Etika Paper.docx

  • Uploaded by: Winer Tamapra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Etika Paper.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,055
  • Pages: 10
URGENSI ”CULTURAL APPROACH” DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Erwin Pratama1 Ichsani Fahrudin2

Abstrak Dalam beberapa dekade tahun terakhir, korupsi dipandang sebagai salah satu tantangan besar bagi berbagai negara di dunia. Korupsi, menurut survei yang dilakukan Ipsos, menempati posisi pertama dari lima kekhawatiran utama bagi masyarakat dunia, disamping pengangguran, kemiskinan, kejahatan/kekerasan dan kesehatan. Di Indonesia sendiri, korupsi dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan luar biasa yang sistematis dan berdampak luas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya upaya penal (sanksi pidana) melalui penindakan yang dilakukan oleh KPK. Namun hal tersebut tidak lantas mengurangi jumlah korupsi di Indonesia, justru setiap tahunnya kasus korupsi di Indonesia meningkat, mulai dari kasus yang menimoa lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Di samping upaya penal, terdapat upaya non-penal (tanpa sanksi pidana) sebagai tindakan preventif yang perlu mendapat perhatian dan porsi lebih. Cultural Approach merupakan upaya non-penal dengan membangun dan memperkuat sikap antikorupsi individu melalui pendidikan dalam berbagai cara dan bentuk. Pendekatan ini cenderung membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar (low costly), namun hasilnya akan

berdampak jangka panjang (long lasting).3 Cultural

Approach yang dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun informal akan menumbuhkan sikap dan akan berkembang menjadi budaya antikorupsi. Dengan budaya antikorupsi, orang tidak melakukan korupsi bukan karena takut korupsi atau tidak bisa korupsi melainkan karena tidak mau korupsi. Oleh karenanya menurut penulis cultural approach sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pemberantasan korupsi untuk mendukung upaya penal yang gencar dilakukan KPK dan untuk menghasilkan generasi bebas korupsi.

1

Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN-Kelas 3-05 DIII Akuntansi Alih Program, 2018 Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN-Dosen Mata Kuliah Etika dan Anti Korupsi, 2018 3 Nanang T. Puspito dkk, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2011), hal. 4. 2

A. LANDASAN TEORI 1. Pengertian Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi4 Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) : 1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya; 2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan 3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. 2. Pendekatan Melawan Korupsi5 Terdapat

beberapa

pendekatan

yang dilakukan

dalam

upaya

melawan

(pemberantasan korupsi), berikut merupakan pendekatan menurut (Wijayanto, 2010): 1. Pendekatan Pengacara (Lawyer Approach) Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah memberantas dan mencegah korupsi melalui penegakan hukum, dengan aturan-aturan hukum yang berpotensi menutup celah-celah tindak koruptif serta aparat hukum yang lebih bertanggungjawab. Pendekatan ini biasanya berdampak cepat (quick impact) berupa pembongkaran kasus dan penangkapan para koruptor, namun 4 Ibid., hal. 23-24. 5 Ibid., hal 3-4

memerlukan biaya besar (high costly), meskipun di Indonesia misalnya, tantangan terbesar justru berasal dari para apparat hukum (kepolisian dan pengadilan) itu sendiri. 2. Pendekatan Bisnis (Business Approach) Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah mencegah terjadinya korupsi melalui pemberian insentif bagi karyawan melalui kompetisi dalam kinerja. Dengan kompetisi yang sehat dan insentif yang optimal maka diharapkan orang tidak perlu melakukan korupsi untuk mendapatkan keuntungan. 3. Pendekatan Pasar atau Ekonomi (Market or Economist Approach) Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah menciptakan kompetisi antar agen (sesama pegawai pemerintah misalnya) dan sesama klien sehingga semua berlomba menunjukkan kinerja yang baik (tidak korup) supaya dipilih pelayanannya. 4. Pendekatan Budaya (Cultural Approach) Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah membangun dan memperkuat sikap antikorupsi individu melalui pendidikan dalam berbagai cara dan bentuk. Pendekatan ini cenderung membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar (low costly), namun hasilnya akan berdampak jangka panjang (long lasting). 3. Upaya Pemberantasan Korupsi6 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut Nawawi Arief : 2008): 1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application); 2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment); 3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment /mass media) Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapatdibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive 6 Ibid., hal. 90.

