Edisi Desember 07

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi Desember 07 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,532
  • Pages: 12
Edisi: 008/Desember 2007

PADA akhir tahun 2007 ini, sudah banyak program yang dijalankan LP3Y untuk kepentingan pemberdayaan bagi masyarakat dan media. Beragam kegiatan yang pernah diselenggarakan nampaknya butuh evaluasi agar dapat dilihat sejauhmana mencapai kemanfaatan, selain juga kekurangan/kelemahan dari program yang dijalankan. Kemanfaatan yang dimaksud adalah jika program atau kegiatan yang dilakukan dapat terus eksis, membekas dan berguna bagi mereka yang menerima. Syukur-syukur dapat dilanjutkan dengan “menularkannya” kepada orang lain. Adapun kelemahan, dalam evaluasi dimaksudkan agar LP3Y sebagai penyelenggara akan mendapat masukan. Kritik dan saran yang membangun diperlukan, sehingga selanjutnya program yang dimiliki dilakukan lebih sempurna. Semua hal itu terangkum dalam roundtable discussion yang diselenggarakan pada akhir tahun ini atau tepatnya pada 29 Desember lalu di Jogjakarta Plaza Hotel. Tujuan umum diselenggarakan Roundtable Discussion Evaluasi dan Pengembangan Isu AIDS, Gender dan Kesehatan Reproduksi (AGKR) ini, setidaknya ada dua hal. Pertama, sharing pengalaman sesama peserta diskusi. Peserta diskusi acara tersebut semuanya pernah terlibat dalam program yang dijalankan LP3Y. Kedua, dengan adanya sharing pengalaman atau cerita tentang kekuatan, kelemahan, potensi yang dapat dilakukan di lembaga peserta tentang pengembangan isu AGKR, juga dijajaki kemungkinan-kemungkinan kerjasama yang dapat dilakukan di masa mendatang. Roundtable discussion yang dihadiri oleh para aktivis LSM, perwakilan guru dan siswa SLTA serta jurnalis ini difokuskan pada pembahasan pengembangan program media di lembaga masing-masing. Dengan kata lain isu AGKR disosialisasikan melalui program media. Sehingga jika program media belum berjalan, diharapkan akan terbangun kesadaran bermedia dan isu AGKR menjadi bagian terpenting di dalamnya.

Sebagai contoh misalnya, di lembaga pendidikan atau SLTA. Siswa diberikan pengetahuan sekaligus mempraktekkan majalah dinding untuk dikembangkan di sekolahnya. Dalam materi khusus salah satu rubrik misalnya, memuat isu AGKR sebagai bahan/materi mading. Begitu pula dengan guru pembimbing. Mereka mengakui bahwa isu tersebut sangat dibutuhkan untuk mereka dan anak didiknya, agar mereka dapat memberikan informasi yang tepat ketika ada pertanyaan tentang isu tersebut dari siswanya. Pelatihan tersebut ditempuh dengan tujuan, melalui bermedia, isu AGKR dapat sosialisasikan dengan tepat. Sedangkan bagi jurnalis, persoalan klasik muncul manakala permintaan latihan untuk sosialiasi isu AGKR ini masih dibutuhkan. Diakui peserta jurnalis yang hadir waktu itu, baik media cetak maupun elektronik masih memerlukan pelatihan akan isu ini. “Entah seperti apa metodenya, tetapi isu AGKR ini masih dibutuhkan agar laporan yang disampaikannya tidak bias gender,” kata Luviana dari Metro TV. Sesungguhnya, banyak hal masih menjadi “Pekerjaan Rumah” yang perlu dilakukan, tidak hanya LP3Y sebagai penyelenggara tetapi juga para peserta yang mewakili lembaganya. Namun, strategi ke depan mungkin dapat dipikirkan tentang arah program lain yang lebih tepat. Pilihan program yang tadinya fokus pada media profesional, kini mulai dipikirkan pula pentingnya media khusus sebagai agen sosialisasi isu AGKR. Selanjutnya, tujuan kedepan program media yang dijalankan masing-masing lembaga baik itu LSM, sekolah dan perkumpulan pemuda desa diharapkan dapat mengangkat isu ini menjadi suatu isu penting. Inilah peran penting suatu lembaga dapat teruji sehingga, lembaga tersebut dapat berperan dalam pencapaian cita-cita mulia yang antara lain; memperlambat laju angka HIV, mengurangi angka aborsi di kalangan remaja, dan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender bagi sesama.

Edisi: 008/Desember 2007 | 1

Dapur Info

KEGIATAN LP3Y DESEMBER Diskusi buku tentang AGKR Senin 3 Desember. Diskusi Buku “Pers Meliput AIDS”

SELAMA

perwakilan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Sleman Yogyakarta. Mbak Nona, begitu biasa panggilan Farsijana, juga berperan sebagai penyunting buku, fasilitator lokakarya yang diadakan KPI. DISKUSI buku Pers Meliput AIDS ini dihadiri oleh sejumlah aktivis Salah satu metode yang LSM, jurnalis dan mahasiswa. digunakan ketika lokakarya Sebagai pembicara adalah Agoes penulisan Perempuan dan Widhartono, yang merupakan Bencana menurut mbak Nona mantan jurnalis di salah satu media yakni metode partisipatoris. di Yogyakarta. Agoes juga menjadi Tujuan dari lokakarya inipun fasilitator Pelatihan Peliputan dan sebenarnya dalam rangka Penulisan AIDS, Gender dan menyatukan cerita-cerita yang Kesehatan Reproduksi serta terpotong-potong karena beberapa pelatihan lainnya yang pemberitaan di media seringkali diselenggarakan LP3Y. juga demikian. Secara singkat, dalam uraian Pada awalnya dalam materinya menurut Agoes, lokakarya tersebut, peserta yang pemberitaan tentang kasus HIV/ terdiri dari pembuat kebijakan, AIDS masih sebatas momentum Suasana ketika diskusi buku “Perempuan dan Bencana aktivis, akademisi dan atau seperti jurnalisme pemadam Pengalaman Yogyakarta” berlangsung. masyarakat akar rumput kebakaran. Artinya jurnalis menulis berkumpul bersama. Mereka tentang HIV/AIDS hanya ketika ada peristiwa tertentu yang diajak untuk merenung dan berpikir apa saja yang pernah berkaitan dengan AIDS. Jika tidak ada peristiwa, maka tidak ada dialaminya ketika gempa terjadi pada 27 Mei 2006 lalu. berita tentang itu. Padahal data tentang peningkatan kasus HIV Pada tahap pertama lokakarya, peserta berpasangmisalnya, menurut Agoes setiap bulan terus bertambah, dan ini pasangan. Kemudian para peserta menuliskan tentang sebenarnya dapat menjadi bahan tulisan tentang AIDS, jika pasangannya. Sedangkan pada tahap kedua mereka mulai jurnalis dapat mengeksplorasinya menjadi tulisan yang menarik. wawancara, baik itu di lingkungan masing-masing sesuai dengan Selain itu menurut Agoes, masih banyak jurnalis yang belum pengalamannya. memahami akan fenomena HIV/AIDS. Sehingga seringkali Selanjutnya dari pengalaman yang dimiliki masing-masing jurnalis keliru menulis istilah seperti virus AIDS, penyakit AIDS peserta yang diikat dengan komitmen untuk pemberdayaan ataupun menulis AIDS dengan huruf kecil (aids). Padahal masyarakat, terangkumlah tulisan-tulisan mereka. dengan adanya kekeliruan yang elementer tersebut, dapat Dengan melalui proses tiga kali lokakarya dengan berbagai menyebabkan informasi yang disampaikan tidak jelas. diskusi intensif, perangkuman ide-ide, klasifikasi tema dan Akibatnya, pembaca atau khayalak masyarakat tidak bimbingan dari fasilitator, akhirnya terwujudlah tulisan-tulisan mendapatkan informasi HIV/AIDS dengan tepat. para perempuan dengan berbagai profesi tentang pengalamanpengalaman menghadapi bencana. Jumat, 7 Desember, Diskusi Buku “Perempuan Menurut Nona, dalam buku ini tergambar bagaimana dan Bencana Pengalaman Yogyakarta” perempuan dengan segala kekuatan-kekuatannya dapat Diskusi buku berlangsung siang hingga sore hari. Sebagai berperan menghadapi persoalan seputar bencana tersebut. pembicara hadir Farsijana Adeney-Risakotta sebagai sekretaris “Perempuan juga punya andil dalam penanggulangan bencana. 2 | Edisi: 008/Desember 2007

