Edisi November 07

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi November 07 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,483
  • Pages: 12
Edisi: 007/November 2007

dinator JFF sekitar 50 menit, tamu Ford Foundation melihat INSPIRED. Memberi inspirasi. bahwa kerjasama antara JFF – yang merupakan kolaborasi 12 Itulah penilaian singkat terhadap program integratif LSM – dengan komunitas di 5 dusun telah menghasilkan pemulihan sosial-ekonomi pasca bencana Bantul yang sejumlah perubahan di komunitas yang dirasakan manfaatnya dilaksanakan Jejaring Ford Foundation di lima dusun di lima oleh warga komunitas. kecamatan kabupaten Bantul sejak Mei 2006. Dalam bekerjasama ini pula semua yang terlibat dalam proProgram yang terdiri atas sub program housing, tata kelola gram saling belajar, belajar untuk saling kontrol, saling mengevaluasi, perumahan di kawasan bencana, ekonomi (perempuan), psikososialbelajar untuk terbuka dan ... belajar kesehatan, transparansi dan untuk tidak mengedepankan akuntabilitas anggaran, serta seni kepentingan masing-masing. dan media, dan dikerjakan oleh Namun tamu Ford Foundation 12 LSM dalam sebuah jaringan juga mendapat pemahaman bahwa yang didukung Ford Foundation, proses ke arah itu tak mudah dan ini diharapkan bisa diterapkan di membutuhkan waktu tak sebentar. tempat lain. Terutama dalam Di sisi lain, kendati proses proses pemulihan pascabencana. kerjasama di dalam JFF Tentu bukan jenis (dengan manajemen jaringan programnya yang kemudian dikoordinasi LP3Y) dan antara bisa diaplikasikan di tempat JFF dengan komunitas bisa lain, mengingat persoalan di berjalan dan menghasilkan satu tempat dengan tempat lain sejumlah output, namun tidak akan berbeda. Yang bisa serta merta model integratif dijadikan model dari pelaksanaan program integratif Mr. Andrew Watson, Representative Ford Foundation China bersama seperti ini bisa diterapkan utuh di tempat lain. JFF ini adalah model anak-anak Dusun Joho usai berlatih menari Dalam dialog, Field Coorkerjasamanya, baik kerjasama dinator JFF Dedi H Purwadi, menegaskan dua hal. Pertama; jika antara LSM maupun antara LSM dengan komunitas. program sebanyak ini diterapkan secara simultan, maka yang Penilaian tersebut dikemukakan tamu dari Ford Foundation menjadi “korban” adalah komunitas. Warga komunitas akan pada acara kunjungan rombongan Ford Foundation New York dan terbebani oleh berbagai kegiatan terkait program, sehingga waktu Representatif Asia (Rusia, Cina, Indonesia, India, Vietnam) di mereka untuk bekerja banyak tersita. Mengurangi jumlah proKampung Joho, Jambidan, Banguntapan, Bantul, Rabu (28/11). gram dan atau menerapkan program secara bertahap, meski Pada acara tersebut, rombongan Ford Foundation yang dipimpin membutuhkan waktu lebih panjang, akan lebih efektif dan Vice President FF (New York) Dr Pablo Farias, melihat dan mengurangi beban di komunitas. merasakan langsung hasil kerjasama dalam pelaksanaan program. Kedua, program seperti ini tidak tepat untuk penanganan Pertama, seluruh rangkaian acara merupakan hasil kolaborasi pada situasi emergency. Harus menunggu sampai kondisi “agak antara JFF dengan komunitas dampingan. Bahkan untuk tempat dan normal”. sebagian acara merupakan rancangan warga Kampung Joho. Separoh Tentang dua hal tersebut, tamu FF bisa memahami. Dan dari yang hadir adalah warga Joho ditambah perwakilan dari 4 dusun dari Joho itu pula semua bisa belajar. Bagi JFF, masih banyak lain (Klisat, Warungpring, Kedungpring dan Kadisoro). pula yang harus dipelajari, diperbaiki, di sisa waktu program Kedua, melalui presentasi Progress Report (semester I dari yang tinggal empat bulan. (*) 1 tahun program Jejaring Ford) yang disampaikan Field Coor-

Edisi: 007/November 2007 | 1

Dapur Info

KEGIATAN LP3Y SELAMA BULAN NOVEMBER Diskusi buku Jurnalis Indonesia di Lima Kota

Diskusi pada 19 November.

Diskusi Buku yang berjudul Lika-liku DISKUSI buku Jurnalis InPendampingan Anak Jalanan donesia di Lima Kota Perempuan di Yogyakarta pada terbitan LP3Y ini tanggal 19 November berlangsung pada 9 Novemberlangsung cukuplancar ber lalu. Sebagai pembicara ditandai dengan aktifnya para Imam Ansori Shaleh yang peserta diskusi melontarkan saat ini menjabat sebagai pendapat dan pertanyaannya. anggota DPR RI Komisi III. Sebagai pembicara Sri Sebelumnya Imam pernah Roviana dari Pusat Layanan lama menjadi jurnalis, dan Peserta diskusi buku Lika-liku Pendampingan Anak Jalanan saat Informasi Perempuan (PLIP) terakhir di Media Indonesia. berdiskusi Mitra Wacana sebagai salah Pengalaman beliau satu lembaga yang turut sebagai jurnalis sedemikian lama, dan pada tahun 1981-1983 berperan hadirnya buku tersebut. pernah menjadi salah satu staf di LP3Y. Dikemukakan Rovi panggilan akrab Roviana tentang Sangat banyak pengalaman yang bisa dipetik ketika beliau adanya keterlibatan 9 LSM sebagai jaringan kaukus penanganan menjalani kehidupannya menjadi jurnalis, mulai dari reprorter, anak jalanan perempuan dalam terbitnya buku tersebut. redaktur hingga level yang lebih tinggi. Dan dari pengalamannya Partispasi LSM tersebut sangat berperan dengan hadirnya buku itu, Imam bisa menceritakan gambaran kehidupan jurnalis pada itu karena mereka membatu dan terlibat di dalamnya. LSM orde baru atau sebelum reformasi hingga saat ini. tersebut antara lain Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Dari pengalaman-pengalaman tersebut dapat disimpulkan Yayasan Sayap Ibu (YSI), Yayasan Indriya-Nati (YIN), oleh Imam bahwa wartawan yang ngepos atau sering berada di Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), suatu tempat, tidak akan banyak berpikir tentang isu AIDS, YLPS Humana, Yayasan Ghifari, Rifka Annisa WCC, gender dna kesehatan reproduksi (AGKR) ini. Perkumpulan Keluarga Berencana DIY (PKBI) dan Mitra Menurut Imam, isu AGKR hanya dapat dimiliki oleh jurnalis Wacana. profesional yang tidak terkooptasi oleh lembaga tertentu atau Posisi Mitra Wacana dalam terbitnya buku tersebut sebagai departemen tertentu. Sangat sulit jika orientasi jurnalis keliru tim sosialisasi dan penulis buku ini yakni Wiwied Trisnadi salah atau hanya memikirkan uang. Sehingga jika itu orientasinya maka satu sebagai anggota Humana. jurnalis tersebut tidak akan berpikir tentang isu AGKR. Dikatakan Rovi dalam diskusi tersebut, meskipun buku Sikap lembaga atau institusi pers tentang isu AGKR ini itu terbit pada tahun 2004 namun setelah itu belum ada buku juga belum tampak. Menurut Imam hanya sebagian kecil saja serupa yang muncul. Sehingga data-data yang ada dalam buku yang menjadikan isu ini menjadi sebuah kebijakan semacam tersebut perlu diperbarui karena sudah tidak sesuai. ideologi. Namun bukan berarti persoalan dalam buku itu tidak perlu Gambaran tentang isi buku ini merupakan representasi dibahas. Banyak hal yang masih perlu mendapat perhatian tentang bagaimana isu AGKR di dunia pers. Menurut Imam mengenai keberadaan kondisi anak jalanan, terutama anak kondisinya tidak jauh berbeda, masih sama dan perlu mendapat jalanan perempuan. Pertanyaan kritis dari keberadaan anak perhatian banyak pihak. 2 | Edisi: 007/November 2007