(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). B. PEMBAHASAN 1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Korupsi di Indonesia telah terjadi sejak dahulu, sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kemudian berlanjut sampai zaman pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, korupsi masih tetap terjadi dan menjadi semakin berkembang seiring perkembangan zaman hingga menimbulkan polemik baik bagi pemerintah Indonesia maupun bangsa Indonesia. Korupsi masih tetap terjadi bukan karena tidak adanya upaya untuk memberantasnya, namun perkembangan korupsi nyatanya lebih cepat daripada upaya itu sendiri. Berikut tindakan korupsi dan upaya pemberantasannya pada periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. a. Pra Kemerdekaan. Sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, tindakan yang dipersamakan dengan korupsi (budaya korupsi) telah banyak terjadi. Para pejabat melakukan penggembungan (mark up) terhadap pajak yang harus dibayar oleh rakyat yang ratarata masih buta huruf. Budaya korupsi juga dilakukan bangsawan atau keluarga kerajaan, dalam perang perebutan takhta kerajaan banyak terjadi suap guna memuluskan langkah untuk berkuasa. Saat datangnya bangsa Belanda (VOC), yang merupakan ras kulit putih (Eropa) yang dianggap lebih berpendidikan dan cerdas, nyatanya korupsi masih tetap terjadi dan semakin berkembang. VOC dengan sistem tanam paksanya, mengakibatkan petani dirugikan, sebagian besar hasil pertanian dinikmati VOC dan para pejabat lokal mulai dari pejabat desa hingga kabupaten. Bahkan VOC sendiri pada perjalananya juga bangkrut karena banyaknya korupsi yang terjadi di dalam tubuh VOC sendiri. b. Pasca Kemerdekaan. Pada zaman Orde Lama banyak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara dan pejabat pemerintahan. Menurut harian Suluh Indonesia 1957, terdapat tersangka korupsi sejumlah 60 orang yang diperiksa meliputi lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha dan lain-lain. Pada periode ini, dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi,

Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) berdasarkan UU Keadaan Bahaya, yang dipimpin oleh A. H. Nasution. Adanya PARAN, mewajibkan pejabat negara untuk mengisi formulir daftar kekayaan. Namun pada perjalananya banya pejabat yang tidak menyerahkan formulir tersebut ke PARAN akan tetapi langsung ke presiden, hingga akhirnya posisi PARAN terkucil. Kemudian pada 1963 dibentuk Operasi Budhi yang menyasar perusahaan plat merah dan lembaga yang rawan korupsi. Dalam kurun waktu 3 bulan, Operasi Budhi telah menyelamatkan uang negara sebesar 11 milyar. Akan tetapi dalam perjalananya Operasi Budhi juga menemui kendala, banyaknya pejabat dan perwira yang berlindung di balik Presiden Soekarno dan menimbulkan isu bahwa A. H. Nasution (pimpinan Operasi Budhi) sedang menggalang kekuatan untuk melawan Soekarto atau Ahmad Yani, hingga dibubarkan pada Mei 1964. Pemberantasan korupsi tetap berjalan sampai masa Orde Baru, pada Agustus 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemerantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. TPK melakukan pengusutan terhadap perusahaan atau institusi yang menjadi sarang korupsi, seperti Bulog, Pertamina dan Departemen Kehutanan. Dalam proses pengusutan Pertamina, TPK banyak mengalami intervensi, teror bahkan ancaman fisik, bahkan datang dari pucuk pimpinan tertinggi. TPK kemudian dibubarkan Januari 1970 dan langsung digantikan dengan Komisi Empat dengan Moh. Hatta sebagai penasihat dan Wilopo sebagai ketua. Komis Empat melanjutkan kasus yang terbengkalai saat TPK, yang terbesar yaitu Pertamina. Namun sama halnya dengan TPK, pegusutan kasus Pertamina tidak mendapat respon baik dari pemerintah, bahkan kasus Pertamina hanya dianggap salah manajemen atau salah ”urus” sehingga dianggap tidak ada pidana. Tanpa alasan jelas, Komisi Empat dibubarkan pada Juli 1970. Jatuhnya rezim Presiden Soeharto (Orde Baru) yang menandai lahirnya era Reformasi dianggap sebagai pintu awal Indonesia bebas dari korupsi. Namun nyatanya korupsi tetap terjadi dan semakin meluas seiring perkembangan zaman. Presiden Habibie membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang bertugas khususnya mengumpulkan formulir kekayaan dari para pejabat publik. KPKPN berhasil mempublikasikan kekayaan pejabat dan telah membangun pijakan dalam menumbuhkan budaya tanggung jawab dalam kekayaan dan konflik kepentingan. Pada perjalananya, KPKPN kemudian bergabung atau melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK didirikan berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 dengan Taufiequrachman Ruki sebagai

