Edisi April 08

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi April 08 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,671
  • Pages: 12
Edisi: 012/April 2008

Suatu malam, sekitar April 2008, di rumah seorang tetua dusun tempat atau malah mundur. Kasus pilkadus yang muncul di Klisat, desa Srihardono, berembuglah sekitar 100-an warga. Ini tengah program JFF memang di luar skenario, tidak pernah acara rutin setiap bulan (dalam hitungan wetonan). Namun, kali diperhitungkan sejak awal. ini agak berbeda karena ditumpangi kepentingan Jejaring Ford Itulah potret kecil keberhasilan warga dusun Klisat, Foundation (JFF) yang berpamitan sesudah setahun bergelut Srihardono, Kecamatan Pundong, Kab. Bantul selama bersama warga. Dalam catatan saya, ketika setahun lalu kami, setahun. Mereka yang bermimpi pun tidak untuk sowan ke JFF, ikut dalam pertemuan pertama dengan mereka (istilah kami DPRD, akhirnya bisa juga ketemu dengan para wakil mereka. “kulonuwun”), jumlah peserta dan dinamika rembug warga Dan tidak sekadar bertemu, tapi juga menyampaikan unegjauh berbeda. Dulu, kehadiran warga yang perempuan cuma 4 uneg mereka. Bahkan kemudian seorang anggota warga dusun orang, itupun cuma 1 orang yang bersuara. Tetapi pertemuan itu menjadi contoh (di Jakarta) tentang bagaimana ia mampu pada pamitan malam itu memahami menyusun perempuan yang hadir dan mengkritisi anggaran mencapai 40%, bahkan yang disodorkan oleh suara perempuan yang hadir pemerintah desa setempat. terdengar kritis, bahkan Padahal mulanya ia tak berani melakukan klarifikasi paham soal anggaran, atas ucapan petinggi dusun sebelum ia terlibat aktif yang mengkritik kegiatan belajar mengenai anggaran mereka. dengan IDEA (Jejaring Mengapa? Ini FF). adalah dampak dari Ada dua hal yang sebuah pengorganisasian mencolok dari perubahan komunitas, membangun kelima dusun yang digeluti masyarakat yang cerdas JFF, yakni: kesetaraan dan dan kritis, ketika bertemu keadilan gender. Lima dengan kepentingan kelompok perempuan di “Kunjungan Ford Foundation di Dusun Kedungpring untuk melihat kondisi komunitas memilih kepala lima dusun langsung sudah Pasca Program” dusun (pilkadus). Nah, membentuk wadah berbadan ketika anggota kelompok perempuan yang tergabung dalam hukum: Koperasi Wanita LKP Rukun Satosa (Klisat), Kopwan Lembaga Keuangan Perempuan (salah satu bentuk inisiasi LKP Lestari (Kadisoro), Kopwan LKP Makmur Sentosa JFF melalui Asosiasi Perempuan Pengusaha Kecil/ASPPUK) (Kedungpring), Kopwan LKP Kridomulyo (Joho), Kopwan ikut mencalonkan diri dan berpotensi untuk menang, para LKP Sido Makmur (Warungpring). Omset mereka semula elit dusun yang pro statusquo patriarkis terperangah. Sasaran (dana hibah dari FF 2007 melalui ASPPUK sebesar Rp 160 juta/ tembak pun mengarah ke para pegiat ASPPUK di dusun LKP), sekarang (2008) omset mereka rata-rata sudah lebih dari tersebut. Meski akhirnya calon kadus perempuan itu kalah Rp 200 juta/LKP. Sementara para warga lelaki yang mengelola selisih satu angka, tetapi suasana tegang belum juga cair. Dan dana hibah rekonstruksi rumah sebesar Rp 330 juta/dusun, baru akhirnya meletup juga dalam rembug warga malam itu. berancang membentuk koperasi simpan pinjam perumahan, Rekonsiliasi warga dusun semacam Klisat itu akhirnya para perempuan (istri dan kerabat para lelaki itu) sudah lebih menjadi bagian dari rencana exit strategy JFF. Bagaimana dulu bertindak maju. Mereka bersaing yang saling melengkapi. bila JFF sudah tak berada di dusun tetapi program yang Bukankah itu suatu manifestasi dari suatu sikap saling memiliki sudah dikerjakan warga tetap berjalan maju, bukan jalan di dan memajukan dusun masing-masing (merti)?