Dapur Info jalanan, mengapa sampai muncul, hal ini disebabkan beberapa diperhatikan agar anak jalanan tidak kembali lagi ke faktor di antaranya: jalan. 1. Kemisikinan Catatan diskusi dengan 2. Abuse (kekerasan) peserta banyak sekali 3. Bondage (pemaksaan pertanyaan dan pendapat ekonomi) tentang anak jalanan ini di 4. Penelantaran antaranya: 5. Kekerasan seksual - kasus-kasus yang ada pada 6. Napza anak jalanan memang sangat Dalam penelitian tersebut problematik. Ada persoalan yang melibatkan 56 anak psikologi karena adanya jalanan, menurut Rovi jenislatarbelakang keluarga dan jenis anak jalanan terbagi perjalanan pengalaman. dalam beberapa jenis yakni: Sehingga terkadang sulit 1. Anak yang hidup di Imam Anshori Shaleh dan moderator, Ismay Prihastuti saat diskusi buku untuk menanganinya. Hal jalan. Jenis ini sulit Jurnalis di Lima Kota. inilah dibutuhkan rasa ditangani dan negara empati dari relawan dan seolah cuci tangan lembaga yang terlibat mengenai masalah ini. menangani anak jalanan 2. Anak yang bekerja di tersebut. jalan. - Mencegah mereka terjun 3. Anak keluarga jalanan. ke dunia atau kehidupan Jenis ini bisa dilayani, anak jalanan jauh lebih baik namun tantangannya dari pada melakukan adalah keluarga. tindakan menangani mereka Isu yang sedang ketika sudah berada di jalan. menghangat mengenai anak jalanan ini adalah sedang Hal ini dapat disebabkan digodoknya Raperda adanya dorongan kuat untuk (Rancangan Peraturan Daerah) kembali ke jalan. Para Guru Pembimbing Siswa Pengelola Mading SLTA saat Provinsi DIY mengenai - Peserta diskusi dari YIN berfoto bersama. penanganan gelandangan mengatakan pengemis dan lembaga mereka perlindunngan melakukan anak jalanan di pengorganisasian DIY. Banyak yang d e n g a n perlu dikritisi dari mengarahkan keluarnya raperda mereka dalah hal tersebut. untuk itu bermusik, menurut Rovi, berteater dan perda tersebut perlu didiskusikan sebagainya. sebelum disahkan. Selain itu karena D a r i perilaku seksual penanganan anak mereka yang jalanan tersebut rentan terhadap menurut Rovi perlu mengintegrasikan 3 aspek yakni: penyakit menular seksual, YIN bekerja sama dengan KPA (Komisi Penanggualangan AIDS) DIY dalam 1. Pencegahan. Dari sisi ini perlu interdisipliner dengan melakukan sero survey pencegahan HIV. sektor lainnya sebagai penyebab kemiskinan. - Pertanyaan kritis keberadaan Satpol PP dalam 2. Penangan. Penanganan yang terkesan represif ini perlu menangani anak jalan yang kadang tidak manusiawi untuk disikapi. perlu mendapat perhatian. 3. Penyiapan Fase out atau rehabilitasi. Ini sangat perlu Edisi: 007/November 2007 | 3

Analisis Info

Kontroversi Sanksi Pemotongan Dana Rekonstruksi:

TIDAK DIKEMBANGKAN MEDIA JADI WACANA PUBLIK DUA minggu setelah sejumlah warga dan aktivis LSM yang bergabung dalam Forum Suara Korban Bencana (FSKB) unjuk rasa di DPRD DIY untuk menyampaikan tuntutan agar pelaku pemotongan dana rekonstruksi ditindak, muncul berita suratkabar tentang kebijakan Pemkab Bantul terhadap pelaku pemotongan itu. Berita itu (Suara Merdeka, 21-09-2007) mengungkapkan bahwa Pemkab Bantul menempuh kebijakan tidak akan memperkarakan pelaku pemotongan, asalkan yang bersangkutan bersedia mengembalikan uang hasil pemotongan itu. Kebijakan tersebut hanya berlaku bagi pelaku yang adalah anggota masyarakat. Apabila pelaku adalah pegawai negeri sipil atau aparat pemerintah, Bawasda (Badan Pengawas Daerah) akan memberikan sanksi disiplin. Untuk kasus yang telah ditangani polisi atau kejaksaan, Pemkab tidak akan mengintervensi. Tidak ada keterangan mengapa Pemkab Bantul menempuh kebijakan tersebut. Pada berita hanya dijelaskan, Bupati Kabupaten Bantul Drs. HM Idham Samawi mengatakan bahwa kewajiban mengembalikan uang sudah merupakan sanksi cukup berat. Kontroversial Kebijakan itu bisa disebut sebagai kebijakan yang kontroversial. Ada beberapa alasan mengapa disebut demikian. Bagi warga korban gempa yang mengalami pemotongan dana rekonstruksi, kebijakan itu menyakitkan. Menyakitkan, sebab masalah pemotongan dana rekonstruksi bukan hanya sebatas masalah uang. Pengembalian uang memang menyebabkan jumlah dana rekonstruksi akan mereka terima utuh seperti seharusnya. Namun hal itu tidak serta merta meniadakan pengalaman pahit lain sebagai ekses pemotongan tersebut. Seperti diberitakan suratkabar (lihat misalnya Kedaulatan Rakyat, 24 dan 27 Agustus 2007), sebagian mereka diancam, ditekan, atau bahkan mengalami kekerasan fisik. Semua itu harus mereka alami agar tidak mengungkapkan kasus pemotongan itu. Apakah karena uang dikembalikan, lantas 4 | Edisi: 007/November 2007

