Bab Iii Tipus Case Anes.docx

  • Uploaded by: Sandra Magdalena Devina
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Iii Tipus Case Anes.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,222
  • Pages: 16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Preeklampsia 3.1.1

Definisi Preeklampsia merupakan salah satu dari kondisi hipertensi dalam kehamilan dengan keterlibatan seluruh organ, yang disertai proteinuria dan timbul setelah minggu ke-20 kehamilan (ACOG, 2013).

3.1.2 Diagnosis Tabel 1. Kriteria Diagnosis Preeklampsia tanpa Gejala Berat Tekanan darah



Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada paling sedikit dua kali pemeriksaan dengan jarak minimal empat jam, yang ditemukan setelah minggu ke-20 kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensi.



Pada keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg, diagnosis hipertensi dapat ditegakkan pada dalam interval yang lebih pendek (dalam hitungan menit) untuk pemberian terapi anti hipertensi yang tepat waktu.

dan Proteinuria

 Protein dalam urin 24 jam ≥ 300 mg, atau  Rasio protein: kreatinin ≥ 0,3 mg/dl  Uji carik celup menunjukkan hasil + (hanya digunakan ketika metode kuantitatif tidak tersedia)

Sumber: Hypertension in Pregnancy (ACOG, 2013.)

6

7

Preeklampsia juga dapat menunjukkan tanda-tanda bahaya. Preeklampsia dikatakan berat jika menunjukkan salah satu temuan-temuan berikut (ACOG, 2013): 

Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg pada paling sedikit dua kali pemeriksaan dengan jarak minimal empat jam.



Wanita dengan tekanan darah sistolik 140-160 mmHg atau diastolik 90-110 mmHg yang disertai onset baru salah satu dari gejala-gejala berikut:  Trombositopenia dengan trombosit < 100.000/mikroliter  Fungsi hati yang terganggu yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim transaminase dalam darah sampai dua kali lipat dari kadar normal, atau nyeri kuadran kanan atas abdomen atau nyeri epigastrik yang persisten dan tidak merespon terhadap pengobatan  Insufisiensi renal yang ditandai dengan konsentrasi serum kreatinin > 1.1 mg/dL atau peningkatan serum kreatinin sampai dua kali lipat tanpa adanya penyakit ginjal  Edema pulmoner  Gangguan serebral atau visual yang timbul setelah keadaan hipertensi.

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan Selain Preeklampsia a. Hipertensi gestasional  Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang baru pertama kali ditemukan pada saat hamil  Tidak terdapat proteinuria  Tekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu postpartum, untuk itu diagnosis pasti ditegakkan pada saat postpartum  Mungkin terdapat gejala dari preeklampsia seperti dispepsia atau trombositopenia b. Hipertensi kronis

8

 Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terdiagnosis sebelum kehamilan atau sebelum usia gestasi 20 minggu dan tidak disebabkan oleh penyakit trofoblastik gestasional, atau  Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terdiagnosis setelah usia gestasi 20 minggu dan menetap sampai dengan 12 minggu postpartum c. Preeklampsia yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis  Proteinuria dengan awitan baru, dengan kadar ≥ 300 mg/24 jam pada perempuan hipertensif, dan proteinuria tersebut tidak ditemukan sebelum usia gestasi 20 minggu  Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < pada wanita hamil dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu (NHBPEP, 2000).

3.1.3 Epidemiologi Preeklampsia merupakan komplikasi dari 3-8% kehamilan di negaranegara Barat dan merupakan penyebab dari mortalitas dan morbiditas wanita hamil di seluruh dunia. Sekitar 10-15% dari kematian maternal disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia.

(Carty, Delles, dan

Dominiczak, 2010). Preeklampsia menyebabkan 50.000-60.000 kematian maternal di seluruh dunia setiap tahunnya. Selain menyebabkan mortalitas dan morbiditas maternal, preeklampsia juga meningkatkan risiko ibu dan bayi untuk terkena penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus (O’TierneyGinn dan Lash, 2014).