Edisi: 012/April 2008 | 

Dapur Info

Catatan Akhir Program Pascagempa Plus-Minus Program JFF di Bantul

April 2008, secara formal Program Terpadu Pemulihan Sosial [email protected]. Bukan hanya Ekonomi Pascagempa di lima dusun di lima kecamatan di Bantul para PO (Program Officer) yang diundang. Para PO dari 11 usai sejak dimulai Mei 2007. Ada plus-minus pada pelaksanaan LSM anggota JFF diminta juga mengajak CO (Community program yang dikerjakan 12 LSM yang bekerjasama dalam Organizer) atau FO (Field Officer). bentuk konsorsium Jejaring Ford Foundation (JFF) ini. “Saya berharap teman-teman di lapangan bisa datang, Di penghujung April 2008, tanpa kehadiran rekan dari karena kita sudah menyiapkan banyak konsumsi,” ujar Pak Syarikat Indonesia (pendamping di Joho, Banguntapan), Slamet Riyadi Sabrawi, Asisten Direktur LP3Y yang menjadi anggota JFF berkumpul di pendopo LP3Y untuk melihat hasil Grant Coordinator JFF. kerja bersama itu. Namun sayang, Bagi anggota JFF, tiap rapat hari itu tak jauh akhir bulan yaitu tanggal 28 – berbeda dengan rapat di jika tak berbetulan dengan hari bulan-bulan sebelumnya: libur atau Sabtu – memang hari hanya dihadiri para PO. untuk rapat evaluasi kegiatan Jumlahnya tak lebih dari bulan berjalan. Kali ini ang20 orang. gota JFF bersepakat untuk Makanan pun bersisa mengevaluasi capaian kerja banyak. Maka solusinya sepanjang program. Selain adalah sebagian peserta itu menjawab pertanyaan pirapat membungkus dan hak Ford Foundation, apamembawa pulang sisa kah kerja berjejaring ini akan makanan. Begitulah. dilanjutkan dan kalau ya Lantas apa yang mebagaimana melanjutkannya. ngemuka di forum rapat Berbeda dengan perteitu? salah seorang anggota JFF dari IDEA, Widji ketika mengemukakan muan-pertemuan JFF di pendapatanya. *** LP3Y sebelumnya yang hanya SATU hal penting ditemani makan siang dalam kardus dan kudapan, pertemuan yang perlu dicatat dari forum ini adalah anggota JFF mengakui kali ini jauh “lebih lengkap” untuk urusan perut. dan menerima kenyataan bahwa pelaksanaan program Siang itu, di samping pendopo siap tiga gerobak angterpadu selama setahun ini jauh dari memuaskan dan banyak kringan (tentu dengan isinya) dengan beragam pilihan makanan kelemahan. Penilaian ini justru datang dari anggota JFF. dan minuman, termasuk “kedai” lotek yang menggelar Meskipun pihak Ford Foundation sendiri, ketika berdagangannya di sisi selatan pendopo.. Masing-masing peserta kunjung ke Joho (Banguntapan) pada November 2007 memrapat bebas memilih dan memesan menu, bahkan boleh lebih berikan apresiasi positif terutama pada kerjasama 12 LSM, dari satu menu. Menambah porsi pun dipersilakan selama kerjasama ke-12 LSM dengan komunitas dan kerjasama perut masih menyisakan ruang. dengan pemerintah, dalam upaya memulihkan kehidupan Mengapa begitu? Ini sedikit ceritanya. LP3Y sebagai sosial ekonomi masyarakat yang terkena bencana. Dari aspek tuan rumah memperhitungkan bahwa teman-teman JFF yang kuantitatif pun target-target program tercapai, bahkan ada akan datang sekitar 50 orang, karena begitulah perkiraan yang melampaui target. berdasarkan undangan yang dikirimkan melalui milis  | Edisi: 012/April 2008

