Etika Kristen Ii.docx

  • Uploaded by: Riiany Tanono
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Etika Kristen Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,833
  • Pages: 9
PENDAHULUAN Istilah “politik” berasal dari bahasa Yunani yakni polis yang berarti kota atau negeri, penduduk kota. Jadi politik pada mulanya berarti suatu masyarakat yang berdiam di suatu kota.1 Adanya politik agar negara dapat diatur dengan tujuan untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan setiap warga negara. Gereja sebagai umat atau lembaga pada dasarnya hadir di dunia untuk menghadirkan kabar baik bagi manusia dan segenap ciptaan. Gereja harus terbuka, dinamis, dialogis dalam situasi perkembangan di masyarakat dengan sikap positif, kritis, kreatif dan realistis.2 Dalam kehidupan bermasyarakat, gereja harus bisa menyatakan tugas panggilannya tersebut dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Kehadiran gereja di dunia bukan hanya untuk melayani sekelompok orang tertentu tetapi masyarakat umum. Salah satunya ialah kehadiran gereja melalui bidang politik. Politik menjadi sangat penting sebab kehidupan jemaat dan masyarakat tidak terlepas dari politik. Warga gereja telah lama terlibat dalam politik, baik sebagai pengurus partai, pejabat publik, maupun anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif. Keputusan SINODE GMIT NO. 28/KEP/SIN-GMIT/XXXI/2007, menyatakan bahwa; “seorang Pendeta tidak bisa ikut terlibat dalam politik praktis”.3 Hal ini menimbulkan perbedaan pendapat. Maka, Kelompok tertarik untuk mendalami masalah ini untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengarsuhi keputusan Sinode GMIT itu. Selain itu, akan diperhatikan pula realita yang terjadi dimana ada pendeta yang tetap memilih untuk terlibat dalam dunia politik, meskipun ada keputusan tersebut.

1

Martin L. Sinaga, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm 409., 2 Indria Pricillia Tumbelaka, “Gereja dan Politik”(Artikel, 2014), hlm 7., 3 DRAF. Naskah Teologis dan Kode Etik Pendeta GMIT dan Hasil Seminar” Pendeta GMIT dan Politik”(Kupang: Majelis Sinode GMIT, 2018), hlm 3.,

1|Page

ANALISA A. Surat Keputusan Oleh Sinode GMIT Keputusan Sinode GMIT

No 28/KEP/SIN-GMIT/XXXI/2007

tentang Presensia dan

Representasi Kristen dalam Politik adalah sebagai berikut: 1. Menerima hasil kerja Komisi A.9. Presensia dan Representasi Kristen dalam Politik. 2. Pendeta dan Pengajar, yang adalah karyawan GMIT, yang berkeputusan menjadi anggota legislatif atau eksekutif dan lembaga politik lainnya, seperti KPU, diberhentikan sebagai karyawan GMIT. 3. Menugaskan Majelis Sinode untuk membentuk Dewan Pastoral Bidang Politik yang bertugas mengadakan pendidikan politik yang berkelanjutan kepada warga GMIT 4. Naskah hasil kerja Komisi pada butir 1 menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keputusan ini 5. Keputusan ini dapat ditinjau kembali jika terdapat kekeliruan di dalamnya. 6. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan. Ditetapkan di : Kalabahi-Kabupaten Alor Pada Tanggal : 29 september 2007 Oleh

: Sinode Gereja Masehi Injili di Timor

B. Faktor-Faktor Pengambilan Keputusan Etis Oleh Sinode GMIT Berdasarkan keputusan Sinode GMIT, kelompok melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan etis oleh Majelis Sinode GMIT mengenai pendeta yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis: 1. Iman Berdasarkan keputusan etis Majelis Sinode GMIT mengenai seorang pendeta yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis, kelompok melihat bahwa Majelis Sinode GMIT telah mempertimbangkan dengan baik. Sebagai seorang pendeta yang tugasnya melayani jemaat Tuhan, tidak seharusnya pendeta menduakan pelayanan utamanya. Karena jika

