Edisi Oktober 07

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi Oktober 07 as PDF for free.

More details

  • Words: 7,300
  • Pages: 12
Edisi: 006/Oktober 2007

foto by hafid

Masih banyak lagi kegiatan-kegitan yang dilakukan PERJALANAN Program Integratif Pemulihan Pasca gempa anggota JFF yang berjumlah 12 LSM untuk membangun di 5 Dusun (Kadisoro, Kedungpring, Klisat, Warungpring dan masyarakat setempat. Selain juga program perumahan (housJoho) di wilayah Bantul sudah berjalan kurang lebih 6 bulan. ing), sinau anggaran, penyusunan housing code dan sebagainya. Banyak kegiatan yang telah dilakukan LSM Jejaring Ford FoundaBerkaitan dengan itu, persiapan para LSM Jejaring ini dalam tion (JFF) dalam melangsungkan kegiatan programnya masing-masing. menyambut tamu dari Ford Sebut saja kegiatan Foundation New York dan yang dilakukan CHPSC (CenRepresentatif Asia (Rusia, Cina, ter of Health Policy and Social Indonesia, India, Vietnam), Change) atau Pusat Studi mereka mengadakan pertemuan Kebijakan Kesehatan dan untuk persiapan tersebut. Sosial, yang telah melakukan Masing-masing LSM akan sejumlah workshop di beberapa memberikan atau Sekolah Dasar tentang program memperkenalkan program yang penanganan Demam berdarah telah mereka jalankan selama ini. Dengue (DBD). Acara ini rencananya Ataupun yang dilakukan akan diselenggarakan di ASPPUK (Asosiasi Kampung Joho, Jambidan, Pendamping Perempuan Usaha Banguntapan, Bantul. Kecil), memberikan bantuan Mengingat padatnya acara bagi perempuan yang punya tamu tersebut, sehingga usaha kecil ataupun perempuan yang berniat memiliki usaha. Salah satu persiapan di stand ASPPUK untuk menyambut tamu Ford Foundation New York pengaturan waktu untuk dan Representatif Asia (Rusia, Cina, Indonesia, India, Vietnam). presentasi, kunjungan ke Bantuan yang diberikan rumah-rumah warga dusun Joho yang mendapatkan manfaat atau ASPPUK dapat berupa peralatan seperti sepeda sebagai alat bantuan atas program ini pun perlu diperhitungkan waktunya. transportasi bagi mereka yang membutuhkan, kompor dan wajan Semua itu dilakukan dengan harapan akhir November bagi pembuat emping melinjo, meja ataupun lemari yang berguna mendatang, tamu-tamu tersebut dapat mendapatkan sesuatu, untuk usaha dagang dan masih banyak lagi bantuan lainnya. paling tidak “sesuatu” yang berharga agar bisa bermanfaat. Atau Bantuan memang tidak seragam, tapi diberikan berdasarkan dengan kata lain program integrative ini bisa menjadi model kebutuhan masing-masing para perempuan untuk menjalankan dalam penanganan pemulihan pasca bencana di mana saja. kegiatan ekonominya. Karena para perempuan tersebut berperan Dalam kaitan penangan pasca bencana tentu media penting dalam menjalankan ekonomi keluarga. idealnya juga punya peran penting membantu. Untuk itu pada Selain itu masih ada juga Cemeti dengan pemberdayaan di sektor kesenian. Sebagaimana pasca gempa ini, banya pelaku Oktober ini, rubrik analisis info mengupas tentang bagaimana media menyajikan berita tentang pemotongan dana rekonstruksi. kesenian masih enggan membangun kembali kesenian di Selain itu rubrik Spesial Info, masih tentang pemberitaan daerahnya akibat trauma gempa dan peralatan kesenian yang media, kali ini menganalisis tentang validitas data pada kasus rusak. Dalam program ini Cemeti hadir sebagai fasilitator untuk majalah Time VS Soeharto. membangkitkan kesenian yang dulu pernah ada. Dengan Masih banyak lagi sajian laporan menarik lainnya. Untuk mengadakan beragam workshop dan kegiatan atau pertunjukan lebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan tersebut. kesenian dengan tujuan menumbuhkan semangat berkesenian Selamat membaca. agar tetap lestari dan tidak hilang.

Edisi: 006/Oktober 2007 | 1

Dapur Info

KEGIATAN LP3Y DI BULAN OKTOBER

foto by hafid

Diskusi Film “Mungkin Aku Belum Mengerti” Ada beberapa catatan dalam film ini menurut Ading, PADA 4 Oktober lalu pukul 15.30, tepatnya di perpustakaan panggilan Masduki biasa disapa, pertama, akting Fauzi Badila LP3Y diselenggarakan diskusi film yang berjudul Mungkin Aku sebagai tokoh kurang tergali. Karakter sebagai cowok anteng Belum Mengerti. dapi romantis kurang tergali tentang dia. Film ini bercerita tentang seorang pemuda yang semula tidak Kedua, setting asmara dalam film ini cukup mampu tahu apa-apa tentang mengikat emosi penonton informasi HIV/AIDS, utnuk mengikuti hingga mempunyai calon pacar akhir cerita, tetapi mengapa yang terpapar HIV, harus di-close adegan menghadapi pengalamanberpelukan? pengalaman buruk seperti Catatan atau kritikan melihat dan ikut berperan ketiga yakni, penggambaran rekan kerjanya dikeluarkan antara mall yang megah, karena diketahui terinfeksi rumah dan kota yang lebih HIV, melihat perilaku menerima ODHA kontras anarkis warga yang mengusir dengan suasana desa/pojok ODHA (Orang dengan HIV) kota yang warganya dari tempat tinggalnya. “marah” diskriminatif. Selain itu, film ini Apakah ini mengandung sebenarnya punya tujuan bias bahwa “orang kota” yang di antaranya memberi lebih punya awareness? informasi kepada penonton Catatan ketiga tersebut tentang informasi HIV/ hampir sama “nafasnya” Para siswa SMU ketika diberikan materi gender AIDS yang tepat agar tidak dengan pernyataan salah dan kesehatan reproduksi terjadi stigma dan satu peserta diskusi Udin diskriminasi terhadap ODHA. Selain informasi dasar tentang dari IDEA yang mengkritik bahwa film ini hanya diperuntukkan cara penularan HIV, dalam film itu juga diberikan informasi bagi mereka yang berpendidikan tinggi, padahal kenyataannya bahwa ODHA bisa hamil memiliki anak tanpa tertular HIV. banyak ODHA yang juga berpendidikan rendah. Pembahas film ini adalah Masduki, M.SI, dosen Sebagai masukan dari Rani PKBI DIY, film ini akan lebih Komunikasi Universitas Indonesia dan juga pengamat film tepat jika diputar di kalangan anak muda atau mahasiswa. (*) mengatakan bahwa ada beberapa pesan yang ingin disampaikan Workshop Radio Komunitas dari film ini antara lain: pertama, problem HIV tidak terletak Workshop radio komunitas diselenggarakan pada 25-26 pada ODHA tetapi terletak pada sikap lingkungan dan orang Oktober lalu. Workshop yang diikuti oleh para pemuda dari terdekat mereka. lima dusun yakni Warungpring, Kedungpring, Klisat, Kadisoro, Kedua, diskriminasi terhadap ODHA bisa dicegah oleh dan Joho tersebut berlangsung dengan sejumlah materi tentang pemahaman yang lengkap terhadap penyebab inveksi virus itu program radio komunitas (rakom). sendiri, dan ketiga, sikap terbuka ODHA akan membantu bagaimana ia diterima oleh publik. 2 | Edisi: 006/Oktober 2007