ancaman, tekanan, atau kekerasan fisik yang dialami oleh sebagian mereka itu terhapus begitu saja? Ancaman, tekanan, atau kekerasan fisik, merupakan perbuatan melawan hukum. Demikian pula pemotongan dana rekonstruksi, yang bisa digolongkan sebagai tindakan korupsi. Sebagai perbuatan melawan hukum, maka ancaman, tekanan, atau kekerasan fisik yang dilakukan terhadap warga sudah tentu tidak hapus begitu saja karena uang telah dikembalikan. Hal yang sama berlaku untuk pemotongan dana rekonstruksi, tetap merupakan tindakan korupsi. Kontroversi itu semakin kental ketika dikatakan bahwa kebijakan Pemkab Bantul untuk tidak memperkarakan pelaku pemotongan dana rekonstruksi hanya diberlakukan bagi anggota masyarakat yang mengembalikan uang hasil potongan. Bila pelaku adalah pegawai negeri sipil atau aparat pemerintah, tetap akan dikenakan sanksi. Kemudian, kebijakan itu juga tidak berlaku bagi pelaku yang tengah disidik polisi atau kejaksaan. Apakah itu karena Pemkab enggan mencampuri urusan yang sudah di tangan jaksa atau polisi? Dengan kata lain, ada perbedaan perlakuan. Semestinya, semua orang, tidak soal apakah ia anggota masyarakat atau pegawai negeri sipil, seharusnya sama di depan hukum. Dari sini muncul pertanyaan: Bagaimana suratkabar menyikapi kebijakan kontroversial itu? Media dan Kontroversi Kontroversi mudah menarik perhatian pembaca suratkabar. Semakin kuat kontroversi yang menyertai suatu kejadian, semakin layak kejadian itu diberitakan. Menyangkut kontroversi suatu masalah, suratkabar bisa saja merasa perlu menyoroti hal tersebut lebih lanjut. Jadi tidak berhenti sesudah memberitakannya pertama kali. Terdapat beberapa langkah tindak lanjut yang biasa dipilih pers untuk menyoroti masalah kontroversial. Pertama, menurunkan berita lanjutan (follow-up news) yang memuat pendapat berbeda dari berbagai pihak. Kedua, memuat artikel yang mengulas masalah dimaksud dari sisi pandangan yang

Analisis Info berbeda. Ketiga, memuat laporan hasil jajak pendapat. Keempat, secara eksplisit menyampaikan pandangan suratkabar sebagai institusi melalui tajuk rencana. Sorotan pers atas kontroversi masalah tertentu dihentikan saat topik tersebut dianggap kehilangan daya tarik, atau perbedaan pendapat yang timbul kemudian semakin meruncing sehingga bisa memperkeruh persoalan. Dengan menyoroti lebih lanjut masalah kontroversial, masalah itu diharapkan menjadi perhatian masyarakat luas. Menjadi masalah yang diperbincangkan di antara beragam kalangan pada berbagai kesempatan. Singkat kata, menjadi wacana publik. Dengan mengembangkan kontroversi terkait suatu masalah menjadi wacana publik, kontroversi itu mencuat ke permukaan sebagai suatu realitas. Upaya itu sekaligus mengajak publik bersikap kritis, tidak serta merta memercayai pandangan tertentu sebagai suatu kebenaran. Dalam konteks itu, upaya suratkabar menyoroti lebih lanjut suatu masalah kontroversial dengan tujuan mengembangkannya menjadi wacana publik sesungguhnya dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi masyarakat. Tak Jadi Wacana Publik Kembali ke pertanyaan sebagaimana dikemukakan terdahulu: Bagaimana suratkabar menyikapi kebijakan kontroversial tersebut? Apakah suratkabar menyoroti kontroversi kebijakan itu lebih lanjut? Pengamatan menunjukkan hal itu tidak dilakukan suratkabar. Kontroversi yang terkandung dalam kebijakan Pemkab Bantul itu tidak dikembangkan menjadi wacana publik. Memang, dalam berita sebagaimana dikutip di atas dimuat pernyataan aktivis Indonesia Court Monitoring (ICM) Baharudin yang menilai bahwa kebijakan itu salah. Namun suratkabar berhenti sampai di situ. Padahal, jauh sebelum kebijakan Pemkab Bantul diberitakan, berkali-kali seruan berbagai pihak dan begitu pula unjuk rasa yang menuntut agar pelaku pemotongan dana rekonstruksi dituntut secara hukum, sudah diberitakan suratkabar. Suratkabar semestinya perlu menyoroti kontroversi kebijakan tersebut lebih jauh , agar menjadi wacana publik. Penjelasannya sebagai berikut. Kebijakan kontroversial itu bisa menjadi preseden kemudian hari. Suatu kebijakan bisa melangkahi proses hukum yang seharusnya ditempuh. Dengan kata lain, upaya penegakan hukum bisa menjadi sangat tergantung pada kebijakan, dalam hal ini kebijakan penguasa.

Kemudian, kebijakan itu melahirkan perlakukan yang berbeda terhadap pelaku pemotongan, antara anggota masyarakat dan pegawai negeri sipil/aparat pemerintah. Persoalannya, pemotongan dana rekonstruksi mungkin saja dilakukan atas dasar persekongkolan antara pelaku yang anggota masyarakat dan pegawai negerai sipil/aparat pemerintah. Bukankah suratkabar telah memberitakan jauh sebelumnya bahwa uang hasil pemotongan dana rekonstruksi diduga dinikmati oleh pegawai negeri sipil/aparat pemerintah dari berbagai tingkatan? Maka, apabila pelaku yang anggota masyarakat tidak akan diperkarakan asal mengembalikan uang hasil pemotongan, persekongkolan itu membuka peluang bahwa pelaku yang merupakan anggota masyarakat akan tutup mulut dengan siapa saja dia bersekongkol. Tidak soal apakah sikap tutup mulut ini karena kemauan sendiri, atau karena terpaksa. Dia menjadi tumbal. Bila itu yang terjadi, upaya pemberantasan korupsi akan menempuh jalan buntu. Kebijakan itu tidak menimbulkan efek jera. Salah satu upaya suratkabar menyoroti kontroversi itu lebih lanjut adalah dengan membuat laporan yang mengungkapkan apakah warga korban gempa yang mengalami pemotongan dana rekonstruksi, menyetujui atau menolak kebijakan tersebut. Begitu pula warga yang mengalami ancaman, tekanan, atau kekerasan fisik. Langkah lain, menurunkan laporan yang memuat pandangan berbagai pihak selain warga korban gempa yang mengalami pemotongan dana rekonstruksi, mulai dari pengamat, pakar, praktisi hukum, dan sebagainya. Dengan menurunkan laporan seperti itu, di satu suratkabar kabar memosisikan diri sebagai penyalur suara masyarakat, terutama suara warga korban gempa yang mengalami perlakuan tidak adil. Di sisi lain, upaya tersebut menegaskan posisi suratkabar sebagai institusi pers yang idealnya selalu mengutamakan kebenaran. Peduli pada upaya penegakan hukum. Tanpa melakukan upaya semacam itu, suratkabar bisa dianggap tidak memiliki sikap, tidak ikut membangun iklim kondusif untuk penegakan hukum. Atau lebih parah lagi, dinilai memihak kepada pembuat kebijakan, dalam hal ini penguasa. Akibatnya bisa merugikan suratkabar sendiri, semakin dijauhi masyakarat. Suratkabar, tetaplah harus impartial, tidak berpihak kepada siapa-siapa, melainkan berpihak terhadap kebenaran. Karena itu, suratkabar perlu menunjukkan dukungan terhadap upaya penegakan kebenaran. Dukungan itu antara lain bisa diperlihatkan dengan mengembangkan wacana publik apakah pelaku pemotongan dana rekonstruksi perlu diperkarakan atau tidak. (ron)

