Epidemiologi Leptospirosis(1).docx

  • Uploaded by: Riandy Pratama
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Epidemiologi Leptospirosis(1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,216
  • Pages: 33
EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS

MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Epidemiologi Yang diampu oleh dosen Reynie Purnama Raya, S.KM., M. Epid.

Disusun Oleh FAHIRA NURFITRIA

043-315-16-1-011

Kelas : S1-2A

PRODI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT BANDUNG 2018

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ini sendiri adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh sebab itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Reynie Purnama selaku dosen Epidemiologi yang telah memberikan tugas makalah ini dan juga semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari

bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari segi penyusunannya ataupun dari segi materinya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik dan juga masukan yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini. Walaupun demikian penulis mengharapkan semoga makalah ini berguna dan bermanfaat untuk menambah wawasan serta pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

BANDUNG, 2 Mei 2018

Penulis

ii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………....................i KATA PENGANTAR…………………………………………….......................….....ii DAFTAR ISI……………………………………………………….........................….iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang….......……………………………….......................…….1 1.2 Rumusan Masalah.....……………………………….......................……..2 1.3 Tujuan…………..…………………………………......................….…....2 1.4 Manfaat…………………....…………………….......................…...….…2 1.5 Metode Penyusunan Makalah…..............……….......................……......2 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Leptospirosis.....................................................................................4 2.2 Riwayat

Alamiah

Penyakit

Leptospirosis..........................................................4 2.3 Faktor

Risiko

Kasus

Penyakit

Leptospirosis

pada

Manusia...........................9 2.4 Pengendalian

dan

Pencegahan

Penyakit

Leptospirosis...................................11 2.5 Frekuensi

dan

Distribusi

Kejadian

Antraks

di

Indonesia......................13 BAB 3 PENUTUP 3.1 KESIMPULAN………………………………………………..…...........20 3.2 SARAN…………………………………………………………..............20 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………............21

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan penduduk terjadi di seluruh dunia, dimana masalah kesehatan terutama menjadi ancaman di negara yang sedang berkembang dan akibatnya masalahmasalah kesehatan semakin tidak terkontrol. Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di indonesia, penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya propinsi, daerah atau bahkan negara (Kemenkes RI, 2003). Leptospirosis merupakan penyakit yang di sebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang menyerang hewan dan manusia (CDC, 2014). Ciri-ciri umum penyakit Leptospirosis adalah demam dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, mialgia berat (betis dan kaki), dan merah pada conjungtiva (Chin, 2009). Leptospirosis termasuk salah satu Neglected Tropical Diaseases (NTDs) yang mendapatkan perhatian serius oleh WHO karena memiliki dampak kesehatan yang cukup signifikan di negara-negara tropis seperti di wilayah Amerika dan Asia (WHO, 2014). Penyakit ini dapat berdampak pada sistem keuangan dampak sosial pada keluarga korban (Colleen, dkk, 2010). Kasus Leptospirosis sering tidak terlaporkan karena memiliki gejala klinis yang tidak spesifik dan seringkali terjadi differential diagnosis (WHO, 2009). Jika Leptospirosis tidak ditangani dengan cepat, maka akan menyebakan kematian pada penderitanya karena bakteri Leptospira akan menyerang hati, ginjal dan otak (WHO, 2014). Leptospirosis memiliki distribusi di seluruh dunia, dengan insiden yang lebih tinggi di daerah beriklim tropis, terutama setelah hujan deras atau banjir akibat badai (CDC, 2013). Di negara beriklim tropis (hangat), insiden Leptospirosis biasanya terjadi sebanyak 10-100 per 100.000 penduduk setiap 2 tahunnya, sedangkan di negara beriklim sedang insiden Leptospirosis lebih sedikit terjadi yaitu 0,1-1 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Pratiwi, 2012). Penyakit Leptospirosis memiliki insiden tinggi di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara dan Oceania (William, 2007). Bulan September tahun 2009 pernah terjadi wabah Leptospirosis di Metro Manila, Filipina yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 471 kasus dan meninggal sebanyak 51 sehingga Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10,8% (CDC, 2011). Wabah besar penyakit pernah dilaporkan di Asia Tenggara yaitu di Orrisa, Mumbai dan Indonesia (Victoriano, et.al, 2009). Internasional Leptospirosis Society menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan insiden Leptospirosis yang cukup tinggi dan untuk angka kematiannya Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia setelah Uruguay dan India, yaitu dengan angka kematian sebesar 16,7% (WHO, 2004 ). Perkembangan Leptospirosis di Indonesia terjadi secara fluktuatif. Pada tahun 2007, CFR Leptospitosis sebesar 8,2%,, tahun 2008 menurun sebesar 6,0%, tahun 2009 naik kembali menjadi 6,87%, tahun 2010 naik menjadi 10,51%, dan tahun 2011 turun kembali menjadi 9,57% (Depkes RI, 2009, Depkes RI, 2011 dan Depkes RI, 2014). Daerah persebaran Leptospirosis di Indonesia meliputi Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat (Depkes, 2008). Di Indonesia, kasus 1

leptospirosis pada tahun 2014 tersebar di empat provinsi, yaitu DKI Jakarta,Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Boyolali merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dilaporkan telah terjadi kasus leptospirosis. Kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali pertama kali teridentifikasi pada tahun 2012.Kemudian pada tahun 2014 di Kabupaten Boyolali dinyatakan telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis dengan peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (CFR sebesar 33,3%). Daerah dengan jumlah kasus maupun kematian dengan insiden 3 tertinggi adalah daerah beberapa daerah yang sering mengalami banjir terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2009). Jakarta merupakan provinsi yang sering terkena banjir. Wilayah Jakarta tidak lepas dari bencana banjir dari sejak awal Jakarta berdiri hingga sekarang (Depkes RI, 2014). Pada tahun 2002, terjadi outbreak Leptospirosis seiring dengan terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO 2011). Hasil penelitian di Jakarta selama kurun waktu musim hujan pada bulan Februari sampai bulan April 2002 menyebutkan bahwa CFR Leptospirosis sebesar 19,4% (Armandari, 2005). Pada bulan februari tahun 2007 juga terjadi banjir besar yang mengakibatkan meningkatnya kasus Leptospirosis yaitu dengan CFR sebesar 5,71% (Dwiari, 2007). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tahun 2014 Jakarta menyebutkan bahwa selama periode Januari-Februari 2014 telah terjadi banjir di Jakarta dan wilayah Jakarta yang paling sering banjir adalah Jakarta Barat, kemudian Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Daerah di Jakarta Barat yang paling sering terkena banjir adalah wilayah kecamatan Cengkareng. Terjadinya banjir ini ditakutkan akan berpengaruh dengan timbulnya penyakit Leptospirosis. Selama periode tersebut Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta melaporkan kejadian Leptospirosis di Jakarta sebanyak 97 kasus dan 18 meninggal (CFR 18,5%). Dari 97 kasus tersebut, kasus terbanyak terdapat di Jakarta Barat (62 kasus dengan CFR16,1%). Dan dari 62 kasus terbanyak di Jakarta Barat, kasus 4 terbanyak di temukan di Kecamatan Cengkareng yaitu sebanyak 26 kasus dengan CFR 15,3%. Banjir merupakan salah satu media transmisi Leptospira yang berasal dari urin tikus. Air banjir akan membawa Leptospira ke daerah yang lebih luas sehingga bisa dengan mudah masuk ke tubuh manusia melalui kontak dengan air tersebut, melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014 dan Vijayachari, dkk, 2008). Selain banjir, banyak faktor yang bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Faktor yang bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis di antaranya adalah: faktor umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, riwayat luka, dan personal hygiene (WHO, 2014 dan Depkes RI 2013). Keberadaan tikus, ketinggian air, keberadaan sampah, sarana pembuangan air limbah (SPAL), ketersediaan air bersih, dan status pengungsian juga berpengaruh dengan kejadian Leptospirosis (Depkes RI, 2014; Rejeki, 2005 dan Chin, 2009).