Dapur Info

foto by hafid

foto by hafid

Pelatihan AGKR Untuk Pemuda Materi workshop terdiri Pengelola Majalah Dinding dari apa itu radio komunitas, Ada sekitar 18 pemuda regulasi rakom, cara pengelola mading dusun yang ikut membuat program rakom pelatihan/workshop ini. Workshop sampai akhirnya peserta ini berlangsung akhir Oktober lalu, diajak untuk simulasi atau tepatnya tanggal 28 dengan peserta praktek siaran di studo mini campuran, dalam arti ada peserta milik LP3Y. yang dahulu pernah ikut pelatihan Ketika praktek sebelumnya. Namun peserta baru ini membuat proposal rencana hanya satu atau dua orang dan tidak pendirian rakom, suasana mendominasi. pendopo menjadi hangat Workshop ketiga kali ini mulai karena banyak argumentasi beranjak dengan fokus pembahasan peserta membuat nama gender. Sebelumnya peserta telah rakom misalnya dengan dibekali pengetahuan AIDS dan nama yang unik. Berikut ini Peserta rakom pada saat pengenalan alat dan berlatih menjadi Kesehatan reproduksi serta materi daftar pertanyaan perumusan penyiar di studio mini LP3Y perencanaan yang bertingkat. atau proposal rencana Maksudnya, sebelumnya pendirian rakom: peserta telah dibekali materi 1. Uraikan tiga atau lima penulisan, berlatih membuat alasan mengama perlu mading dan pada workshop ini radio bagi warga difokuskan menulis isu AGKR. setempat Peserta begitu antusias 2. Uraikan apa saja caraberlatih menulis. Meski hujan cara memperoleh turun tidak henti-hentinya dari d u k u n g a n pagi hingga sore, peserta masih tandatangan warga menunjukkan semangatnya 3. uraikan apa saja dengan aktif bertanya serta bentuk-bentuk berdiskusi dengan fasilitator dukungan keuangan untuk mengatasi hawa dingin. Maklumlah selain karena cuaca, dan peralatan siaran letak LP3Y lumayan dekat yang bisa diperoleh dengan dataran tinggi dari warga Kaliurang. 4. uraikan siapa saja Peserta rakom dalam sebuah diskusi kelompok di pendopo. Output dari pelatihan calon penegelola raAGKR untu pemuda kali ini dio yang bisa selain penekanan pada satu isu juga menguatkan pemahaman dilibatkan subsatnsi akan isu AIDS, gender dan kesehatan reproduksi 5. uraikan rencana lokasi, nama radio dan jam siaran yang (AGKR). Selain menulis sebagai salah satu bahan mading, dilakukan per hari tujuan berlatih menulis juga untuk mengasah kemampuan 6. uraikan lima bentuk program siaran yang akan dibuat peserta dalam menulis isu AGKR khususnya.(*) disertai alasan mengapa program itu perlu

Edisi: 006/Oktober 2007 | 3

Analisis Info

Berita Pemotongan Dana Rekonstruksi:

ADA KETERBATASAN MEDIA? PERNYATAAN editor buku Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Jogja – Jateng 27 Mei 2006 AB Widiyanta, sebagaimana diberitakan suratkabar, menarik disimak. Dikatakan, media memiliki keterbatasan untuk mem-blow up persoalan yang ada dalam pembagian dana rekonstruksi yang sarat penyimpangan (Kedaulatan Rakyat, 27 Agustus 2007). Pernyataan tersebut menarik perhatian, walau pernyataan itu tidak disertai penjelasan mengapa media dikatakan memiliki keterbatasan mem-blow up persoalan dana rekonstruksi. Juga tidak disertai keterangan rinci apa saja yang dimaksud sebagai keterbatasan media. Namun secara tersirat, pernyataan tersebut bisa dimaknai sebagai ungkapan terhadap pemberitaan media atas persoalan yang dimaksudkan, Blow up adalah istilah yang biasa dipakai para jurnalis untuk menggambarkan upaya memberitakan suatu persoalan agar menjadi perhatian publik. Pada suratkabar sebagai misal, suatu persoalan bisa saja diberitakan selama beberapa hari berturut-turut dan dimuat pada halaman pertama. Bahkan sering dilanjutkan dengan laporan mendalam yang dimuat berseri pada hari-hari sesudahnya. Pemberitaan gencar tentang suatu masalah sampai berulangkali di satu sisi merupakan isyarat bagi pembaca bahwa persoalan yang diberitakan penting diperhatikan. Di sisi lain, hal itu sekaligus menunjukkan ada kepedulian kuat di dalam diri jurnalis atas persoalan tersebut. Kepedulian kuat itulah yang mendorong jurnalis berinisiatif meliput dan menulis berita tentang persoalan yang sama berkali-kali. Maka, ketika muncul pernyataan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap pemberitaan media atas persoalan dana rekonstruksi, muncul pertanyaan: Bagaimana media massa memberitakan hal tersebut? Kasus Lepas Berdasarkan pengamatan terhadap tiga suratkabar (Kompas, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat), persoalan dana rekonstruksi sesungguhnya tidaklah luput dari pemberitaan suratkabar. Sejak awal, masalah dana rekonstruksi untuk pembangunan atau perbaikan rumah penduduk yang rusak akibat gempa telah menjadi sorotan ketiga suratkabar tersebut.

4 | Edisi: 006/Oktober 2007

Ada tiga persoalan seputar dana rekonstruksi yang sering diberitakan suratkabar. Pertama, masalah akurasi data jumlah rumah penduduk yang layak mendapat dana rekonstruksi. Kedua, pemotongan dana rekonstruksi. Ketiga, pokmas (kelompok masyarakat penerima dana rekonstruksi yang didampingi fasilitator) dan kinerjanya. Apabila kemunculan berita persoalan dana rekonstruksi dicermati, ditemukan kecenderungan bahwa persoalan tersebut disikapi oleh jurnalis sebagai peristiwa momentum biasa. Kecenderungan tersebut menyebabkan kasus yang timbul berkaitan dengan dana rekonstruksi hanya diberitakan sebagai masalah yang terjadi di suatu tempat, menyangkut pihak-pihak setempat, dan terjadi saat tertentu. Karena itu, berita tentang persoalan dana rekonstruksi suatu saat bisa muncul, bisa pula sama sekali tidak ada berita bertopik sama selama beberapa minggu, kemudian muncul lagi. Sebagai ilustrasi, masalah akurasi data jumlah keluarga korban gempa yang layak mendapat dana rekonstruksi banyak diberitakan sekitar bulan Agustus 2006, dipicu oleh protes sejumlah warga yang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak tercantum sebagai penerima dana rekonstruksi. Padahal, ada warga lain yang kondisi rumahnya lebih baik, malah tercantum sebagai penerima dana rekonstruksi. Sedang pemotongan dana rekonstruksi sebenarnya sudah muncul dalam berita bulan Oktober 2006, setelah dana rekonstruksi tahap I diturunkan (lihat misalnya Kompas, 17-102006). Sesudah itu, berita tentang pemotongan dana rekonstruksi muncul sesekali, dengan selang waktu cukup lama. Itu pun tanpa diikuti berita lanjutan tentang nasib persoalan tersebut. Sebagai contoh, antara bulan Januari hingga April, berita pemotongan dana rekonstruksi tiga kali diberitakan Kedaulatan Rakyat(9-1-200, 28-2-2007, dan 28-3-2007). Memang berita itu kemudian diikuti berita lanjutan (follow-up news) baik yang berisi janji aparat penegak hukum akan mengusut kasus tersebut, maupun sanggahan bahwa tidak ada pemotongan dana rekonstruksi. Namun setelah itu, tidak juga muncul berita yang mengungkap bagaimana kasus tersebut ditangani. Sejak Mei 2007, suratkabar semakin gencar memberitakan masalah pemotongan dana rekonstruksi, menyusul penahanan salah satu Kepala Dusun sebagai tersangka dugaan penyunatan

