EKSISTENSI POSYANDU DALAM PERUBAHAN BUDAYA
Oleh: Luqman Effendi,S.Sos.,M.Kes
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA JAKARTA 2005
EKSISTENSI POSYANDU DALAM PERUBAHAN BUDAYA Oleh: Luqman Effendi, S.Sos., M.Kes Pendahuluan Departemen Kesehatan sebagai instusi yang paling bertanggungjawab terhadap masalah kesehatan masyarakat akhir-akhir ini dihadapkan dengan persoalanpersoalan yang mengejutkan. Kasus Polio yang muncul di Sukabumi, Busung Lapar di NTB, Campak di Bogor, dan Flu Burung di Tangerang hanyalah beberapa contoh yang sempat mengehiasi media massa karena kasus sesungguhnya tentu saja jauh lebih besar sebagaimana fenomena ice berg (gunung es). Merebaknya berbagai kasus yang sangat berhubungan dengan masalah gizi balita dan imunisasi sebagai masalah yang sebelumnya sudah dianggap tuntas atau setidaknya tidak menjadi masalah utama dalam pembangunan kesehatan mengugah kenangan lama baik dari pemerintah maupun masyarakat tentang aktifitas Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang saat ini menjadi aktifitas langka. Walaupun di beberapa tempat aktifitas Posyandu masih dirasakan oleh masyarakat, namun sebagai sebuah gerakan masyarakat aktifitas menimbang bayi dan balita, imunisasi, dan pemberian makanan tambahan yang merupakan agenda utama kegiatannya menjadi sulit menemukannya. Betapa besar peran Posyandu sebagai front line pembangunan kesehatan di masa lalu diakui sendiri oleh Pemerintah maupun masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai orang nomor satu di pemerintah dan Hendrawan Nadesul sebagai pengamat pembangunan kesehatan yang berulangkali menganjurkan upaya pemberdayaan Posyandu setidaknya merupakan bentuk romantisme masa lalu yang menurut mereka tidak harus dihilangkan di era perubahan yang sedang berjalan. Dalam pandangan mereka bagaimanapun Posyandu sebagai sebuah gerakan membangun kesehatan masyarakat telah berhasil menurunkan angka kematian bayi dan balita, memperbaiki status gizi bayi dan balita, dan menurunkan kejadian penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi disamping tentu saja meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat. Persoalannya adalah bagaimana Posyandu ini harus diaktifkan lagi dalam kondisi sosio budaya masyarakat yang berubah dengan sangat cepat. Dalam pandangan yang lebih ekstrim lagi, apakah masih mungkin Posyandu diperbaiki, disesuaikan, dimodifikasi, dsb atau harus 2
digantikan, dikubur, dan ditinggalkan saja karena kalau sudah menyangkut perubahan paradigma tidak mungkin kita memper-tahankan istilah dengan substansi yang sangat berbeda. Posyandu Dalam Budaya Masa Lalu Posyandu sebagai sebuah institusi merupakan organisasi pelayanan kesehatan terpadu yang berada di tingkat RT dan RW. Dengan demikian merupakan lini terdepan dalam upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Posyandu didirikan untuk semakin mendekatkan pelayanan kesehatan sehingga masyarakat yang paling terbatas kemampuannyapun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu dikendalikan oleh para Kader Posyandu yang bekerja secara sukarela dan secara struktural tidak memiliki hierarki ke atas, sehingga walaupun memperoleh pembinaan dan pelatihan dari Puskesmas namun tidak dikenal adanya pengurus Posyandu ditingkat Desa, Kecamatan, dan seterusnya. Kader Posyandu biasanya dipilih oleh aparat Desa atau Kelurahan dan dalam melaksanakan kegiatannya memperoleh bantuan tenaga dari pemerintah Desa dan Puskesmas. Dalam melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap Kader Posyandu, Pemerintah Desa dan Puskesmas secara khusus telah menunjuk staf dan atau karyawannya yang secara khusus mendapat tugas untuk menangani
Posyandu
meskipun secara structural sesungguhnya Kader Posyandu tidak bertanggungjawab kepada
Staf
Desa/Kelurahan
dan
Puskesmas
tersebut.