Dapur Info Terbukti ketika masa darurat, dapur umum atau sumbangansumbangan makanan yang diperuntukkan bagi korban gempa adalah adanya peran besar perempuan,” katanya. Masih banyak lagi fakta-fakta yang ditemukan dalam tulisan pengalaman-pengalaman tersebut. Selain adanya kekuatan perempuan, masih banyak ditemukan persoalan lain yang lebih kompleks yang dihadapi perempuan. salah satunya, bantuan yang datang masih sedikit yang memikirkan kebutuhan reproduksi perempuan seperti pembalut misalnya. Padahal bantuan tersebut sangat dibutuhkan.

Selasa, 18 Desember, Diskusi “Buku Dampak Pembakuan Peran Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta”

Penyusunan Kurikulum untuk Pelatihan Jurnalis Suara Merdeka Pada Desember ini, di sela-sela kesibukan dengan menyelenggarakan beberapa diskusi dan pelatihan, LP3Y juga menyiapkan kurikulum untuk pelatihan Jurnalis Suara Merdeka. Rencananya pelatihan akan di selenggarakana di kantor redaksi Suara Merdeka, jalan Kaligawe Semarang. Pelatihan singkat ini akan diselenggarakan selama tiga hari yakni pada 18-20 Januari 2008. Selain penyusunan kurikulum dan modul pelatihan, persiapan perencanaan pembuatan soal bagi para redaktur dan asisten redaktur nanti membutuhkan keseriusan tersendiri. Tim LP3Y menyiapkan soal-soal tersebut tentu sesuai dengan visi misi yang diemban Suara Merdeka sebagai Koran Perekat Komunitas Jawa Tengah. Bagaimana laporan dari pelatihan tersebut, kita tunggu di bulan mendatang.

Dalam diskusi buku kali ini, disinggung sejak awal diskusi tentang peran media yang turut membakukan peran gender. Berangkat dari penyajian foto dan caption yang dibuat jurnalis, sebagai pembicara Dedi H Purwadi mengatakan, karena jurnalis tidak memiliki perspektif gender sehingga caption yang dibuat Roundtable Discussion Evaluasi dan semakin memperkuat tentang pembakuan peran gender. Pengembangan Program AIDS, Gender Ditekankan Dedi, foto yang ditampilkan tidak bermasalah karena itulah fakta atau realita tentang perempuan yang terekam oleh dan Kesehatan Reproduksi media. Acara diskusi Evaluasi dan Pengembangan Program AIDS, Masih menurut Dedi yang juga fasilitator LP3Y, semestinya Gender dan Kesehatan Reproduksi (AGKR) yang media dapat berperan membantu mengikis persoalan pembakuan diselenggarakan pada sabtu 29 Desember lalu dihadiri oleh para peran gender, misalnya dengan memberi keterangan bahwa jurnalis, aktivis LSM, guru pendamping dan siswa SLTA. dengan adanya pembakuan peran gender tersebut tidak adil Adapun tujuan dari diskusi tersebut, sebagai pihak yang bagi perempuan. Karena turut berpartisipasi beban perempuan dalam program yang semakin berat. dijalankan LP3Y P e r s o a l a n selama ini, pembakuan peran gendiharapkan dari der ini sebenarnya diskusi tersebut sudah berat karena adanya masukan, negara melalui Undangkritikan dan peluang undang Perkawinan kerjasama yang tahun 1974 dapat dilakukan di mengukuhkan masa mendatang. pembakuan peran genDari diskusi der ini. Sehingga tersebut banyak dampak-dampak dari masukan dari pihak pembakuan ini dapat sekolah (guru dan merugikan perempuan, siswa) dalam terutama perempuan penyelenggaraan kelas bawah. pelatihan AGKR Suasana ketika diskusi buku “Perempuan dan Bencana Pengalaman Gambaran dari hasil untuk Siswa Yogyakarta” berlangsung. penelitian dalam buku ini Pengelola mading menurut Dedi, tidak (majalah dinding) misalnya. Selain masih butuh informasi tentang beranjak jauh meski data atau penelitian di Jakarta ini dilakukan sosialisasi AGKR, mereka juga berharap pelatihan yang pada tahun 2005. Fakta-fakta di daerah-daerah lain seperti di diselenggarakan LP3Y tidak hanya sesekali saja dilakukan. Tetapi NTT, Jawa, atau khususnya di kabupaten Bantul saat ini tidak juga butuh kontinyu, di berbagai sekolah di Yogyakarta ini jauh berbeda. Perempuan-perempuan kelas bawah yang bekerja khususnya. di sektor publik masih memikul beban ganda. Bersambung ke halaman ... 9 Edisi: 008/Desember 2007 | 3

Analisis Info

Berita Kegiatan Kesenian Pascagempa:

MENCARI BENANG MERAH KE REKONSILIASI SENI BUDAYA PEMERINTAH Kabupaten Bantul diberitakan menggagas Rekonsiliasi Seni Budaya yang akan diselenggarakan bulan Mei 2008 (Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2007). Kegiatan tersebut dimaksudkan menjadi salah satu acara yang menandai berakhirnya masa pemulihan pascagempa, yang sejak semula ditargetkan berlangsung hanya dua tahun. Rekonsiliasi Seni Budaya tersebut direncanakan tidak hanya melibatkan para seniman profesional, tetapi juga mengikutsertakan kelompok kesenian masyarakat korban gempa yang selama ini memiliki tradisi berkesenian di dusun masingmasing. Melalui kegiatan tersebut, seluruh kalangan masyarakat diharapkan melupakan segala kepahitan hidup akibat bencana gempa 27 Mei 2006. Tidak hanya itu. Pencantuman kata rekonsiliasi pada nama kegiatan tersebut mengandung maksud bahwa segala ekses yang timbul kemudian, seperti perselisihan karena pembagian dana rekonstruksi, sudah waktunya dilupakan. Tak ada lagi yang perlu diingat. Saatnya tutup buku, tancap kayon.