Analisis Info dana rekonstruksi. Hingga September 2007, kasus pemotongan dana rekonstruksi di berbagai tempat banyak diberitakan suratkabar, baik berdasarkan informasi yang dihimpun sendiri oleh jurnalis dari lapangan, atau mengutip pengakuan korban pemotongan yang dilontarkan pada suatu diskusi, maupun setelah sejumlah warga korban gempa berunjuk rasa. Meski demikian, kasus pemotongan dana rekonstruksi tetap diberitakan sebagai kasus lepas. Dan tidak tuntas. Lemah Investigasi Ketika pernyataan AB Widiyanta diberitakan, suratkabar sebetulnya sedang gencar memberitakan berbagai kasus pemotongan dana rekonstruksi. Toh pernyataan itu tetap dilontarkan. Sebagai ungkapan ketidakpuasan atas pemberitaan tentang pemotongan dana rekonstruksi, pernyataan itu menyiratkan bahwa media sebetulnya diharapkan membuat berita yang lebih kuat gaungnya. Berita yang mampu menggugah perhatian publik, dan melalui mekanisme pemberitaan intensif yang tidak berhenti di satu titik, melainkan berkelanjutan agar semua masalah terungkap tuntas. Dengan pemberitaan semacam itulah yang diharapkan menumbuhkan kesadaran publik bahwa tindakan pemotongan dana rekonstruksi demi alasan apapun harus dihentikan. Pada gilirannya, kesadaran itu diharapkan mendorong publik melakukan tekanan terhadap pihak berwenang agar segera mengusut kejadian tersebut. Harapan itu tidak terpenuhi. Manakala pemotongan dana rekonstruksi diberitakan sebagai kasus lepas, sedang pemuatan berita antara satu kasus dan kasus lain terentang selang waktu cukup lama, maka intensitas perhatian pembaca terhadap kasus tersebut menjadi terputus-putus. Pembaca bisa saja sudah lupa bahwa persoalan serupa pernah terjadi di suatu tempat dan sudah pernah diberitakan. Pembaca juga bisa cenderung menyikapi suatu persoalan yang diberitakan sebagai kasus belaka. Bukan suatu persoalan yang menggejala. Akan lain halnya jika sejak awal jurnalis tetap bersikap kritis dengan mengajukan pertanyaan berikut: Apakah pemotongan dana rekonstruksi di suatu tempat hanya terjadi di sana? Atau pemotongan dana rekonstruksi juga mungkin dialami warga di tempat lain? Dengan bersikap kritis, jurnalis tidak serta merta memandang pemotongan dana rekonstruksi sebagai persoalan yang hanya terjadi di suatu tempat. Ada kemungkinan kejadian serupa juga menggejala di berbagai tempat. Kemungkin itu cukup terbuka, karena menyangkut jumlah yang cukup besar. Sebagai gambaran, untuk provinsi DI Yogyakarta, berdasarkan Peraturan Gubernur No. 23 Tahun 2006, ada 47.468 unit rumah roboh/rusak berat yang tersebar di empat kabupaten dan satu kotamadya. Setiap rumah roboh/ rusak berat mendapat bantuan dana rekonstruksi Rp 15 juta, dibayarkan dua tahap, masing-masing Rp 6 juta dan Rp 9 juta. Maka, begitu muncul berita tentang pemotongan dana rekonstruksi tahap I (Kompas, 17-10-2006, sebagaimana disebutkan di atas), jurnalis segera bisa mengajukan pertanyaan: Dari jumlah penerima dana rekonstruksi untuk rumah roboh/ rusak berat, seberapa banyak mengalami pemotongan? Pertanyaan itu sudah tentu diikuti pertanyaan-pertanyaan lain seperti: Kapan dan di mana saja terjadi pemotongan? Siapa

saja yang melakukan pemotongan? Berdasarkan alasan apa serta bagaimana pemotongan dilakukan? Berapa besar pemotongan dari jumlah yang seharusnya diterima warga? Jawaban atas pertanyaan itulah yang bisa menggambarkan seberapa signifikan sesungguhnya pemotongan dana rekonstruksi itu. Sebagai misal, laporan suratkabar akan jauh lebih menggugah kesadaran pembaca dengan menyajikan fakta bahwa telah terjadi pemotongan dana rekonstruksi untuk sekian persen dari 47.468 unit rumah rusak berat, disertai keterangan jumlah rupiah yang dipotong, serta di mana saja pemotongan itu terjadi. Tidak mudah bagi jurnalis untuk memperoleh jawaban atas semua pertanyaan tersebut. Belum tentu warga yang mengalami pemotongan dana rekonstruksi bersedia membuka mulut. Seperti diberitakan (lihat Kedaulatan Rakyat, 24 dan 27 Agustus 2007), ada warga yang mendapat tekanan, ancaman, atau bahkan kekerasan fisik. Maka, untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, jurnalis harus melakukan liputan investigasi. Untuk tugas ini, jurnalis perlu mempunyai kemampuan mengungkap apa yang tersembunyi dan sengaja ditutup-tutupi, memiliki kesabaran dan daya tahan, serta memiliki penciuman tajam terhadap setiap kemungkinan penyimpangan. Agar berhasil memperoleh fakta yang lengkap, rinci, benar, dan akurat, bukan mustahil ia akan menghabiskan waktu berhari-hari keluar masuk dari satu desa ke desa lain di wilayah terkena gempa. Informasi sekecil apapun yang bisa menjadi petunjuk untuk mengungkap setiap tindakan pemotongan, tidak diabaikan. Ia akan mewawancarai warga penerima dana rekonstruksi atau siapapun yang bersedia memberi keterangan, mencari bukti berupa data atau dokumen, menguji setiap fakta yang diperoleh untuk memastikan kebenaran dan akurasinya. Semua itu lalu dituliskan dalam laporan hasil investigasi yang mengungkap tindakan pemotongan dana rekonstruksi. Itu saja belum cukup. Jurnalis masih perlu membuat berita lanjutan tentang apa yang dilakukan pihak berwenang, apakah hak warga telah dipulihkan, apakah pelaku pemotongan telah ditindak, dan sebagainya. Laporan-laporan sedemikian sekaligus akan berdampak sebagai peringatan bagi siapapun yang berniat memotong dana rekonstruksi. Dengan kata lain, berita berfungsi prefentif sehingga kejadian serupa tidak meluas. Akan tetapi, mekanisme pemberitaan seperti itu tidak dilakukan. Jangankan laporan investigasi. Tidak semua kasus pemotongan dana rekonstruksi tuntas diberitakan. Mengacu pada hasil pengamatan sebagaimana dikemukakan di atas, ada kasus pemotongan dana rekonstruksi yang tidak jelas lagi kabarnya, karena tidak diikuti berita lanjutan apakah pelaku pemotongan sudah ditindak. Maka bisa dipahami mengapa muncul ketidakpuasan terhadap pemberitaan media. Ketidakpuasan melahirkan penilaian, seperti terkandung dalam pernyataan bahwa media memiliki keterbatasan mem-blow up persoalan dana rekonstruksi. Sudah tentu keterbatasan itu bukan karena faktor eksternal, mengingat UU Pers 1999 menjamin kebebasan pers. Tidak ada pihak yang boleh mencampuri tugas pers. Keterbatasan itu berasal dari faktor internal, yaitu profesionalisme. (ron)

Edisi: 006/Oktober 2007 | 5

Sumber Info

PEREMPUAN DALAM ADAT BADUY* Luviana**

Perempuan Baduy DI baduy, kami bergaul, sekaligus melakukan penelitian kecil tentang masyarakat disana. Selain mempunyai alam yang indah, kami juga banyak belajar bagaimana cara mereka menjaga alam. Mereka selalu mampu untuk bersetubuh bersama alam- memanfaatkan, sekaligus memeliharanya. Namun sayang, ada banyak persoalan yang menimpa anak-anak dan perempuan disana.

