Es Tahap I_niluh Dika Jelita_1702511171.docx

  • Uploaded by: niluh
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Es Tahap I_niluh Dika Jelita_1702511171.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,739
  • Pages: 28
LAPORAN ELECTIVE STUDY TAHAP I

HUBUNGAN PENYAKIT DIABETES MELITUS DENGAN KATARAK

NILUH DIKA JELITA NIM 1702511171

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

KATA PENGATAR Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, Elective Study ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K), sebagai pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis menyusun kajian pustaka pada Elective Study tahap I ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. I Wayan Eka Sutyawan, Sp.M., Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp,S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program S1 di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang dijabat oleh Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program S1 pada PSPD FK Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT(K) selaku Dekan Fakultas Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program S1. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada penguji Elective Study Tahap I, yaitu , Dr. dr. A.A. Mas Putrawati Triningrat, S.Ked, Sp.M(K) yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga Elective Study Tahap I ini dapat terwujud seperti ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Elective Study Tahap I ini, serta kepada penulis sekeluarga.

ii

DAFTAR ISI KATA PENGATAR ............................................................................................... ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH .............................. v BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 4 2.1 Mata ............................................................................................................... 4 2.1.1 Anatomi Mata ......................................................................................... 4 2.1.2 Lensa ....................................................................................................... 5 2.2 Katarak .......................................................................................................... 6 2.3 Diabetes Melitus ............................................................................................ 8 2.4 Patogenesis Diabetes Melitus Menjadi Katarak .......................................... 10 2.5 Penatalaksanaan Katarak ............................................................................. 14 2.6 Pencegahan Diabetes Melitus Menjadi Katarak .......................................... 15 2.7 Prognosis Katarak ........................................................................................ 17 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18 3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

iii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Anatomi mata......................................................................................5 Gambar 2.2. Ilustrasi anatomi lensa mata ...............................................................6 Gambar 2.3. Ilustrasi katarak yang terjadi berdasarkan aderah pada lensa; katarak subkapsular posterior (kiri); katarak nuklear (tengah); katarak kortikal (kanan) ....8 Gambar 2.4. Prediksi jumlah penderita (dalam juta) diabetes melitus dan impaired glucose tolerance (IGT) di dunia sejak 2010 hingga 2030......................................9 Gambar 2.5. Berbagai jalur lain selain polyol pathway yang dapat menyebabkan katarak akibat dari kadar glukosa yang tinggi........................................................12 Gambar 2.6. proses pembentukan ROS dan penurunan GSH................................13 Gambar 2.7. a. Proses pembedahan dengan metode Phacoemulsification; b. Proses pembedahan dengan metode M-SICS........................................................14

iv

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH AGEs

: advanced glycation endproducts

AR

: aldose reductase

DNA

: deoxyribonucleic acid

GSH

: glutathione

IGT

: impaired glucose tolerance

IOL

: intraocular lens

mM

: milliMolar

M-SICS

: Manual Small Incision Cataract Surgery

NAD+

: Nicotineamida adenina dinukleotida

NADP

: Nicotinamidenadenine dinucleotide phosphate

PKC

: Protein Kinase C

ROS

: reactive oxygen species

SDH

: sorbitol dehydrogenase

WHO

: World Health Organization

%

: Persen

v

BAB 1 PENDAHULUAN Mata merupakan salah satu alat indera yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena dengan melihat kita mendapat lebih banyak informasi secara visual. Katarak merupakan salah satu penyakit mata yang paling sering menyebabkan kebutaan pada populasi manusia di dunia (Olafsdottir, et al., 2012; Park, et al., 2013). Katarak adalah suatu keadaan lensa mata mengalami kekeruhan sehingga lensa mata jadi tertutup. Keadaan tersebut mengakibatkan mata tidak bisa menerima cahaya secara maksimal untuk memfokuskan cahaya menuju retina sehingga penglihatan menjadi tidak jelas dan kabur (Lu, et al., 2012). World Health Organization (WHO, 2010) menyatakan bahwa katarak menjadi penyebab hampir 51% kasus kebutaan di dunia. Jumlah penderita katarak diperkirakan akan mencapai angka 40 juta pada tahun 2020 (Mo’otapu, et al., 2015). Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 28% penderita katarak dari jumlah seluruh populasi yang terdapat di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi penyumbang yang tertinggi di Asia Tenggara (Hadini, et al., 2016). Prevalensi penderita katarak di Indonesia mencapai angka 1,8%. Berdasarkan dari laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penderita katarak di Bali masih berada pada angka yang tinggi yaitu mencapai 2,7% dan merupakan angka tertinggi ke tiga di Indonesia (Riskesdas, 2013).