Tak Surut oleh Gempa Rencana mengikutsertakan kelompok kesenian masyarakat korban gempa dalam Rekonsiliasi Seni Budaya melahirkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya kelangsungan kegiatan seni budaya di tengah masyarakat korban gempa selama masa pemulihan? Ketika mereka sibuk membangun rumah kembali, ketika perhatian mereka tersita oleh upaya untuk menghidupkan kembali usaha yang sempat hancur akibat gempa, apakah mereka masih mempunyai waktu dan keinginan untuk terlibat dalam kegiatan berkesenian, yang bahkan saat normal pun boleh dikata hanya dilakukan sebagai kegiatan pengisi waktu? Kegiatan seni budaya pascagempa di Kabupaten Bantul ternyata tidaklah surut. Seperti bisa disimak lewat pemberitaan suratkabar, kegiatan seni budaya hingga kini tetap hidup di tengah warga korban gempa. Upaya menghidupkan kembali kegiatan seni budaya pascagempa tidak lepas dari peran berbagai kalangan. Kegiatan seni budaya dipandang penting sebagai bagian dari upaya 4 | Edisi: 008/Desember 2007

pemulihan, dengan tujuan membantu warga korban gempa untuk menghilangkan trauma (trauma healing) akibat gempa. Oleh sebab itu, sejak masa tanggap darurat setelah peristiwa gempa 27 Mei 2006, sejumlah lembaga non-pemerintah dalam dan luar negeri, perguruan tinggi, begitu pula lembaga pemerintah, menyelenggarakan kegiatan seni budaya yang membantu warga korban gempa untuk menghilangkan trauma. Kegiatan seni budaya dipilih sebagai salah satu bentuk penanggulangan trauma dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap desa pada dasarnya memiliki kegiatan seni budaya. Di beberapa tempat kegiatan seni budaya itu ada yang telah mati suri sebelum gempa. Namun di desa lain, kegiatan seni budaya terhenti setelah gempa. Sebagian karena peralatan rusak tertimpa runtuhan bangunan sehingga tidak layak pakai, sebagian lagi karena kesibukan warga di tengah upaya pemulihan pascagempa. Dengan menghidupkan kegiatan seni budaya, ada bentuk kesibukan lain bagi warga korban gempa. Perhatian mereka tidak lagi terpusat hanya pada kesulitan hidup yang timbul akibat gempa. Mereka tidak lagi hanya sibuk mengurusi rumah yang rusak oleh gempa. Beragam kegiatan seni budaya yang diselenggarakan melibatkan berbagai lapisan usia. Umumnya dipilih kegiatan seni budaya yang melibatkan banyak orang, tetapi sudah menjadi milik masyarakat setempat jauh sebelum gempa terjadi. Anakanak dilibatkan dalam permainan tradisional (dolanan), tarian, dan sebagainya. Sedang orang dewasa aktif dalam kesenian seperti jathilan, reog, dan lain-lain. Sebagian warga aktif menjadi pemain, penabuh musik, dan sebagainya. Sedang yang lain menjadi penonton. Dengan demikian, tujuan menjadikan kegiatan seni budaya sebagai bentuk penanganan aspek psikososial dalam upaya pemulihan pascagempa diharapkan tercapai. Usai masa tanggap darurat, kegiatan seni budaya tersebut terus berlanjut. Pentas seni budaya digelar pada berbagai kesempatan. Pada masa tanggap darurat kegiatan seni budaya sebagai salah satu bentuk penanggulangan trauma hanya diselenggarakan di dusun tempat warga bermukim. Setelah itu, kegiatan seni budaya juga dipentaskan di berbagai tempat di

Analisis Info luar dusun. Ada yang menjadi bagian acara peringatan hari besar semisal hari kemerdekaan. Ada pula yang dipentaskan dalam acara khusus seperti peringatan setahun gempa.

Antar Hasil dan Proses Ketika diberitakan kelompok kesenian berbagai dusun yang terkena bencana gempa berperanserta dalam berbagai acara yang digelar, itu menjadi bukti bahwa kegiatan berkesenian tetap berlanjut usai masa tanggap darurat. Sebagai misal, agar bisa ikut dalam pentas seni peringatan kemerdekaan, sudah tentu setiap kelompok kesenian perlu mempersiapkan diri melalui latihan. Hal yang sama berlaku pula bila kelompok seni itu akan berperanserta dalam ajang yang berbeda, seperti pada acara yang digelar untuk memperingkat setahun gempa. Akan tetapi, apabila diamati, berita suratkabar tentang kegiatan seni budaya oleh berbagai kelompok warga korban gempa muncul setelah peristiwa yang menjadi ajang pementasan diselenggarakan. Hal itu karena berita tentang kegiatan seni budaya tersebut ditulis berdasarkan hasil liputan atas peristiwa saat mana pentas seni digelar. Dengan demikian, berita tentang kegiatan seni budaya kelompok warga korban gempa hanya menginformasikan bagaimana kelompok itu mempertontonkan kebolehan mereka. Fakta yang digunakan untuk menulis berita diperoleh berdasarkan apa yang dilihat dan didengar oleh jurnalis saat meliput. Sebagai contoh, dua suratkabar, Kompas dan Kedaulatan Rakyat, banyak memberitakan peristiwa seni budaya di Bantul, termasuk peristiwa seni budaya yang sengaja dirancang dengan tema berkonteks pemulihan pascagempa. Bahkan Kompas, pada suplemen khusus yang hanya beredar di wilayah DI Yogyakarta, sering memuat laporan yang lebih mendalam tentang peristiwa seni budaya yang digelar masyarakat sekitar Yogyarta, termasuk Bantul. Meski demikian, latar belakang bahwa penampilan kelompok seni budaya itu merupakan hasil dari suatu proses panjang yang bermula dari upaya penanggulangan trauma pada masa tanggap darurat, tidak diungkap. Padahal, bagaimana kelompok warga di suatu dusun menghidupkan kembali kegiatan seni budaya di tengah kesibukan mereka dalam upaya pemulihan pascagempa, sesungguhnya bisa menjadi informasi yang penting dan menarik. Membangkitkan kembali kegiatan seni budaya bukanlah upaya yang mudah. Terlebih karena upaya itu dilakukan saat warga korban gempa sedang menghadapi berbagai kesulitan hidup. Lagi pula, mereka sendiri bukanlah penggiat seni dalam arti menjadikan kegiatan berkesenian sebagai profesi. Kegiatan berkesenian dilakukan sebagai bagian dari budaya.