1. Sejarah Baduy Orang baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda di wilayah lebak, banten. Namun orang baduy lebih suka jika disebut sebagai orang kanekes, sesuai dengan nama asal kampung mereka, yaitu kampung kanekes. Bahasa yang mereka gunakan bahasa sunda dialek sunda banten. Orang baduy dalam tidak mengenal budaya tulis. Sehingga adat-istiadat, dan kepercayaan mereka hanya tersimpan dalam tuturan lisan saja. Kepercayaan masyarakat kanekes disebut sunda wiwitan. Ini berakar pada arwah nenek moyang mereka (animisme). Isi terpenting dari agama yang mereka anut adalah konsep “tanpa perubahan apapun” atau “perubahan sesedikit mungkin” Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang kanekes mengaku keturunan dari batara cikal, yang merupakan salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus untuk turun ke bumi. Menurut kepercayaan mereka, adam dan keturunannya termasuk warga kanekes yang mempunyai tugas di dunia untuk menjaga harmoni.

2. Perkembangan Baduy Selanjutnya baduy dibagi dalam dua wilayah, yaitu baduy dalam dan baduy luar. Wilayah baduy dalam dikelilingi oleh baduy luar. Pemukiman orang baduy berjumlah 52 buah perkampungan, mereka masuk dalam wilayah desa kanekes, kecamatan leuwi damar, kabupaten lebak, banten. Luas desa kurang lebih 5000 hektar. 3000 hektar diantaranya adalah hutan lindung. Hasil sensus tahun 2000 menunjukkan, jumlah penduduk baduy mencapai kurang lebih 8000 orang. 45 persen diantaranya adalah perempuan. Untuk mencapai baduy dalam, para pendatang harus berjalan kurang lebih 18 kilometer atau berjalan kaki selama 4 jam. Dengan tanjakan tajam dan lereng-lereng yang sempit. Memasuki baduy, maka pendatang tidak diperbolehkan untuk membawa barang-

barang elektronik, minuman keras dan senjata tajam. Ini merupakan ketentuan yang sudah mereka sepakati untuk tidak terlalu banyak menerima unsur-unsur dunia luar. Pada umumnya pemukiman mereka berada di lereng-lereng bukit dan lembah yang ditumbuhi pohon besar dan dengan sungai yang ada di tengah-tengah mereka. perumahan baduy berbentuk panggung dengan atap yang dibuat dari daun rumbia dan papan rumah dari bambu. Suku baduy sangat dekat dengan alam. Mereka juga menolak perkembangan jaman. Untuk itulah, maka kemudian mereka melarang siapapun untuk menggunakan alat transportasi dan barang-barang dari luar, untuk sampai pada wilayah baduy. Selain itu, warga suku baduy sudah menyepakati bahwa mereka hingga hari ini membentuk pemerintahan sendiri. Mereka memang mengakui keberadaan pemerintah Indonesia, namun berbagai penolakan tajam pada pemerintah yang berlaku di Indonesia terus mereka lontarkan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak percaya dengan kebijakan pemerintah Indonesia, seperti tidak ramahnya pemerintah pada persoalan-persoalan yang dialami masyarakat adat (seperti hak pembagian tanah ulayat, kerusakan tanah dan ladang, juga tidak berpihaknya pemerintah pada nasib petani). Pemerintah Indonesia juga tidak kunjung memperbaiki lingkungan, salah satunya pencemaran udara. Hal ini juga mereka tunjukkan dengan penolakan mereka untuk mengikuti pemilu maupun pilkada. Karena mereka meyakini, bahwa mempercayai pemerintah Indonesia, tidak akan merubah nasib mereka. selain itu mereka juga menolak masuk sekolah. Menolak menggunakan barang-barang seperti piring, sendok dan senter. Baduy dipimpin oleh seorang Puun (pemimpin tertinggi dalam adat/ presiden) yang dibantu oleh Jaro (menteri-menteri/ kepala desa). Ada Jaro yang mengurusi kesehatan warga. Jaro inilah yang mengobati warga jika mereka sakit dengan menggunakan jampi-jampi. Ada pula Jaro yang mengurus pertanian, dan jaro yang mengurus adat seperti pernikahan dan kelahiran. Juga Jaro yang berhubungan dengan pemerintah Indonesia. Selain pengambil keputusan, Puun juga memimpin semua rapat yang ada di baduy. Hingga hari ini, suku baduy memanfaatkan alam untuk makanan mereka. seluruh penduduknya bertani. Mereka hanya memanfaatkan air hujan untuk mengairi ladang-ladang mereka.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Film Perempuan Baduy di ruang Perpustakaan LP3Y, pada 27 September 2007 lalu. ** Luviana, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Extension Program Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Pernah bekerja di Jurnal Perempuan dan kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Produser Pemberitaan di Metro TV, aktif sebagai Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

6 | Edisi: 006/Oktober 2007

Sumber Info Namun tidak seperti 10 tahun lalu, saat ini para suku baduy dalam sudah mulai menjual hasil padi mereka keluar dari suku, sama halnya yang dilakukan oleh warga suku baduy luar. Setiap musim tanam dan musim panen tiba, suku baduy selalu membuat upacara yang disebut ngaseuk. Ini sebagai ungkapan syukur mereka terhadap dewi sri atau dewi padi. Para warga baduy selalu menyimpan hasil panen mereka di lumbung-lumbung padi. Tak heran jika luas lumbung lebih besar dari rumah mereka.

3. Persoalan Perempuan dan anak-anak Baduy Warga baduy lebih menyukai mempunyai anak-anak laki-laki daripada anak perempuan. Karena laki-laki baduy bisa menjadi kepala suku, sedangkan perempuan tidak. Menjadi kepala suku merupakan kehormatan bagi warga baduy. Tidak heran jika para kepala suku menginginkan mempunyai anak laki-laki. Karena dia bisa dipilih untuk melanjutkan garis keturunan kepala suku. Hingga hari ini belum ada kepala suku baduy yang diambil dari perempuan. Sejak kecil, baik anak laki maupun anak perempuan baduy diperbolehkan ikut orangtuanya ke sawah. Namun anak laki boleh memegang alat seperti arit atau pacul, sedangkan perempuan tidak. Bagi suku baduy, alat cangkul identik dengan laki-laki karena mereka yang memutuskan untuk menanam padi dan menentukan kapan padi bisa dituai, sedangkan perempuan hanya boleh memeliharanya. Perempuan baduy tidak boleh bertemu orang asing/ pendatang, karena dianggap pamali. Hanya laki-lakilah yang boleh bertemu dengan orang asing. Kalaupun ia terpaksa harus bertemu, maka Puun akan menjadi wali yang menyampaikan pesan dari perempuan. Ketika beranjak dewasa, maka perempuan dan laki baduy akan dijodohkan oleh orangtuanya. Setelah itu mereka akan melakukan bebogohan atau pacaran.laki-laki boleh memilih siapa perempuan yang ia maui, sedangkan perempuan hanya berhak untuk dipilih. Perempuan baduy akan dinikahkan pada usia 15 tahun atau lebih muda dan laki-laki berumur 20 tahun. Pada dasarnya perempuan akan dinikahkan sesudah mengalami proses menstruasi. Padahal dalam kesehatan reproduksi, jika mereka melahirkan di usia muda, akan membahayakan kesehatan reproduksi perempuan dan untuk bayi. Setelah menikah, maka laki-laki menjadi kepala keluarga. ia yang menentukan segala keputusan keluarga dan untuk istri sekaligus anak-anaknya. Perempuan baduy adalah type perempuan pekerja keras. Bersama suaminya, biasanya perempuan baduy akan pergi ke sawah sejak jam 3 pagi. Sebelumnya, perempuan baduy lebih dahulu memasak dan membersihkan rumah. Rata-rata mereka akan bangun jam 1 dinihari untuk melakukannya. Setelah itu, mereka biasa pulang dari sawah pukul 15. sampai di rumah, perempuan baduy masih harus memasak dan mengurus anaknya hingga malam hari. Padahal pekerjaan domestic ini tidak dilakukan oleh para laki-laki baduy. Perempuan yang sedang hamilpun tetap mempunyai kewajiban yang sama. Tidak jarang mereka berjalan 35 kilometer dari sawah dengan membawa anak dan beban yang lain. Namun beberapa rumah tangga di baduy mempercayai bahwa hanya laki-laki yang boleh bekerja di ladang, sedangkan perempuan bekerja di rumah. Perempuan yang bekerja di rumah akhirnya menenun dan mengerjakan pekerjaan rumah serta mengasuh anak. Rapat-rapat suku biasanya dilakukan ketika malam tiba. Hanya laki baduy yang diperbolehkan mengikuti rapat. Sedangkan perempuan