ketua pertama. Sampai sekarang KPK masih eksis dan terus bergerak membongkar kasus korupsi sampai level pemerintah daerah. KPK bukan tanpa adanya rintangan, banyak perlawanan yang dihadapi anggota hingga ketua KPK, seperti kasus penyiraman air keras yang dialami penyidiknya hingga banyaknya upaya pelemahan KPK. 2. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan melalui kebijakan penerapan hukum (criminal law application) atau jalur penal dan kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment) atau jalur non-penal. Pada pelaksanaanya jalur penal lebih mengedepankan aspek penindakan terhadap tindak korupsi yang telah terjadi khusunya penindakan secara hukum, dengan ujungnya berupa hukuman pidana terhadap pelaku korupsi. Sedangkan jalur non-penal lebih mengunggulkan aspek preventif lewat upaya tanpa adanya hukuman. a. Upaya Penal Pada pelaksanaanya, upaya lewat jalur penal dilaksanakan melalui apparat penegak hukum, meliputi KPK, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Upaya ini menggunakan sanksi pidana untuk memberikan penderitaan kepada pelaku korupsi. Namun dalam penerapannya dilihat dari berbagai aspek, pengenaan sanksi pidana memiliki keterbatasan dan kelemahan. Pengenaan saknsi pidana yang merupakan sanksi paling tajam seharusnya dilakukan sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian apabila cara lain tidak dapat dilakukan. Di samping itu adanya efek negatif dari sanksi pidana seperti membludaknya lembaga pemasyarakatan, adanya indikasi koruptor yang masuk lembaga pemsyarakatan menjadi semakin ”lihai” karena bertemu dan berinteraksi dengan koruptor lain hingga dampak negatif lainnya. Upaya penal juga menuntut biaya yang tinggi, proses hukum yang panjang di pengadilan menimbulkan biaya materiil dan imateriil bagi penegak hukum. Adanya fakta kasus korupsi yang semakin hari bukannya berkurang tapi meningkat (Data KPK menunjukkan Per 30 September 2018, selama 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 127 perkara, penyidikan 126 perkara, penuntutan 101 perkara, inkracht 75 perkara, dan eksekusi 80 perkara.)7, menimbulkan pandangan bahwa adanya sanksi pidana dirasa masih jauh dari harapan untuk Indonesia bebas korupsi. Hal ini bias dipahami bahwa

7 ACCH KPK, ”Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi” (https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidanakorupsi, Diakses tanggal 29 November, 2018)

upaya penal dengan sanksi pidananya membuat orang takut untuk korupsi, bukan membuat orang tidak bisa korupsi atau bahkan tidak ingin korupsi b. Upaya Non-Penal Upaya non-penal dititikberatkan pada usaha-usaha preventif atau mencegah terjadinya korupsi. Upaya preventif dapat dilakukan melalui pembuatan kebijakan atau peraturan yang menutup kemungkinan terjadinya korupsi serta melalui pendidikan (melalui penyuluhan bahaya korupsi maupun pendidikan tingkat awal dengan menamkan bahaya korupsi pada generasi muda). Pemerintah dapat mencegah korupsi melalui kebijakan atau peraturannya, dewasa ini semakin banyak kementrian

yang

melakukan

reformasi

guna

meningkatkan

pelayanan,

meningkatkan citra di masyarakat dan tentunya memperbaiki birokrasi yang masih lekat dengan KKN. Kementria Keuangan misalnya, sejak menggalakan reformasi senantiasa melakukan perbaikan terutama menghilangkan KKN di dalamnya. Meminimalisir kontak dengan pengguna jasa melalui sistem automasi menjadi salah satu langkah yang dilakukan. Di DJBC misalnya, sudah banyak perizinan dan pelayanan yang terautomasi sehingga mengurangi kontak langsung dengan pengguna jasa. Selain itu, adanya kebijakan yang mengharuskan pejabat negara untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke KPK juga merupakan salah satu upaya non-penal dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya informasi tersebut, baik KPK maupun publik dapat memantau tingkat kewajaran dari kekayaan pejabat negara sehingga akan mudah disadari apabila adanya tindak korupsi dan juga mampu mencegah pejabat tersebut korupsi sebab data kekayaanya bias diakses dan dilihat secara jelas. Selain melalui kebijakan atau peraturan,