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah yang dimaksud dengan leptospirosis? 2

b. Bagaimanakah riwayat alamiah penyakit leptospirosis? c. Bagaimanakah faktor resiko kasus leptospirosis pada manusia? d. Bagaimanakah pengendalian dan pencegahan penyakit leptospirosis? e. Bagaimanakah frekuensi dan distribusi leptospirosis di indonesia khususnya di Kabupaten Boyolali ? 1.2 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis mengambil tujuan sebagai berikut: a. Menjelaskan pengertian leptospirosis. b. Menjelaskan riwayat alamiah penyakit leptospirosis. c. Menjelaskan faktor resiko kasus leptospirosis pada manusia. d. Bagaimanakah pengendalian dan pencegahan penyakit leptospirosis. e. Menjelaskan frekuensi dan distribusi leptospirosis di indonesia khususnya di Kabupaten Boyolali. 1.4 Manfaat Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoretis makalah ini berguna sebagai pengembangan tentang epidemiologi leptospirosis. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi : a. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan konsep keilmuan khususnya tentang epidemiologi leptospirosis. b. Pembaca, sebagai media informasi tentang epidemiologi antraks secara teoretis maupun praktis.

1.5 Metode Penyusunan Makalah Metode yang dipakai dalam karya tulis ini adalah : a. Metode pustaka Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi dari internet. b. Diskusi

3

Mendapatkan data dengan cara berdiskusi dengan dosen dan juga teman-teman yang mengetahui informasi yang diperlukan dalam pembuatan makalah ini. Berikut nama teman yang ikut memberikan pemikirannya dalam pembuatan makalah ini: 1. Jabal Rahman Mahasiswi Universitas Diponogoro jurusan Biologi angkatan 2016. 2. Heri Harsono Mahasiswa STIKep PPNI Jabar jurusan Keperawatan angkatan 2016.

4

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Leptospirosis Menurut Depkes RI (2013), Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, menyerang hewan dan manusia. Sedangkan zoonosis adalah penyakit yang secara alami dapat di pindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Patogenesis Leptospirosis masih banyak belum diketahui. Penularan Leptospira pada manusia melalui kontak seperti langsung dengan urin hewan maupun kontak tidak langsung. Masa inkubasi antara 4-19 hari atau dengan rata-rata 10 hari. Kemudian bila manusia yang terinfeksi Leptospira, 10 maka Leptospira akan berkembang biak/memperbanyak diri dan menyebar ke organ dan jaringan tubuh. Dengan dijumpainya Leptospira di dalam darah disebut sebagai fase Leptospiremia atau fase pertama. Selama fase ini Leptospira dapat di isolasi dari darah dan cairan cerobropinal (Cerebrospinal Fluid= CSF). Leptospira mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler yang dapat menyebabkan Vasculitis, dimana sangat berperan pada penyakit ini. Pada Leptospirosis berat, Vasculitis menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga ini dapat mengakibatkan keluarnya cairan karena pembuluh darah bocor serta mengakibatkan penurunan jumlah cairan pembuluh darah. sebagian besar Leptospira akan menginfeksi ginjal dan hati. Leptospira di dalam ginjal akan menyebar ke jaringan interstisial dan jaringan tubulus yang berakibat terjadinya nephiritis interstinal dan nekrosis tubuler (Depkes RI, 2013). Penurunan jumlah cairan di pembuluh darah yang erat hubungannya dengan dehidrasi atau perubahan permeabilitas kapiler mendukung timbulnya gagal ginjal (renal failure). Pada hati terjadi nekrosis sentrilobuler dan ditemukan proliferase sel kupfer. Pada paru-paru didapatkan lesi vaskuler karena reaksi immunologi dan perdarahan lokal. Pada otot rangka dapat di jumpai pembengkakan vakuolasi myobril dan nekrosis fokal. Dengan adanya respons imun humoral dan celular, Leptospira akan menghilang atau menurun jumlahnya yang berakibat timbulnya antibodi disebut fase imun atau fase kedua. Meskipun demikian Leptospira dapat menetap pada area yang secara immunologis terisolasi, misalnya di dalam tubulus proksimal ginjal, mata, dan mungkin dalam otak. Pada penderita Leptospirosis berat terjadi perbaikan fungsi ginjal dan fungsi hati seperti semula, hal ini terjadi karena tidak didapatkan kerusakan struktur organ tersebut. Untuk fase penyembuhan atau konvalesen atau fase ketiga terjadi pada minggu ke dua sampai dengan ke empat. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis adalah Rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domb, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai karier dari Leptospira (Depkes RI, 2008)

2.2 Riwayat Alamiah Penyakit Leptospirosis a. Tahap Prepatogenesis Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan

5

sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak .Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus .Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.

Leptospirosis biasanya dapat melalui tikus. Penyakit ini dapat ditularkan melalui air ( water borne disease ). Dan urin dari individu yang telah terserang bakteri Leptospira sp. merupakan sumber utama penularan penyakit ini. Ada dua cara penularan Leptospirosis, yaitu: - Secara langsung: terjadi kontak antara manusia dengan hewan yang telah terkena bakteri Leptospira, sp. - Secara tak langsung: melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita leptospirosis. Misalnya: air kencing tikus terbawa banjir, dan terjadi kontak antara manusia dengan air yang sudah tercemar oleh air kencing tikus yang telah terserang bakteri Leptospira sp. Kuman leptospira biasanya memasuki tubuh melalui luka atau lecet kulit, dan kadang-kadang melalui selaput di dalam mulut, hidung, dan mata.

b. Tahap patogenesis 1.

Tahap inkubasi Masa inkubasi penyakit Leptospirosis pada manusia yaitu 2-26 hari.

2.

Tahap penyakit dini / masa klinis Timbul masalah kesehatan seperti demam, batuk kering, nyeri tenggorokan,

nyeri dada, nyeri otot, nyeri kepala, takut cahaya, muntah, dan mata merah. Tapi ada juga penderita yang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang disebutkan di atas. 6

3.