Dari situlah muncul pertanyaan mengapa dan bagaimana kelompok masyarakat korban gempa menghidupkan kembali kegiatan berkesenian di tengah kesibukan mereka dalam upaya pemulihan pascagempa. Apakah kegiatan berkesenian itu dilanjutkan atas dasar pertimbangan bahwa apa yang telah dirintis saat masa tanggap darurat sayang apabila dihentikan begitu saja? Atau ada pertimbangan lain dalam melanjutkan kegiatan berkesenian itu? Apakah pertimbangan itu misalnya mengandung pemikiran bahwa kegiatan berkesenian sekaligus difungsikan untuk membangun kembali kerukunan dan solidaritas antar warga yang sempat tercerai-berai akibat gempa? Apakah inisiatif untuk terus melanjutkan kegiatan berkesenian itu tumbuh dari mereka sendiri? Atau mereka mendapat masukan dari pihak lain yang saat masa tanggap darurat mendampingi mereka untuk menghidupkan kembali kegiatan berkesenian sebagai medium untuk penanggulangan trauma? Bagaimana mereka mengatasi kendala yang timbul ketika kegiatan berkesenian itu berlanjut saat mereka sibuk dalam upaya pemulihan fisik? Apakah mereka tetap mendapat pendampingan dari pihak lain? Banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan. Terlepas dari itu, pokok pikiran yang hendak disampaikan adalah bahwa jika jawaban yang diperoleh bersifat afirmatif, maka kegiatan berkesenian yang dihidupkan kembali itu bisa dikatakan mengalami proses transformatif. Pada masa tanggap darurat, kegiatan berkesenian lebih sebagai medium untuk penanggulangan trauma. Setelah masa itu lewat, kegiatan berkesenian difungsikan secara lebih luas, yakni menjadi salah satu bagian dari upaya pemulihan pascagempa. Upaya pemulihan pascagempa tidak lagi semata-mata terfokus pada aspek fisik. Aspek psikososial juga mendapat perhatian. Gambaran sedemikian hanya hanya bisa diperoleh bila jurnalis mau berkeliling ke setiap dusun di mana kegiatan berkesenian itu dihidupkan kembali, sekalipun mereka sedang sibuk melaksanakan upaya pemulihan aspek fisik. Jurnalis perlu mengamati bagaimana mereka berlatih mempersiapkan diri sebelum pementasan, mewawancarai mereka dengan pertanyaan yang senada dengan pertanyaan yang dikemukakan di atas. Gambaran tersebut tidak ditemukan dalam berita suratkabar selama ini. Karena itu, apabila melalui berita suratkabar dicoba ditelusuri apakah terdapat benang merah antara kegiatan berkesenian sebagai medium penanggulangan trauma pada masa tanggap darurat dan Rekonsiliasi Seni Budaya yang direncanakan berlangsung Mei 2008, maka benang merah itu tidak akan ditemukan. (ron)

Edisi: 008/Desember 2007 | 5

Sumber Info

MEDIA

DAN

TENTANG

PEMBERITAAN

SEKSUALITAS DAN AIDS

Dalam Perspektif Keadilan dan Kesetaraan Gender1 Budi Wahyuni2 MEMBINCANG persoalan seksualitas dan AIDS tidak lebih dari membincang sebuah data dan data. Karena melalui datalah akan tampak seberapa jauh sebetulnya program pendekatan yang dijalankan mampu mencegah maraknya perilaku seks yang tidak sehat yang berpeluang untuk menambah jumlah korban HIV/AIDS. Bagi para dosen, peneliti dan pelaksana program demikian pula seorang evaluator. Sayangnya kuthak-khuthik data saja belum cukup. Karena masyarakat yang merasa dirinya tidak punya potensi untuk tertular akan senantiasa adem ayem. Beberapa alasan yang dapat diungkap antara lain adalah (1) mereka tidak pernah menerima transfusi darah, apalagi PMI telah menjamin darah yang diambil dari PMI dijamin bebas HIV. Tapi bagi mereka yang pernah mendapatkan transfusi darah langsung dari pendonor karena minimnya persediaan darah di PMI yang artinya b e l u m mendapatkan pemeriksaan barangkali tidak pernah terpikir akan terinfeksi virus ini. Di samping itu mereka juga bukan pengguna Narkoba suntik yang membahayakan. (2) Mereka, khususnya perempuan yang merasa setia dengan satu pasangan (baca: suami) juga akan sulit diajak untuk memahami bahwa peluang untuk tertular itu tetap ada. Jika mereka adalah laki-laki yang barangkali pernah melakukan hubungan seks dengan perempuan bukan istrinya, maka perempuan itu 1

2

bukan yang berada pada tataran Pekerja Seks. Atau seandainya Pekerja Seks, maka bukan Pekerja Seks yang acapkali di tertibkan karena mengganggu ketertiban masyarakat. (3) Mereka tidak terlahir dari jamannya HIV/AIDS sehingga peluang untuk tertular dari ibu yang melahirkan dan menyusui pun sangat kecil. Berangkat dari pengalaman ini, maka masyarakat pun juga semakin enggan untuk membincang masalah HIV/AIDS. Atau membincang namun sebatas rasa kasihan, karena bayi yang tidak berdosa harus menderita karena ulah sebagian orang yang tidak bertanggungjawab sehingga menularkan HIV kepada kedua orangtuanya. Atau akan berempati karena melihat televisi yang menayangkan bagaimana petugas satpol PP menghardik dan mengejar para Pekerja Seks yang d i a n g g a p mengganggu pemandangan umum atau lebih tepatnya a k a n mengganggu “iman” para laki-laki yang melihatnya. Bahkan tidak jarang para perempuan Pekerja Seks ini berlari sekuat tenaga, berupaya menyelamatkan diri dengan berbagai cara, bahkan ada yang langsung menceburkan diri di sungai. Penertiban ini, biasanya diikuti dengan pemeriksaan IMS, PMS dan HIV. Sekilas pemberitaan tentang AIDS memang sudah proporsional, dalam arti akan diminati masyarakat untuk melihat

Disampaikan pada Diskusi “Media dan Pemberitaan tentang Seksualitas dan AIDS” oleh Forum Studi Komunikasi Fisipol UAJ, pada tanggal 8 Desember 2007. Aktivis Perempuan, ketua PHDPKBI DIY dan Peneliti pada PSKK UGM.