3.1.4 Faktor Risiko 1. Usia Wanita dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular seperti usia lebih dari 40 tahun, diabetes, dan hipertensi yang timbul pada masa sebelum kehamilan meningkatkan probabilitas untuk menderita

9

preeklampsia (ACOG, 2013). Dalam penelitian Khalil dkk (2013), usia ibu > 35 tahun berkontribusi secara signifikan dalam memprediksi kejadian preeklampsia. Seiring dengan meingkatnya usia, stress oksidatif juga meningkat sehingga meningkatkan peroksidase lipid, yang dapat berpengaruh pada cederanya endotel. Disfungsi endotel berperan dalam terjadinya tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia (Cunningham, 2012).

2. Predisposisi genetik dan riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya Predisposisi genetik merupakan salah satu dari faktor-faktor risiko preeklampsia. Risiko preeklampsia meningkat sekitar dua sampai empat kali pada pasien yang memiliki saudara kandung yang dengan riwayat preeklampsia. Pada pasien yang memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, risiko untuk terkena preeklampsia meningkat sampai tujuh kali lipat (Duckitt dan Harrington, 2005; Carr dkk, 2005). Preeklampsia dikaitkan dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia, riwayat diabetes dan overweight. Wanita dengan riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya memiliki kecenderungan untuk mengalami diabetes gestasional serta dislipidemia seperti hiperkolesterol dan hipertrigliserida. Keadaan hipertensi pada kehamilan sebelumnya juga dikaitkan dengan kerusakan pada endotel dan peningkatan resistensi arteri uterina. Peningkatan kadar Soluble FmsLike Tyrosine Kinase 1 (SFlT-1) yang merupakan antiangiogenik juga ditemukan pada wanita dengan riwayat hipertensi pada kehamilan yang bertahan sampai satu tahun setelah melahirkan. Keadaan-keadaan tersebut meningkatkan risiko untuk kembali mengalami hipertensi pada kehamilan selanjutnya (Taylor et al. 2015). 3. Paritas Preeklampsia sering disebut sebagai penyakit kehamilan pertama karena angka kejadian preeklampsia yang tinggi pada kehamilan pertama. Preeklampsia cenderung lebih sering mengenai perempuan

10

nulipara (Cunningham, 2012). Pada penelitian English, Kenny, dan McCarthy (2015), risiko untuk mengalami preeklampsia meningkat hampir tiga kali lipat pada perempuan nulipara. Insiden preeklampsia pada populasi nulipara berkisar 3% sampai 7% sedangkan pada multipara berkisar 1% sampai 3% (Uzan dkk, 2011). Wanita nullipara baru pertama kali terpapar villi korionik, sehingga respon imun oleh Human Leukocyte Antigen-G (HLA-G) belum terbentuk dengan sempurna. Hal ini menyebabkan terganggunya invasi trofoblas ke desidua dan remodelling pembuluh darah plasenta terganggu. Akibatnya, terbentuk pembuluh darah dengan diameter yang sempit dan resistensi tinggi, sehingga terjadi hipertensi (Cunningham, 2012).

4. Kehamilan ganda Insiden hipertensi gestasional meningkat menjadi 13% pada kehamilan kembar jika dibandingkan dengan insiden pada kehamilan tunggal, yaitu sebesar 6%. Wanita dengan kehamilan triplet memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita preeklampsia dibandingkan wanita dengan kehamilan kembar dua (ACOG, 2013). Penelitian oleh English, Kenny, dan McCarthy (2015) menunjukkan kehamilan ganda meningkatkan

risiko

hampir

tiga

kali

lipat

untuk

menderita

preeklampsia. Pada kehamilan ganda, kadar Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase 1 (SFlT-1) yang merupakan antiangiogenik meningkat hingga 2,2 kali lipat (Bdolah dkk, 2008). SFlT-1 merupakan antiangiogenik yang meningkat pada keadaan disfungsi endotel, yang merupakan salah satu penyebab dari hipertensi pada preeklampsia (Rahmi, Herman, dan Yusrawati, 2016).