1

2

Katarak dapat terjadi karena berbagai faktor yaitu usia, radiasi sinar ultra violet, trauma, dan dikarenakan penyakit diabetes melitus (Olafsdottir, et al., 2012). Kejadian katarak semakin meningkat dengan bertambahnya usia seseorang seiring pula apabila memiliki penyakit diabetes melitus. Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme dalam tubuh. Gangguan metabolisme ini disebabkan karena menurunnya produksi insulin oleh sel beta pankreas yang merupakan hormon untuk mengatur keseimbangan kadar gula dalam darah (Khairani, et al., 2016). Banyak studi yang menyatakan bahwa diabetes melitus telah menjadi faktor resiko terjadinya katarak, baik itu tipe 1 maupun tipe 2 (Machan, et al., 2012). Berbagai jenis katarak kini telah diklasifikasikan, salah satunya klasifikasi katarak berdasarkan penyebab. Berdasarkan penyebabnya, katarak diklasifiksikan menjadi katarak terkait usia, katarak pada pediatrik atau anak-anak dan katarak yang muncul akibat penyebab atau penyakit lainnya. Katarak terkait usia umumnya sering terjadi pada orang dewasa kelompok usia antara 45-50 tahun. Katarak pediatrik terjadi akibat pengaruh keturunan (hereditary) dan gangguan metabolisme pada anak-anak (Alshamrani, 2018). Katarak akibat penyakit lainnya atau biasa disebut dengan secondary cataract merupakan katarak yang timbul akibat trauma maupun dampak dari penyakit lain seperti diabetes (Lam, et. al., 2015). Beberapa studi telah memprediksikan bahwa pada tahun 2025 sebanyak lebih dari 300 juta orang di dunia akan menderita penyakit diabetes. Peningkatan penderita diabetes ini juga akan mempengaruhi jumlah peningkatan angka kejadian katarak (Machan, et al., 2012). Pada sebuah penelitian yang dilakukan di

3

RSU Bahteramas tahun 2016 menemukan bahwa dalam kelompok kasus terdapat 54,3% yang mengalami katarak dan memiliki penyakit diabetes melitus. Penderita diabetes melitus akan mengalami hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa dalam

darah.

Selama

mengalami

hiperglikemia,

glukosa

yang

berada

diekstraseluler akan berdifusi ke lensa mata. Pembentukan katarak pada penderita diabetes terjadi karena adanya akumulasi senyawa sorbitol dalam serat lensa dan menyebabkan stres osmotik. Sorbitol adalah suatu senyawa yang merupakan hasil dari reduksi glukosa oleh enzim aldose reductase (AR) melalui polyol pathway (Patel, et al., 2012). Dalam kondisi hiperglikemia, AR berperan dalam stres oksidatif. Melalui polyol pathway glukosa diubah menjadi sorbitol yang dikatalis oleh enzim AR, dalam proses tersebut juga menggunakan NADPH dan menghasilkan NADP. Selanjutnya sorbitol diubah menjadi fruktosa dengan enzim sorbitol dehydrogenase (SDH) sebagai katalis dan NAD+ sebagai kofaktor hingga akhirnya proses ini menghasilkan NADH. Produksi NADH ini berpotensi untuk menghasilakn reactive oxygen species (ROS) apabila NADH dikatalis oleh NADH oxidase (Tang, et. al., 2012). Berdasarkan tingkat kejadian katarak dan diabetes melitus yang cukup tinggi dan terdapatnya hubungan antara katarak dengan penyakit diabetes melitus, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang masalah tersebut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mata 2.1.1 Anatomi Mata Mata merupakan salah satu alat indera yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena dengan melihat kita mendapat lebih banyak informasi secara visual. Mata sebagai salah satu anggota tubuh dan merupakan sebuah organ mempunyai struktur anatomi dan fungsi fisiologis. Struktur anatomi mata yaitu berupa rongga orbita sebagai tempat bola mata, kelopak mata sebagai pelindung dan pelapis mata dari paparan benda asing, sistem lakrimal yang di dalamnya terdapat duktus serta kelenjar untuk produksi dan eksresi pada mata, konjungtiva sebagai membran yang melapisi sklera dan kelopak mata bagian dalam yang bersinggungan dengan bola mata, bola mata sebagai organ utama dalam indera penglihatan yang di dalamnya terdapat lensa, kornea dan lain-lain seperti pada gambar 2.1. (Irsch & Guyton, 2009). Bola mata berisi 2 cairan yang berbeda, yang pertama adalah Vitreous humour yang bertekstur seperti gel mengisi ruang antara lensa dan retina dan yang kedua adalah aqueous humour yang mengisi ruang anterior mata antara kornea dan iris serta mengisi bagian posterior yang terletak antara iris, serabut zonular dan lensa (Irsch & Guyton, 2009). Cairan aqueous humour merupakan cairan yang kaya akan nutrisi sehingga berfungsi dalam memberi nutrisi bagi lensa dan kornea, selan itu juga bertugas dala menjaga tekanan intraokular dan membantu menjaga bentuk bola mata (Septadina, 2015). Proses penglihatan pertama kali cahaya masuk dan ditangkap oleh kornea, selanjutnya kornea akan melanjutkan cahaya tersebut untuk dihamburkan