Tahap penyakit lanjut / masa laten

Pada penderita leptospirosis yang lebih lanjut dapat menimbulkan penyakit yang lebih parah seperti:

-

Sindrom Weil

Yaitu bentuk leptospirosis berat yang ditandai dengan jaundis (kulit dan mukosa menjadi kuning), disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan.

·

Tanda pada paru-paru: terjadi batuk,, nyeri dada, sputum darah, dan gagal

napas.

·

Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal.

·

Jika menyerang hati akan terdapat ikterus ( penyakit kuning ), hepatomegali (

perbesaran hati ), perdarahan dan perbesaran limpa ( splenomegali ).

·

Perdarahan subkonjungtiva: yaitu komplikasi pada mata. Hal ini sering

terjadi pada 92% penderita leptospirosis.

·

Makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut,

pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononukleosis.

·

Komplikasi ke selaput otak ( terjadi radang otak/ meningitis) dapat

menimbulkan gejala nyeri kepala, kejang-kejang, leher kaku, dan penurunan kesadaran.

·

Pada penderita leptospirosis dengan usia lanjut ( 50 tahun ke atas ) dengan

gangguan hati dapat mengakibatkan risiko kematian sebesar 20-49 persen.

4.

Tahap penyakit akhir

- Sembuh sempurna 7

penderita diberi obat berupa antibiotik sebelum penyakit semakin parah. Hal ini memungkinkan si penderita akan sembuh total dari leptospirosis.

- Sembuh dengan cacat Misal pada penderita leptospirosis yang mengalami komplikasi pada mata (perdarahan subkonjungtiva) bisa mengakibatkan kebutaan bila terjadi perdarahan yang cukup berat.

- Karier Pada umumnya leptospirosis diobati menggunakan antibiotik. Jika si penderita merasa sudah sembuh dan menghentikan meminum antibiotik, padahal belum habis. Maka kuman penyebab leptospirosis itu hanya melemah dan tidak sembuh sempurna, sehingga dapat kambuh sewaktu-waktu jika ada faktor pemicunya.

c. Trias Epidemiologi Leptospirosis a. Agent Menurut Bustan (2008) faktor agent adalah suatu unsur organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. faktor agent dapat meliputi: faktor nutrisi, penyebab kimiawi, penyebab fisik seperti radiasi, penyebab biologis, metazoa, virus, jamur dan lain sebagainya. adapun Agent pada kejadian Leptospirosis adalah Bakteri Leptospira. Buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular oleh James Chin yang di terjemahkan oleh Nyoman Khandun (2009) menyebutkan bahwa penyebab penyakit Leptospirosis adalah Leptospira, anggota dari ordo Spirochaetales. Leptospira yang menularkan penyakit termasuk kedalam spesies Leptospira Interrogans, yang dibagi lagi menjadi berbagai serovarian. Lebih dari 200 serovarian telah diketahui, dan semuanya terbagi dalam 23 kelompok (serogroup) yang di dasarkan pada keterkaitan serologis. Perubahan penting dalam penamaan (nomenklatur) Leptospira sedang di buat di dasarkan atas keterkaitan DNA. Serovarian yang umum di temukan di AS adalah Icterohaemorrhagiae, Canicola, Autumnalis, Hebdomisis, Australis dan Pomona.

b.Host 8

Dalam hal ini yang menjadi host pada penyakit leptospirosis yaitu Menurut Bustan (2008), Faktor host (tuan rumah, penjamu) adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung, dan antropoda yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. komponen host dapat berupa genetik, umur, jenis kelamin, suku, keadaan fisiologi tubuh, keadaan imunologi, tingkah laku, gaya hidup, personal hygiene dan lain sebagainya. Adapun komponen host yang berkaitan dengan kejadian Leptospirosis diantaranya adalah: a. Umur Kejadian suatu penyakit sering dikaitkan dengan umur. Aulia (2012) menyebutkan bahwa kejadian Leptospirosis tidak terjadi pada spesifik umur tertentu. Leptospirosis diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara balita sampai lansia yaitu 1 tahun sampai lebih dari 65 tahun. CDC

(2012)

menyebutkan

usia

rentan

terhadap

(1991)

menyebutkan

bahwa

infeksi bahwa

manusia

dengan

Leptospirosis. umur

yang

segala

Sedangkan paling

lapisan

Hadisaputro

banyak

terkena

Leptospirosis adalah antara 40-60 tahun. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian bisa mencapai 56 % yang disertai selaput mata berwarna kuning

(kerusakan

jaringan

hati), risiko

kematian

akan lebih tinggi

(Cahyati,2009). Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa selain laki-laki usia 18-57 tahun, kasus juga banyak terjadi pada usia dewasa antara usia 20 sampai 50 tahun. Subroto (1981) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa Leptospirosis

kerap

dijumpai

pada

usia

dewasa

mungkin

karena

pekerjaan mereka banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Leptospirosis jarang terjadi pada anakanak dan balita

karena

sekali Penelitian

pada

terpapar Rejeki

kenyataannya

infeksi (2005)

anak-anak

Leptospirosis menunjukkan

dan

(Sehgal bahwa

kasus

balita

sedikit

et.al,

1991).

Leptospirosis

terbanyak ditemukan pada rentang umur 40– 49 tahun. Penelitian Ketaren (2009) menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi

pada

umur

20-30

tahun.

Penelitian

Armandari

(2005)

menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis berumur <35 tahun yaitu 49 orang (51,6 %) dan >=35 sebesar 46 orang (48,4%).

9

Penelitian

Haida

(2013)

menunjukkan

bahwa

penderita

Leptospirosis

yang berumur 1 -39 tahun sebanyak 35 orang (52,2%) sedangkan yang berusia >39 tahun sebanyak 32 orang (4,7,8%). b. Jenis Kelamin Seghal et.al (1991) menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki risiko yang sama untuk terinfeksi Leptospirosis, akan tetapi laki-laki

memiliki

resiko

yang

lebih

besar

16 untuk terinfeksi Leptospirosis. Hal ini mungkin diakibatkan karena lakilaki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Pada saat banjir laki-laki biasanya turun langsung membersihkan lingkungan sehingga kemungkinan terpapar kotoran rodent

lebih

Pernyataan bahwa

diatas

Salah

Leptospirosis

didukung

satu adalah

oleh

faktor jenis

besar.

Poeppl

yang

(2013)

juga

berkontribusi

kelamin.

Pengujian

menyebutkan

terhadap

terhadap

kejadian

216

sampel

ditemukan seropositif paling banyak ditemukan pada jenis kelamin lakilaki berusia

18-

57

dipengaruhi

oleh

berpartisipasi

tahun.