6 | Edisi: 008/Desember 2007

Sumber Info atau membacanya. Dan tentu dengan harapan masyarakat akan semakin sadar akan penularan HIV dan diharapkan akan bersedia untuk mencegah perkembangan HIV. Dan akan semakin menggugah empati masyarakat untuk berbagi perhatian pada mereka yang terpaksa terpapar virus ini. Sayangnya, informasi yang belum dikemas dengan tepat ini bukan menimbulkan perhatian yang serius terhadap HIV/ AIDS apalagi menimbulkan rasa empati, namun sebaliknya yaitu stigmatisasi. Salah satu bukti bahwa masyarakat tidak dengan kritis menyikapi penyebaran HIV adalah munculnya Perda Larangan Pelacuran. Salah satu alasan melarang masyarakat untuk mendekati dunia prostitusi bahkan jika perlu prostitusi dihapuskan dari kehidupan masyarakat karena dunia prostitusi adalah pusat penyebaran HIV. Dan yang pasti tidak ada satupun agama yang membolehkan perzinahan. Sekalipun faktanya, sampai kapanpun prostitusi tidak akan pernah bisa dihapuskan sepanjang kehidupan manusia itu sendiri. Lalu apa yang salah dengan semua ini? tentu saja saya tidak hendak menilai benar atau salah. Namun yang pasti strategi mencampur adukan penularan HIV dengan pendekatan moral merupakan langkah yang tidak tepat. Karena sesungguhnya pendekatan moral tidak hanya digunakan untuk mengatasi masalah HIV, namun juga masalah kehidupan pada umumnya. Mulai dari mencuri, korupsi, menyantuni yatim piatu sampai dengan tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan termasuk perkosaan. Stigmatisasi muncul tidak hanya pada perempuan Pekerja Seks namun juga pada teman-teman Waria dan Gay. Sekalipun data menunjukkan bahwa persebaran HIV dua atau tiga tahun terakhir ini meningkat di antara pengguna Narkoba suntik. Yang pasti, pengguna narkoba suntik tidak terstigma sebagaimana Pekerja Seks, Gay dan Waria karena kehidupannya tidak terlalu erat dengan dunia seksualitas. Lima saja, pemberitaan di media elektronik akhir-akhir ini tentang “penangkapan” artis-artis yang terlibat narkoba. Tertangkap karena pengguna Narkoba terasa bernuansa kemewahan karena boleh di kata narkoba mahal harganya. Maka dunia glamour akan lebih lekat. Tentu sangat beda dengan dunia prostitusi yang lebih berkesan “zinah” dan sarat dengan kumuh dan dosa. Yang lebih menyedihkan

sambungan dari halaman ...2 Sebagai daya tarik mereka malah berharap lebih, setelah pelatihan ada semacam lomba mading. Adapun tujuan dari lomba tersebut untuk membangun kesadaran bermedia di sekolah. Karena diakui oleh mereka kendala kaderisasi siswa pengelola mading belum berjalan. Sehingga bagi siswa yang telah dilatih dan akhirnya lulus, tidak ada yang menggantikannya. Lain halnya dengan LSM. Beberapa kendala dalam program bermedia, diakui hampir sama tentang kaderisasi. Namun ada persoalan lain seperti masih banyak kelemahan dalam hal penulisan tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mereka berharap ada kerjasama di masa mendatang.

lagi, perempuan ini menjadi semakin erat dengan predikat penggoda dan pemikat kaum laki-laki. Bermula dari permasalahan ini, maka tidaklah salah jika kemudian muncul tema peringatan Hari AIDS Sedunia atau yang lebih dikenal dengan HAS, Stop AIDS, Keep Your Promise dan dilanjutkan di tingkat nasional kepemimpinan dan kasih sayang. Kepemimpinan atau keteladan ini sesungguhnya sarat dengan tugas yang sangat berat. Siapa yang lebih diarah, kalau bukan para pengambil kebijakan yang hingga saat ini masih selalu menduakan atau tidak fokus. Hal ini tampak pada kebijakan penggunaan kondom yang lebih difokuskan pada mereka yang dianggap rentan, bahkan program kondom 100% pun ditunjukan pada dunia prostitusi. Dan direspon dengan sticker ABRI dilarang masuk kawasan ini (baca: prostitusi). Sementara bagi masyarakat lain yang tidak mengunjungi prostitusi dan ingin berperilaku sehat tidak tersedia dengan baik, bahkan ATM Kondom pun di tolak dengan alasan akan memperbanyak perilaku seks bebas di antara remaja. Idealnya, berbagai langkah segera dilakukan. Seks yang dimasukan dalam kebutuhan dasar manusia ini, sebaiknya mendapatkan perlindungan yang dasar pula. Bukan sebaliknya. Masih saja mempertentangkan arti pentingnya perlindungan HIV dengan cara-cara lain, sementara perilaku seks tidak sehat rada dimana-mana. Bahkan tidak sedikit yang karena “patriarkhat”nya masih mempertanyakan kualitas kondom dengan pori-porinya yang lebih besar dari sperma. Seks yang sehat merupakan hak setiap orang. Perlindungan terhadap tertularnya HIV merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah selaku penyelenggara negara. Perubahan perilaku akan tumbuh dan berkembang melalui informasi yang memadai dan akan membuat masyarakat sadar dengan berbagai risiko yang ditimbulkan. Informasi yang dikemas dengan baik dan benar, bebas dari stigmatisasi, bebas dari bias gender membutuhkan kepedulian semua pihak. Bukan hanya wartawan yang dilatih untuk mengemas media dengan baik dan benar, namun juga para pengambil keputusan di internal media tersebut. Lalu dari mana sebaiknya dibenahi? Jawabnya, strategi komunikasi para pakar komunikasilah ahlinya.(*)

Penulisan sesuai dengan kaidah jurnalistik juga diakui beberapa teman aktivis memang tidak dibutuhkan karena tidak terlalu penting. Hal ini dikarenakan disesuaikan dengan kelompok dampingannya, sehingga yang terpenting bagi mereka ada komunikasi yang “nyambung” terhadap teman aktivis dan kelompok dampingannya. Hal lain yang menjadi masukan dari para jurnalis, sangat disayangkan tidak adanya pelatihan AGKR bagi jurnalis media umum. Padahal mereka masih membutuhkan pelatihan tersebut. Ini diungkapkan hampir semua jurnalis yang hadir pada waktu itu. Pengetahuan AGKR bagi jurnalis baru saat ini sama sekali tidak ada. Sehingga yang terjadi, liputan atau laporan-laporan yang dihasilkan masih sangat bias gender. (may) Edisi: 008/Desember 2007 | 7