2|Page

pendeta setia terhadap tugas dan pelayanannya maka itu adalah bukti kesetiaan kepada Yesus Kristus. 2. Tabiat Tabiat adalah susunan batin seseorang yang memberi arah dan ketertiban kepada keinginan, kesukaan dan perbuatan orang itu.4 Majelis Sinode GMIT membuat keputusan ini guna mencegah terjadinya perpecahan dalam pelayaan pendeta terhadap jemaatnya dan juga mencegah terjadinya pelayanan yang kurang baik dari seorang pendeta. 3. Situasi Melihat situasi saat itu bahwa ada pendeta yang terlibat dalam politik maka Majelis Sinode GMIT membuat keputusan bahwa pendeta tidak boleh terlibat dalam politik praktis karena ketika pendeta yang berpolitik berkhotbah makajemaat yang mendengar menganggap bahwa ada kepentingan partai dalam khotbah tersebut dan akan ada perbedaan pendapat antara pendeta dan jemaat.

C. Sumber-Sumber Wawancara Dengan Pihak-Pihak Yang Terkait Berdasarkan masalah yang hendak kelompok kaji mengenai keputusan Sinode GMIT yang melarang pendeta terlibat dalam bidang politik secara praktis, Kelompok mencari sumbersumber untuk memperjelas pokok persoalan tersebut. Berikut hasil wawancara kami dengan beberapa narasumber. 1. Pihak pembuat keputusan Dari hasil wawancara dengan Majelis Sinode GMIT bagian PTTG (Panitia Tetap Tata GMIT), Pdt. Betsyeba Nunuhitu M.Th mengatakan bahwa pendeta dilarang untuk terlibat dalam dunia politik secara praktis. Gereja dan Negara adalah dua instansi yang berbeda. Tidak seharusnya seorang pendeta ikut serta dalam dunia politik. Sebaliknya dalam gereja juga tidak boleh ada kepentingan-kepentingan politik yang dimasukkan dalam pelayanan pendeta. Jika seorang pendeta ingin masuk dan bergelut dengan dunia politik maka ia harus meninggalkan posisinya sebagai seorang karyawan di GMIT, dengan kata lain, pendeta dipensiunkan dini dari tugasnya sebagai seorang karyawan GMIT. Aturan ini dibuat dengan pertimbangan bahwa oleh 4

Malcolm Brownlee, pengambilan keputusan etis dan faktor-faktor didalamnya(Jakarta: Gunung Mulia, 2016), hlm 113