Dominasi

kecenderungan

dalam

kegiatan

di

laki-laki

umur

mereka

yang

luar

ruangan

18-57 lebih

tahun

besar

sehingga

ini

untuk mereka

mempunyai risiko lebih tinggi untuk terpapar. Meskipun demikian, tidak ada hubungan antara kegiatan di luar ruangan dan antibodi terhadap Leptospira Hasil

spp.

penelitian

ini

sejalan

dengan

penelitian

Maesyarokh

(2011)

yang menunjukkan bahwa Leptospirosis lebih banyak pada kelompok laki-laki

dari

pada

perempuan.

Penelitian

Ketaren

(2009)

juga

menunjukkan jenis kelamin penderita Leptospirosis yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 53%. Goris et al (2013) menyebutkan bahwa dari 2.532 pasien, 2.306 (91,1%) adalah pasien laki-laki. Vieira et al (2006) menunjukkan bahwa dari 443 responden 73% nya adalah laki-laki. Penelitian Prastiwi (2012) menyebutkan 77,1% penderita Leptospirosis 17 adalah laki-laki. Penelitian Armandari (2005) juga menunjukkan bahwa penderita

Leptospirosis

Sedangkan

penelitian

sebagian Manurung

10

besar

adalah

(2006)

laki-laki

menunjukkan

yaitu

53%.

penderita

Leptospirosis sebagian besar adalah perempuan yaitu sebesa 66,8% c. Pengetahuan Notoatmodjo

(2003)

menyebutkan

bahwa

pengetahuan

adalah

suatu faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan

merupakan

domain

yang

sangat

penting

untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Orang yang mempunyai pengetahuan yang

baik terntang

suatu

penyakit

maka

kemungkinan

besar akan

memcegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan bahwa pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit termasuk penyakit

Leptospirosis.

Rahim,

dkk

(2012)

menyebutkan

bahwa

survei

pengetahuan

merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi beresiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk perubahan perilaku. Arikunto (2010) berpendapat bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan skala pengukuran yang bersifat kualitatif. Tingkat pengetahuan tersebut terdiri dari: 1. Baik : hasil 76 %-100 % 18

2.

Cukup

Penelitian

:

Arau´

hasil jo,

56 dkk

%-75 (

%

2013)

3.

Kurang

menunjukkan

:

hasil bahwa



55

dari

% 257

orang yang diwawancarai, 232 (90,3%) sebelumnya pernah mendengar tentang

Leptospirosis.

Armandari

(2005)

penelitian

menunjukkan

ini

juga

bahwa

sejalan

penderita

dengan

Penelitian

Leptospirosis

yang

memiliki pengetahuan tinggi lebih sebesar yaitu 48 orang (50,5%). Penelitian Wiwanitkit (2006) yang menunjukkan bahwa 80% penderita Leptospirosis memiliki pengetahuan rendah. Penelitian Okatini (2007) menunjukkan adanya hubungan tingkat antara pengetahuan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000. Penelitian Armandari (2005) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000 dan OR 17,65. d. Pekerjaan Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalalah berasal dari pekerjaan (WHO, 2011). Kelompok Pekerja yang bekerja sebagai dokter hewan, peternak, tukang potong daging, pekerja pengendali jumlah tikus, petani padi dan tebu, pekerja tambang, nelayan, tentara dan pekerja lain yang sering kontak langsung dengan hewan

11

merupakan kelompok yang berisiko terhadap kejadian Leptospirosis (Chin, 2009). Hal ini terkait dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut memiliki kemungkinan yang besar bersentuhan dengan cairan tubuh atau urin dari

hewan

yang

terinfeksi

Leptospirosis.

Sedangkan

petani,

militer

19 dan atlet olah raga air berisiko terkena infeksi Leptospirosis secara tidak langsung yaitu dari lingkungan atau air dan tanah yang terkontaminasi (Depkes RI,

2008).

Penelitian

Ketaren

(2007)

menunjukkan

bahwa

sebagian

besar

penderita Leptospirosis mempunyai pekerjaan tidak berisiko yaitu 93,9%. Penelitian

Rejeki

(2005)

juga

menyebutkan

bahwa

sebagian

besar

penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko yaitu sebanyak 92%. Penelitian Manurung (2006) menyebutkan penderita yang memiliki pekerjaan tidak

berisiko

sebanyak

91,5%. Dan Penelitian Armandari

(2005) menunjukkan penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko

sebesar

98,9%.

Berdasarkan analisis bivariat, hasil penelitian dari Marunung 2006 menunjukkan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian Leptospirosis, yaitu dengan nilai p=0,78. Penelitian Armandari (2005) menyebutkan bahwa responden dengan pekerjaan berisiko mempunyai risiko untuk mengalami Leptospirosis sebesar 0,24 kali. Penelitian Priyanto menunjukkan bahwa pekerjaan berisiko untuk terjadinya Leptospirosis yaitu dengan nilai pvalue= 0,001 Depkes

OR=17,36. RI

(2013)

e.

menyebutkan

bahwa

Riwayat salah

satu

Luka cara

bakteri

Leptospira masuk ke tubuh manusia adalah melalui kulit yang lecet atau luka. Hal ini sesuai dengan WHO (2014) yang menyebutkan bahwa bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet 20 pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi. Depkes RI (2005) infeksi dengan leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui kulit utuh yang terpapar dalam waktu cukup lama dengan genangan air yang

terkontaminasi.

12

Depkes

RI

Leptospira abrasi,

(2008) dapat

mukosa

juga

melalui (cavitas

menyebutkan permukaan

bahwa

mukosa

buccaelbuccal

cavity),

masuknya

bakteri

misalnya

melalui

luka

saluran

hidung

atau

conjunctiva. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinis akan bervariasi tergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan pada umurnya. Bakteri Leptospira ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti

hati,

limpa,

ginjal

dengan

ditandai

perubahan

patologis.

Mekanisme imunitas akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan

ginjal

Penelitian

Cahyati

serta

berada

(2009)

yang

di

tubular

menunjukkan

bahwa

ginjal. dari

15

responden yang menderita Leptospirosis 80%. Penelitian Cahyati (2009) ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat adanya luka dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 6,000. Penelitian Prastiwi (2012) dan Maesyarokh

(2011)

juga

menyebutkan

21 riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 10,000. Penelitian Maesyarokh (2011) juga menyebutkan bahwa riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan OR=5,0 f. Status Pegungsian UU RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Menurut Depkes RI (2011) status pengungsian dapat digunakan untuk pengendalian penyakit yaitu dengan pengamatan penyakit (surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan kasus) yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Orang yang mengungsi di tempat yang telah ditentukan akan lebih mudah di pantau masalah kesehatannya. Dalam kaitannya dengan penyakit Leptospirosis pengungsian dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi pengungsi untuk kontak dengan air banjir yang ditakutkan terinfeksi bakteri Leptospira. g. Personal Hygiene Widoyono (2008) menyebutkan bahwa bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan rantai

penularan.