upaya

preventif

dapat

dilakukan

melalui

pendidikan

untuk

menumbuhkan kepedulian terhadap bahaya korupsi, yang akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya. 3. Cultural Approach dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Korupsi telah menjadi masalah besar tidak hanya di Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat dunia. Menurut survei yang dilakukan Ipsos pada tahun 2018, korupsi menempati posisi pertama dari lima kekhawatiran utama bagi masyarakat dunia, disamping pengangguran, kemiskinan, kejahatan/kekerasan dan kesehatan. Indonesia telah melakukan banyak upaya guna memberantas korupsi, melalui lembaga penegak hukum, KPK getol melakukan penindakan terhadap korupsi mulai dari kasus-kasus besar sampai operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah. Akan tetapi, setiap tahun kasus korupsi semakin meningkat, menurut data pada situs KPK tiap tahun kasus

korupsi yang ditangani semakin meningkat baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkracht maupun eksekusi. Dari data tersebut upaya pemberantasan melalui penindakan (penal) terlihat tidak mampu secara signifikan menekan atau mengurangi korupsi di Indonesia. Untuk itu penting untuk melakukan upaya non penal terutama melalui pendidikan secara sungguh-sungguh, sebab tidak dapat dipungkiri jika hanya upaya penal yang difokuskan tanpa dilakukan juga upaya non-penal, korupsi tidak akan hilang dari Indonesia. Korupsi telah berkembang sedemikian rupa di Indonesia, yang seolah telah berkembang menjadi ”budaya”, sebab tidak hanya tindakan korupsi banyak terjadi namun dewasa ini banyak perilaku koruptif tumbuh dan bukan tidak mungkin nantinya akan menjadi jalan bagi munculnya tindakan korupsi. Korupsi yang seolah menjadi budaya, maka diperlukan pula treatment melalui pendekatan budaya (cultural approach) pula. Pendekatan ini dilakukan dengan membangun serta memperkuat sikap atau perilaku antikorupsi tiap individu yang dilakukan melalui pendidikan dalam berbagai cara dan macamnya. Cultural approach dirasa sangat penting dan harus dilakukan melihat semakin marak dan berkembangnya ”budaya korupsi”, baik dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal. Dewasa ini pada tingkat perguruan tinggi (universitas), pendidikan anti korupsi telah dimasukan dalam kurikulum perkuliahan. Sosialisasi hingga penyuluhan terkait bahaya korupsi juga marak dilakukan di berbagai tempat oleh berbagai pihak, termasuk KPK sebagai lembaga penegak hukum juga mempunyai fungsi pencegahan yaitu melalui Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Pendidikan formal yang sejauh ini hanya diberikan di tingkat universitas, dirasa perlu untuk dimasukkan atau diberikan porsi yang lebih banyak pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan di tingkat sekolah. Dengan begitu sejak tingkat sekolah tiap individu sudah mulai mengerti akan bahaya korupsi, sebab banyak juga lulusan sekolah yang langsung bekerja dan bukan tidak mungkin ada yang menjadi pejabat negara atau pejabat pemerintah (lulusan SMA sederajat dapat menjadi calon wakil rakyat atau kepala daerah) sehingga sangat penting untuk memiliki budaya antikorupsi. Pendidikan antikorupsi juga tidak hanya untuk kaum pelajar atau mahasiswa saja,masyarakat umum pun perlu dan harus mengerti bahaya antikorupsi sehingga nantinya dapat mengerti bahaya korupsi, apa itu korupsi sehingga setiap saat dapat melaporkan apabila terdapat tindak korupsi. Oleh karenanya, melalui cultural approach penting juga dilakukan pendidikan informal, sehingga bahaya korupsi akan tersebar

