakan keluarga dengan ekonomi menengah. Ayah (Tn. B) sebagai TNI penghasilan sekitar Rp. 5.000.000 setiap bulan dan ibu (Ny. R) merupakan seorang ibu rumah tangga. Anak pertama (An. DS) sebagai pelajar di

26

sekolah dasar. Anak kedua (An. MAM) belum sekolah dan masih berada dirumah. Keluarga ini berperan aktif dalam setiap kegiatan dan kehidupan sosial di masyarakat. 4.2.2

Fungsi Fisiologis Keluarga diukur dengan skor APGAR, yaitu skor yang digunakan untuk

menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Skor APGAR meliputi: a. Adaptation: Keluarga ini sudah mampu beradaptasi antar sesama anggota keluarga, saling mendukung, saling menerima dan memberikan saran satu dengan yang lainnya. b. Partnership: komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling membagi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah yang dialami oleh keluarga tersebut. c. Growth: Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut. d. Affection: Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini sudah terjalin dengan cukup baik. e. Resolve: Keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang cukup tinggi dan kadang-kadang menghabiskan waktu bersama dengan anggota keluarga lainnya. Adapun skor APGAR keluarga ini adalah 7,5, dengan interpretasi cukup (data terlampir). 4.2.3

Fungsi Patologis Fungsi patologis dinilai dengan skor SCREEM:

a. Social: Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar baik. Hal ini kami simpulkan karena penduduk yang tinggal di RT yang berbeda mengetahui lokasi rumah keluarga ini. b. Culture: Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang cukup terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun. c. Religious: Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

27

d. Economic: Status ekonomi keluarga ini menengah. e. Educational: Tingkat pendidikan ayah dan ibu cukup. f. Medical: Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Jika ada anggota keluarga yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas Kalidoni. 4.2.4

Fungsi Hubungan antar manusia Hubungan interaksi antar anggota keluarga sudah terjalin dengan baik.

4.2.5

Fungsi Keturunan (genogram) Fungsi genogram dalam keadaaan baik (sudah dijelaskan diatas).

4.2.6

Fungsi Perilaku (Pengetahuan, sikap, dan tindakan) Pengetahuan tentang kesehatan keluarga ini kurang baik. Informasi

mengenai kesehatan juga sulit didapat pada lingkungan sekitar. Kesadaran akan pentingnya kesehatan juga masih kurang. Keluarga ini juga jarang berolah raga secara teratur. Sikap sadar akan kesehatan dan beberapa tindakan yang mencerminkan pola hidup sehat kurang dilakukan dengan baik. 4.2.7

Fungsi Non-perilaku (Lingkungan, pelayanan kesehatan, keturunan) Lingkungan rumah tergolong cukup sehat. Para tetangga menjalin

kerjasama dengan baik. Keluarga ini juga aktif memeriksakan diri ketempat pelayanan kesehatan. Jarak rumah dengan puskesmas/rumah sakit tidak jauh. 4.2.8

Fungsi Indoor Gambaran lingkungan dalam rumah sudah memenuhi syarat-syarat

kesehatan. Lantai berbahan keramik dan semen dalam keadaan bersih. Dinding semen dalam keadaan bersih. Ventilasi, sirkulasi udara dan pencahayaan baik. Terdapat jendela di setiap ruangan. Sumber air bersih terjamin karena keluarga menggunakan air PDAM. Jamban ada di dalam rumah. Pengelolaan feses melalui septic tank. Pengelolaan sampah dan limbah sudah cukup baik karena keluarga membuang sampah di bak pembuangan sampah sekitar lingkungan tempat tinggal. 4.2.9

Fungsi Out door Gambaran lingkungan luar rumah sudah cukup baik. Jarak rumah dengan

jalan raya tidak terlalu jauh, yaitu ± 500 meter. Tidak ada kebisingan disekitar

28

rumah. Jarak rumah dengan sungai juga cukup jauh. Tempat pembuangan umum tidak jauh dari lokasi rumah, ± 500 meter. 4.3 Upaya Pencegahan dan Pembinaan Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku Pembina kesehatan keluarga Tn. B dapat ditinjau dari diseased-oriented point of view, yaitu dalam rangka tatalaksana penyakit An.MAM yang menderita pneumonia, saya

membagi

penatalaksanaan

menjadi

dua

bagian

utama,

yaitu

penatalaksanaan non farmakologis dan farmakologis. Pada penatalaksanaan non farmakologis, saya menekankan pada konsep komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). Penjelasan mengenai penyakit yang diderita, penyebab penyakit, dan hal-hal yang dapat memperparah penyakit saya berikan kepada pasien. Saya juga

menekankan

pentingnya

kepatuhan

di

dalam

penatalaksanaan.