Spesial Info

CITRA IBU DALAM SINEMA PASCA ORDE BARU

TERHITUNG sekitar lima tahun terakhir, jagat bioskop Indonesia kembali semarak dengan pemutaran film-film karya sineas lokal. Sejak film Petualangan Sherina meraih box office dalam pemutaran di berbagai jaringan bioskop nasional, sejumlah film berikutnya menyusul sukses, seperti Ada Apa Dengan Cinta, Jelangkung, Hearth dan sebagainya. Berbagai data yang dirilis lembaga dan organisasi perfilman menyebut secara optimistik sedikitnya ada 50-60 judul film yang diproduksi setiap tahun. Bahkan jika memasukkan film berdurasi pendek dan independen, maka jumlah itu membesar tiga kali lipat. Berkenaan peringatan hari ibu 22 Desember tahun 2007 ini, maka kiranya menarik mencermati potret dan citra “ibu” (mother) dalam film-film produksi lokal pasca Orde Baru. Peneliti sinema yang masih kuliah di Universitas New York Intan Paramaditha (2007) menyebutkan, era Orde Baru merupakan era film dengan citra ibu yang begitu kuat bias genderya. Bagaimana era pasca Orde Baru? Pasca Orde Baru runtuh hingga tahun 2007 ini, terdapat sedikitnya enam film yang secara dominan menggambarkan sosok ibu dan atau sosok perempuan secara umum. Bukan pula sebuah kebetulan, jika keenam film tersebut dibesut oleh sutradara yang berusia muda, memiliki wawasan dan berpendidikan film pasca Orde Baru, mayoritas kaum perempuan. Pertama, film berjudul Pasir Berbisik arahan sutradara Nan T Achnas, dosen FFTV Institut Kesenian Jakarta. Film ini menampilkan Christine Hakim dan Dian Sastrowardoyo sebagai sosok ibu dan anak. Kedua, film Eliana Eliana besutan Riri Riza yang dibintangi antara lain oleh Jajang Pamuncak dan Rachel Maryam selaku ibu dan anak. Ketiga, Biola Tak Berdawai yang dibintangi oleh aktris senior Ria Irawan. Keempat, film ber-setting kehidupan kaum urban sosialis “Arisan” yang dibintangi antara lain oleh Cut Mini Theo dan Tora Sudiro. Kelima dan yang paling fenomenal adalah film berjudul Berbagi Suami (Love to Share) arahan sutaradara peraih Citra FFI Nia Dinata. Keenam, film berjudul Mengejar Mas Mas besutan sutradara peraih Citra FFI Rudi Soedjarwo, yang kemudian berhasil pula mengantar pemeran utamanya, 8 | Edisi: 008/Desember 2007

Dinna Olivia meraih Piala Citra FFI 2007 di Riau sebagai aktris terbaik. Nama-nama Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Nia Dinata, Mira Lesmana dan Nan T. Achnas adalah generasi baru dalam perfilman Indonesia. Tiga nama terakhir ditambah nama lain seperti Shanty Harmayn dan Prima Rusdi adalah figur perempuan yang menonjol, tidak hanya karena berperan dalam melahirkan film yang berkualitas sebagai sutradara ataupun produser, tetapi mereka terlibat dalam aktifitas advokasi penyehatan film nasional, pembebasan kreativitas melalui kelompok Masyarakat Film Indonesia (MFI). Mereka gencar mengkampanyekan penghentian sistem sensor film yang antara lain menghambat kreativitas baru dalam menerjemahkan relasi gender. Mereka relatif berjarak dengan penguasa dan atmosfer film di era Orde Baru yang terkungkung pada mainstream untuk mengamini konsep politisasi figur ibu (politicized mother) atau memilih bungkam dengan meninggalkannya, tidak melakukan apapun. Mereka terjun dan berkiprah dalam industri sinema bertepatan dengan maraknya gerakan untuk pemberdayaan perempuan atau feminisme di Indonesia, yang juga dimotori generasi muda sebaya mereka. Momentum runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru tahun 1998 juga ditandai dengan trend kebebasan berekspresi bagi kalangan seniman termasuk sineas menyusul ditutupnya Departemen Penerangan. Konsep ibu yang sejak awal bias gender melalui institusi Dharma Wanita (male dominated) perlahan mengalami pergeseran. Mereka menghadirkan pendekatan ibu sebagai agen perubahan, misalnya dalam bangkit dari keterpurukan di lembah prostitusi (female agency: the mother and the prostitute). Film Mengejar Mas Mas berhasil menampilkan PSK yang diperankan Dinna Olivia sebagai sosok yang tegar menghadapi berbagai problem personal dan lingkungan sosial, sosok yang peduli terhadap remaja perempuan di luar dirinya agar tidak terjebak kepada profesi serupa. Dalam konteks isu-isu gender, stereotipi adalah suatu formasi menghadirkan ulang dalam film dan televisi yang menempatkan karakteristik dan budaya perempuan sebagai

Spesial Info statis dan satu dimensi. Akting yang selalu digambarkan emosional, subordinatif atas lawan jenisnya. Terlalu banyak ditemukan aktor (laki-laki) difigurkan sebagai pahlawan, penolong dengan secara sistimatik mereduksi aktris (perempuan) menjadi hanya sekadar pendamping, penghibur secara seksual dan sebagainya. Chris Baker (1999), sosiolog penganut teori komunikasi jarum hipodermik menyebut jaringan televisi global seperti MTV, HBO dan jaringan film global seperti Warner, Fox dan Columbia telah berhasil mereproduksi suatu persepsi buruk tentang ras, agama dan kelas sosial (Amerika dan Eropa Barat) dan laki-laki yang dominan dan hegemonik atas ras lain di dunia melalui tayangan produk fashion dan berbagai matra-gaya hidup terkait lainnya. Globalisasi televisi dan film menjadi sumber utama penunggalan persepsi tentang apapun termasuk perempuan khususnya sosok ibu. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, penggambaran film yang tidak realistik seputar relasi seksualitas, sosok ibu dan anak perempuan mudah ditemukan. Operasi media industri global yang saling terkait dan dikendalikan dari satu kawasan budaya tertentu seperti kendali MTV di Amerika Serikat memainkan peran signifikan mengembangkan dan memelihara representasi hedonistik sosok perempuan, binarioposisi, kelas sosial dan mendeseminasikan representasi ini secara internasional (worldwide). Media global melakukan diskriminasi gender.

Banyak pengamat perfilman meyakini bahwa trend komunikasi isu atau muatan komersial dalam film mulai bergeser, dari pendekatan yang stigmatik atau stereotype atas peran lakilaki-perempuan (male-biased), ke pendekatan yang lebih bermuatan hubungan kemitraan. Film yang menjuarai berbagai penghargaan dalam festival film nasional (FFI) dan festival serupa di Asia Pasipik mulai didominasi tema sosial yang kuat dan saat disitribusi di bioskop relatif sukses. Dengan kata lain, gerakan sineas muda dan trend film produksi pasca Orba di Indonesia merupakan kecenderungan global, minimal sebuah perlawanan atas “globalisasi selera” film mainstream oleh generasi baru di Indonesia yang semakin menentukan masa depan industri film. Para sineas muda pasca Orde baru makin menyadari bahwa zaman dan tuntutan penonton perkotaan mulai berubah, pembentukan citra diri bagi generasi muda amat penting untuk tidak selalu secara membabi buta berkutat pada karakter perempuan termasuk relasi ibu-anak perempuan yang pasif, nrimo, hubungan biologis yang primitif seperti seorang perempuan kemudian ditaksir seorang laki-laki atas dasar kecantikannya. Pendekatan ini dinilai dangkal, ketinggalan zaman, murahan. Analisis ini barangkali terlalu dini dan dalam konteks industri semuanya masih ditentukan oleh respon market akan tetapi kita boleh berhadap agar semoga trend ini tidak berhenti sebagai sebuah “jeda” komersial semata. (Masduki, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII)