Hal

ini

13

dapat

dilakukan

dengan

cara

22 menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang tidak hygiene dan perilaku individu yang tidak hygiene dapat mempermudah penularan penyakit. Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat dilakukan individu adalah dengan menjaga kebersihan individu (personal Hygiene) yaitu dengan cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan sabun setelah pergi kesawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu upaya pencegahan lainnya juga bisa dilakukan menutup makanan dan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak dengan air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan (CDC, 2010). Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui poripori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lendir,tubuh yang lecet, den melalui makanan yang terkontaminasi. Penelitian Michael, et.al (2004) menunjukan bahwa tidak mengenakan sepatu di lapangan berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 2,17. Penelitian Supraptono dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ada hubungan

antara

tidak

23 memakai alat pelindung diri dengan kejadian Leptopirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 266,3. Hasil penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa ada kebiasaan mandi/mencuci di sungai berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 12,24.

c.Lingkungan Bustan (2008) menyebutkan bahwa environment (lingkungan) adalah semua faktor luar dari suatu individu. Komponen lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, biologi, dan sosial. komponen lingkungan yang memiliki potensi terhadap kejadian Leptospirosis meliputi: kondisi selokan, keberadaan sampah, curah hujan, ketinggian air, tatanan rumah, pH tanah dan PH air. a. Ketinggian Genangan Air Pada Saat Banjir Ketinggian genangan air pada saat banjir dianggap bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Genangan air yang tinggi pada saat banjir akan membuat banjir semakin lama surut

14

sehingga bakteri Leptospirosis akan lebih lama berada bersama air genangan banjir tersebut. Bakteri Leptospira dapat bertahan pada suhu 28-30 °C dan PH 7,2 - 8,0 (Chin, 2009). PH ini merupakan PH Air yang netral sehingga bakteri Leptospira dapat hidup lama dan menetap pada air genangan banjir yang ada. Semakin tinggi genangan air banjir dan semakin lama banjir maka akan mengakibatkan semakin lama responden untuk kontak dengan air genangan akibat banjir tersebut. Bakteri Leptospira yang berada pada genangan air pada saat banjir tersebut dapat masuk ke dalam tubuh jika bagian tubuh tersebut terendam lama pada air yang terinfeksi yaitu masuk melalui luka atau pori-pori (CDC,

2012).

Penelitian

yang

telah

dilakukan

menunjujukkan

bahwa

ada

25 kecenderungan jumlah penderita Leptospirosis meningkat setelah lama banjir sampai 3 hari atau lebih (Gindo, 2002 dalam Ketaren, 2009). Selain itu ketinggian air genangan yang tinggi dan lama akan mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Air banjir dapat mengotori atau mengkontaminasi rumah maupun bahan makanan yang tidak tertutupi sehingga apabila air genangan banjir tersebut terinfeksi bakteri Leptospira maka

rumah

Ketinggian

atau

bahan

genangan

upaya

pencegahan

(2010)

menyebutkan

air

bahwa

dilakukan

pada

saat

yang

dapat

digunakan

dan

sarung

tangan.

ketinggian

dengan

lutut

pada

seseorang

bisa

ingin

makanan

maka

salah

banjir

satu

adalah

air

air

genangan alas

APD

mempengaruhi

Leptospirosis.

banjir.

Diri

Salah

termasuk

banjir

tinggi

sepatu

CDC

Leptospirosis

Pelindung

kaki

seperti

Leptospira.

pencegahan

Alat

genangan

penggunaan

dapat

upaya

memakai

bakteri

kejadian

menggunakan

dengan

Bila

saat

tercemar

terhadap

cara

kontak

akan

(APD)

satu

APD

sepatu

boot

dan boot

melebihi pada

saat

banjir akan sia-sia karena sepatu boot yang ada pada saat ini rata-rata hanya

mampu

Penelitian

Dwiari

melanda

DKI

genangan

di

cm

melindungi

dengan

dibandingkan

(2007)

Jakarta

menunjukkan

pada

setiap kelurahan

sampai

bulan

air

bahwa Februari

bervariasi

lutut

yaitu

pada 2007,

antara

rata-rata

ketinggian

genangan

dengan

kasus

Leptospirosis,

diperoleh

Jakarta

lebih

tersebar

saja.

saat

banjir

ketinggian

10

cm

sebesar

49

air

hingga

250

cm.

Bila

gambaran

bahwa

26 kasus

Leptospirosis

rata-rata

ketinggian

di air

genangan

banyak

akibat

banjir

yang

di

wilayah

lebih

tinggi

dengan yaitu

antara 51-100 cm. b. Keberadaan Sampah Adanya kumpulan sampah di sekitar rumah

15

akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Keberadaan sampah terutama sampah sisa– sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak memenuhi syarat (tertutup) kkan

bahwa

sebagian

besar

rumah

responden terdapat sampah yaitus sebanyak (73,2%), berdasarkan analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara adanya sampah dalam rumah dengan kejadian Leptospirosis (p=0,000) dan OR 8,46 c. Tatanan Rumah Depkes RI (2000) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa keadaan dalam rumah harus bersih dan teratur artinya rumah tertata dengan baik, rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju bergelantungan perabotan tersusun rapi dan bersih. Peraturan Pemerintah no. 81 tahun 2012 menyebutkan bahwa adanya tumpukan barang-barang bisa mengakibatkan perkembangan Hasil

penelitian

menunjukkan tidak

habitat

bahwa

memenuhi

Ramadani

(2010)

Leptosporosis

sejalan

dengan

sebagian

syarat. yang

memiliki

penelitian

besar

penelitian

Armandari

responden ini

menunjukkan tatanan

tikus.

rumah

(93%)

sejalan bahwa tidak

dengan sebagian

rapi

yaitu

(2005)

yang

tatanan

rumahnya

hasil

penelitian

besar

penderita

sebanyak

71,8%

27 Penelitian Ramadani (2010) menunjukkan bahwa Penataan Perabot rumah yang semrawut/tidak rapi berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai pvalue sebesar 0,013 d. Curah hujan Hujan deras akan menyebabkan banjir sehingga meningkatkan risiko Leptospirosis dengan membawa bakteri dan binatang lebih dekat dengan manusia. Bakteri akan cepat lebih cepat menyebar bila bercampur dengan air banjir. Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri Leptospira pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi (Chin, 2009). Hasil penelitian Rejeki, 2005 menunjukkan bahwa tingginya curah hujan berisiko terkena Leptospirosis sebesar 37 kali dibandingkan dengan curah hujan rendah. e. Ketersediaan Air Bersih Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa tujuan penyehatan lingkungan adalah untuk mengatur tatalaksana penyediaan, pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi. Adanya air bersih akan membantu menurunkan risisko terjadinya penyakit menular seperti diare, typus, scabies, Leptospirosis dan penyakit lainnya. Tidak tersedianya air bersih dapat ditandai dengan masih digunakannya air genangan banjir atau air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, memasak dan minum. Seperti yang telah diketahui

bakteri

Leptospira

dapat

masuk

ke

tubuh

manusia

28 melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi, makanan dan air yang

16

terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014 dan Chin, 2009). Seghal

(1991)

melindungi dengan

menyebutkan

dari

kontaminasi

menjaga

pengerat

(tikus)

dikonsumsi Penelitian responden

sumber dan

kuman air

perlu

hendaknya Okatini yang

untuk

Leptospira

bersih

air

pada

yang

diadakan

(2007) memiliki

bahwa

direbus

masyarakat

adalah

dari

serta

binatang

apabila

sehingga

menunjukkan

ketersediaan

dan

digunakan

khlorinisasi

yang

mengontrol

air

bersih

mendidih.

bahwa tidak

untuk

78,9% memenuhi

syarat. f. PH Tanah dan PH Air Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (28-30 C) dan pH relatif netral (pH 7,2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri Leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur antara 28°C-30°C. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara 6,7-8,5 Menurunkan pH air sawah menjadi asam yaitu dengan pemakaian pupuk/bahan-bahan kimia

menyebabkan

jumlah

dan

virulensi

bakteri

Leptospira

berkurang.