tidak diperbolehkan ikut. Karena di suku baduy, ada peraturan bahwa pengambil keputusan adalah di tangan laki-laki, bukan di tangan perempuan. Rapat dipimpin oleh Puun dan dibantu oleh menteri/ Jaro yang semuanya dijabat oleh laki-laki. Keputusan untuk mempunyai anakpun diputuskan oleh lakilaki. Juga keputusan dengan siapa mereka harus melahirkan. Beberapa warga di suku baduy luar sudah mulai melahirkan dengan dibantu oleh bidan. Namun keputusan dengan siapa mereka melahirkan diputuskan oleh suami mereka. Para perempuan yang memilih melahirkan dengan dukun, menggunakan alat tradisional. Seperti misalnya menggunakan bambu sebagai pemutus ari-ari. Jika ada bayi yang meninggal, maka mereka mempercayai bahwa bayi ini dikehendaki oleh alam. Para perempuan baduy dalam juga meyakini bahwa bayi baduy harus diberikan pisang setelah baduy lahir. Ini adalah kepercayaan mereka secara turun-temurun. mereka menolak air susu ibu untuk untuk diberikan pada bayi baduy. padahal seorang bayi yang baru saja lahir tidak diperbolehkan makan makanan yang keras karena ini akan mengganggu lambung mereka. Setelah berkeluarga dan mempunyai anak para perempuan baduy biasanya akan menjarangkan kelahiran dengan menggunakan KB dengan system saral carang boga anak. KB ini merupakan keputusan adat. para perempuan baduy harus makan daun-daunan sesuai dengan ketentuan adat dan jampi-jampi dari kepala suku. para perempuan baduy menyatakan syarat-syarat inilah yang harus mereka jalani untuk tetap tinggal di dalam suku baduy.

4. Keterlibatan Petugas Kesehatan Beberapa penolakan yang dilakukan masyarakat Baduy termasuk menolak obat dan menjaga kesehatan para perempuan dan anak inilah yang selanjutnya mengusik mantri idi rosidi untuk bekerja sebagai mantri di wilayah ini Sudah tiga puluh tahun ia menjadi mantri di daerah baduy ini tepatnya di kecamatan cisemut bersama anaknya eros Rosita yang bekerja sebagai bidan Idi rosidi berniat masuk universitas kala itu namun karena tidak mampu ia kemudian menjadi Pekerja Rumah Tangga di puskesmas ini Tidak hanya di luar baduy mantri rosidi dan bidan Rosita harus harus keluar masuk suku baduy. jarak 18 kilometer atau sekitar empat jam perjalanan harus mereka lalui untuk memeriksa kesehatan masyarakat baduy Kaki Idi Rosidi yang pincang sejak kecil sekaligus kehamilan bidan Rosita tidak pernah mereka hiraukan. Setelah pensiun tiga tahun lalu saat ini ia dipekerjakan sebagai tenaga honorer di puskesmas cisemut. ini karena kurangnya tenaga mantra. honornya hanya seratus ribu rupiah perbulannya. padahal waktu liburpun tetap ia gunakan untuk menemui masyarakat. Bidan Rosita sendiri sudah bekerja sebagai bidan selama sepuluh tahun. namun baru tahun ini diangkat sebagai pegawai negeri, problem ini pula yang banyak dialami para perempuan di puskesmas ini. Selain bergaji kecil, tidak jarang masyarakat baduy menolak kedatangan mereka. padahal dengan bertemu masyarakat seperti ini, mereka hanya ingin memberikan alternative pengobatan.

Bersambung ke halaman-9 Edisi: 006/Oktober 2007 | 7

Spesial Info

SOAL VALIDITAS DATA PADA KASUS TIME VS SOEHARTO BERITA tentang kekalahan majalah Time Asia yang berperkara dengan bekas Presiden Indonesia, Soeharto, menyeruak di tengah belantara beragam informasi di negeri ini, pekan kedua September 2007 lalu. Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi HM Soeharto atas Time Asia setelah kedua belah pihak selama enam tahun berperkara di pengadilan. Perkara itu menyangkut gugatan Soeharto atas pemberitaan majalah Time berjudul Suharto Incorporated. Oleh MA diputuskan, Time Asia, para penulis dan editornya harus membayar Rp 1 triliun kepada pihak penggugat, yakni Soeharto. Selain itu, Time juga dihukum agar meminta maaf melalui media cetak tiga kali berturut-turut. Banyak pihak berkomentar atas keputusan MA itu, mulai dari kekhawatiran mengenai keterancaman kemerdekaan pers di Indonesia, hingga menggugat independensi para hakim yang memutuskan perkara itu. Apa dan bagaimana sebenarnya kasus tersebut terjadi? Tulisan ini tidak hendak melihat masalah tersebut dari sisi persoalan hukum yang melibatkan kedua belah pihak berperkara di pengadilan. Akan tetapi, tulisan di bawah ini akan mencoba melihat dari sisi jurnalisme, khususnya mengenai validitas data dalam kerja jurnalisme yang diungkapkan oleh Time sehingga pihak penggugat akhirnya mengajukan majalah itu ke meja hijau. Adalah majalah Time edisi 24 Mei 1999. Laporan utama (cover story) majalah itu bertajuk Suharto Inc, terangkum dalam artikel laporan sepanjang 14 halaman, dimuat mulai halaman 13 hingga 26. Laporan itu mengungkapkan investigasi majalah Time atas harta kekayaan dan dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dan keluarganya, ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari 30 tahun di Indonesia. Sebagai majalah dengan kredibilitas dan reputasi internasional, laporan Time itu tentu saja telah didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalisme yang akurat dan terjaga. Namun, justru dari sanalah kasus itu kemudian jadi perkara di pengadilan. Pihak Soeharto mengajukan Time ke pengadilan karena merasa harga dirinya tercemar atas pemberitaan itu. Untuk sekadar mengingat secara fisik, pada sampul majalah itu bergambar wajah Soeharto sedang tersenyum. Di bawah gambar tertulis Special Report, Suharto Inc. How Indonesia”s longtime boss built a family fortune. Pada salah satu halaman majalah, laporan di edisi itu, Time memberi judul The Family Firm, dilengkapi ilustrasi Soeharto yang berpeci dan berjas hitam sedang memeluk rupa-rupa barang, ada karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa dan rumah mewah bergaya Eropa. 8 | Edisi: 006/Oktober 2007