Edisi: 008/Desember 2007 | 9

Info buku

TENTANG NEGERI YANG TAK PERNAH (MAU) BELAJAR Begitu pemerintah mulai beraksi, justru PROGRAM rekonstruksi pascagempa di Bantul, masalah kian panjang. Soal pangan, distribusi tak Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bisa tepat tempat, waktu, bahkan tak tepat sasaran dikatakan hampir selesai seluruhnya. Ada yang dan bentuk. menilai, program pemulihan di Bantul jauh lebih Dalam hal distribusi, birokrasi menyebabkan cepat daripada program serupa di Aceh bantuan tak bisa dengan mudah diakses para (meskipun tidak setara benar untuk korban. Bahkan, tak sedikit korban yang akhirnya diperbandingkan, mengingat tingkat kerusakan terlewatkan. yang amat jauh berbeda). Mengapa hal seperti itu masih saja terjadi? Terlepas dari telah “pulihnya” kehidupan Bahkan, setelah Bantul, hal serupa terjadi pula di sosial-ekonomi di Bantul, banyak catatan dari Pangandaran ketika diterjang tsunami, dan Padang penanganan bencana gempa bumi Sabtu pagi 27 ketika diguncang gempa, juga banjir di sepanjang Mei 2006 itu, yang tidak boleh dilupakan Bengawan Solo akhir 2007. sekaligus menjadi pelajaran untuk semua pihak Buku ini menunjukkan, hal tersebut karena Buku Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan kapasitas sistem dan kinerja Penanganan Bencana Gempa : Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan birokrasi pemerintah masih Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006 Judul Penanganan Bencana Gempa Bumi sangat lemah. Ruwet dan menyampaikan pesan utama bahwa Yogya-Jateng 27 Mei 2006 panjangnya jalur birokrasi kita ternyata belum juga bisa Editor : AB Widyanto pemerintah semakin menguatkan menangani bencana secara benar. penilaian itu. Bahkan, seperti judul buku, Penerbit : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas Buku berisi kumpulan penanganan pascagempa di Bantul Halaman : xxix + 573 hal : 2007 catatan lapangan para praktisi justru carut-marut alias kisruh. Tahun lapangan (sebagian besar dari Agaknya, ini akibat pengalaman LSM) dalam penanganan bencana yang terjun mulai hari pertama buruk penanganan pada bencana-bencana sebelum 27 Mei 2006 di ini, tak semata memberi rapor merah untuk pemerintah. berbagai tempat di Indonesia tak pernah secara sungguh-sungguh Sejumlah penulis memberikan catatan reflektif terhadap dijadikan bahan pelajaran. Artinya, peristiwa 27 Mei 2006 makin peran dan perilaku sejumlah LSM serta media. Sebagian LSM mengukuhkan kita sebagai bangsa yang tidak pernah (mau) belajar. dinilai lebih mementingkan target-target program dan lebih Masalahnya, akibat dari kondisi seperti itu korbannya tak lain memihak kepada donor daripada korban sehingga banyak selalu para korban bencana, rakyat. Untuk kasus Bantul, para korban mengabaikan kebijakan setempat bahkan nyaris mematikan ibarat didera dua kali gempa. Gempa pertama, guncangan bumi inisiatif masyarakat. berkekuatan 5,9 Skala Richter. Kedua, gempa sosial akibat guncangan Media, tentu tidak semua, masih berkutat pada dramatisasi para aktor yang terlibat dalam penanganan bencana. Di sisi lain, selalu bencana daripada meningkatkan pemahaman tentang saja ada pihak yang diuntungkan dari tiap penanganan bencana. penanganan bencana. Media yang bertindak sebagai penyalur Yang menarik, lebih tepatnya memprihatinkan, pemerintah bantuan pun merupakan sebuah persoalan dalam konteks fungsi menjadi aktor yang paling menonjol dalam sorotan publik termasuk media massa yang sesungguhnya. Ketika media menggunakan dalam sebagian besar dari 26 tulisan di buku setebal 573 halaman ini. bendera korporat dalam menyalurkan bantuan, layak Seperti pada bencana sebelumnya, ketika terjadi bencana dipertanyakan siapa yang sesungguhnya diwakili? Korporasikah pemerintah menjadi aktor yang hadir pada urutan ke sekian. atau pembaca/pemirsa? Ambil contoh dalam hal bantuan pangan, meskipun pemenuhan Itu satu hal. Hal lain, dalam posisi seperti itu, bagaimana pangan menjadi kewajiban pemerintah, fakta lapangan fungsi kontrol yang harus dilakukan media ketika media sendiri menunjukkan warga korban dan warga dari daerah yang terbebas dari bencanalah, termasuk elemen masyarakat seperti LSM, yang justru menjadi pihak yang seharusnya dikontrol (sebagai penyalur bantuan). (ded) justru lebih cekatan ketimbang pemerintah. 10 | Edisi: 008/Desember 2007

Info buku

MEMAHAMI HUKUM DI TENGAH BELANTARA MEDIA BICARA soal hukum tentu bakal menggiring ke Dalam memahami hukum media, juga masih dalam pemikiran tentang pasal-pasal dan terdapat kerancuan, terutama dalam melihat konsekuensi secara hukum. Pasal itu berbicara pengertian kebebasan dan pengaturan hukum demi pengertian yang disebut adil. Maka jika dalam media. Sebagian kalangan masih menganggap dunia media kemudian juga masuk pasal-pasal media tetap perlu dikontrol, karena itu perlu hukum itu, akan menjadi jamak manakala pasal itu perangkat hukum dan lembaga pengontrol. kemudian diartikan sebagai syarat atau rambu bagi Sebagian kalangan yang lain berpendapat perjalanan keberlangsungan sebuah media. pengaturan dan pembentukan lembaga pengawas Namun, menurut penulis buku ini, ada media bertentangan dengan prinsip kebebasan anggapan umum di masyarakat, termasuk pers. kalangan media, bahwa hukum hanya sekadar Pada akhirnya, memang, hukum bukan satusuatu aspek atau faktor yang marginal dalam satunya faktor yang bisa membuat “hitam kehidupan media massa atau pers. Hal itu bisa putihnya” media massa. Maka, oleh penulisnya dilihat dari banyaknya karya tulis atau diskusi buku ini dimaksudkan untuk mencoba mengisi yang mencantumkan judul, kekosongan tentang hukum memisalnya “aspek-aspek hukum Judul Buku : Dasar-dasar Hukum Media dia, meski hanya meliputi media : Hari Wiryawan pers” atau “aspek-aspek yuridis Penulis cetak (koran/majalah) dan media massa.” Pada umumnya Penerbit : Pustaka Pelajar penyiaran (radio/TV) dan tidak : 2007 masyarakat masih melihat secara Tahun meliputi internet atau hukum : xxiv + 220 parsial masalah media dan hukum. Tebal telekomunikasi lainnya. Sebenarnya, demikian Sesuai judulnya, buku ini penulis buku ini, bagi media massa hukum akan menentukan hanya mengantarkan pembaca untuk mempelajari hukum media berkembang tidaknya bidang ini. Hukum juga akan menentukan lebih lanjut. Ditujukan bagi mereka yang bergerak atau pelaku corak perkembangan media massa. Karena itu kedudukan hukum di bidang media massa juga kalangan akademisi serta mereka dalam media massa tidak dapat hanya disebut sebagai “aspekyang bergelut di bidang hukum misalnya jaksa, hakim, aspek hukum media”. Hukum adalah bagian integral dan bahkan pengacara. merupakan tonggak utama kehidupan media massa. Dibagi dalam lima bab, buku ini diawali dengan pengantar Contoh mutakhir di Indonesia adalah perubahan kehidupan dalam bidang hukum. Membicarakan aspek ilmu hukum dan media yang sangat kontras antara masa Orde Baru dan masa tata hukum di Indonesia. Dilanjutkan pembahasan tentang meReformasi. Pada masa Orba, berlaku UU Pokok Pers No.21 tahun dia massa dilihat dari ilmu komunikasi, sejarah hukum media 1982 yang memberlakukan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). dan ruang lingkup hukum media, sumber hukum apa saja yang Sedangkan pada masa Reformasi berlaku UU Pers No.40/1999 diatur dalam hukum media, bagaimana asasnya dan sebagainya. yang menghapuskan SIUPP. Kedua hukum itu berpengaruh Sebagai buku teks, apa yang disajikan secara mendalam langsung pada kehidupan pers di Indonesia. dan detil dalam buku ini niscaya dibutuhkan bagi mereka yang Berbicara soal hukum media, masih terjadi salah kaprah ingin memperdalam bidang hukum khususnya hukum media. pengertian bahwa hukum media adalah hukum pidana pers cetak. Meski sarat dengan pemaparan teoteris ilmiah di bidang Pembahasan aspek hukum media hampir selalu berujung pada hukum, buku ini tetap pula memaparkan bagaimana delik-delik pers yang mengacu pada ketentuan hukum warisan perkembangan perjalanan sejarah hukum media di negeri ini. penjajah yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan penulisan menggunakan bahasa yang mudah Sangat jarang diskusi tentang hukum mengacu kepada sumber dimengerti, dilatarbelakangi pengalaman penulis sebagai praktisi hukum media yang utama yaitu konstitusi atau Undang-Undang media, tetap penting dan menarik untuk dibaca.(awd) Dasar 1945. Edisi: 008/Desember 2007 | 11