4

5

hingga mencapai retina. Dalam proses ini lensa memiliki peran untuk memfokuskan cahaya agar tepat jatuh di retina sehingga kita bisa melihat objek dengan jelas. Selain lensa, pupil juga berperan pending dalam proses melihat. Pupil berfungsi untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke retina. Jika cahaya redup, maka pupil akan melebar dan jika cahaya terang, pupil akan mengecil (Septadina, 2015).

Gambar 2.1. Anatomi mata 2.1.2 Lensa Lensa merupakan objek bikonveks transparan yang berfungsi dalam pembiasan dan memfokuskan cahaya ke retina. Lensa adalah organ yang unik karena tidak memiliki sirkulasi darah dari arteri maupun vena, hal ini

6

menunjukkan bahwa tingkat metabolisme sel pada lensa relatif rendah (Lam, et. al., 2015). Lensa manusia terdiri atas serat, ditutupi oleh kapsul tipis dan dipertahankan oleh zonulus pada kedua sisi yang melekat pada otot siliaris. Aksi dari otot siliaris akan menyebabkan zonulus mengendur dan mengencang, akibat dari aksi tersebut adalah akomodasi (Irsch & Guyton, 2009). Akomodasi adalah kemampuan mata untuk mencembungkan dan memipihkan lensa mata. Serat lensa terbuat dari epitelium lensa yang kemudian serat ini berpindah dari margin ke inti lensa, sehingga inti lensa terdiri atas serat yang lama dan bagian lateral lensa terdiri atas serat yang lebih baru dan kemudian disebut dengan korteks (Alshamrani, 2018). Ilustrasi anatomi lensa mata serta daerah-daerah pada lensa mulai nukleus, korteks dan kapsul dapat dilihat pada Gambar 2.2. (Lam, et. al., 2015).

Gambar 2.2. Ilustrasi anatomi lensa mata 2.2 Katarak Katarak merupakan salah satu penyakit mata yang paling sering menyebabkan kebutaan pada populasi manusia di dunia (Olafsdottir, et al., 2012; Park, et al., 2013). Katarak adalah suatu keadaan lensa mata mengalami kekeruhan sehingga lensa mata jadi tertutup. Keadaan tersebut mengakibatkan mata tidak bisa menerima cahaya secara maksimal untuk memfokuskan cahaya

7

menuju retina sehingga penglihatan menjadi tidak jelas dan kabur (Lu, et al., 2012). Katarak merupakan penyakit mata yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor (multifactorial), seperti faktor pertambahan usia atau biasa disebut dengan proses degenerasi, jenis kelamin, zat yang bersifat beracun (toxic), faktor lingkungan, stres, mutasi gen dan penyakit diabetes melitus (Patel, et al., 2012; Prokofyeva, et al., 2013). Hingga saat ini, penyebab utama terjadinya katarak dipengaruhi oleh faktor pertambahaan usia. Akan tetapi, faktor-faktor lain yang disebutkan di atas menyebabkan katarak terjadi lebih awal seperti diabetes melitus. Beberapa literatur menyatakan bahwa hiperglikemia dapat meningkatkan resiko terbentuknya katarak (Patel, et al., 2012). Berdasarkan pada penyebabnya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi katarak terkait usia, katarak pediatrik, katarak karena penyebab lain dan katarak traumatika, penjelasan terkait katarak dijelaskan sebagai berikut: a. Katarak terkait usia atau katarak senilis umumnya sering terjadi pada orang dewasa kelompok usia antara 45-50 tahun (Alshamrani, 2015). b. Katarak pediatrik yang terjadi pada anak-anak merupakan salah satu penyebab paling sering kebutaan juvenil yang dapat diobati (Alshamrani, 2015). Kebutaan juvenil atau katarak juvenil merupakan salah satu jenis katarak yang pembentukan katarak ini terjadi mulai dari usia 3 bulan hingga usia 9 tahun. Katarak juvenil merupakan lanjutan dari katarak kongenital yang terjadi akibat gangguan perkembangan lensa (Mutiarasari & Handayani, 2011).