Dengan
demikian
sesungguhnya Posyandu merupakan organisasi otonom baik secara structural maupun pendanaan. Sebagai sebuah organisasi otonom sesungguhnya Posyandu merupakan wadah partisipasi masyarakat paling bawah dalam pembangunan kesehatan, yang dibentuk dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat sesesuai prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. Dalam prakteknya dimana kekuasaan pemerintah di masa Orde Baru sangat tinggi, Posyandu syarat dengan muatan politik sebagai organisasi yang berasal dari pemerintah, dibentuk oleh pemerintah, dan untuk mensukseskan program pemerintah. Apa yang disebut sebagai partisipasi sesungguhnya adalah bentuk kepatuhan masyarakat kepada pemerintah. Dalam kondisi kepatuhan masyarakat yang sangat tinggi, Posyandu telah memainkan peran penting dalam melakukan mobilisasi masyarakat terutama di kalangan bawah untuk ikut serta dalam program-program kesehatan masyarakat. 3
Secara kuantitatif sejak Posyandu ini mewarnai dinamika masyarakat maka saat itu pula kita sangat mudah menemukan aktifitas masyarakat yang sedang menimbangkan bayi dan balitanya, melakukan imunisasi, dan yang tidak ketinggalan adalah membagikan
makanan
tambahan.
Dalam
catatan
statistik
menjadi
tidak
mengherankan bila angka kesakitan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan program imunisasi menjadi sangat turun, status gizi bayi dan balita juga semakin baik. Dalam konteks budaya birokrasi pemerintah dan masyarakat yang sentralistik, otoriter, dan homogenisasi dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada pemerintah (patron-klien), kemandulan kreatifitas masyarakat dan kepatuhan total. Dalam kebudayaan yang seperti ini prestasi-prestasi kuantitatif dalam rentang waktu yang cepat telah terbukti meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Secara teoritis dalam kondisi masyarakat yang porak-poranda dengan berbagai pemberontakan sebelum era 1970an tentu kebijakan seperti ini sudah tepat sebagaimana dalam upaya menangani bencana Tsunami Aceh teakhir ini. Model Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat dalam kondisi ini dinamakan sebagai Model Social Planning. Kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang statis tetapi dinamis dalam rangka menampung seluruh cipta, rasa, dan karsa manusia dan masyarakat. Keberhasilan-keberhasilan era orde baru telah melupakan dimensi kebudayaan yang terus berubah yang berbuah pada ketidakpuasaan masyarakat yang terus meningkat tanpa diimbangi oleh perubahan kebijakan dalam pembangunan. Kesenjangan kebudayaan pemerintah dan masyarakat yang semakin melebar akhirnya menjadi malapetaka dengan adanya krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi. Akomodasi-akomodasi dan penyesuaian-penyesuaian kebijakan pemerintah terlampau jauh dari harapan dan keinginan masyarakat. Posyandu Dalam Budaya Masa Kini Reformasi sebagai sebuah istilah yang menjadi sangat popular menjelang era perubahan kebudayaan yang ditandai dengan mundurnya presiden yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Walaupun era reformasi saat ini mendapat sorotan dan kritikan tajam, namun secara jujur harus diakui bahwa telah terjadi perubahan kebudayaan mendasar. Secara structural sentralisasi telah digantikan dengan desentralisasi dengan segala implikasinya, kehidupan demokrasi juga telah semakin baik terbukti dengan pelaksanaan pemilihan presiden wakil presiden dan juga 4
beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang berlangsung dengan tertib dan aman. Tanpa menafikkan kekurangan dalam beberapa aspek, gejala perubahan kebudayaan ini tentu sebuah kemajuan. Posyandu sebagai sebuah lembaga yang dibentuk dan berkembang di era budaya masa lalu harus menerima kenyataan sebagai sebuah lembaga yang pada awal perubahan kebudayaan banyak ditinggalkan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat penggunanya. Perubahan kebudayaan baik secara structural maupun fungsional menjadikan lembaga yang bernama Posyandu dalam posisi yang tidak jelas. Departemen Kesehatan yang dalam kebudayaan masa lalu dapat dengan sangat leluasa mengendalikan lembaga ini menjadi tidak punya kekuatan di era otonomi daerah. Posyandu menjadi lembaga yang hidup enggan mati tak mau. Posyandu menjadi lembaga papan nama sebagai kenangan masa lalu. Posyandu ditinggalkan oleh masyarakat dan pemerintahannya sendiri walaupun belum ada lembaga yang hadir menggantikan kiprah dan perannya sampai saat ini. Kejadian ini sebagai akibat dari missing link lintas budaya, yaitu dua budaya yang sedang mengalami hambatan dan rintangan untuk bisa saling berempati, berkomunikasi, berinteraksi untuk saling peduli mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi. Dalam situasi dan kondisi yang sudah sangat berubah ini nampaknya pemerintahan kini ingin kembali membangunkan Posyandu bisa berperan seperti masa lalu namun dalam bingkai budaya masa kini. Beberapa persoalan tentu saja menjadi sangat penting untuk dijawab seperti: Bagaimanakah sesungguhnya persepsi masyarakat terhadap lembaga Posyandu ini ? Bagaimana formula yang tepat harus dikembangkan terhadap Posyandu supaya sesuai dengan kebudayaan terkini ? Dalam tingkatan yang paling ekstrim apakah Posyandu sebagai sebuah lembaga masih cukup layak untuk dipertahankan ? Upaya Membangun Kembali Kembali Posyandu Munculnya masalah-masalah kesehatan masyarakat terakhir ini telah mengingatkan kembali arti penting lembaga social yang bernama Posyandu. Dengan tidak bermaksud menyalahkan lembaga ini, beberapa masalah kesehatan masyarakat memang memiliki hubungan yang sangat erat dengan segala kegiatan yang semestinya dilakukan oleh Posyandu. Kasus Busung Lapar misalnya sangat berkaitan dengan semakin sedikitnya aktifitas pengendalian yang dilakukan Posyandu sejak era perubahan tata nilai dan kebudayaan. 5
Kesadaran akan pentingnya Posyandu sebagai front line pelayanan kesehatan di tingkat paling akar rumput sesungguhnya sudah disadari sejak bergulirnya reformasi. Program revitalisasi Posyandu merupakan contoh respon pemerintah terhadap keberadaan Posyandu yang sedikit banyak disadari mengalami masalah dengan datangnya era pemerintahan baru dengan system yang baru juga. Program revitalisasi ternyata dilakukan secara setengah hati karena dilakukan secara sepotongsepotong dan tidak ada upaya secara menyeluruh untuk melakukan kajian ulang terhadap format baru dari lembaga Posyandu yang sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi daerah, dan demokratisasi sebagai tata nilai dan kebudayaan yang baru. Membangun kembali kejayaan Posyandu di masa sekarang ternyata bukan persoala yang mudah. Stigmatisasi Posyandu sebagai produk lembaga di era orde baru sedikit banyak juga merupakan hambatan dalam membangun kembali Posyandu. Himbauan Presiden untuk menggalakkan kembali Posyandu sejak muncul kasus busung lapar dan polio tidak serta merta direspon oleh pemerintah daerah maupun masyarakat secara penuh. Dengan demikian kalau memang kita memiliki kesepakatan untuk membangun kembali Posyandu ini diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, bahkan harus berani melakukan perubahan yang paling mendasar dengan melakukan tidak hanya aturan pelaksanaannya namun juga landasan filosofisnya. Ada 2 hal yang harus dilakukan dalam membangun Posyandu ke depan, yakni: 1. Format Baru Posyandu Posyandu sebagai bentuk organisasi dari, oleh dan untuk rakyat merupakan organisasi sukarela saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Upaya pemaksaan terhadap masyarakat untuk menjadi Kader Posyandu secara sukarela akan sangat melukai rasa keadilan karena sejak krisis masyarakat dihadapkan pada persoalan-persoalan social ekonomi yang sangat berat, namun dengan kesadaran akan hak-hak sebagai warga negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mengkampanyekan Posyandu dengan format lama dengan kondisi budaya masyarakat yang telah berubah hanya menjadi tertawaan masyarakat. Revitalisasi Posyandu sendiri kurang berhasil karena masih membawa format lama sementara kelangsungan Posyandu perlu perubahan yang paling mendasar agar kelangsungan atau sustainability-nya ke depat akan terus terjaga. Membuat format baru tentu tidak dapat dilaksanakan 6