5. Obesitas

11

Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh keadaan overweight dan obesitas sebelum kehamilan terhadap preeklampsia (Bilano dkk, 2014; Bartsch dkk, 2016) Penelitian oleh Bilano dkk (2014) menunjukkan prevalensi preeklampsia pada kelompok wanita dengan IMT sebelum kehamilan 20 - <26 kg/m2 sebesar 2,5%, yang meningkat menjadi 4,5 % pada kelompok wanita dengan IMT 26 - <35 kg/m2 dan 10,8% pada kelompok wanita dengan IMT ≥35 kg/m2.

3.1.5 Patogenesis Terdapat banyak teori yang menjelaskan terjadinya preeklampsia, tetapi belum ada teori yang dianggap benar dan mutlak. Teori-teori tersebut antara lain teori invasi trofoblastik abnormal, teori faktor imunologis maladaptif, teori disfungsi sel endotel, teori faktor nutrisi, dan teori faktor genetik (Cunningham, 2012). a. Invasi trofoblastik abnormal Implantasi plasenta pada trimester ketiga disertai dengan proliferasi trofoblas ekstravilus. Trofoblas kemudian menginvasi desidua dan meluas ke dinding arteriola spiralis untuk menggantikan lapisan otot dan endotel, yang disebut sebagai trofoblas ekstravilus endovaskular. Remodeling ini menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi lebih lebar dan memiliki tahanan yang rendah. Pada keadaan preeklampsia, terjadi invasi yang tidak sempurna dari trofoblas ekstravilus pada arteriola spiralis. Trofoblas ekstravilus hanya menginvasi arteriola desidua dan bukan arteriola miometrium, sehingga lapisan otot dan endotel arteriola miometrium tidak digantikan oleh trofoblas ekstravilus endovaskular. Hal ini menyebabkan pembuluh darah plasenta memiliki diameter yang sempit dan resistensi yang tinggi (Cunningham, 2012).

12

Gambar 1. Perbandingan arteri spiralis pada wanita yang tidak hamil, kehamilan dengan preeklampsia dan kehamilan normal. Sumber: A Bad Combination. (Bell, E. 2004)

b. Faktor imunologis maladaptif Pada wanita hamil normal, human leukocyte antigen protein G (HLA-G) berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga jaringan maternal tidak menolak hasil konsepsi yang sebenarnya bersifat asing. HLA-G pada plasenta menyebabkan trofoblas janin tidak lisis oleh sel natural killer (NK) maternal (Boutiller dan Mallet, 1997). HLA-G juga membantu invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu (Saifuddin, 2009). Penurunan kadar HLA-G ditemukan pada kehamilan dengan komplikasi preeklampsia. Jika kadar HLA-G mengalami penurunan, invasi trofoblas menjadi terhambat sehingga menyulitkan untuk terjadinya dilatasi arteri spiralis. Keadaan ini menyebabkan arteri spiralis memiliki diameter yang sempit dan tahanan yang tinggi (Cunningham, 2012).

13

c. Disfungsi sel endotel Disfungsi sel endotel yaitu keadaan dimana terdapat kerusakan membran sel endotel ataupun sampai seluruh sel endotel, yang menyebabkan terganggunya fungsi endotel (Saifuddin, 2009). Sitokin seperti faktor nekrosis tumor-α (TNF- α) dan interleukin (IL) diperkirakan merupakan penyebab dari timbulnya stress oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia. Stress oksidatif ditandai dengan terdapatnya spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang berperan terhadap pembentukan peroksida lipid (Manten dkk, 2005). Terbentuknya peroksida lipid kemudian akan berakibat pada terbentuknya radikal-radikal yang bersifat

toksik

terhadap

sel

endotel.