8

c. Katarak karena penyebab lain atau biasa disebut dengan katarak komplikata adalah katarak yang timbul akibat komplikasi dari penyakit lain, misalnya seperti penderita penyakit diabetes melitus memiliki peluang untuk menderita katarak lebih awal dibandingkan bukan penderita diabetes melitus (Patel, et al., 2012; Prokofyeva, et al., 2013). d. Katarak traumatika adalah katarak yang terjadi akibat trauma atau cidera pada lensa mata. Trauma dapat berupa trauma peroferasi maupun tumpul yang akan terlihat setelah beberapa hari atau beberapa tahun (Alshamrani, 2015). Katarak terkait usia memiliki tiga tipe utama yang diklasifikasikan berdasarkan daerah terjadinya katarak, yaitu katarak nuklear, katarak kortikal dan katarak subkapsular posterior. Ilustrasi katarak berdasarkan daerah pada lensa dapat dilihat pada Gambar 2.3. (Beebe, et. al., 2010; Lam, et. al., 2015).

Gambar 2.3. Ilustrasi katarak yang terjadi berdasarkan aderah pada lensa; katarak subkapsular posterior (kiri); katarak nuklear (tengah); katarak kortikal (kanan) 2.3 Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan penyakit kronik gangguan metabolisme dan gangguan pada sekresi insulin akibat dari defisiensi pankreas sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam darah menjadi terus meningkat yang

9

kemudian diabetes melitus ditandai dengan terjadinya hiperglikemia (Fatimah, 2015). Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 285 juta orang di dunia menderita diabetes melitus, 90% diantaranya menderita diabetes melitus tipe 2 (Chen, et al., 2012). Angka penderita diabetes melitus diperkirakan akan terus meningkat hingga menjadi 439 juta orang pada tahun 2030 dan Indonesia termasuk dalam 10 negara di Asia yang diprediksi akan mengalami peningkatan penderita diabetes melitus tersebut (Shaw, et al., 2010 dalam Chen, et al., 2012). Prediksi peningkatan penderita diabetes melitus sejak tahun 2010 hingga 2030 juga dapat dilihat pada gambar 2.4.

Sumber: the International Diabetes Federation Diabetes Atlas

Gambar 2.4. Prediksi jumlah penderita (dalam juta) diabetes melitus dan impaired glucose tolerance (IGT) di dunia sejak 2010 hingga 2030 Gambar di atas menunjukkan bahwa sejak 2010 hingga 2030 menurut wilayah diantara orang dewasa dengan usia 20-79 tahun diprediksikan mengalami peningkatan jumlah penderita diabetes melitus (warna biru). Peningkatan dan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak terlihat terjadi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat (Chen, et al., 2012).

10

Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat mengganggu semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti gangguan pada pembuluh darah, stroke, gangguan pada ginjal, gangguan pada jantung, menyebabkan luka sukar untuk kering atau sembuh, hingga gangguan pada penglihatan. Salah satu gangguan penglihatan yang dapat terjadi ada penderita diabetes melitus adalah katarak. Katarak yang terjadi pada penderita diabetes dikarenakan oleh adanya enzim AR yang mengubah glukosa menjadi sorbitol (Leske, et al., 1999; Fatimah, 2015 ). 2.4 Patogenesis Diabetes Melitus Menjadi Katarak Pembentukkan katarak pada penderita diabetes melitus terjadi melalui berbagai jalur, seperti polyol pathway, akumulasi advanced glycation endproducts (AGEs), hexosamine pathway, protein kinase C (PKC) pathway dan terjadi mitochondrial dysfunction. Semua jalur tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi, dilihat pada gambar 2.5. (Snow, et. al, 2015), terlihat bahwa dari semua jalur diawali dengan adanya glukosa, beberapa jalur yang melibatkan glukosa yaitu: a. Hexosamine pathway, menggunakan produk dari polyol pathway yang berupa fruktosa diubah menjadi fructose-6-phosphate (F-6-P) oleh hexokinase dan selanjutnya diubah menjadi glucosamine-6-phosphate oleh fructose-6-phosphate amidotransferase (GFAT) (Tang, et. al., 2012). b. Advanced glycation, merupakan jalur lain yang menggunakan senyawa F6-P kemudian diubah menjadi dihydroxyacetone phosphate (DHAP) dan glyceraldehdye-3-phosphate (GA3P), kedua senyawa tersebut dapat