Edisi: 007/November 2007 | 5

Sumber Info

CATATAN KECIL DARI BUKU ‘JURNALIS INDONESIA DI LIMA KOTA’ (Memahami Preferensi Jurnalis dalam Meliput AIDS, Gender, dan Kesehatan Reproduksi)* Imam Anshori Saleh**

BANG Adi —Drs Ashadi Siregar — dalam buku ini memberikan pengantar yang sangat bernas, benar-benar mengajak pembaca untuk mengidentifikasikan jurnalis yang seharusnya, jurnalis yang profesional, yang memahami posisinya sebagai perekonstuksi fakta sosial. Bagaimana tugas jurnalis untuk tidak menjauhkan fakta sosial dengan fakta media.. Objektivitas adalah kata kunci untuk itu. Pengantar itu juga mengurai ihwal jurnalis dan jurnalisme dalam masyarakat-bangsa Indonesia dengan segala permasalahannya. Karena itu dengan berbekal pengantar dari Bang Adi, menjelajah seluruh isi buku akan dengan gampang untuk memahami konteksnya. Buku ini bak pisau yang membedah sebagian sisi gelap (juga sebagian kecil sisi terang) jurnalisme dan jurnalis Indonesia di lima kota. Jika dibandingkan cerita antara satu kota dengan kota tidak sama, baik cakupan permasalahannya maupun tingkat kedalamannya. Namun dari membaca bab demi bab – kalau sempat membaca tuntas – akan diperoleh semacam mozaik jagat jurnalisme dan jurnalis di negeri ini. Bagi para jurnalis dan mereka yang tekun mengamati jurnalisme Indonesia gambaran yang secara umum tidak terlalu mengagetkan. Namun deskripsi cerita seperti yang disajikan buku ini jarang atau bahkan tidak pernah kita dapatkan sebelumnya. Kita hanya mendapatkan cerita secara lisan yang kadangkala belum kita percayai sepenuhnya. Pertanyaan yang sering muncul mendengar cerita yang berkembang dan sebelum membaca buku ini, misalnya, “masa iya sih seperti itu?”. Dengan membaca buku ini, karena dengan metode pengumpulan data hasil penelitian dan penulisannya sedemikian meyakinkan, yang muncul kemudian adalah pengakuan, “Kenyataannya memang seperti itu.”. Atau setelah membaca buku ini kita lebih diyakinkan adanya praktik jurnalisme yang tidak terpuji itu. Pemilihan lima kota objek penulisan ini juga menarik, lima kota besar, Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, dan Semarang. * **

Masing-masing kota –dan jurnalismenya—memiliki karakter yang berbeda-beda. Karena itu sajian ceritanya pun berbedabeda. Gaya penyajian buku ini menarik. Membaca dari bab ke bab, apalagi bagi jurnalis atau pengamat jurnalisme, tidak membosankan dan ingin membaca terus, membandingbandingkan. Sayang sekali gaya penyajian yang bagus ketika diikuti oleh pembaca terganggu dengan suntingan (editing) yang kurang cermat. Di halaman 51 baris ke-11 dari bawah tertulis Megawai Sukarnoputri. Makassar ada yang ditulis Makassar, ada juga yang ditulis Makasar (dengan satu “s”). Padahal buku ini, seperti diakui sendiri oleh penerbitnya, disiapkan cukup lama. Penelitian di Jakarta, misalnya, dilakukan pada 2002. Ada risiko penerbitan buku hasil penelitian yang terlambat penerbitannya seperti buku ini. Kondisi ketika buku ini diterbitkan dengan ketika dilakukan penelitian kadangkala sangat berbeda. Dalam buku ini juga demikian. Kondisi pers pada sekitar 2002 –saat dilakukan penelitian—dengan ketika buku ini diterbitkan ada sejumlah perbedaan, walaupun dalam beberapa hal masih sama. Meskipun demikian, buku ini tetap sangat berjasa menyuguhkan potret yang penuh warna hampir seindah warna aslinya. Terutama bagi saya yang pernah memimpin suratkabar di daerah dan di Jakarta. Saya juga pernah menjadi wartawan Istana, pernah ngepos di sebuah departemen atau lembaga di Jakarta. Sehingga pernah merasakan seberapa besar pengaruh “kooptasi” pihak luar terhadap kreativitas dan profesionalitas wartawan. Kisah sesungguhnya sebelum ada buku ini hanya menjadi “kenangan” pribadi. Pada masa Orde Baru, tentu kisah wartawan Istana lebih “seru” dibandingkan yang dikisahkan buku ini. Setidaknya dari “curhat” para wartawan Istana kepada saya sebagai pengendali redaksional waktu itu.

Disampaikan pada diskusi buku Jurnalis Indonesia di Lima Kota pada Jumat, 9 November 2007 di LP3Y Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi III