29 Hasil penelitian Rejeki (2005) dan Priyanto (2009) penelitian Rejeki menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara pH tanah dengan kejadian Leptospirosis dengan pvalue 0,361 OR 0,3 Priyanto dengan Pvalue 0,523 dan OR=1,28. g. Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk ke dalam rumah. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan selokan di lingkungan rumah. Peran selokan sebagai media penularan penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira (Suratman, 2006). Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus (Field Book, 2009). Sedangkan menurut Rejeki (2005) selokan sehat bila aliran selokan lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat ada hujan, tidak dilewati tikus. Darmodjono

(2001)

di

dan

got-got

pembawa

menyebutkan selokan-selokan,

mikroorganisme

bahwa sedangkan

Leptospira

30

17

tikus

maka

tikus

senang merupakan diupayakan

bersarang hewan selokan

selokan

tidak

menjadi

sarang

tikus

dan

airnya

mengalir

(tidak Penelitian penderita

dengan

lancar

menggenang). Rejeki

(2005)

Leptospirosis

menunjukkan

memiliki

kondisi

bahwa selokan

sebagian yang

buruk

besar yaitu

69%. Penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kondisi selokan yang buruk dengan kejadian Leptospirosis (p=0,002 dan OR 3,28). Penelitian Okatini (2007) menunjukkan bahwa spal yang buruk berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 1,98 h. Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent (tikus). Untuk melihat keberadaan tukus bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan secara visual. Yaitu dengan melihat adanya tanda tanda keberadaan tikus berupa kotoran tikus dan/atau jejak kaki tikus. Selain itu harus diperhatikan tanda-tanda lain seperti: sisa keratan pada pintu/kasa/buku dan kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus: Pemeriksaan secara nasal (penciuman),

Informasi

dari

pihak

lain.

2.2Faktor Risiko Kasus Leptospirosis pada manusia A.

Karakteristik

Responden

Berdasarkan

Umur Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa responden pada kelompok kasus maupun kontrol sebagian besar terdapat pada umur 49-55 tahun. Seperti yang telah diketahui bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya leptsopirosis, menurut penelitian yang dilakukan Rusmini (2011) menunjukan bahwa kasus leptospirosis sering terjadi pada dewasa muda sampai usia produktif, karena sering beraktivitas B.

di Karakteristik

luar

rumah.

Responden

Berdasarkan

Jenis Kelamin Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa responden baik pada kelompok kasus maupun kontrol sebagian besar merupakan laki-laki. Menurut Rusmini (2011) bahwa laki-laki menderita leptospirosis sebesar 9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita perempuan, karena laki-laki banyak melakukan kegiatan di luar C.

rumah

yang

berhubungan

Karakteristik

dengan

Responden

air

atau

tanah.

Berdasarkan

Pekerjaan Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa responden pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol sebagian besar

18

bekerja sebagi petani. Jenis Pekerjaan berisiko antara lain petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, dan pekerja yang selalu berhubungan dengan dengan tanah atau lumpur D.

(Rusmini, Karakteristik

2011).

Responden

Berdasarkan

Pendidikan Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa responden baik pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol sebagian besar merupakan tamatan SD. Di daerah endemis tingkat pendidikan turut mempengaruhi kejadian leptospirosis, masyarakat yang berpendidikan tinggi selalu berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat terhindar dari penularan leptospirosis, sebaliknya masyarakat yang berpendidikan rendah kurang mengetahui arti penting perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga sanitasi lingkungan maupun hygiene perorangan sangat buruk akibatnya mereka banyak terinfeksi leptospirosis (Rusmini, 2011). E.

Hubungan

antara

Jenis

Pekerjaan

dengan Kejadian Leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diketahui bahwa tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000 > 0,05). Nilai estimasi faktor risiko diperoleh sebesar Odd Ratio 1,000 (95% CI =0,325-3,077) sehingga dapat diartikan bahwa jenis pekerjaan bukan merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. F. Alat

Hubungan Pelindung

antara Diri

Kebiasaan

Memakai

dengan

Kejadian

Leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diketahui ada hubungan antara antara kebiasaan tidak menggunakan alat pelindung diri dengan kejadian leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali (nilai p value 0,003 atau < 0,05). Nilai estimasi faktor risiko pemakaian alat pelindung terhadap kejadian leptospirosis diperoleh Odd Ratio sebesar 5,688 (95% CI=1,705–18,971) sehingga dapat diartikan bahwa tidak memakai alat pelindung diri ketika melakukan aktivitas yang berhubungan dengan air/lumpur berisiko sebesar 5,688 kali untuk terkena leptospirosis. Hal ini dijelaskan karena pada saat penelitian

19

dilakukan, bahwa responden mempunyai kebiasaan tidak memakai alat pelindung seperti sepatu bots ketika beraktivitas ke sawah dan kaki G.

terkena Hubungan

antara

luka Mandi

. di

Sungai

dengan Kejadian Leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diketahui ada hubungan antara mandi di sungai dengan kejadian leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali (nilai p value 0,016 atau < 0,05). Nilai estimasi faktor risiko mandi di sungai dengan kejadian leptospirosis diperoleh Odd Ratio sebesar 5,412 (95% CI= 1,442-20,317) sehingga dapat diartikan bahwa mandi di sungai akan berisiko 5,412 kali untuk terkena leptospirosis. Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden pada kelompok kasus beberapa mempunyai kebiasaan mandi disungai, adanya riwayat mandi di sungai inilah yang menyebabkan variabel kebiasaan mandi di sungai tergolong kurang baik. Pada kelompok kontrol banyak yang tidak mandi disungai, namun beberapa ada yang mandi sungai. H.