Dapur Info Catatan-catatan yang disampaikan anggota JFF melalui milis hal ini bagai lepas. Kejar target masing-masing program (sebelum pertemuan siang itu) dan dirangkum Field Coordinator, menjadi salah satu alasannya. Dedi H Purwadi, lalu dipaparkan dalam pertemuan tidak “Apa yang terjadi menunjukkan integrasi yang kurang memunculkan bantahan. kuat di soal perspektif gender. Sejumlah catatan Ke depan strategi kita adalah tentang kerja JFF antara integrasi perspektif gender lain; Program berjejaring itu. Karena kemarin kita sok masih ada pada tingkat yakin kalau kawan-kawan teknis; Konteks integrasi juga berprespektif gender, dalam JFF masih diwarnai tapi nyatanya dalam integrasi dengan target-target proini tidak terjadi. Termasuk gram lembaga. Desain Asppuk juga, yang terjadi program dirancang tidak ketika perempuan dikuatkan, sungguh-sungguh berasal laki-laki merasa keenakan dan dari kebutuhan dan konmengandalkan perempuan, disi riil warga. Desain ini juga tidak sensitif gender. program dirancang dan Dan kita tidak terlalu memdiimplementasikan perhatikan,” ujar Yuni sendiri-sendiri. Pristiwati, penanggungjawab Di lapangan, pelak- Suasana Pertemuan evaluasi kegiatan program anggota JFF di pendopo program Asppuk (Asosiasi sana program “tidak mengPendamping Perempuan Usaha LP3Y anggap penting” mengeKecil). tahui atau terlibat pada implementasi program lain. Koordinasi dan Penilaian Yuni dikuatkan Leni Herawati (PO Rifka komunikasi belum optimal di tingkat jejaring maupun sel. Media Annisa). Yang menjadi kelemahan dalam program, katanya, milis kurang dimanfaatkan untuk sharing informasi lapangan. nilai yang bisa dimasukkan ke semua, ini minim untuk Koordinasi terikat hanya pada rapat PO. disiapkan. Sering tidak lengkapnya formasi dalam rapat sel dusun “Rifka yang di awal diminta mengisi rumah sensitif padahal lebih substantif karena langsung terkait mendiskusikan perempuan itu juga bukan karena program, tapi karena inisiakondisi-kondisi yang ada di lapangan. tif teman-teman di lapangan. Soal utamanya mungkin karena “Saya sendiri kadang bingung kalau ada kegiatan, memang ada tuntutan capaian program dan target. Rifka kadang juga ada tabrakan dan teman-teman sendiri juga tidak jadi sensitif karena misinya memang di gender,” jelas Era, tahu. Apa yang terjadi, teman-teman lain tidak tahu. Tahunya panggilan lain Leni. hanya di pertemuan sel satu bulan sekali, jadi lambat bertukar *** informasi dan lambat merumuskan langkah. Rapat sel juga Itu beberapa catatan dan penilaian dari dalam yang seringkali hanya 3 atau 4 orang yang hadir. Budaya kerja, nadanya cenderung “miring”. Bagaimana catatan dari warga ketika bertemu dalam kerjasama, masih ada ego masingdi lima dusun tentang program ini? masing. Ini wajar, tapi bagaimana kita bisa menurunkan ego Sesi awal pertemuan Senin siang hingga sore itu memjuga perlu,” ujar Dedi. bahas hasil evaluasi yang dilakukan warga lima dusun pada Persoalan lain yang dicatat dan diakui anggota JFF bulan Maret. Evaluasi di masing-masing dusun dipandu Dati yaitu, pembuatan program oleh cluster atau LSM timbulkan Fatimah dan Romy Herianto. perbedaan persepsi antarcluster. Di tingkat komunitas warga Warga lima dusun pada intinya menginginkan pendamdusun, peran PPD (Panitia Pembangunan Dusun, organisasi pingan dari JFF dilanjutkan untuk 1-2 tahun ke depan, meskipayung untuk kerjasama pelaksanaan program) belum pun tidak seintensif tahun pertama. maksimal dan efektif. Program menimbulkan keberlebihan Sejumlah manfaat juga dikemukakan warga, di antaranya kegiatan (overactivity) di warga. hidup kembalinya kesenian yang setelah terpuruk akibat ben“…kelemahan kita kemarin banyak bicara soal program. cana gempa 27 Mei 2006. Bahkan, menurut mereka, ada keTidak ada penyiapan pranata. …yang harusnya pengampu majuan di bidang kesenian. Sejumlah kelompok seni pun perumahan sekaligus ‘penjaga’ komunitas, akhirnya terseret muncul menambah kekayaan kultural dusun. dalam goals program. …Yang dikatakan integrasi dimulai ketika Melalui dana bergulir program perumahan, warga bisa program ini berakhir,” kata Yuli E Nugroho, PO Perhimpunan menyempurnakan rumah bantuan yang mereka peroleh dari Solidaritas Buruh (anggota JFF yang mendampingi komunitas pemerintah. Warga yang terlewatkan program lain pun bisa Dusun Warungpring, Bambanglipuro) sambil tertawa. mengakses dana ini, sehingga bisa sama-sama tetangganya Berkaitan dengan upaya mengimplementasikan program dengan perspektif gender anggota JFF juga mengakui bahwa