6 | Edisi: 007/November 2007

Sumber Info Premanisme, Amplop, dll. Sebelum membaca buku ini saya pernah berasumsi, jurnalis –juga media massa—yang kental dengan kehidupan amplop, premanisme, agak susah diajak berpikir atau peduli dengan liputan AIDS, gender, dan kesehatan reproduksi. Karena untuk peduli dengan masalah-masalah itu mesti memiliki moralitas yang tinggi. Karena menurut saya kedua hal, amplop dan premanisme di satu sisi berorientasi pada uang, sementara jurnalisme yang peduli dengan liputan AIDS, gender, dan kesehatan reproduksi di sisi lain berorientasi pada keberpihakan terhadap sesuatu yang sama sekali tidak berbau duit. Tentu saja masalahnya tidak sesederhana itu. Seperti diungkapkan oleh Bang Adi dalam pengantar buku ini, tindakan profesional selain digerakkan oleh nilai moral juga karena masalah struktural, yakni keberadaan jurnalisme di dalam struktur sosial. Ini kemudian terpaparkan dengan transparan oleh hasil penelitian tentang kehidupan jurnalis di lima kota. Ada latar belakang histories, kultural, ada kebijakan rezim, kebijakan institusi pers, baik melalui organisasi pers maupun masing-masing perusahaan media. Muncul dan tumbuhnya premanisme dan “amplopisme” di masing-masing kota berbeda. Kisah wartawan Istana di Jakarta tidak dapat dimiliki daerah-daerah lain. Walaupun tetap ada kemiripan dengan kisah wartawan gubernuran di Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang. Di pos-pos seperti itu, para wartawan selain dimanjakan juga terampas kreativitasnya. Walaupun demikian, media-media tempat wartawan bekerja, melalui kebijakan redaksional masing-masing, tetap berperan dalam memproduksi berita yang disajikan kepada khalayak, termasuk kaitannya dengan liputan AIDS, gender, dan kesehatan reproduksi. Tentang kisah di sejumlah departemen atau lembaga negara di Jakarta, saya membenarkan kesaksian dari hasil penelusuran tim buku ini, baik yang menyangkut amplop maupun perlakuan departemen yang merasa “membeli” wartawan dengan pemberian materi, fasilitas, dan lainnya kepada wartawan. Untuk empat kota lainnya, saya hanya bisa mengamini. Setidaknya kisah-kisah premanisme, amplopisme, seperti yang pernah saya dengar dari para wartawan, baik yang mengeluh karena kerja jurnalisme mereka terganggu maupun mereka yang dengan bangga menuturkan “sukses” mereka dari hasil kegiatan yang tidak terpuji itu. Isu AIDS, Gender, dan Kesehatan Reproduksi (AGKR) Terus terang ketika saya bekerja di surat kabar di Jakarta (1991-2003), isu AIDS dan kesehatan reproduksi kurang menjadi perhatian utama. Yang lebih diperhatikan waktu itu, terutama setelah tahun 1998 adalah isu gender. Bagi wartawan pada umumnya isu gender sebelum itu hampir-hampir tidak dipedulikan. Penulisan hasil-hasil liputan para wartawan yang diterima redaksi –termasuk dari para jurnalis perempuan— belum peduli dengan penghormatan terhadap kesetaraan gender. Penggunaan kata-kata pelacur, wanita tuna susila, atau

kalimat “pemuda menggagahi gadis” dan deskripsi berita pemerkosaan, dan sebagainya sangat vulgar. Untuk kesetaraan gender yang lebih luas, seperti pemimpin perempuan, keterwakilan perempuan di parlemen dan kehidupan sosial juga masih seperti barang langka. Kalaupun ada penghormatan terhadap kesetaraan gender, misalnya, lebih disebabkan karena pilihan rasa bahasa, bukan karena semata kesadaran penghormatan. Kesadaran kolektif akan isu-isu itu datang karena perkembangan global. Ketika kemudian banyak pakar, para pegiat perempuan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk LP3Y mengkampanyekan ketiga hal tersebut. Sebelumnya, institusi pers, seperti PWI, juga mulai melakukan pendidikan yang menyangkut isu gender dan kesehatan reproduksi, tetapi umumnya kurang terformat dengan baik. Bahkan lebih terkesan pada penonjolan ritualnya ketimbang substansinya. Hanya beberapa media yang waktu itu peduli dengan isu-isu yang tidak popular itu, sementara banyak koran yang tetap dengan pemberitaan tanpa kepekaan isu-isu tersebut. Wajar kalau di Makassar pemberitaan tentang pola-pola jurnalisme empati terutama tentang kesetaraan gender yang memperjuangkan adalah para jurnalis perempuan (halaman 283). Karena pemahaman terhadap isu gender, AIDS dan Kesehatan reproduksi tidak dilakukan secara institusional. Wajar kalau kemudian dikeluhkan tumbuhnya kesalahan persepsi dan pemahaman pada kulit atau permukaan ketimbang pemahaman substtantif. Biasa tentang isu HIV/AIDS di Makassar juga dikeluhkan, karena persepsi yang keliru bahwa biang penyebab penularannya hanya dari kaum hawa penjaja seks semata. Budaya patriarkhi di masyarakat setempat ikut andil tentang sulitnya mengembangkan pola pemberitaan yang berprespektif kesetaraan gender. Pendeknya isu AGKR di kota Angin Mamiri ini masih memprihatinkan, masih akan perjuangan keras untuk mendapat perhatian para jurnalis. Di Semarang, isu AGKR juga belum menjadi kesadaran kolektif para jurnalis. Isu-isu itu masih menjadi agenda kalangan LSM dan sejumlah aktifis dan jurnalis perempuan. Dari membaca buku ini diperoleh banyak informasi tentang sebagian kendala dalam mengembangkan kepedulian terhadap isu AGKR di samping informasi penting tentang data-data keperempuanan yang kurang dimanfaatkan oleh jurnalis di Semarang. Yang juga menarik, adanya persaingan Koran besar dan kecil di Semarang, membuat model pemberitaan yang berbeda, sisi kesantunan yang diangkat Koran besar “dilawan” dengan pemberitaan vulgar Koran kecil dengan tujuan komersial. Ini, misalnya, yang terjadi dengan kasus Suara Merdeka dan Meteor. Yang memprihatinkan dari simpulan peneliti di Surabaya, perspektif gender belum mewarnai pemberitaan media di Surabaya, karena adanya anggapan bahwa pemberitaan isu gender hanyalah berita yang bersubstansi gender dan perjuangan kaum perempuan. Juga tentang belum dijadikannya isu gender Bersambung ke halaman ... 9 Edisi: 007/November 2007 | 7

Spesial Info

RADIO KOMUNITAS, PARTISIPASI DAN RELASI GENDER

Radio Komunitas AHLI media komunitas dari Filipina Lucio N. Tabing merumuskan radio komunitas adalah suatu stasiun radio yang dioperasikan di suatu lingkungan, wilayah atau daerah tertentu yang diperuntukkan khusus bagi warga setempat, berisi acara dengan ciri utama informasi daerah (local content) setempat, diolah dan dikelola warga setempat. Wilayah yang dimaksud bisa didasarkan atas faktor geografi (kategori teritori kota, desa), wilayah kepulauan, bisa juga berdasarkan kumpulan masyarakat tertentu yang bertujuan sama dan karenanya tidak harus tinggal di suatu geografis tertentu. Radio komunitas secara sederhana dirumuskan sebagai: masyarakat berbicara kepada masyarakat. Anggota radio komunitas adalah individu dan institusi yang menjadi sumber daya pendukung operasional. Radio komunitas bertenaga transmitter rendah antara 20-100 watts, didukung dengan peralatan yang sesuai kebutuhan untuk itu. Badan PBB UNESCO merumuskan bahwa, radio komunitas adalah radio yang dioperasikan di komunitas, untuk komunitas, tentang komunitas dan oleh komunitas berdasarkan kesamaan geografis atau minat yang sama diantara sekelompok orang. Radio komunitas atau Community Radio, baru populer di Indonesia paska jatuhnya Orde Baru tahun 1998 dan mencapai klimak ketika terjadi perdebatan perlunya revisi UU Penyiaran Nomor 24/1997. “Komunitas” adalah pilihan dari sejumlah penyebutan lain untuk radio yang berbasis sangat lokal dan nonprofit, diantaranya: (1) Radio Alternatif, alternatif dari dua model penyiaran yang hanya melayani propaganda negara (state oriented) dan melayani kepentingan pengusaha (market oriented) melalui radio, (2) Radio Pendidikan, antitesis dari fungsi radio yang hanya memdeseminasikan informasi dan menyuguhkan hiburan semata, (3) Radio Swadaya, merujuk ciri khas radio yang mengandalkan sikap militansi, ketulusan dan independensi pengelolanya, (4) Radio Komunitas, merujuk pemilikan dan wilayah orientasi yang melokal sebagai antitesis radio swasta yang meluas dan berjaringan.