11

menjadi prekursor pembentukan methylglyoxal yang dimana senyawa ini menyebabkan terjadinya peningkatan AGEs (Tang, et. al., 2012). c. PKC pathway, merupakan jalur lain yang melibatkan DAHP dengan hasil akhir peningkatan diacylglycerol (DAG) dan aktivasi PKC (Tang, et. al., 2012). d. Mitochondrial dysfunction, terjadi dengan perubahan DAHP dari glycerol3-phosphate (G-3-P) yang melibatkan perubahan FAD menjadi FADH2 menyebabkan potensial membran mitokondria jadi semakin tinggi sehingga menghambat rantai transpor elektron pada kompleks III dalam mitokondria; mitochondrial dysfunction (Tang, et. al., 2012). e. Polyol pathway, merupakan jalur lain yang dapat mempengaruhi mitokondria yaitu NADH yang dioksidasi oleh NADH oxidase akan menghasilkan ROS yang bisa menyerang membran mitokondria (Tang, et. al., 2012). Diabetes melitus berakibat pada meningkatnya kadar glukosa dalam darah atau disebut dengan hiperglikemia. Hiperglikemia kronik pada penderita diabetes melitus dapat menyebabkan peningkatan tingkat ROS yang diduga terlibat dalam patogenesis katarak yang berhubungan dengan diabetes melitus. Lensa mata yang mengalami katarak pada penderita penyakit diabetes melitus mendapatkan produksi radikal bebas yang berlebihan sehingga menurunkan dan merusak sistem pertahanan antioksidan pada mata akibat dari kerusakan oksidatif melalui polyol pathway (Hashim & Zarina, 2012). Radiasi sinar ultraviolet dan tekanan atau stres okasidatif juga dianggap sebagai faktor penting dalam proses terbentuknya katarak. Target dari tekanan

12

oksidatif pada lensa adalah merusak protein, membran dan deoxyribonucleic acid (DNA). Peningkatan stres oksidatif memerankan peran penting dalam patogenesis katarak karena berhubungan dengan peningkatan oksidasi DNA, protein dan lipid. Hiperglikemia dapat mengganggu rantai transpor elektron di mitokondria yang menyebabkan produksi anion superoksida menjadi berlebihan. Hiperglikemia juga dapat merangsang stres oksidatif melalui auto-oksidasi glukosa dan melalui glikasi non-enzimatik. Reactive Oxygen Species (ROS) dihasilkan dalam proses pembentukan AGEs dan interaksi antara AGEs dan reseptornya RAGE juga dapat menyebabkan produksi ROS (Tang, et. al., 2012).

Gambar 2.5. Berbagai jalur lain selain polyol pathway yang dapat menyebabkan katarak akibat dari kadar glukosa yang tinggi Dalam kondisi hiperglikemia, enzim AR juga berperan dalam stres oksidatif. Melalui polyol pathway glukosa diubah menjadi sorbitol yang dikatalis oleh enzim AR, dalam proses tersebut juga menggunakan NADPH dan menghasilkan NADP. Selanjutnya sorbitol diubah menjadi fruktosa dengan enzim

13

SDH sebagai katalis dan NAD+ sebagai kofaktor hingga akhirnya proses ini menghasilkan NADH. Produksi NADH ini berpotensi untuk menghasilkan ROS apabila NADH dikatalis oleh NADH oxidase (Tang, et. al., 2012). Proses pembentukan ROS melalui jalur ini dapat dilihat seperti pada gambar 2.6. Secara bersamaan, proses perubahan glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH akan menyebabkan penurunan NADPH yang memiliki fungsi penting dalam produksi glutathione (GSH) yaitu suatu antioksidan intraseluler (Snow, et. al, 2015).

Gambar 2.6. proses pembentukan ROS dan penurunan GSH Polyol pathway dapat terjadi dengan baik jika terjadi kadar gula yang tinggi di dalam plasma dan aquoeous humor. Pada keadaan normal yaitu saat konsentrasi glukosa dalam plasma dan aquoeous humor berada diantar 0,7 sampai dengan 2,2 mM maka AR tidak dapat berfungsi. Akan tetapi apabila konsentrasi glukosa meningkat mencapai 3 hingga 4,5 mM, maka AR akan memiliki peluang untuk menyebabkan penimbunan sorbitol dan hingga akhirnya terjadi peningkatan produksi ROS (Pintor, 2012). Radikal bebas oksigen akan merusak kristal-kristal

14

lensa dengan beragregasi dan mengendap sehingga menyebabkan opasitas pada lensa mata (Kaur, et. al., 2012). 2.5 Penatalaksanaan Katarak Hingga saat ini, satu-satunya penatalaksanaan terhadap katarak adalah dengan

melakukan

operasi

atau

pembedahan

pengangkatan

lensa

dan

menggantikannya dengan intraocular lens (IOL) yaitu lensa buatan dan bersifat permanen. Gold standard operasi katarak di negara maju adalah dengan Phacoemulsification atau sering disebut dengan phaco. Sedangkan operasi katarak yang umum dilakukan di negara dengan penghasilan rendah hingga menengah umumnya melakukan Manual Small Incision Cataract Surgery (M-SICS) yang dilakukan tanpa jahitan pada lensanya atau self-sealing (Lam, et. al., 2015). Ilustrasi proses pembedahan dengan Phacoemulsification dan M-SICS dapat dilihat pada Gambar 2.7. (Lam, et. al., 2015). a. Pada gambar a. yaitu pembedahan dengan Phacoemulsification hanya melakukan sayatan kecil pada kornea, inti lensa dipecahkan dengan ultrasonic emulsification lalu kemudian disedot dan IOL dimasukkan melalui sayatan lalu ditanamkan dalam kapsul yang tersisa (Lam, et. al., 2015). b. Pada gambar b. Yaitu pembedahan dengan M-SICS pada gambar b. melakukan sayatan sedikit lebih besar, proses ini membentuk terowongan scleral sehingga katarak dapat diangkat dan IOL dapat ditanamkan (Lam, et. al., 2015).