Penatalaksanaan farmakologis yang saya berikan pada An. MAM meliputi pemberian obat pneumonia yaitu Amoxcilin 3 x 100 mg 3 kali pemberian, paracetamol sirup 3 x 1sendok pemberian dan vitamin B komplek 1 x 1 tablet untuk mengurangi keluhan badan lemas serta mencukupi kebutuhan vitamin harian. SKOR SCREEM Variabel Penilaian

Penilaian

Social

Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar baik.

Culture

Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang cukup terhadap budaya, tata krama, dan perhatian terhadap sopan santun.

Religious

Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Economic

Status ekonomi keluarga ini berkecukupan.

Educational

Tingkat pendidikan ayah dan ibu cukup

29

Medical

Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Jika ada anggota keluarga yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas Kalidoni.

30

DAFTAR PUSTAKA

Alimun,A.H.A. ( 2003 ) . Ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan .Jakarta : Salemba Medika

Azhar K, Perwitasari D. Kondisi fisik rumah dan perilaku dengan prevalensi TB paru di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes. 2013; 23 (4):172- 81.

Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan; 2013.

Brunner & Suddrath. (2002). Keperawatan Medikel Bedah. EGC: Jakarta. Cardoso MRA, Cousens SN, de Goes Siqueira LF, Alves FM, D’Angelo LA.

Crowding: risk factor or protective factor for lower respiratory disease in developing countries. BMC Public Health. 2004; 3 (4): 19.

Departemen Kesehatan RI (1996). Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Depkes ; Jakarta.

Ezzati M, Kammen DM. Quantifying the effects of exposure to indoor air pollution from biomass combustion on acute respiratory infections in developing countries. Journal of Environmental Health Perspectives. 2001; 109 (5): 481-8.

31

Fekadu GA, Terefe MW, Aleme GA. Prevalence of pneumonia among under five children in Este Town and the surrounding rural Kebeles, Northwest Ethiopia; A Community Based Cross Sectional Study. Science Journal of Public Health [serial on internet]. 2014 [cited 2014 Jan 5]; 2 (3): 150-5. Available from: http://www.sciencepublishinggroup. com/j/sjph.

Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung: UNPAD

Gould D, Brooker C. Mikrobiologi terapaan untuk perawat. Jakarta: EGC 2003.

Hananto M. Analisis risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di 4 Provinsi di Indonesia [tesis]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2004.

Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar, laporan akhir tahuin 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

32

Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta: Depkes

Listyowati. Hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas Tegal Barat, Kota Tegal. Jurnal Kesehatan Masyarakat [online]. 2013 [diakses tanggal 15 Mei 2013]. Diunduh dalam: http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/ jkm.

Machmud R. Pengaruh kemiskinan keluarga pada kejadian pneumonia balita di Indonesia. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009; 4(1): 36-41.

Mosley WH, Chen LC. Analytical framework for the study of child survival in developing countries. Population and Development Review. 1984;10 (Issue Supplemen): 25-45.

Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta:EGC.

Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908

Padmonobo H, Setiani O, Joko T. Hubungan faktor-faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Jatibarang, Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012; 11(2): 190-8.

Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology: Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta: EGC

Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta: IDAI

33

Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization. 2008; 86 (5): 408-16.

Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta: RSCM

Speer, K. M. (2008). Rencana asuhan keperawatan pediatric (3th ed). Jakarta: EGC.

Sugihartono, Rashmatullah P, Nurjazuli. Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada baliota di wilayah kerja Puskesmas Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012; 11(1): 82-6.

Tana L, Delima, Kristanto AY. Peranan penggunaan bahan bakar terhadap katarak pada ibu rumah tangga di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009; 59(8): 363-9.

Unicef/WHO. Pneumonia: the forgotten killer of children. Geneva: The United Nations Children’s Fund/World Health Organization; 2006

Wichmann J, Voyi KVV. Impact of cooking and heating fuel use on acute respiratory health of preschool children in South Africa. The Southern African Journal of Epidemiology and Infection. 2006; 21(2): 48-54.

World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet N°331 [cited 2013 Nov 13]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331 /en/2013.

34

Yuwono TA. Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap [tesis]. Semarang.

35

Dokumentasi

36

37

Related Documents

Folder
July 2020 35
Folder
November 2019 48
Folder
May 2020 18
Folder
August 2019 41

More Documents from ""