Cederanya

sel

endotel

menyebabkan perubahan pada produksi nitrat oksida dan terganggunya keseimbangan prostaglandin (Cunningham, 2012). Terganggunya keseimbangan prostaglandin terlihat dalam menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator. Pada endotel yang rusak juga terjadi agregasi trombosit yang bertujuan menutup tempat-tempat dimana kerusakan terjadi. Agregasi trombosit tersebut memproduksi

tromboksan

(TXA2)

yang

merupakan

suatu

vasokonstriktor. Menurut penelitian Ozdemir dkk. (2008), kadar prostasiklin endotel pada wanita hamil normal mencapai 8-10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak hamil. Namun pada wanita hamil dengan preeklampsia, prostasikilin hanya meningkat 1-2 kali lipat. Dalam keadaan normal, kadar prostasiklin lebih tinggi dari tromboksan, sementara pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi yang berakibat pada kenaikan tekanan darah (Saifuddin, 2009).

14

d. Faktor genetik Beberapa

penelitian

menunjukkan

bahwa

preeklampsia

dipengaruhi oleh faktor genetik. Menurut Ward dan Lindheimer (2009), risiko insiden preeklampsia adalah sebesar 20% hingga 40% pada wanita yang memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia; 11% hingga 37% pada wanita yang memiliki saudara perempuan dengan riwayat preeklampsia; dan 22% hingga 47% pada kembar. Penelitian Nilsson, dkk (2004) menunjukkan bahwa risiko insiden preeklampsia pada kembar monozigotik perempuan adalah 60%.

3.1.6 Komplikasi Preeklampsia berat dapat memiliki komplikasi baik akut atau pun kronis bagi ibu ataupun bayi (Abalos, 2007; Sibai dan Barton, 2007; Ganzevoort dan Sibai, 2011; Sibai, 2003 dan 2011). Komplikasi preeklampsia berat pada ibu dapat berupa edema pulmoner, infark miokard, stroke, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal ginjal dan injuri retina. Komplikasi janin pada preeklampsia berat disebabkan oleh insufisensi aliran darah uteroplasenta atau kelahiran preterm, atau keduanya (Sibai dan Barton, 2007; Ganzevoort dan Sibai, 2011; Sibai, 2011). Salah satu komplikasi dari preeklampsia adalah eklampsia. Eklampsia dapat terjadi pada ante, intra dan postpartum. Eklampsia postpartum biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Eklampsia ditandai dengan timbulnya kejang menyeluruh dengan awitan baru atau koma pada wanita hamil yang menderita preeklampsia. Untuk mendeteksi eklampsia, umumnya terdapat gejala-gejala yang dapat dianggap sebagai tanda akan terjadinya kejang. Gejala tersebut yaitu nyeri kepala pada region oksipital atau frontal yang menetap, pandangan yang kabur, fotofobia, nyeri pada regio epigastric atau kuadran kanan atas abdomen, dan perubahan status mentalis (Sibai, 2005; Cooray dkk, 2011). Komplikasi lain dari preeklampsia yaitu sindroma HELLP. HELLP merupakan singkatan dari hemolysis, elevated liver

15

enzymes, dan low platelet count. Sindroma HELLP dapat terjadi baik antepartum maupun postpartum (Sibai, 2004), dengan gejala berupa perburukan yang tiba-tiba dan progresif pada kondisi maternal dan fetal. Wanita yang menunjukkan gejala dari sindroma HELLP sebaiknya langsung ditatalaksana dengan terminasi kehamilan, karena sindroma HELLP menyebabkan peningkatan dari angka kematian dan kesakitan ibu (ACOG, 2013).