8 | Edisi: 007/November 2007

Partisipasi Rumusan sejumlah lembaga seperti UNESCO dan Jaringan Radio Komunitas Indonesia menyebut dua makna yang melekat kepada radio komunitas, yaitu geografis dan partisipasi. Makna pertama diukur menurut radius frekuensi yang dibatasi maksimal 100 watts. Makna kedua diukur secara kuantitatif dan kualitatif berupa terlibatnya warga komunitas sejak pendirian hingga operasional siaran. Partisipasi berarti melibatkan diri (aktif) bukan ikutserta (pasif). Di komunitas yang heterogen dalam hal umur, pendidikan, pekerjaan dan strata ekonomi, bentuk partisipasi akan heterogen. Radio komunitas yang melayani segenap kelompok sosial dalam komunitas merumuskan bentuk partisipasi yang berbeda, tidak seragam agar setiap individu berpeluang bergabung tanpa minim kontribusi siarannya. Jika ia pengusaha atau pejabat publik, dukungan berbentuk dana dan kebijakan lebih tepat, jika pendidik atau pelajar, maka ia tepat menjadi pengelola dan pendamping siaran. Partisipasi adalah prinsip dasar pengelolaan radio komunitas. Tanpa partisipasi —terutama dari tiap anggota komunitas— segenap aktifitas siaran hambar dan tidak signifikan. Ketimbang mendikte ide-ide pribadinya, pengelola radio yang baik akan selalu mengupayakan pertimbangan yang melibatkan semua pihak, dalam memilih kapan ia harus memulai dan mengakhiri siaran, apa filosofi dan kandungan isi siaran yang harus disampaikan. Dengan metode siaran interaktif, pendengar bersemangat menyimak siaran, penyiar merasa mendapatkan penghargaan dan stasiun radio-pun menjadi radio komunitas dalam makna yang sesungguhnya (Fraser, 2001). Pendirian radio komunitas harus mengacu pada dua aspek (1) jaminan keberadaan komunitas yang permanen di geografis tertentu, bersedia aktif dalam mengelola radio (2) peluang partisipasi tiap individu di komunitas secara setara baik dalam pemilikan, produksi siaran maupun selaku pihak pendengar yang harus terlayani hak dan kepentingannya. Semakin kecil cakupan

Spesial Info geografis radio semakin banyak individu yang terlayani sebagai subyek siaran, covering isu-isu lokal merata. Radio yang luas cakupan siarannya akan cenderung elitis dan sulit dikontrol tiap individu pendengar. Relasi Gender Pada artikel sebelumnya di newsletter ini, penulis menyinggung bahwa relasi radio komunitas dengan gerakan globalisasi isu gender ibarat simbiosis mutualisme. Radio komunitas dalam pandangan NGO memiliki sejumlah korelasi. Pertama, sebagai program karitatif pemberdayaan masyarakat dampingan yang sekaligus dapat menghidupi NGO terkait. Kedua, sebagai mitra penyelenggara program NGO, terutama dalam upaya sosialisasi isu-isu yang menjadi fokus program seperti gender, AIDS, kesehatan reproduksi dan demokrasi lokal. Radio komunitas dibantu secara langsung atau tidak eksistensinya melalui program siaran dan peralatan yang dibiayai penuh oleh NGO. Berbagai pihak menuding pola hubungan ini sebagai eksploitasi wacana radio komunitas, sebab radio komunitas akan sangat tergantung keberadaan NGO selaku donaturnya. NGO akan dengan mudah melepas tanggungjawabnya jika tidak ada kucuran dana. Problem relasi gender yang timpang merupakan salah satu akar masalah yang krusial disamping masalah lain dalam

kehidupan masyarakat di lapis komunitas, yang dikhawatirkan menjalar ke dalam institusi dan manajemen radio komunitas. Problem lain adalah kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi dan tingkat pendidikan termasuk fenomena kemiskinan. Diskriminasi pengambilan keputusan, peradilan dan tersumbatnya peluang menduduki jabatan publik, khususnya bagi kelompok minoritas termasuk perempuan. Masalah selanjutnya adalah Bad Governance: fenomena kolusi, korupsi dan nepotisme, melalui birokrasi yang panjang. Masalah kesehatan masyarakat seperti buruknya gizi, NARKOBA, rendahnya kesetaraan pelayanan, soal penyakit menular dan sebagainya. Kehadiran radio komunitas patut disambut gembira, bukan hanya oleh aktifitas pemberdayaan masyarakat, akan tetapi seluruh stakeholders. Secara makro ia akan menjawab dominasi media penyiaran utama, komersial yang cenderung eksploitatif terhadap gender, menjustifikasi relasi timpang dalam hubungan kerjasama laki-laki dan perempuan di akar rumput (grassroot). Akan tetapi pada saat bersamaan harus tumbuh kewaspadaan bersama, jangan sampai radio komunitas menjadi corong kelompok elit di tingkat komunitas semata, yang notabene adalah kaum adam, atau para pihak yang harus mendapat edukasi kesetaraan gender terlebih dahulu. (Masduki)

Sambungan dari halaman ... 7 sebagai kebijakan redaksional Koran-koran di Kota Pahlawan ini. Judul “PSK Gatal Digaruk” bukti yang disodorkan betapa Koran yang bersangkutan tak peduli dengan isu gender. Ada sejumlah jurnalis yang sudah memiliki kesadaran terhadap isu AGKR, tetapi, menurut para peneliti, mereka masih tenggelam dengan riuhnya pemberitaan yang tidak berperspektif AGKR. Peneliti Medan berkisah lebih colourful. Ada latar sejarah, warna premanisme, dan kecenderungan media di sana. Yang dilaporkan juga tetap kisah sedih, bahwa isu AGKR belum menjadi preferensi jurnalisme di Medan. Isu AGKR baru

menjadi pemberitaan jika terdapat sisi sensasionalnya. Sisi pragmatisme masih menjadi raja. Jadi, dari keseluruhan laporan para peneliti, isu AGKR dalam tampilan surat kabar di lima kota masih sangat memprihatinkan. Institusionalisasi masih belum terjadi secara merata. Padahal selama isu-isu itu belum menjadi kebijakan lembaga, selama itu pula kita masih akan merasakan isu AGKR di media masih sekadar harapan jangka panjang. Kunci lainnya adalah profesionalisme, ya jurnalis ya jurnalisme.