Sesuai dengan tulisannya, majalah Time bahkan menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 141,7 triliun. Padahal, gaji Soeharto sebagai presiden –kala itu— hanya Rp 15 juta sebulan (Tempo 23/9/2007). Menurut Time, kekayaan Soeharto tersimpan di bank di Swiss. Berdasarkan hasil penelusuran Time pula, ditemukan kekayaan Soeharto dan keluarganya tak hanya berupa deposito atas uang di bank, tapi juga benda berharga, tanah dan properti. Semua itu terserak tak saja di Indonesia, tapi juga berada di Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat. Dari laporan itulah gugatan berawal. Soeharto menolak laporan majalah itu. Ia merasa tercemar, antara lain atas pemberitaan Time yang menulis telah terjadi transfer dana dalam jumlah besar, yakni US $ 9 miliar, uang milik Soeharto dari Swiss ke rekening tertentu di sebuah bank Austria. Pertanyaannya, jika memang data itu disebut-sebut tidak valid, mengapa Time berani menurunkannya menjadi informasi, bahkan dalam laporan utama? Benarkah majalah dengan “jam terbang” puluhan tahun di percaturan media internasional, dan telah mempunyai reputasi terhormat itu sengaja mengorbanan kredibilitasnya dengan menyiarkan kabar bohong, berita sensional? Gugatan dengan pertanyaan semacam ini akan makin panjang, manakala argumen Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan Soeharto atas Time itu, memakai pendekatan bukti. Artinya, MA membutuhkan bukti dari Time bahwa senyatanya memang benar telah ada transaksi, transfer uang dalam jumlah besar itu. Dalam amar putusannya, majelas kasasi MA pimpinan German Hoediarto dengan anggota Muhammad Taufik dan M.Bahauddin Qaudry itu, Time telah melampaui batas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp 108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998. (Tempo 23/9/07-hal 29) . Mengutip laporan utama Tempo 23 September lalu, dasar penurunan laporan khusus yang ditulis wartawan Time Amerika Serikat, John Colmey dan koresponden Time di Indonesia, David Liebhold adalah informasi yang diterima Time tentang dana yang diduga milik Soeharto di Swis . Time mendapat informasi, ada transfer dana berjumlah jumbo milik keluarga Cendana dari sebuah bank di Swiss ke bank Austria Juli 1998. Soeharto jatuh dari kursi kepemimpinannya Mei 1998. Pengalihan dana itu diduga untuk

Spesial Info mencari “perlindungan” lebih aman. Kementerian keuangan Amerika, ketika itu, memberikan perhatian khusus terhadap informasi ini. Bahkan kementerian tersebut melakukan sejumlah penyelidikan diplomatik di Wina Austria. Majalah Time memerlukan waktu empat bulan untuk menggarap laporan Suharto Inc itu. Lebih dari sepuluh wartawan, baik dari Indonesia maupun di sejumlah biro di luar Indonesia, dikerahkan untuk mencari, mengumpulkan dan menulis laporan itu. Kerja jurnalistik Time terkoordinasi dengan seksama. Di Indonesia, Time mengumpulkan data tersebut dengan mendatangi berbagai sumber, perorangan maupun instansi. Di antaranya Badan Pertanahan Nasional, Pertamina, sejumlah yayasan milik Soeharto serta Indonesia Corruption Watch. Pun demikian di luar negeri, Time melakukan investigasi. Selandia Baru, Amerika Serikat, Eropa dan sejumlah negara Asia lainnya, didatangi Time, untuk melacak kebenaran harta-harta milik Soeharto itu berada. Sulit untuk disangkal lagi, bahwa Time telah mengembangkan praktik jurnalistik dengan baik. Artinya prinsip-prinsip jurnalistik dipegang teguh manakala Time melakukan penelusuran, menginvestigasi, dalam kasus Soeharto ini. Tujuan kegiatan jurnalisme investigatif adalah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadi waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak, setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari berbagai sumber dan tipe

informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang signifikan dan pemahaman terhadap data-data statistik. (S.Santana H – Jurnalisme Investigasi-2003). Dalam kasus ini, investigasi yang dilakukan Time, misalnya tentang kabar adanya transfer dana dari Swiss ke Austria itu, adalah mendasarkan pada sumber Wirtschaftsblats, jurnal ekonomi Barron 27 Mei 1998 dan majalah Gamma 4 April 1999. Barang bukti itu sudah disodorkan ke pengadilan. (Kompas 28/9). Pada kenyataannya, data yang diperoleh Time itu dianggap tidak valid, dimentahkan oleh majelis hakim agung yang menangani kasasi ini. Muncul pertanyaan senada oleh berbagai pihak, apakah media harus membuktikan adanya traksaksi uang itu? Atau cukup dipandang sebagai fakta jurnalistik? Mengomentari kasus ini, anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi menilai, artikel Suharto Inc di majalah Time itu merupakan bentuk laporan investigasi yang telah memenuhi kaidah jurnalistik. “Memiliki tingkat akurasi tinggi dan bisa dipercaya,” ujarnya seperti dikutip Tempo 23/9. Masih menurut Abdullah, pemberitaan tersebut, merupakan bagian dari fungsi pengawasan sosial pers untuk mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat. Demikianlah, sampai saat ini ternyata masih ada pihak yang belum bisa menerima penerapan validitas data dalam karya jurnalistik. Kerja jurnalistik masih dianggap sama dengan jenis pekerjaan lain. Padahal undang-undang khusus yang mengaturnya pun sudah ada, yakni UU Pers. Maka, kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. (awd)

Sambungan dari halaman-7 Bagi bidan Rosita dan mantri rosidi menjadi bidan dan mantra di daerah terpencil tetap menjadi pilihan hidupnya. Mereka meminta pemerintah untuk merubah nasib mereka dan nasib para perempuan disini. 5. Peliputan Jurnalistik Dalam peliputan jurnalistik, kami (saya dan camera person Priyo Susilo) sangat kesulitan mendapatkan data sekunder yang lengkap tentang apa yang dialami perempuan baduy. Hampir semua diktat dan penelitian tentang baduy menuliskan tentang sejarah baduy maupun baduy dari sisi antropologisnya, maupun tentang kearifan masyarakat baduy dalam bersetubuh bersama alam. Hampir semua buku menuliskan, tidak ada persoalan perempuan disana. Baik dari sisi kebijakan maupun kesehatan reproduksi mereka. Kesulitan kami yang kedua, ketika kami sampai disana, kami kesulitan untuk membawa kamera untuk masuk. Kesulitan kami yang lain, kami tidak boleh melakukan wawancara dengan perempuan. Wawancara hanya boleh dilakukan oleh para Puun dan Jaro. Akhirnya kami wawancara dengan salah satu perempuan dari warga suku baduy luar yang sudah mau menerima bidan dan alatalat kesehatan. Dulu ia tinggal di baduy dalam. Namun kami akhirnya mendapatkan banyak data dari bidan eros Rosita dan mantri Idi Rosidi. Mereka sangat membantu kami untuk menelusuri persoalan perempuan disana.