secara instan namun harus dengan melakukan kajian-kajian dan penelitian sehingga format baru yang dilahirkan benar-benar dapat menangkap harapan dan keinginan masyarakat dan menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Kebudayaan Masyarakat Lokal Pemahaman terhadap pluralisme budaya harus menjadi dorongan baru dalam pengembangan Posyandu. Pluralisme budaya tidak lagi memandang rendah setiap kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Sikap etnosentrisme dan langkah-langkah penyeragaman budaya seharusnya mulai ditinggalkan menuju pemahaman baru akan keragaman budaya nusantara yang setara yang akan menghasilkan komunikasi antar budaya maksimal. Orientasi pengembangan Posyandu di masa lalu yang sangat berorientasi pada aplikasi Social Planning Model harus segera diintegrasikan dengan melakukan kolaborasi dan orientasi lainya atau bahkan menggantinya dengan Locality Development Model atau paling tidak dalam kerangka Social Action Model. Social Planning Model yang bertumpu pada peran pemerintah yang sangat tinggi sudah tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah. Social Action Model dapat dijadikan masa transisi dengan mulai melibatkan masyarakat tidak hanya sebagai consumers dan recipients namun juga sebagai employers
dalam
program-program
pembangunan.
Idealnya
Locality
Development Model dapat dijadikan landasan teoritis dalam pengembangan Posyandu yang sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dimana partisipasi masyarakat bisa berjalan secara nyata bukan partisipasi dalam arti kepatuhan dan mobilisasi yang selama ini terjadi. Penghargaan terhadap kebudayaan lokal menuntut pemerintah mau memahami dan mengakui eksistensi
pluralisme budaya sehingga dalam
penentuan kebijakan yang diambil tidak lagi sekedar bersimpati terhadap berbagai persoalan kesehatan yang ada di masyarakat namun mampu melakukan empati dengan memandang persoalan masyarakat sesuai dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Berempati terhadap penderitaan masyarakat berarti menghargai kemampuan masyarakat untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri sesuai dengan budaya local dan bukan dalam kerangka budaya pemerintah yang selama ini diterapkan. 7
Dalam istilah sekarang yang sangat popular adalah bagaimana pemerintah memiliki kearifan local didalam mengatasi persoalan-persoalan masyarakat yang multicultural ini. Simpulan Posyandu di masa lalu adalah sebuah lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan dengan harapan masyarakat bisa dengan mudah mengakses terhadap kebutuhan akan pelayanan kesehatan walaupun dalam kondisi strata social ekonomi yang minimal. Departemen Kesehatan di masa lalu memiliki kaki dan tangan yang panjang untuk melakukan segala hal agar Posyandu dapat berjalan maksimal sebagai akibat kebijakan yang sangat sentralistik. Secara kuantitatif Posyandu di masa lalu mampu meningkatkan status gizi bayi dan balita, meningkatkan cakupan imunisasi yang berujung pada peningkatan status kesehatan masyarakat. Posyandu menjadi tidak terurus dengan baik sejak masa reformasi. Revitalisasi yang dijalankan tidak mampu lagi mengakomodasi harapan dan keinginan masyarakat dengan terjadinya perubahan budaya di masyarakat yang sangat luar biasa. Posyandu ke depan harus memiliki format baru dan mengedepankan dinamika kebudayaan masyarakat local apabila ingin tetap dipertahankan eksistensinya. Referensi
Effendi, Luqman., 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keaktifan Kader Posyandu di Puskesmas Cibeuteung Udik, Kab. Bogor, LPP-UMJ, Jakarta Minkler, Meredith, 1990. “Improving Health Through Community Organization” Dalam Glanz, Karen., Frances Marcus Lewis, and Barbara K.Rimer (Editors) Health Behavior and Health Education, Jossey- Bass Publisher, San Franscisco. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta
8