Edisi: 007/November 2007 | 9

Info buku 665, seharusnya 510 word

MENGUPAS NILAI KEMANUSIAAN KORBAN GEMPA SIAPA tak takut bencana lam? Semua orang takut. Tak terkecuali Mbah Maridjan, pria yang dikenal sebagai jurukunci Gunung Merapi itu. Ia berkata, “Zaman biyen yen ana lindhu wong-wong mung padha mbatin, orang kaya zaman saiki, malah kakehan omong (Pada zaman dulu, jika ada gempa masyarakat hanya berkata dalam batin, tidak seperti zaman sekarang, malah kebanyakan bicara). Begitulah kenyataan yang diungkap Mbah Maridjan, menyikapi berbagai peristiwa setelah terjadinya bencana alam gempa bumi 5,9 skala Richter 27 Mei 2006 lalu. Apa yang yang diungkap Maridjan itu, merupakan salah satu dari sekian banyak kenyataan yang dirasakan oleh para korban gempa. Kenyataan yang tidak Judul Buku menjernihkan persoalan dan Penulis meringankan penderitaan, tapi Penerbit Tahun justru sebaliknya. Banyak sudah kisah dan Tebal

pasca gempa itulah yang banyak diungkap dalam buku ini. Bak pepatah, habis berkelahi teringat silat, begitulah sikap yang selama ini dipertontonkan oleh berbagai pihak, khususnya dalam penanganan atau manajemen dalam mengatasi bencana. Pengantar buku ini memberi poin penting: tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Jujur harus diakui, sebagai bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detil. Rupanya bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bertolak dari gugatan semacam itulah, buku ini kemudian disusun. Selain : Setelah Gempa 30 Juta sKalla Richter untuk mendokumentasikan : I.B Shakuntala berbagai pengalaman dan : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas pelajaran berharga juga untuk : 2007 menyusun langkah konkret : xxvi + 202 dalam menangani bencana. berbagai pemberitaan di berbagai Buku ini sebenarnya media, tentang bencana alam gempa bumi di Bantul dan sebagian merupakan satu dari “trilogi” buku gempa. Selain buku ini, ada Jawa Tengah, 27 Mei 2006 lalu. Ada kisah penuh suka cita para dua buku lain yakni Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan korban dan pemberi bantuan yang datang dari berbagai lembaga. Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya Jateng 27 Mei 2006 Ada juga kisah sendu mengharu biru, tentang manusia yang dan Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa. sedang menanggung derita akibat tertimpa kemalangan itu. Secara khusus, tema buku yang diungkap dalam ini adalah Namun, bagaimana sebenarnya sikap kritis dibangun di bagaimana secara satire mengulas berbagai peristiwa dan tengah situasi hiruk pikuk pasca gempa? Bagaimana sebenarnya kronologi penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, oleh penanganan dan manajemen bencana yang semestinya? Buku pemerintah. Betapa buruknya manajemen penanganan bencana, ini meneropong berbagai peristiwa, tapi dari perspektif berbeda. hingga melahirkan bencana melalui kebijakan pemerintah, itulah Terutama setelah satu tahun peristiwa bencana gemba bumi yang diusung dalam buku ini. terjadi. Tidak sekadar memaparkan bagaimana gempa telah Lahirnya judul yang berbau ungkapan plesetan khas Yogya melahirkan sejuta kesulitan hidup dan tak hanya gempa yang pun kiranya melengkapi satire itu. Berbagai janji yang pernah telah menimbulkan korban jiwa ribuan jumlahnya. diucapkan pemerintah, bahkan melalui wakil presiden, justru telah Dalam kata pengantarnya di buku yang terdiri dari delapan menjungkirbalikkan harapan para korban. Perhatikan judul: Setelah bagian ini, G Budi Subanar menulis, antara lain (kutipannya): Gempa 30 Juta sKalla Richter, itu. Ada penggalan signifikansi - ada satu hal penting yang justru luput dari pemberitaan, yakni persoalan 30 juta rupiah bantuan yang pernah dijanjikan menyuarakan tentang nilai-nilai kemanusiaan dari para korban pemerintah, dan ada pula penggalan sang tokoh pemberi janji itu. dan ajakan ke mana akan melangkah bertolak pada kondisi Maka, ketika membaca buku ini, berkelebatanlah berbagai kisah pasca bencana tersebut. pilu menyusul peristiwa bencana itu. Tentu kisah-kisah itu bisa Demikianlah, pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan di menjadi hikmah dan pelajaran. (awd) tengah situasi tidak pasti, penuh penantian dan silang sengkarut 10 | Edisi: 007/November 2007

Info buku

MENGENAL DARI LUAR KULIT TELEVISI di acara New York World’s Fair, dipamerkan HAMPIR mustahil masih ada penduduk negeri pesawat televisi berukuran 8 kali 10 inci. Dari ini yang tidak mengenal televis saat ini. Kalau sinilah akhirnya berkembang pesawat televisi pun ada, hanya sedikit, yakni mereka yang yang kita kenal sekarang. tinggal di daerah-daerah blank spot. Selebihnya, Seperti halnya media massa lain, televisi pun apalagi masyarakat perkotaan, benda bernama tidak dapat dimonopoli oleh Amerika Serikat. televisi itu sudah menjadi piranti penting dalam Saat Amerika giat mengembangkan media massa kehidupan sehari-hari. Tak hanya untuk life itu, negara-negara Eropa juga tidak ketinggalan. style, tapi sudah merupakan kebutuhan. Muncul tokoh-tokoh dari Eropa yang turut Betapa tidak. Siaran televisi yang mudah mengembangkan televisi. Kalau dari Amerika dijumpai saat ini, sudah memanjakan mata, dan dikenal Morse, AG Bell dan Herbert E.Ives, dari hati pemirsanya sepanjang hari, 24 jam nonEropa ada nama-nama Galilei-Italia, May dan stop. Berbagai program dibikin. Berbagai Velloughby Sith-Inggris, Paul Nipkow dan segmen dipilah sesuai kebutuhan khalayaknya. Meiller-Jerman dan Dr VK Zworykin dari Rusia. Ada program acara untuk anak-anak, remaja, Di Indonesia, sejarah juga untuk orangtua. Ada pula pertelevisian dimulai tahun acara yang dibuat mulai dari Judul Buku :Jurnalistik Televisi Teori dan Praktik : Askurifai Baksin 10962. Booming siaran televisi yang berat-berat, bidang politik, Editor : Simbiosa Rekatama Media mulai pada tahun 1991 ketika ekonomi, hukum, olahraga Penerbi : xii + 252 stasiun RCTI mulai mengudara sampai yang remeh-temeh, Tebal : 2007 dengan bantuan decoder. Kini tak antara lain menguak ciri khas Tahun terhitung lagi berapa jumlah makanan tertentu. stasiun televisi. Tidak hanya menjamur stasiun televisi yang Akan tetapi, bagaimana sebenarnya jurnalisme disiarkan dari Jakarta, tapi juga di berbagai daerah sudah lahir pertelevisian? Kisah tentang hal ini masih sebatas diperlukan stasiun televisi. oleh mahasiswa, terkhusus jurusan komunikasi. Buku ini Dua bagian besar buku ini adalah bagian pertama yakni mengupas seluk beluk jurnalistik pertelevisian dari berbagai Teori dan Bagian II Praktik. Pada bagian pertama selain sejarah sisi. Mulai dari sejarah, masa awal hingga produksi siaran. televisi juga dipaparkan apa dan bagaimana jurnalistik televisi Bagaimana menjadi presenter pula dibahas. adanya.Termasuk di dalamnya karakternya, bahasa dan jenis Seiring dengan munculnya stasiun televisi swasta, setelah berita televisi. 30 tahun lebih dominasi TVRI, maka kebutuhan dan produksi Sedangkan di bagian kedua, praktik, disajikan berbagai siaran menjadi keharusan yang mesti dipikirkan dan dikerjakan teknik untuk mendukung lahirnya program siaran televisi. Mulai berbagai stasiun televisi itu. daeri kamera video, teknik pengambilan gambar, reportase di Buku ini ditujukan bagi siapa saja yang hendak menerjuni lapangan, editing berita, reporter stand up, hingga bagaimana profesi sebagai jurnalis televisi. Mereka dituntut untuk menjadi presenter TV yang baik. mengetahui dunia penyiaran televisi (TV broadcasting) teori Meski masih sebatas pada pengenalan dari kulit luar seluk maupun praktik. Bagaimana news ghatering (produksi), news beluk dunia pertelevisian, namun buku ini mampu membantu editing dan kemudian news presenting, penyajian kepada memberi pemahaman bagi siapa saja yang hendak mengenal khalayak. lebih jauh tentang televisi. Sebab, persoalan yang dialami Mengutip buku Empat Windu TVRI, dipaparkan bahwa berbagai stasiun televisi, baik dalam mengatasi problem televisi merupakan media temuan orang-orang Eropa. bagaimana membuat program siaran, mengelola manajemen dan Perkembangan pertelevisian dunia ini sejalan dengan kemajuan teknik, tentu lebih jauh lebih rumit. (awd) teknologi elektronika yang bergerak pesat. Pada tahun 1939,