Tentu saja kami harus mengenali kasus-kasus perempuan dalam konsep feminisme multikultur. Banyak perempuan desa umumnya yang dibungkam suaranya. Maka tugas kami untuk menuliskan sesuatu yang tidak dikenali ini. Banyak hal yang tidak bisa kami rekam, tentu saja ini jauh dari ideal dalam peliputan jurnalistik. Namun kami tetap menghargai hak mereka untuk mau berbicara maupun tutup mulut, termasuk untuk tidak menggunakan kamera, karena ini melanggar hak mereka sebagai individu. Perjalanan yang sangat jauh, yaitu sekitar 15 kilometer juga membuat kami cukup kelelahan dalam melakukan peliputan. Apalagi kami harus membawa tripot, kamera dan sejumlah makanan. Kami tidak boleh memasuki baduy dalam, karena hanya dalam waktu-waktu tertentu saja para pendatang diperbolehkan masuk kesana. Akhirnya kami sampai pintu baduy dalam saja. Namun hal yang sangat menggembirakan, ada beberapa Jaro yang mau kami wawancarai. Sekaligus anak laki-laki Puun. Ini membuat kami lega, karena perjalanan kami 3 kali keluar masuk baduy tidak sia-sia. Pertama kami datang untuk melakukan riset. Yang kedua kami melakukan wawancara. Yang ketiga kami harus membuat janji lagi untuk melakukan wawancara lagi. Selebihnya kami datang untuk melakukan wawancara di baduy luar. Ini tidak berat, karena kami hanya berjalan 3 kilo saja untuk menemui mereka. Akhirnya kami bisa membuat hasil peliputan ini dengan dibantu oleh Ari yang mengedit gambar. Walaupun jauh dari sempurna.* Edisi: 006/Oktober 2007 | 9

Info buku

“KEKUATAN” PEREMPUAN MENGHADAPI BENCANA dia harus mengurus anaknya yang masih bayi, ia pun harus menghadapi kesulitan mengatasi darah menstruasi yang mengalir akibat tidak adanya pembalut (hal. 224) Masih banyak lagi cerita menarik lainnya yang dapat pembaca simak. Buku ini dapat hadir berkat kegigihan penyunting yang dipersembahkan untuk perempuan secara individu dan perempuan pada umumnya dalam menghadapi situasi apapun di tengah kondisi carut marut saat itu. Hasil tulisan perempuan-perempuan yang sebagian besar belum terbiasa menulis dan ternyata mereka mampu menulis. Mereka sepakat membagi tulisan Perempuan dan Bencana, Pengalaman tersebut dalam lima sub tema Yogyakarta yakni: Farsijana Adeney-Risakotta 1. Perempuan dan Selendang Ungu Press keberaniannya menyembuhkan Agustus 2007 diri dan sesamanya. xxxvi + 340 2. Perempuan dan yang tidak terduga. Sedih, tegar, transformasi peranan sosialnya dalam keluarga dan tetap bertahan, pasrah, mencoba bangkit dan masih banyak lagi masyarakat. gambaran perasaan yang dituangkan dalam buku ini. 3. Perempuan dan kapasitas membangun sistem Seperti misalnya pada bab 7 tentang Keprihatinan dan 4. Perempuan, kekersan dan proses pemulihan jalur Kepribadian Anak. Dalam bab tersebut yang berisi cerita-cerita sesar gempa. pengalaman beberapa suami, perempuan dan seorang relawan 5. Perempuan, penyembuhan bumi dan penerusan citamenggambarkan betapa perempuan sangat berguna dengan citanya. perannya menjadi seorang ibu dan sekaligus lebih kuat atau Seperti yang disebut penyunting pada pengantarnya, unggul menghadapi musibah tersebut. Kebiasaan perempuan kelima subtema ini mencerminkan kegiatan-kegiatan terpadu dengan menjalankan perannya tersebut menjadikan keunggulan dan menyeluruh yang dilakukan oleh perempuan dalam tersendiri bagi perempuan. menanggapi paska gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah. Atau tentang masalah reproduksi pada perempuan. Pada Buku ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja, meskipun bab 17 tentang Cerita duka Perempuan di Balik Bencana Alam, semangat diterbitkannya buku ini dengan tujuan untuk salah satu masalah yang terekam adalah tidak adanya atau pemberdayaan bagi semua perempuan dengan “kekuatanterlambatnya bantuan untuk keperluan reproduksi seperti kekuatan” yang dimilikinya. Selamat membaca. (may) pembalut, sehingga beban perempuan semakin berlipat. Selain BUKU ini berawal dari lokakarya penulisan yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Sleman Yogyakarta tentang penguatan kesadaran dari pengalaman mengatasi ketidakadilan gender bagi perempuanperempuan. Selain juga dari pengalamanpengalaman secara individu menghadapi bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 pukul 05.57 WIB. Dengan tiga kali lokakarya yang diselenggarakan, akhirnya 34 perempuan peserta lokakarya tersebut berhasil menuliskan pengalaman-pengalamannya ketika terjadi bencana gempa bumi. Ada banyak pengalaman Judul Buku : yang dituliskan dengan gaya bahasa dan penuturan masing- Penyunting : : masing penulis. Pengalaman Penerbit Terbit : individu dengan segala perasaan : manusiawi menghadapi bencana Tebal

10 | Edisi: 006/Oktober 2007

Info buku

DAMPAK PEMBAKUAN PERAN GENDER TERHADAP PEREMPUAN berkewajiban mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Beban ganda akan makin menjadi-jadi manakala suami tak mampu menjalankan fungsinya karena berbagai sebab, misal karena latarbelakang pendidikan rendah maka ia hanya bisa bekerja dengan upah minim bahkan tak menentu. Akibatnya, mau tak mau demi mempertahankan perekonomian rumah tangga istripun harus bekerja. Sementara itu, ia pun dibebani kewajiban (oleh negara melalui UU) untuk mengurus rumah tangga. Hasil penelitian yang kemudian dibukukan dengan tajuk Dampak Pembakuan Peran Gender terhadap Perempuan Kelas : Dampak Pembakuan Peran Gender Bawah di Jakarta ini terhadap Perempuan Kelas Bawah di menunjukkan para perempuan Jakarta kelas bawah yang bekerja untuk : Henny Wilujeng, Attashendartini Habsjah, mencari nafkah, karena Devy Setya Wibawa penghasilan dari suami tak : LBH APIK Jakarta mencukupi, harus bekerja jauh : XXII + 169 melebihi porsi pasangannya. : 2005 Sebelum bekerja yang menghasilkan uang mereka semua....segalanya....terus baru terlebih dahulu harus memasak, menyiapkan makanan/minuman jalan...berangkat kerja jam tujuh. Pulang jam setengah enam untuk suami dan anak, belanja, mencuci, mengantar anak ke sore...kadang beli makanan di warung aja. Kalau di rumah udah sekolah. Selesai bekerja, masih harus menyeterika, nggak ada kerjaan lagi....ya kita balik lagi ke konveksi. membersihkan rumah, mengasuh anak, masih harus memikirkan Ngelembur. Kerja di konveksi dibayarnya per minggu, jadi kerja sosial seperti arisan, pengajian dan sebagainya. bagaimana pendapatan kita, dari hasil jahitnya. Kita nguber Melalui buku setebal 169 hal dengan 35 tabel yang waktu. Kalau misalnya kita lama, ya...pendapatannya sedikit,” menyesaki ruang ini, kita juga temukan hal ironis: meski pada ujar X, perempuan pekerja konveksi di Jakarta. kenyataannya para perempuan ini juga mencari nafkah, para Cuplikan pengalaman X tersebut hanya bagian kecil dari perempuan ini tetap tidak diakui sebagai pihak pencari nafkah. fakta perempuan kelas bawah di Jakarta. Pencari nafkah tetap privilege para pria/suami. Kedua, para Penelitian yang dilakukan LBH APIK Jakarta bekerjasama perempuan kelas bawah ini (terutama yang bekerja di sektor dengan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika formal) rentan pula terhadap berbagai kekerasan di tempat kerja. Atmajaya Jakarta 2000-2001 menunjukkan bahwa perempuan Sayang, buku yang kaya data ini ditampilkan tak ubahnya kelas bawah di Jakarta hidup dalam himpitan beban ganda sebuah laporan penelitian. Selain struktur, bahasanya pun akibat pembakuan peran gender yang antara lain disahkan dalam cenderung kaku-formal. Buku ini tak lebih dari sekadar laporan UU RI No 1/1974 tentang Perkawinan. UU tersebut penelitian yang dikemas seukuran buku. Padahal, dengan menetapkan, peran suami adalah kepala keluarga yang mengubah gaya, buku ini akan jauh lebih menarik untuk dibaca berkewajiban memberi segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengingat informasinya yang penting untuk diketahui. (ded) APA yang terjadi di kalangan perempuan kelas bawah tatkala perempuan, khususnya istri, secara resmi (melalui produk legal) diposisikan sebagai pihak yang hanya berkewajiban mengurus rumah tangga, sedangkan suami sebagai pencari nafkah? Di Jakarta, pembakuan peran gender tersebut justru telah menempatkan para perempuan (istri) dari kalangan bawah dalam himpitan beban keseharian yang jauh lebih berat dari para lelaki (suami). Fakta menunjukkan para perempuan ini tak hanya dituntut menjalankan peran domestik sebagaimana dimaui negara melalui undangundang. Mereka pun dituntut oleh kehidupan untuk sekaligus Judul menjalankan tugas sebagai pencari nafkah, sementara posisi sosial mereka tetap sebagai pihak Penulis yang dinomorduakan.. “Bangun pagi subuh nyuci Penerbit baju dulu...habis nyuci terus cuci Tebal piring, terus beberesan deh Tahun