3.2. Eklampsia 3.2.1 Definisi Eklampsia merupakan kondisi dimana terjadi kejang pada wanita dengan preeklampsia. Eclampsia dapat terjadi sebelum, selama ataupun setelah persalinan. Penyebab tambahan lain dari kejang pada eclampsia meliputi malformasi pendarahan arteriovenosus, aneurisma yang rupture, atau kejang yang idiopatik. Diagnosis banding tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjad pada kejang dengan awitan yang baru yang terjadi 48-72 jam postpartum, atau ketika kejang terjadi selama terapi anti epilepsy dengan magnesium sulfat (ACOG, 2013). 3.2.2 Diagnosis Banding Diagnosis banding dari eclampsia yaitu epilepsy, infark serebral, perdarahan serebral, perdarahan subarachnoid, thrombosis vena sentral, edema serebral, hipertensi maligna, tumor serebral baik jinak ataupun maligna, abses serebral, infeksi, hipokalemi, hipoglikemi dan hiperglikemi. Pasien hamil yang mengalami kejang harus dianggap sebagai eclampsia sampai terbukti bukan merupakan suatu eclampsia (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.3 Faktor Risiko Faktor risiko dari eclampsia yaitu nullipara, gestasi multiple, kehamilan molar, triploid, riwayat hipertensi atau penyakit ginjal, riwayat preeklampsia berat

16

atau eclampsia pada kehamilan sebelumnya, non-immune hydrops fetalis dan Systemic Lupus Erythematosus (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.4 Patogenesis Kejang pada Eklampsia Terdapat autoregulasi aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF) yang menyebabkan peningkatan CBF, sehingga beberapa segmen dari pembuluh darah berdilatasi, iskemia, dan mengalami peningkatan permeabilitas.vasospasme serebral, iskemia, edema, hemoragi, dan hipertensi ensefalopati kemungkinan berperan dalam pathogenesis kejang (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis eklampsia berupa onset yang tiba-tiba dari protusi mata, mulut berbusa dan gigitan lidah. Biasanya kejang dimulai dengan twitching pada wajah, lalu diikuti oleh fase tonik yang berlangsung selama 15-20 detik. Kemudian berlanjut menjadi fase klonik yang generalisata dengan ciri khas apnea yang berlangsung kira-kira 1 menit. Pasien tampak sesak yang kemudian diikuti periode koma. Komplikasi dari keadaan ini dapat berupa henti jantung dan napas serta aspirasi pulmoner dari isi gaster (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.6 Peran Anestesiologis Peran anestesiologis dalam kasus eklampsia adalah untuk membantu ahli kebidanan untuk mengontrol dan mencegah kejang berikutnya, mengontrol tekanan darah, mempertahankan jalan napas tetap bersih dan mencegah komplikasi lanjutan, untuk

memudahkan

analgesi

persalinan dan section

caesaria

(Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.7 Kontrol dan pencegahan kejang Konsep pengendalian kejang adalah untuk mencegah injuri maternal, memastikan oksigenasi, support kardiorespiratori dan mencegah aspirasi. Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat anti kejang yang dipilih, diberikan

17

melalui jalur intravena sebanyak 4g bolus, dilanjutkan 2g/jam lewat infus. Jika digunakan jalur IM, 4g MgSO4 20% diberikan dan 10g MgSO4 50% diikuti diikuti 5g IM setiap 4 jam. Infus yang berkelanjutan lebih stabil dalam mempertahankan kadar plasma dibandingkan jalur IM. MgSO4 dilanjutkan dalam 24 jam setelah persalinan. Efek samping dari pemberian MgSO4 adalah potensi untuk blockade neuromuscular, depresi napas, hipotensi, henti jantung dan perdarahan post partum. Untuk itu, penting untuk memonitor sentakan lutut, laju pernapasan dan urin output selama terapi MgSO4. Kadar MgSO4 harus dimonitor karena therapeutic window yang sempit. Level therapeutic plasma dari Mg yaitu 4-7 meq/L atau 4,8-8,4 mg/dl (1me1/l = 1,22 mg/dl). Jika kejang berlanjut atau berulang, berikan bolus kedua (2g) magnesium sulfat. Jika masih kejang, berikan fenitoin 15 mg/kg atau diazepam 10 mg atau thiopentone 50 mg IV (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.7 Kontrol Hipertensi Guideline NICE untuk tatalaksana hipertensi: • Tatalaksana antihipertensi dimulai dari tekanan darah sistolik diatas 160 mmHg atau tekanan diastolic diatas 110 mmHg • Pertimbangkan tatalaksana pada keadaan proteinuria berat atau terdapat gangguan hepar dan hematologis 
 • Labetalol, hydralazine dan nifedipin adalah obat yang biasa digunakan • Atenolol, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin receptorblocking drugs (ARB), dan diuretic harus dihindari • Nifedipine diberikan per oral • Labetalol harus dihindari pada pasien dengan riwayat asma. Pada setting emergensi,nifedipin oral diberikan 10-20 mg setiap 30 menit sampai dengan maksimal 50 mg atau injeksi labetalol 20,40, 80 dan 80 dengan