Edisi: 007/November 2007 | 11

Profil

MEMPROMOSIKAN PEMENUHAN HAK DASAR WARGA PENYINTAS MELALUI KEBIJAKAN ANGGARAN DAERAH

KEMERDEKAAN secara politis tidak selalu berarti kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi martabat dan hak asasi manusia. Partisipasi publik, bahkan dalam tata pemerintahan, masih lebih bersifat proforma dan di banyak tempat terbukti gagal menyelesaikan persoalan-persoalan substansial. Fungsi keuangan publik menyempit dan makin terbatas pada pembiayaan perputaran roda pemerintahan. Penyempitan ini menyebabkan hak dasar warga negara, terutama yang menyangkut hak ekonomi, sosial, dan budaya, keluar dari ranah publik dan masuk ke sektor privat. Akhirnya, ironi ini berkontribusi terhadap situasi ketidakadilan dan terabaikannya hak warga negara. Mengembalikan kedaulatan rakyat di ranah publik menjadi sangat krusial bagi penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara yang rentan dan terpinggirkan. Dalam kerangka ini, IDEA menetapkan visi kedaulatan rakyat di ranah publik sebagai kunci bagi penghargaan terhadap martabat dan hak asasi manusia. IDEA mendedikasikan usaha dan sumber-sumber yang bisa dikelola untuk mencegah bekerjanya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang mengabaikan kaum miskin, lemah, dan underprivileged. IDEA yang didirikan pada 20 Mei 1995, mengambil bentuk yayasan pada tahun 1999, dan akhirnya berubah menjadi perkumpulan pada tahun 2004 berupaya untuk mendorong tumbuhnya masyarakat yang sadar akan hak-haknya, ruang politik yang memadai bagi rakyat untuk mengartikulasikan pendapat dan kepentingannya, perangkat-perangkat perlindungan bagi kelompokkelompok rentan, kesetaraan gender, kesetaraan akses dan kontrol terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang adil, serta struktur tata pemerintahan dan politik yang berpihak pada kepentingan rakyat. IDEA sebagai Anggota Jejaring Ford Foundation Sebagai salah satu anggota Jejaring Ford Foundation (JFF), IDEA bersama dengan komunitas penyintas berupaya mempromosikan partisipasi publik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana bencana dan anggaran daerah Kabupaten Bantul. Upaya ini mempunyai inti aktivitas pengorganisasian komunitas yang didukung oleh gugus kampanye, litigasi, dan disaster budget tracking. Komunitas penyintas telah membentuk basis-basis 12 | Edisi: 007/November 2007

kelompok yang akan menjadi motor advokasi kebijakan anggaran publik. Di Dusun Kadisoro, Gilangharjo, Pandak terbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sitoresmi. Di Dusun Warungpring, Mulyodadi, Bambanglipura komunitas penyintas membentuk Kelompok Rembug Warga Cipto Manunggal. Komunitas penyintas di Dusun Klisat, Srihardono, Pundong membentuk Kelompok Kandang Ngudi Waras. Adapun Komunitas di Desa Wonolelo, Pleret yang juga melingkupi Kampung Kedungpring membentuk Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) Wonolelo. Di Dusun Joho, yang juga meliputi Kampung Joho, Jambidan, Banguntapan, komunitas penyintas membentuk Kelompok Belajar Pepadang. Selama Agustus dan September 2007, kelima kelompok basis ini sudah melaksanakan pelatihan advokasi anggaran yang difasilitasi oleh IDEA. Pelatihan dengan angka partisipasi ratarata 33 orang dan angka partisipasi perempuan rata-rata 62,6% ini mempertajam peta masalah hak dasar warga di lima wilayah yang meliputi kesehatan, pendidikan, ekonomi, sarana-prasarana wilayah, tata pemerintahan, korupsi, sosial, lingkungan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari peta masalah yang ada, kelima komunitas sudah menyusun rencana tindak terkait dengan advokasi dana bencana dan anggaran daerah. Ke depan, kelima komunitas, berjaringan dengan pemangku-pemangku kepentingan yang lain, akan melakukan upaya-upaya dialog publik dan lokakarya multipihak yang dirancang juga menghadirkan eksekutif dan legislatif Kabupaten Bantul. Aspirasi warga, yang diperkuat oleh keluaran aksi-aksi kampanye, litigasi, dan disaster budget tracking diharapkan bisa diakomodasi dalam kebijakan publik Kabupaten Bantul. Semua upaya ini bertujuan untuk mendorong adanya partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran penanganan bencana, mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas alokasi dana serta pembelanjaan dana publik, dan juga mendorong ketepatan sasaran bantuan agar memenuhi hak-hak dasar masyarakat penyintas, termasuk hak dasar kelompok marginal seperti perempuan. Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang program IDEA, silakan kunjungi di www.ideajogja.or.id atau di Jalan Kaliurang km.5 Gang Tejomoyo CT III / 3 Yogyakarta 55281 dengan telp. / fax. 0274-583900.

Related Documents

Edisi November 07
December 2019 25
Edisi November 2009
June 2020 6
Edisi Desember 07
December 2019 25
Edisi Oktober 07
December 2019 13
Edisi September 07
December 2019 19
Alhaq November 07
November 2019 8