Profil

KEBERLANJUTAN SENI TRADISIONAL PASCA GEMPA BANTUL

Rumah Seni Cemeti sejak 1988 hingga sekarang aktif mempromosikan dan mendorong pertumbuhan gagasan dan produksi karya dari seniman-seniman kontemporer baik dari Indonesia maupun mancanegara. Setiap tahun, sedikitnya diselenggarakan sebelas proyek pameran, baik pameran tunggal maupun pameran kelompok. Begitu pula beberapa genre medium seni kontemporer seperti performans, ‘site-spesific projects’ dan ‘ happening art’, yang kemudian didukung oleh diskusi, presentasi serta perbincangan seniman (Artist Talk). Bekerja sama dengan lembaga-lembaga seni budaya lainnya, Rumah Seni Cemeti juga menyelenggarakan proyek pameran nasional di Indonesia maupun internasional di berbagai Mancanegara. Untuk pencarian dan pengembangan wacana, Rumah Seni Cemeti tidak hanya menyediakan panggung bagi gerakangerakan seni rupa terbaru, melainkan menukik lebih dalam, dengan mendorong serta memfasilitasi proyek-proyek secara khusus, menghubungkan para seniman dengan berbagai bidang profesi lain. Menginisiasi kerja kesenian lokal/kontekstual, yang berkaitan dengan komunitas tertentu (misalnya, proyek “Art of Bamboo” 2002, proyek “Choose your own public: Playground” 2005, dan “Choose your own public: Counter Attract” 2005). Sejak 2006, Rumah Seni Cemeti membuka program residensi berseri: ‘Landing Soon’. Selama tiga bulan dalam satu seri rentang waktu residensi, para seniman terpililh ‘mendarat’ di Yogyakarta. Lokalitas sebagaimana globalitas dipertanyakan dan diteliti ulang melalui berbagai visi, gagasan dan tema oleh kondisi setempat. Seni Kontemporer di Indonesia bisa dilihat sebagai bentuk, kepedulian dan pandangan jauh menembus demensi zaman, serta pada saat yang sama juga merupakan refleksi para seniman terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Ada sekelompok seniman yang karyanya menyiratkan kritik dengan membaca fenomena umum dan ‘stagnan’ dalam kehidupan sosial bermasyarakat, sementara kelompok seniman lain mengekspresikan pendekatanpendekatan individual/personal terhadap realitasnya. Ide-ide dan gagasan-gagasan ini diwujudkan dalam kreatifitas ragam medium.

Anggota Jejaring Ford Foundation Sebagai salah satu anggota jejaring Ford Foundation, Rumah Seni Cemeti berperan membangun dan menghidupkan 12 | Edisi: 008/Desember 2007

kembali seni tradisional di lima dusun (Kedungpring, Warungpring, Kadisoro, Klisat dan Joho) di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dilatarbelakangi kemurungan tertimpa gempa pada Mei 2006 lalu, kebutuhan dan semangat berkesenian warga dusun nampak merosot tajam. Tentu bukan tanpa alasan, karena bukan sekadar peralatan dan atau perangkat yang biasa digunakan untuk produksi pertunjukkan ikut remuk tertimpa gempa. Bersamaan dengan kesibukan warga untuk membangun kembali rumah dan infrastruktur desa yang lebih sinergis, pada saat yang sama warga juga harus mempergunakan peluang untuk menguatkan spirit, mengolah trauma dengan pendekatanpendekatan melalui kesenian lokal tradisional, memperbarui keyakinan sebagai bagian dari kekayaan budaya yang hampir terlupakan. Support yang diberikan melalui Rumah Seni Cemeti kepada warga dusun, tidak hanya dan tidak selalu berupa peralatan seni pertunjukkan, akan tetapi juga cara-cara alternatif penyadaran untuk membangun semangat berkesenian mempergunakan potensi kreatif, dalam memanfaatkan alat-alat seadanya guna menciptakan ketahanan ‘guyub’ antar warga masing-masing. Melalui beberapa kali ‘workshop’ penyaringan aspirasi warga, penelusuran potensi sumber daya manusia dalam membentuk kelompok kesenian yang berkelanjutan dari masingmasing dusun; maka dimulai dengan Agustusan 2007 lalu, telah dicanangkan sebagai peristiwa tahunan yang sangat beralasan untuk membangkitkan kembali semangat berkesenian lokal dan kontekstual secara berkelanjutan. Disamping pertunjukkan kesenian tujuhbelasan beserta hajat-hajat kesenian yang sudah menjadi tradisi, mereka juga berlatih menari, menyanyi tembang dan membangkitkan serta menyegarkan kembali dolanan tradisional anak yang mulai ditinggalkan di sana-sini. Hal-hal pendukung ini juga menjadi sasaran program lain dari Rumah Seni Cemeti. Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Telp/Fax. : +62 (0)274 – 371015 Hp. : +62 8122733564 Email : [email protected] Buka : 09.00 a.m. - 06.00 p.m., kecuali Minggu dan Senin.(*)

Related Documents

Edisi Desember 07
December 2019 25
Edisi November 07
December 2019 25
Edisi Oktober 07
December 2019 13
Edisi September 07
December 2019 19