18

selang waktu 20 menit. Inj Hydralazine 5-10 mg every 20 min to a max dose 20 mg can also be given. If the result is not satisfactory, the last option is intravenous nitroglycerine (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.8 Penyulit Preanastesi • Hipertensi yang tidak dapat terkontrol • Albuminuria • Thrombocytopenia 


• Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus
 • Respon hipertensi selama intubasi dan ekstubasi • Interaksi obat dengan magnesium sulfat • Edema jalan napas • Thromboembolism (Parthasarathy, dkk. 2013). 3.2.9 Tujuan Manajemen Anestesi • Kontrol kejang • Kontrol tekanan darah: tatalaksana dengan tepat harus dilakukan apabila tekanan diastolic diatas 110 mmHg • Peningkatan tekanan intra kranial tidak perlu dikhawatirkan bila pasien masih sadar penuh dan tidak kejang 
 • Koma persisten dapat mengindikasikan patologi mayor pada intrakranial • Pertahankan keseimbangan cairan: intake harus dibatasi hingga 80 ml/h

19

• Monitoring pulse oximetry (NICE, 2011). 3.2.10 Pengelolaan nyeri persalinan Analgesik epidural dimungkinkan pada wanita eklampsia sadar yang tidak memiliki bukti peningkatan TIK atau koagulopati dan kejangnya terkontrol dengan baik. Sebagian besar dari kita menghindari epidural jika ada defisit neurologis sampai diagnosis dapat ditegakan. Tekniknya adalah sebagai berikut. Untuk

memulai,

hidrasi

dengan

0.5-1L

kristaloid

diwajibkan.

Elektrokardiogram pasien, tekanan darah, serta detak jantung janin harus terus dipantau. Pemberian oksigen dengan face mask atau nasal cannula sangat bermanfaat. Di antara anestesi lokal, konsentrasi bupivacaine yang rendah (0,125%) dengan 2 μg / ml fentanil sebagai analgesik bolus awal yang sangat baik dengan minimal blok motorik. Lebih sedikit blok motorik, lebih besar manfaatnya berkaitan dengan rotasi kepala janin. Campuran juga bisa diberikan sebagai infus epidural dengan laju 10-12 ml / jam. Anestesi lokal lainnya, seperti ropivacaine dan levobupivacaine dapat digunakan. Dalam teknik spinal epidural campuran, dosis intratekal, opioid saja seperti fentanil atau sufentanil dapat digunakan atau

kombinasi antara 1,25-2,5 mg

bupivacaine dengan 25 fentanyl. Opioid, terutama dalam dosis besar secara hatihati diberikan untuk kemungkinan eksaserbasi peningkatan TIK akibat depresi pernapasan. Sebaiknya hindari beban berlebihan dari preload dengan cairan intravena