15

Gambar 2.7. a. Proses pembedahan dengan metode Phacoemulsification; b. Proses pembedahan dengan metode M-SICS 2.6 Pencegahan Diabetes Melitus Menjadi Katarak Pembedahan terhadap katarak pada sebagian besar pasien dapat mengembalikan penglihatan dengan baik, akan tetapi insiden kejadian katarak sangat besar sehingga pembedahan saja bisa menjadi kurang efektif dalam mengatasi masalah ini (Prokofyeva, et. al., 2013). Oleh karena itu, dibutuhkan pencegahan untuk mengurangi angka kejadian katarak akibat diabetes melitus. Salah satu pencegahan pembentukkan katarak akibat dari penyakit diabetes melitus dapat dilakukan adalah dengan selalu mengontrol kadar gula dalam darah, selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan pengobatan antikatarak yang juga di dalamnya termasuk antioksidan yang berperan dalam mencegah katarak (Pollreisz & Erfurth, 2009). 1. Aldose Reductase Inhibitor Kelompok Aldose Reductase Inhibitor (ARI) terdiri dari beberapa senyawa yang dapat berasal dari tumbuhan, jaringan hewan, maupun dari molekul kecil yang spesifik. Contoh ARI alami yang berasal dari tumbuhan yaitu ekstrak dari

16

tanaman asli Ocimum sanctum, Withania somnifera, Curcuma longa, dan Azadirachta indica (Moghaddam, et. al., 2005; Halder, et. al., 2003. dalam Pollreisz & Erfurth, 2009). Beberapa studi eksperimental yang mendukung peran ARI dalam pencegahan katarak menyatakan bahwa ARI tidak hanya memperlambat pembentukan katarak, akan tetapi juga dapat mengurangi akumulasi sorbitol pada lensa yang diujikan pada tikus (Pollreisz & Erfurth, 2009). 2. Antioksidan Secara alami tubuh manusia telah menghasilkan antioksidan endogen yang berfungsi dalam menangkal radikal bebas, salah satunya adala pyruvate. Pyruvate memiliki efek dalam menghambat dan mengurangi pembentukan sorbitol dan lipid peroxidation pada lensa (Pollreisz & Erfurth, 2009). Apabila antioksidan endogen telah tertekan oleh peningkatan tekanan oksidatif dan radikal bebas, maka antioksidan dari luar dapat membantu. Suplemen antioksidan dapat mendetoksifikasi radikal bebas dan membantu dalam aktivasi transkripsi gen antioksidan endogen. Contoh suplemen antioksidan tersebut yaitu curcumin, vitamin E, and vitamin C (Thiagarajan & Manikandan, 2013). a. Vitamin C atau L-ascorbat merupakan salah satu nutrien yang larut dalam air dan dapat berperan sebagai antioksidan dalam tubuh manusia. akan tetapi, beberapa studi antikatarak yang menggunakan vitamin C menunjukkan hasil bahwa vitamin C hanya dapat mencegah katarak nuklear (Tan, et. al., 2008; Shui, et. al., 2009 dalam Thiagarajan & Manikandan, 2013).

17

b. Vitamin E atau tocopherol merupakan salah satu nutrient yang larut dalam lemak dan juga memiliki peran sebagai antioksidan. Vitamin E berperan dalam menghambat lipid peroxydation dan membantu dalam menjaga integritas dan mempertahankan fungsi membran (Kothadia, et. al., 2011 dalam Thiagarajan & Manikandan, 2013). Vitamin E telah terbukti efektif dalam mencegah katarak terkait usia (Sen, et. al., 2006 dalam Thiagarajan & Manikandan, 2013). c. Curcumin longa menunjukkan peran sebagai antioksidan yang aktif melawan radikal bebas. Sebuah literatur lain menyatakan bahwa curcumin juga

menunjukkan

aktivitas

sebagai

antikatarak

dan

mencegah

pembentukan katarak, aktivitas antikatarak tersebut pun telah diuji secara eksperimental baik secara in vivo dan in vitro (Wang, et. al. 2011). 2.7 Prognosis Katarak Prognosis penyakit katarak jika ditangani dengan cepat dan pada saat yang tepat, maka prognosis penyakit katarak bisa menjadi bonam. Akan tetapi, katarak dapat juga menjadi ad vitam, yaitu merujuk pada pengaruh penyakit terhadap kehidupan penderita. Walaupun prognosisnya tergolong bonam, fungsi dan kesembuhan akibat penyakit tersebut bisa menjadi dubia ad malam jika penanganan katarak lambat dilakukan (Menkes RI, 2014).