Edisi: 006/Oktober 2007 | 11

Profil

“MODAL USAHA BAGI PEREMPUAN USAHA KECIL (PUK), BUKAN SEGALANYA....” “...rasanya saat itu, dunia seakan runtuh. Semua barangku hancur, daganganku ludes. Air mata ini seperti tak bisa mengalir lagi karena beratnya beban yang harus kutanggung nantinya.Yang tebanyang juga bagaimana dagangan warungku nanti bisa dibayar....padahal baru kemarin saya baru mengambil barang dari penyalur...” begitu keluh Parjilah, warga dusun Klisat, desa Srihardono, kecamatan Pundong, Bantul, saat ditemui Sarni, salah seorang pendamping lapang ASPPUK. Perlahan namun pasti, kenangan itu kini sudah lenyap sedikit demi sedikit di hadapan Bu Parjilah. ”Untuk menghilangkan trauma dan bisa sedikit bangkit dalam berusaha, tidak bisa cepat dilakukan. Namun itu perlu dukungan dari berbagai pihak”, begitu ungkap Sarni suatu kali di sela obrolan dengan sesama pendamping di sore hari di kantor ASPPUK saat waktu senggang. Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa di perdesaan, maka perempuan memegang peran penting dalam perekonomian keluarga. Maka menjadi amat penting dalam hal itu, untuk memulihkan perekonomian masyarakat melalui usaha perempuan di Bantul. Selain itu, peran kelompok dan pedamping yang berperan selain menjadi kawan juga memberi motivasi dalam usaha khususnya, menjadi hal lain dalam kondisi itu. Ibu Parjilah merupakan miniatur dari ratusan perempuan yang memegang peranan penting dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa terutama dalam pengembangan ekonomi. Secara nasional, hingga sekarang ada sekitar 46,23% perempuan merupakan pelaku ekonomi. Namun sayangnya hak-hak ekonomi, sosial dan politik perempuan masih kurang terfasilitasi. Atas dasar itu, ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) berdiri pada 11 desember 1997, dan di Forum Nasional kedua, 24-27 Februari 2001, disepakati anggotanya untuk menjadi ”Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil. Dalam pandangan ASPPUK, pengembangan usaha perempuan tidak dipandang dari sisi pengembangan ekonomi saja. Namun itu harus dilakukan pengembangan perempuan dalam dua hal yaitu penguatan ”kebutuhan praktis” dan ”kebutuhan strategis”. Makanya untuk memenuhi dua kebutuhan di atas, ASPPUK mempunyai strategi integratif dalam pengembangan perempuan usaha kecil-mikro di level basis khususnya, yaitu dengan memberikan treatmen dalam berbagai aspek pengembangan usaha perempuan dan mempertimbangkan integrasi semua aspek pendekatan maupun content serta proses. Kongkritnya, pada tataran strategi dan kegiatan, aktiftas yang 12 | Edisi: 006/Oktober 2007

dilakukan untuk penguatan perempuan usaha kecil-mikro dilakukan, melalui; pengorganisasian, layanan informasi, pelayanan modal, dan advokasi. Strategi di atas dilakukan ASPPUK berdasarkan atas visinya, yakni “Terwujudnya PUK-Mikro yang kuat dan mandiri dalam masyarakat sipil yang demokratis, sejahtera, egaliter, setara dan berkeadilan gender”. Dan juga penjabaran lebih jauh dari misi ASPPUK, yaitu: (1) Memfasilitasi terbangunnya gerakan PUK-Mikro yang berkesetaraan dan berkeadilan gender sebagai penguatan sipil, (2) Memperjuangkan terbangunnya sistem yang kondusif bagi proses demokratisasi yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Maka ketika terjadi bencana di Yogyakarat dan Klaten, ASPPUK terpanggil untuk ikut berpartisipasi dalam pemulihan gempa di daerah tersebut dengan berbagi pengalaman dalam pengembangan ekonomi perempuan di level grassroot. Bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya, ASPPUK menjadi anggota jaringan yang bekerja untuk pemulihan masyarakat paska gempa. Dalam hal ini, ASPPUK mendapat mandat dari jaringan untuk mengelola “program Pemulihan Sosial, Ekonomi, Pasca Gempa Bantul Yogyakarta”. Sehingga ASPPUK di Bantul merupakan salah satu anggota jejaring Ford Foundation dari 12 LSM yang terlibat. Retno Kustanti, yang selama ini menjadi Sekertaris Eksekutif Wilayah ASPPUK Jawa, ditunjuk untuk menjadi koordinator program tersebut. Lebih jauh, program yang dijalankan ASPPUK adalah pemberdayaan ekonomi bagi perempuan yang memiliki usaha kecil dan juga perempuan yang berniat untuk memiliki usaha, seperti pedagang, pembuat emping melinjo, penjahit dan sebagainya. Selain itu, ASPPUK bersama KPUK (kelompok perempuan usaha kecil) membangun permodalan alternatif dimana ini nantinya menjadi sumberdaya masyarakat. Selain hal itu, ASPPUK diawal kegiatannya mengembangkan “recovery asset”, yaitu dengan memberikan bantuan alat-alat dengan pelaksanaannya melibatkan PUK secara langsung mulai dari verifikasi, pengadaan barang sampai dengan pendistribusiannya. Selain itu, Asppuk juga mendorong terbangunnya LKP- Lembaga keuangan perempuan yang menjadi wadah bagi PUK dalam pengelolaan perguliran, pendampingan usaha, capacity building, serta advokasi. Diharapkan dengan strategi tersebut, upaya yang dilakukan ASPPUK bisa menjawab kebutuhan PUK di Bantul sehingga geliat ekonomi yang dilakukan oleh perempuan semakin berkembang dan diperhitungkan.(by asppuk).

Related Documents

Edisi Oktober 07
December 2019 13
Mp Elite Oktober 07
October 2019 35
Edisi November 07
December 2019 25
Edisi Desember 07
December 2019 25
Edisi September 07
December 2019 19