sebelum

menetapkan

analgesia

epidural

dosis

rendah

dan

menggabungkan analgesiaspinal epidural. Dalam penelitian mereka tentang efek hemodinamik anestesi epidural lumbar pada preeklampsia berat, disarankan agar dengan hidrasi yang baik dan induksi blok yang lambat, hipotensi dapat diminimalisir dengan sedikit perubahan pada CVP, CI, dan PCWP. Ergometrine harus dihindari pada tahap ketiga persalinan karena dapat meningkatkan tekanan darah lebih lanjut. Sebagai gantinya, oksitosin 20 IU dalam 1L larutan Laktat Ringer diberikan secara intravena pada 10 tetes / menit. Tahap kedua dibantu dengan forcep pada semua pasien eklampsia yang memiliki persalinan per vaginam,

20

untuk meminimalkan usaha ibu melahirkan dan mencegah peningkatan tekanan darah lebih lanjut (Parthasarathy, dkk. 2013).

3.2.11 Pengelolaan anestesi untuk operasi caesar Anestesi regional Anestesi spinal atau epidural dapat diberikan dengan aman jika pasien sadar, bebas kejang dengan tanda vital yang stabil tanpa tanda-tanda TIK yang meningkat. Anestesi spinal dengan bupivacaine dosis rendah dengan fentanil adalah pilihan yang baik. Keselamatan anestesi spinal telah dipelajari pada emklampsia oleh Razzaque et al. yang menyimpulkan bahwa spinal lebih aman daripada GA untuk pembedahan caesar. Kontraindikasi terhadap anestesi regional meliputi penolakan pasien, DIC, abrupsio plasenta. Anestesi regional dianggap aman bila jumlah trombosit lebih dari 75.000 /ml. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml umumnya dianggap sebagai kontraindikasi. Dalam kisaran 50.000-75.000/ml penilaian individu (mempertimbangkan risiko pasien dan tes koagulasi). Ahli anestesi juga harus menjaga kewaspadaan terhadap fungsi paru, urin output, bukti kompresi aortokaval dan hipotensi sistemik epidural yang disebabkan oleh penurunan aliran darah uteroplasenta. Dosis intravena inkremental kecil (50 ug) phenylephrine dapat digunakan untuk mengobati hipotensi sementara sementara cairan intravena tambahan diinfuskan dengan seperlunya.

Anestesi umum Anestesi umum (GA) adalah pilihan jika pasien tidak sadar, pasien yang didapat dengan bukti peningkatan TIK. Anestesi ini dicapai dengan opioid dan pelemas otot dan hiperventilasi. Pertimbangan penting adalah • edema jalan nafas • Kemungkinan pengelolaan saluran napas yang sulit • Meskipun kadar cholinesterase menurun, durasi tindakan anestetik lokal dari suksinilkolin dan ester jarang terpengaruh. • Respon hipertensi berlebihan terhadap intubasi endotrakeal

21

• Interaksi obat antara magnesium dan pelemas otot • Ekstubasi dilakukan pada posisi lateral kiri saat pasien benar-benar sadar atau pasien dipindahkan ke ICU untuk mendapatkan ventilator tergantung pada kondisi preoperatif dan perilaku intraoperative (Parthasarathy, dkk. 2013).

3.2.12 Manajemen cairan Temuan awal yang terlihat pada kebanyakan kasus adalah tekanan vena sentral rendah dan tekanan pengisian atrium kiri yang tinggi. Jika output urine memadai, tidak ada keharusan untuk melakukan pemantauan khusus. Jika output urin tidak memadai, cairan diberikan 250-500 ml kristaloid kurang lebih dari 20 menit. Jika ada respon, cairan fluida tambahan dapat diberikan dengan hati-hati. Jika tidak ada respon terhadap bolus cairan awal, pemantauan tekanan vena sentral atau tekanan pengisian atrium kiri diperlukan. Kateter arteri pulmonalis diindikasikan pada edema paru parah, oliguria tidak merespons terapi cairan dan hipertensi yang sulit diobati (Parthasarathy, dkk. 2013).

Related Documents


More Documents from "Idees Magistrals"