BAB III PENUTUP 1.1 Kesimpulan Katarak merupakan salah satu penyakti mata pada manusia yang paling sering menyebabkan kebutaan di dunia. Katarak adalah suatu keadaan lensa mata mengalami kekeruhan sehingga lensa mata jadi tertutup. Keadaan tersebut mengakibatkan mata tidak bisa menerima cahaya secara maksimal untuk memfokuskan cahaya menuju retina sehingga penglihatan menjadi tidak jelas dan kabur. Katarak dapat terjadi oleh karena berbagai faktor resiko, baik itu karena pertambahan usia, faktor keturunan, radiasi maupun karena terjadinya gangguan metabolisme dalam tubuh seperti diabetes melitus. Katarak yang muncul akibat kompikasi dari penyakit lain biasa disebut sebagai katarak sekunder. Berbagai jenis katarak dapat timbul akibat diabetes melitus, mulai dari katarak nuklear, katarak kortikal maupun katarak subkapsular posterior. Diabetes melitus dapat menyebabkan katarak karena kondisi ini akan menyebabkan hiperglikemia. Glukosa akan mengalami perubahan menjadi sorbitol dan dalam proses polyol pathway juga akan meningkatkan ROS, senyawa dan radikal bebas tersebut yang dapat menginduksi terjadinya katarak. Berbagai jalur lain yang juga berhubungan dengan metabolisme glukosa berlebihan juga ikut dalam pembentukkan katarak. Hingga saat ini, penyembuhan katarak yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan operasi atau pembedahan. Pembedahan yang paling umum dilakukan pada negara maju ialah Phacoemulsification dan MSICS pada negara berkembang. Akan tetapi, tindakan pembedahan saja tidak cukup untuk mengurangi angka kejadian katarak karena insiden katarak yang

18

19

sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan terjadinya katarak lebih awal terutama pada penderita diabetes melitus. Pencegahan katarak dapat dilakukan dengan memperhatikan diet yang sebaiknya mengandung antikatarak dan antioksidan. Antikatarak dan antioksidan yang dapat dikonsumsi dan mudah didapat yaitu berupa vitamin C, vitamin E dan curcumin. Ketiga senyawa tersebut telah mengalami pengujian dan terbukti dapat menekan pembentukan katarak dan mampu melawan radikal bebas yang dapat menyebabkan katarak.

DAFTAR PUSTAKA Alshamrani, A. Z. (2018). Cataracts Pathophysiology and Managements. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 70, 151-154. Beebe, D. C., Holekamp, N. M., & Shui, Y. B. (2010). Oxidative Damage and the Prevention of Age-Related Cataracts. Ophthalmic Res, 44, 155–165. Chen, L., Magliano, D. J., & Zimmet, P. Z. (2012). The worldwide epidemiology of type 2 diabetes mellitus—present and future perspectives. Nat. Rev. Endocrinol, 8, 228-236. Fatimah, R. N. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority, 4(5), 93-101. Hadini, M. A., Eso, A., & Wicaksono, S. (2016). Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Katarak Senilis Di RSU Bahteramas Tahun 2016. 3, 256-67. Halder N., Joshi S., Gupta S. K. (2003). Lens aldose reductase inhibiting potential of some indigenous plants. Journal of Ethnopharmacology, 86, 113–116. Hashim, Z., & Zarina, S. (2012). Osmotic stress induced oxidative damage: Possible mechanism of cataract formation in Diabetes. Journal of Diabetes and Its Complication, 26, 275-279. Irsch, K., & Guyton, D. L. (2009). Anatomy of Eyes. Researchgate, 11-16. Kaur, J., Kukreja, S., Kaur, A., Malhotra, N., & Kaur, R. (2012). The Oxidative Stress in Cataract Patients. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6, 1629-1632. Khairani, Nugrahalia, M., & Sartini. (2016). Hubungan Katarak Senilis dengan Kadar Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus di Medan. BioLink, 2(2), 110-116. Kothadia A.D., Shenoy A.M, Shabaraya A.R., Rajan M.S, Viradia U.M., Patel N.H. (2011). Evaluation of cataract preventive action of phycocyanin. Int Pharm Sci Drug Res, 3, 42 – 44. Lam, D., Rao, S. K., Ratra, V., Liu, Y., Mitchell, P., King, J., et al. (2015). Cataract. Nature Reviews, 1, 1-15. Leske, M. C., Wu, S. Y., Hennis, A., Connell, A. M., Hyman, L., & Schachat, A. (1999). Diabetes, Hypertension, and Central Obesity as Cataract Risk Factors in a Black Population. Ophthalmology, 106(1), 35-41.