luas dan menumbuhkan budaya anti korupsi di masyarakat. Penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat baik yang dilakukan instansi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat berperan dalam pemberantasan korupsi. Adanya kegiatan atau perayaan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) setiap tanggal 9 Desember juga bias dijadikan upaya untuk mengingatkan dan menanamkan bahaya korupsi bagi masyarakat. Tumbuhnya budaya antikorupsi lewat pemahaman bahaya korupsi, akan mampu mencegah terjadinya korupsi. Dengan sikap seperti itu, orang mulai tidak ingin melakukan korupsi karena itu bukan budayanya atau tidak sesuai dengan pemikirannya. Pada level tersebut pemberantasan korupsi telah meningkat, dari orang takut korupsi (upaya penal) kemudian orang tidak bias korupsi (upaya non-penal melalui kebijakan atau peraturan pemerintah) dan pada titik akhir orang tidak ingin korupsi (upaya nonpenal melalui cultural approach). 4. Peran Serta dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Korupsi di Indonesia terjadi karena banyak faktor dan penyebab, mulai dari individu koruptor itu sendiri dan dari eksternal. Dari individu itu sendiri bisa jadi melakukan korupsi karena pada dasarnya dia merupakan pribadi yang tamak akan materi, memiliki moral yang kurang kuat atau memiliki gaya hidup konsumtif. Ketiga perilaku tersebut yang memicu munculnya korupsi, orang yang tamak akan materi tidak akan merasa puas dengan yang dimilikinya dan akan selalu berkeinginan menambah dan menumpuk harta miliknya bahkan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kemudian individu dengan moral kurang kuat akan mudah tergoda dengan korupsi, baik melalui atasan, bawahan maupun teman sejawatnya. Individu dengan perilaku konsumtif akan membelanjakan pendapatanya untuk bermacam hal yang sebagian besar tidak bermanfaat. Dengan pendapatan yang tidak memadai maka perilaku tersebut akan mendorong tindakan korupsi. Korupsi juga dapat terjadi karena adanya pengaruh dari luar, individu yang baik pun dapat terseret dalam arus korupsi karena lingkungan atau faktor dari luar yang menjadikannya bertindak korupsi. Lingkungan sangat berpengaruh dalam terjadinya tindakan korupsi, lingkungan di mana korupsi dijadikan hal yang wajar dan menjadi sebuah budaya akan menyeret individu yang baik ke dalamnya. Mau tidak mau individu akan ikut serta melakukan korupsi, entah karena sudah dianggap biasa, karena tergiur olehnya ataupun adanya desakan dari lingkungan itu untuk korupsi. Berbagai faktor tersebut dapat meyebabkan korupsi, yang memiliki dampak luas dan signifikan. Adanya korupsi telah menyengsarakan masyarakat, banyak anggaran

negara yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan publik justru diselewengkan dan masuk kantong koruptor. Banyaknya korupsi juga menyebabkan naiknya belanja negara sehingga APBN memiliki defisit lebih besar dan ujungnya menambah hutang negara. Besarnya dampak dari tindakan korupsi, sudah seharusnya membangkitkan setiap orang untuk ikut dalam upaya pemberantasan korupsi. Setiap orang dapat memulainya dengan hal-hal kecil, dengan tidak melakukan perilaku koruptif dalam kegiatan seharihari, melaporkan indikasi adanya tindakan korupsi sampai melakukan tindakan nyata dengan menolak setiap tindakan korupsi yang datang padanya. Berperan aktif dalam menyebarkan informasi bahaya korupsi juga merupakan usaha dalam memberantas korupsi, masing-masing orang dapat membagikan sekecil apapun informasi terkait korupsi kepada orang lain sehingga akan menyebar dan masyarakat akan sadar dan paham bahaya korupsi.

C. KESIMPULAN Tindakan korupsi telah terjadi di Indonesia sejak zaman kerajaan sampai saat ini, berbagai upaya telah dilakukan dalam upaya pemberantasan korupsi namun sampai saat ini belum mampu menghapuskan korupsi dari Indonesia. Upaya penal yang dilakukan aparata penegak hukum khususnya KPK nyatanya belum mampu mengurangi angka tindakan korupsi secara signifikan, dibuktikan dengan meningkatnya kasus korupsi setiap tahunnya. Oleh karena itu upaya non-penal juga perlu untuk mendapat perhatian dan dilakukan secara sungguh-sungguh. Cultural Approach sebagai salah satu upaya non-penal menempati posisi strategis dalam kondisi tumbuhnya ”budaya korupsi”, pendidikan formal maupun informal sejak dini mengenai bahaya korupsi akan sangat membantu pemberantasan korupsi khususnya untuk menciptakan generasi masa datang yang memiliki budaya antikorupsi kuat. Tindakan korupsi tidak hanya datang dari internal individu koruptor itu sendiri melainkan dari eksternal juga. Korupsi memiliki dampak yang sangat besar dan signifikan yang merugikan banyak pihak. Oleh karenanya, penting bagi setiap orang untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan sehingga mampu menekan bahkan menghapus korupsi di Indonesia.

Related Documents

Etika
October 2019 60
Etika
June 2020 42
Etika
May 2020 37
Etika
June 2020 44
Etika
May 2020 44
Etika
June 2020 28

More Documents from ""