Hubungan

antara

Kebiasaan

Merawat

Luka dengan Kejadian Leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diketahui tidak ada hubungan antara merawat luka dengan kejadian leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000 atau > 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 1,143 (95% CI= 0,284-4,604) sehingga dapat diartikan bahwa tidak merawat luka menjadi faktor risiko sebesar 1,143 kali terjadinya leptospirosis, namun Odd Ratio tidak bermakna . Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden kasus banyak yang mempunyai kebiasaan tidak merawat luka, adanya riwayat luka inilah yang menyebabkan variabel kebiasaan merawat luka tergolong kurang baik. Begitu pula pada kontrol, banyak yang tidak mempunyai kebiasaan merawat luka, Namun pada kontrol hanya sedikit yang mempunyai kebiasaan tidak merawat luka, dan kebiasaan merawat luka tergolong baik. Hal tersebut belum cukup untuk menjadi penentu yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara kebiasaan merawat luka I.

dengan

kejadian

Hubungan

20

leptospirosis

di

Kabupaten

antara

keberadaan

Boyolali. hewan

peliharaan

terhadap

kejadian

leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare diketahui ada hubungan antara keberadaan hewan dengan kejadian leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali (nilai p value 0,001 atau < 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 0,163 (95% CI= 0,0550,483) sehingga dapat diartikan bahwa responden yang memiliki hewan peliharaan merupakan faktor protektif atau mencegah sebesar 0,163 kali terjadinya leptospirosis. Karena berdasarkan penelitian dilapangan diketahui bahwa sebagian besar responden sering membersihkan kandang peliharaannya tersebut, responden ketika selesai membersihkan kandang atau setelah kontak dengan hewan peliharaan mencuci tangan dengan sabun, serta mempunyai kandang yang terpisah dengan rumah. Jadi meskipun responden mempunyai hewan peliharaan namun kebersihan kandang tetap terjaga sehingga dapat mencegah terjadinya leptospirosis. J.

Hubungan

antara

mencuci/tangan

atau

kaki terhadap kejadian leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan/kaki dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,091 atau > 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 3,500 (95% CI=0,982-12,477) sehingga dapat diartikan faktor risiko tidak bermakna. Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa hal tersebut belum cukup untuk menjadi penentu yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara kebiasaan cuci tangan/kaki dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali. Hal tersebut di sebabkan yang mempunyai kebiasaan cuci tangan/kaki lebih banyak dibanding yang tidak mempunyai kebiasaan cuci tangan/kaki pada responden K.

kasus

maupun

Hubungan

menyimpan

responden antara

kontrol. kebiasaan

makanan

terhadap

kejadian leptospirosis Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare menunjukkan

bahwa

tidak

ada

hubungan

antara

kebiasaan

menyimpan makanan dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,208 atau > 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh

21

Odd Ratio sebesar 2,389 (95% CI=0,732-7,800) sehingga dapat diartikan faktor risiko tidak bermakna. Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa kebiasaan menyimpan makanan pada responden kasus dan kontrol relatif sama. Hal ini disebabkan karena kebiasaan menyimpan makanan pada responden kasus dan respondenkontrol

relatif

sudah

baik

yaitu

disimpan

pada

almari,ditutup pakai kerudung makanan sehingga terhindar dari jangkauan vektor tikus.

2.3 Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Leptospirosis Menurut Saroso (2013) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi : a. Jalur sumber infeksi 1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi. 2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi. 3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden. 4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus. 5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar,

menjaga

sanitasi,

khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih. b) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan. c) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan. b. Jalur penularan Penularan dapat dicegah dengan : 1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker). 2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.

22

3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi. 4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan. 5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit. 6) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lainlain. 7) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik,

filtrasi

dan

korinasi

untuk

mencengah

infeksi

kuman

leptospira.

8) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahanbahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang. 9) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.. 10) Manajemen ternak yang baik. d) Menumbuhkan sikap waspada Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira. e) Melakukan upaya edukasi Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi yang meliputi : 1) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut. 2) Melakukan penyebaran informasi.

23

2.5Frekuensi dan Distribusi Kejadian Leptospirosis di Indonesia Berdasarakan kemenkes tahun 2009 s.d 2016 dapat di ketahui bahwa leptosprosis merukan kejadain KLB untuk daerah Jawa Tengah dengan Kabupaten Boyolali kasus paling banyak terdapat di Kecamatan Moyudan 81 kasus (24,77%) dan paling sedikit di Kecamatan Godean 24 kasus (7,34%). Dari 327 penderita, terdapat 23 penderita meninggal. Kecamatan Moyudan memang merupakan daerah endemis leptospirosis dimana kasus dapat ditemukan setiap tahun. Dalam survey yang dilakukan oleh Muhidin6, didapatkan bahwa kondisi lingkungan sekitar di Kecamatan Moyudan berpotensi sebagai tempat hidup bakteri Leptospira, seperti adanya tikus (R. tanezumi) sebagai reservoir host yang ditemukan positif terinfeksi Leptospira, banyaknya rumah yang memiliki hewan peliharaan (42%) sebagai carrier host leptospirosis, dan rumah-rumah yang tidak memiliki tempat penyimpanan sarana air bersih sebagai faktor risiko signifikan terhadap kejadian leptospirosis. Distribusi kasus berdasarkan gejala klinis menunjukkan bahwa sebagian besar kasus tanpa gejala berada di Kabupaten Sleman yaitu di Kecamatan Minggir, Moyudan, Godean dan Sedayu sebanyak 77 kasus. Jumlah tersebut diperoleh melalui kegiatan skrining yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Penyakit leptospirosis memang disebutkan dapat bersifat asimtomatis.5,7,8 Kasus di Kabupaten Kulon Progo mayoritas bersifat non ikterik. Hal ini dapat terjadi karena adanya KLB di Kabupaten Bantul sebelumnya menjadikan tingkat kewaspadaan di Kabupaten Kulon Progo lebih baik melalui sistem surveilans leptospirosis. Di Kabupaten Sampang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, tepatnya terletak di Pulau Madura. Luas wilayahnya sebesar ±1.233,3 Km2. Letak geogra fi s berada pada 06°05´-07°13´ LS dan 113°08´-113°39´ BT. Kabupaten Sampang terdiri dari 14 kecamatan dan 186 desa/kelurahan. Kabupaten Sampang memiliki batas wilayah sebelah utara adalah Laut Jawa, sebelah timur adalah Kabupaten Pamekasan, sebelah selatan adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Bangkalan (BPS, 2013) Daerah dengan jumlah kasus maupun kematian dengan insiden tiga tertinggi adalah daerah beberapa daerah yang sering mengalami banjir terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2009). Jakarta merupakan provinsi yang sering terkena banjir. Wilayah Jakarta tidak lepas dari bencana banjir dari sejak awal Jakarta berdiri hingga sekarang (Depkes RI, 2014). Pada tahun 2002, terjadi outbreak Leptospirosis seiring dengan terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO 2011). Hasil penelitian di Jakarta selama kurun waktu musim hujan pada bulan Februari sampai bulan April 2002 menyebutkan bahwa CFR Leptospirosis sebesar 19,4% (Armandari, 2005). Pada bulan februari tahun 2007 juga terjadi banjir besar yang mengakibatkan meningkatnya kasus Leptospirosis yaitu dengan CFR sebesar 5,71% (Dwiari, 2007). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tahun 2014 Jakarta menyebutkan bahwa selama periode Januari-Februari 2014 telah terjadi banjir di Jakarta dan wilayah Jakarta yang paling sering banjir adalah Jakarta Barat, kemudian Jakarta Timur, 24

Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Daerah di Jakarta Barat yang paling sering terkena banjir adalah wilayah kecamatan Cengkareng. Terjadinya banjir ini ditakutkan akan berpengaruh dengan timbulnya penyakit Leptospirosis. Selama periode tersebut Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta melaporkan kejadian Leptospirosis di Jakarta sebanyak 97 kasus dan 18 meninggal (CFR 18,5%). Dari 97 kasus tersebut, kasus terbanyak terdapat di Jakarta Barat (62 kasus dengan CFR16,1%). Dan dari 62 kasus terbanyak di Jakarta Barat, kasus 4 terbanyak di temukan di Kecamatan Cengkareng yaitu sebanyak 26 kasus dengan CFR 15,3%. Sedangkan di Jawa Barat yang paling sering di daerah Bogor dengan jumlah kasus 50 orang.

25

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di Indonesia terutama di musim penghujan. Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada fase awal ataupun fase lanjut (fase imunitas). Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk menurunkan angka kematian. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia lanjut, pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.

3.2 Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan a. Subdin Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P3M) perlu bekerjasama dengan Dinas Kebersihan dan Tata Kota dan Dinas Pekerjaan Umum untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi selokan-selokan yang ada dengan maksud untuk memperlancar aliran air selokan dan mengurangi banjir. b. Dinas Kesehatan kota perlu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Propinsi untuk penegakan diagnosis kasus leptospirosis yang tersaring diPuskesmas baik dalam penemuan secara aktif dan pasif. c. Dinas Kesehatan Kota perlu menfasilitasi/membekali masyarakat untuk melindungi dirinya dari penularan leptospirosis dengan cara penyuluhan kesehatan secara berkala mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat untuk menentukan efisiensi dan efektifitasnya. 2. Bagi Pemerintah 1. Perlu mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki selokan-selokan dan saluran dengan maksud untuk meminimalisir risiko dari selokan sebagai salah satu jalur penularan leptospirosis. 2. Kegiatan bersih kota perlu dilakukan secara rutin seminggu sekali dan sekaligus pengendalian tikus perlu dilakukan dalam rangka mengurangi populasi tikus.

26

3. Perlu melakukan upaya sosialisasi pencegahan penyakit leptospirosis sampai ke tingkat kelurahan dan RT dengan cara bekerja sama . 3. Bagi Masyarakat 1. Perlu memperbaiki/menjaga kondisi selokan yang ada di sekitar rumah dengan cara membersihkan secara rutin minimal seminggu sekali. Pada saat membersihkan selokan perlu menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot dan sarung tangan anti air untuk menghindari kontak langsung dengan air atau tanah di selokan. 2. Perlu melakukan upaya pengendalian tikus dengan menggunakan perangkap tikus untuk mengurangi populasi tikus yang ada di rumah dan sekitarnya atau sanitasi lingkungan 3. Perlu melakukan perawatan dan pengobatan apabila terjadi luka pada bagian tubuh dengan cara diberi antibiotik, antiseptik, dan ditutup lukanya untuk menghindari masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh khususnya bakteri leptospira serta untuk menghindari kontak langsung dan tidak langsung dengan lingkungan yang diduga terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. 4. Perlu memakai alat pelindung diri seperti sepatu boot dan sarung tangananti air ketika bekerja di tempat yang tergenang air atau banjir untuk meminimalisasi kontak dengan air, tanah, atau tanaman yang diduga terkontaminasi oleh urin hewan/tikus yang terinfeksi bakteri leptospira.

27

DAFTAR PUSTAKA 1. Soeharsono. Zoonosis (penyakit menular dari hewan ke manusia). Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2002. 2. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control. WHO Library Cataloguing in Publication Data. Geneva: World Health Organization; 2003. 1-122 p. 3. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. 4. Widiasih DA, Budiharta S. Epidemiologi zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2012. 5. Picardeau M. Diagnosis and Epidemiology of Leptospirosis. Med Mal Infect. Elsevier Masson SAS; 2013;43(1):1–9. 6. Besung INK. Leptospirosis pada Hewan. In: 8th National Conggres of Indonesia Association of Clinical Microbiology (PAMKI). Bali: Universitas Udayana; 2012. p. 5–10. 7. Setadi B, Setiawan A, Effendi D, Hadinegoro SRS. Petunjuk Praktis Leptospirosis. Sari Pediatr. 2001;3(3):163–7. 8. Rusmini. Bahaya leptospirosis (penyakit kencing tikus) dan

28

cara pencegahannya. Yogyakarta: Gosyen Publishing; 2011. 9. Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. Laporan Upaya Penguatan Koordinasi Pengendalian Zoonosis. Jakarta; 2012. 10. Kusmiyati, Noor SM, Supar. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Wartazoa. 2005;15(4):213–20. 11. Sambasiva RR, Naveen G, P. B, S.K. A. Leptospirosis in India and the Rest of The World. Brazilian J Infect Dis. 2003;7(3):178–93. 12. Benacer D, Thong KL, Min NC, Verasahib K Bin, Galloway RL, Hartskeerl RA, et al. Epidemiology of Human Leptospirosis in Malaysia, 2004–2012. Acta Trop. 2016;157:162–8. 13. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 5, Nomor 1, Januari 2017 (ISSN: 2356-3346) http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

234 Penyahatan Lingkungan. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta; 2015. 14. Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. Laporan Leptospirosis di Kabupaten Boyolali. Boyolali; 2016.

29

15. Thornley CN, Baker MG, Weinstein P, Maas EW. Changing Epidemiology of Human Leptospirosis in New Zealand. Epidemiol Infect. 2002;128:29–36. 16. Ikawati B, Sulistiyani, Nurjazuli. Analisis Karakteristik Lingkungan pada Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Demak Jawa Tengah Tahun 2009. Media Kesehat Masy Indones. 2010;9(1):33–40. 17. Murtiningsih B. Faktor Risiko Leptospirosis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada; 2003. 18. Sunaryo, Ikawati B. Pemetaan Model Kerawanan Leptospirosis Berdasarkan Faktor RisikoLingkungan dan Trap Success di Bantul, Yogyakarta. Ekol Kesehat. 2012;11(3):220–9.. 19. Fahrudin M. Analisis Pola Persebaran Penyakit Leptospirosis ,Yogyakarta. UniversitasMuhammadiyah Surakarta;2015.

30

Related Documents

Epidemiologi
June 2020 22
Epidemiologi - I.docx
July 2020 19
Epidemiologi Persi.ppt
June 2020 21
Basic Epidemiologi
October 2019 19
Epidemiologi Fix.docx
June 2020 5

More Documents from "HanaIvenaBulo"