20

21

Lu, Z. Q., Sun, W. H., Jiang, T. X., Zhai, S. N., & Li, Y. (2012). Cigarette smoking, body mass index associated with the risks of age-related cataract in male patients in northeast China. Int J Opthalmol, 5, 318-22. Machan, C. M., Hrynchak, P. K., & Irving, E. L. (2012). Age-Related Cataract Is Associated with Type 2 Diabetes adn Stain Use. Optometry and Vision Science, 89, 1165-1171. Menkes RI. (2014). Buku Pnaduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Moghaddam M. S., Kumar P. A., Reddy G. B., Ghole V. S. (2005). Effect of Diabecon on sugar-induced lens opacity in organ culture: mechanism of action. Journal of Ethnopharmacology, 97, 397–403. Mo’otapu, A., Rompas, S., & Bawotong, J. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Katarak di Poli Mata RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado. eKp, 3, 1-6. Mutiarasari, D., & Handayani, F. (2011). Katarak Juvenil. Inspirasi, 14, 37-50. Olafsdottir, E., Andersson, K. G., & Stefansson, E. (2012). The Prevalence of Cataract in A Population With and Without Type 2 Diabetes Mellitus. Acta Ophthalmol, 90, 334-40. Park , S., Kim, T., Cho, S. I., & Lee, E. H. (2013). Association Between Cataract and The Degree of Obesity. Optometry and Vision Science, 90(9), 101927. Patel, P., Jivani, N., Malaviya, S., Gohil, T., & Bhalodia, Y. (2012). Cataract: A major secondary diabetic complication. International Current Pharmaceutical Journal, 1(7), 180-185. Pollreisz , A., & Erfurth, U. S. (2010). Diabetic Cataract—Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Journal of Ophthalmology, 1-8. Prokofyeva, E., Wegener, A., & Zrenner, E. (2013). Cataract prevalence and prevention in Europe: a Literature Review. Acta Ophthalmol, 91, 395-405. Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI Tahun 2013. [diakses 10 April 2018]. available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas %202013.pdf. Septadina, I. S. (2015). Perubahan Anatomi Bola Mata pada Penderita Diabetes Mellitus. MKS, 47, 139-143. Sen C.K., Khanna S., Roy S. Tocotrienols: Vitamin E beyond tocopherols. (2006) Life Sci, 78, 2088 – 2098.

22

Shaw J.E., Punjabi N.M., Wilding J.P., Alberti K.G. & Zimmet P.Z. (2008). Sleep-disordered breathing and type 2 diabetes: a report from the International Diabetes Federation Taskforce on Epidemiology and Prevention. Diabetes Res. Clin. Pract, 81, 2–12. Snow , A., Shieh, B., Chang , K. C., Pal, A., Lenhart , P., Ammara, D., et al. (2015). Aldose reductase expression as a risk factor for cataract. ChemicoBiological Interactions, 1-7. http://dx.doi.org/10.1016/j.cbi.2014.12.017 Tang, W. H., Martin , K. A., & Hwa, J. (2012). Aldose reductase, oxidative stress, and diabetic mellitus. Frontiers in Pharmacology, 3, 1-8. Thiagarajan, R., & Manikandan, R. (2013). Antioxidants and cataract. Free Radical Research, 47, 337-345. Tan A.G., Mitchell P., Flood V.M., Burlutsky G., Rochtchina E., Cumming R.G. (2008). Antioxidant nutrient intake and the long-term incidence of agerelated cataract: the Blue Mountains Eye Study . Am J Clin Nutr; 87, 1899 – 1905. Shui Y.B., Holekamp N.M., Kramer B.C., Crowley J.R., Wilkins M.A., Chu F., et al. (2009). The gel state of the vitreous and ascorbate dependent oxygen consumption: relationship to the etiology of nuclear cataracts. Arch Ophthalmol; 127, 475– 482. Wang T., Zhang P., Zhao C., Zhang Y., Liu H., Gao Y., et al. (2011). Prevention effect in selenite-induced cataract in vivo and antioxidative eff ects in vitro of Crataegus pinnatifi da leaves. Biol Trace Elem Res; 142, 106-116. WHO.

(2010). Priority eye diseases. [Online] Available from: http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index1.html [Accessed 20 April 2018.

Related Documents

Dika
November 2019 30
Dika
May 2020 20
Dika
June 2020 12
Dika Poex (sepeda)
June 2020 8

More Documents from ""