3|Page

karena seorang pendeta harus secara penuh melayani jemaat. Selain itu, pasti di dalam sebuah jemaat ada banyak jemaat yang terlibat dalam berbagai partai politik sehingga ketika pendetanya juga terlibat dalam salah-satu partai politik akan menimbulkan pertentangan antara pendeta dan jemaat-jemaat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka GMIT mengambil keputusan yaitu bahwa tugas pendeta dalam dunia politik adalah menyuarakan suara kenabian. GMIT juga melakukan pendidikan politik bagi warga jemaat dan pendampingan pastoral bagi jemaat yang akan terlibat dalam dunia politik. 2. Pihak yang terlibat dalam politik praktis Salah seorang pendeta yang terlibat dalam politik praktis, Pdt. Yunus Edi Wantoro-Manu S.Th.M.Hum, menjelaskan bahwa ia melihat situasi dalam dunia politik, di mana orang-orang yang bergelut dalam politik itu mulai memudarkan nilai-nilai kekristenan dengan alasan kepentingan mereka. Ia juga melihat bahwa kesejahteraan jemaat atau masyarakat kurang diperhatikan. Maka dari itu, pribadinya sebagai seorang pendeta merasa termotivasi untuk terlibat dalam dunia politik. Menurutnya, harus ada orang yang masuk dan secara langsung mengubah keadaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kekristenan. Ia juga berpendapat bahwa politik itu ibaratnya sebuah kendaraan, maka kendaraan itu harus bisa dipakai untuk mengangkut semua orang menuju kesejahteraan. Menurut beliau politik itu baik namun ada beberapa oknum-oknum yang bekerja di dalamnya yang merusak makna politik yang sesungguhnya. Dalam memasuki dunia politik, seorang pendeta harus bisa menjaga motivasi dan integritas dirinya agar dalam menghadapi dunia politik yang sudah tercemar, pendeta itu tidak kehilangan identitas sebagai seorang pelayan. Mengenai aturan yang dikeluarkan GMIT, beliau berpendapat bahwa di dalam menghadapi dunia politik, ia membutuhkan patner yaitu pendeta lainnya untuk memperbaiki nilai-nilai yang salah dalam dunia politik. Dalam bukunya Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo Meng-Hari-Ini-Kan Injil, mengatakan bahwa kehadiran gereja dalam politik merupakan sebuah keharusan, tetapi bukan kehadiran untuk kekuasaan melainkan untuk penegakan moralitas. Beliau juga menegaskan bahwa jabatan dalam gereja diadakan untuk membangun kehidupan jemaat dengan cara memberitakan Firman, melayani sakramen, secara terus menerus. Karena itu pendeta ditahbiskan bukan untuk berpolitik secara praktis tetapi melengkapi warga jemaat untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, termasuk dalam berpolitik. Karena itu pendeta bukanlah suatu jabatan politis. Jadi jika ada 4|Page

pejabat gereja yang ingin terjun langsung dalam politik praktis, yakni menjadi anggota legislatif atau pemimpin partai maka ia dengan sendirinya harus meletakkan jabatan kependetaan yang disandangnya. Namun tugasnya sebagai saksi Kristus tetap melekat pada dirinya. Menurutnya jabatan pendeta itu adalah satu fungsi yang melekat secara kekal dalam diri seorang pendeta. Dalam diri pendeta ada fungsi sebagai saksi Kristus. Karena itu fungsi kesaksian melekat secara fisik dengan satu komunitas tertentu yakni gereja. Karena itu, jika pendeta meninggalkan komunitas dan masuk dalam komunitas lain, maka fungsinya sebagai jabatan pendeta harus dilepaskan.5

5

Ebenhaizer I Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi pancasila,(Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga-Indonesia: 2016), hlm 364-365.,

5|Page

TANGGAPAN KELOMPOK A. Tanggapan Faktor Yang Sudah Dianalisa Melihat dari faktor-faktor pengambilan keputusan etis yaitu iman, tabiat dan situasi, kelompok setuju dengan pengambilan keputusan yang di buat oleh Majelis Sinode GMIT bahwa seorang pendeta jika ingin terlibat dalam politik praktis maka akan di berhentikan sebagai karyawan gereja. Gereja harus hadir dalam setiap bidang kehidupan manusia salah satunya yaitu politik. Dalam bidang politik gereja hadir untuk menyuarakan suara kenabian dan mendampingi orang-orang yang terlibat dalam politik praktis agar saat mereka mengambil keputusan sesuai dengan apa yang Yesus ajarkan. B. Tinjauan Teologis Kelompok meninjau pengambilan keputusa etis Majelis Sinode GMIT dengan berlandasan pada Markus 12:13-27 ˝Tentang membayar pajak kepada kaisar˝. Dalam bacaan ini, injil Markus mengkisahkan tentang dua konflik yang terjadi antara Yesus dan para pemimpin Yahudi. Konflik yang pertama ialah perdebatan mengenai pajak yang harus dibayar kepada kaisar (ayat 13-17). Beberapa orang dari kelompok Farisi dan Herodian menjebak Yesus dengan suatu pertanyaan yang berbunyi “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak?”. Tujuan dari pertanyaan ini adalah untuk mencobai Yesus dan ingin mengetahui keberpihakan Yesus, apakah Yesus berpihak kepada kasiar atau kepada orang-orang yang saat itu berkewajiban membayar pajak kepada kaisar. Jika Yesus tidak setuju dengan membayar pajak kepada kaisar maka orangorang Farisi dan Herodeian mempunyai bukti supaya Yesus dengan mudah dihukum. Tetapi Yesus mengetahui maksud dan tujuan mereka, sehingga Yesus memberikan jawaban yang menunjukkan bahwa Yesus tidak berdiri dipihak manapun.6 Berdasarkan tinjauan teologis di atas jika dihubungkan dengan politik, dapat dilihat dari jababan Yesus kepada orang-orang Farisi dan Herodian “Berikan kepada kaisar apa yang kaisar punya dan berikan kepada Allah yang Allah punya”. Yesus memberikan pemahaman dan sikap kebijaksanaan kepada mereka. Segala-sesuatu yang berada di bawah kekuasaan kaisar lakukan itu untuk kaisar. Sebagai seorang pendeta, harus meneladani sikap Yesus. Yesus tidak berdiri di 6

Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru(Yogyakarta: PT Kansius, 2002), hlm 1155-1156.,

6|Page

pihak manapun tetapi Yesus bersikap independen. Pendeta tidak bisa ada dalam satu pihak saja, tetapi pendeta harus bersikap independen, karena itu tugas pendeta dalam bidang polik ialah hanya sebatas menyuarakan suara kenabian bukan ikut terlibat langsung dalam dunia praktis. C. Kesimpulan (pendapat kelompok atau keputusan kelompk) Kelompok menyimpulkan bahwa kelompok setuju dengan keputusan Sinode GMIT tentang pendeta yang tidak boleh terlibat dalam politik. Karena melihat dari tinjauan teologis, sikap Yesus yang independen. Gereja hadir di dunia untuk bersama-sama dengan semua manusia yang dalam setiap bidang kehidupan. Gereja perlu berkerja sama dengan kuasa manapun untuk menjalankan misi dari Allah. Ketika seorang pendeta ada dalam satu bidang kehidupan saja makan akan menimbulkan perbedaan. Jadi, pendeta hanya bisa hadir untuk mendampingi di setiap bidang kehidupan jemaat.

7|Page

PENUTUP A. KESIMPULAN Dari semua informasi yang kami dapat baik dari buku maupun dari hasil penelitian, kami menyimpulkan bahwa GMIT tidak menutup kemungkinan bagi pendeta yang ingin terjun dalam dunia politik praktis. Jika pendeta sudah memilih untuk terjun ke dalam dunia politik berarti dia harus meninggalkan jabatannya sebagai karyawan GMIT. Tetapi berdasarkan tinjauan kelompok pendeta harus meneladani sikap Yesus yaitu harus independen. B. SARAN Keputusan yang telah ditetapkan oleh Sinode GMIT kelompok memberi saran kepada kita sebagai calon pemimpin gereja di masa depan bahwa, sebagai pendeta harus bisa mendampingi jemaat dalam setiap bidang kehidupan mereka. Tugas pendeta ialah harus tetap mempertahankan identitas gereja dan menjalankan misi kerajaan Allah di dalam setiap bidang kehidupan.

8|Page

DAFTAR PUSTAKA Martin L. Sinaga, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016) Malcolm Brownlee, pengambilan keputusan etis dan faktor-faktor didalamnya(Jakarta: Gunung Mulia, 2016) Ebenhaizer I Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi pancasila,(Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga-Indonesia: 2016) Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru(Yogyakarta: PT Kansius, 2002) DRAF. Naskah Teologis dan Kode Etik Pendeta GMIT dan Hasil Seminar” Pendeta GMIT dan Politik”(Kupang: Majelis Sinode GMIT, 2018) Indria Pricillia Tumbelaka, “Gereja dan Politik”(Artikel, 2014)

9|Page

Related Documents

Etika Kristen Ii.docx
April 2020 13
Kristen
November 2019 43
Etika
October 2019 60
Etika
June 2020 42
Etika
May 2020 37

More Documents from ""