bersambung ke halaman...7 Edisi: 012/April 2008 | 

Analisis Info

Dua Tahun Pemulihan Pascagempa Belum muncul liputan komprehensif

Menjelang dua tahun peristiwa gempa 27 Mei di Bantul, belum muncul laporan komprehensif suratkabar tentang pencapaian program pemulihan pascagempa yang segera berakhir. Laporan komprehensif dimaksud adalah laporan yang diharapkan mengambarkan sejauh mana program pemulihan itu berhasil mencapai target atau tidak. Atau dengan perkataan lain, sejauh mana program pemulihan sungguh bermanfaat terutama bagi masyarakat korban gempa. Sebab, terkait pelaksanaan program pemulihan pasca-gempa, sejumlah pertanyaan berikut perlu mendapat jawaban: Apakah semua target berhasil dicapai? Jika tidak, berapa persen dari target yang berhasil dikerjakan, berapa persen yang belum selesai? Apa kendala yang dihadapi? Lantas, bagaimana dengan persoalan yang belum terselesaikan, setelah kelak program pemulihan dinyatakan berakhir? Apa tanggapan masyarakat korban gempa terhadap hasil program pemulihan secara keseluruhan? Belum adanya laporan komprehensif suratkabar mengenai pencapaian program pemulihan pascagempa menimbulkan pertanyaan: Apakah suratkabar menganggap tidak perlu menurunkan laporan semacam itu? Apakah hal itu bisa dilihat sebagai inkonsistensi kepedulian suratkabar terhadap suatu masalah, dalam hal ini persoalan pemulihan pascagempa? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya digambarkan bagaimana suratkabar memberitakan masalah sekitar upaya pemulihan pascagempa selama dua tahun terahkir. Pada akhir tulisan, akan dikemukakan penjelasan mengapa laporan komprehensif suratkabar sebenarnya bisa dilihat sebagai ujud dari konsistensi kepedulian suratkabar terhadap masalah tersebut.

 | Edisi: 012/April 2008

Pasang surut liputan pascagempa

Berdasarkan pengamatan terhadap tiga suratkabar (Kompas, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat), boleh dikata perhatian suratkabar terhadap pelaksanaan pemulihan pascagempa mengalami pasang surut. Begitu gempa terjadi, seluruh media massa memberitakan peristiwa itu. Jumlah korban yang meninggal maupun terluka, jumlah bangunan yang rusak, kerugian harta benda, dan sebagainya, diberitakan secara lengkap dan menjadi berita utama di halaman depan selama berhari-hari. Sampai tiga bulan selama masa tanggap darurat, perhatian suratkabar boleh dikata tidak pernah surut. Laporan suratkabar tentang penanganan pascagempa muncul secara kontinu. Hal ini dipicu oleh adanya kejadian-kejadian yang terkait dengan penanganan masa tanggap darurat, dianggap bernilai untuk diberitakan. Bantuan dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri mengalir, disertai kunjungan pejabat tinggi negara, tokoh penting, dan sebagainya. Secara perlahan, perhatian media massa tentang persoalan tentang masalah yang terkait dengan penanganan pascagempa semakin surut. Berita tentang pemulihan muncul semakin jarang. Sekali dua muncul sebagai berita yang dimuat pada halaman depan, selebihnya dimuat sebagai berita pada halaman dalam. Lantas, menjelang 27 Mei setahun kemudian, suratkabar kembali menurunkan laporan yang menggambarkan pencapaian pemulihan pascagempa selama setahun. Dilaporkan, berbagai kemajuan telah dicapai. Kegiatan perekonomian mulai pulih, sejumlah gedung sekolah sudah selesai dibangun, rumah penduduk yang rusak akibat gempa sedang dibangun kembali, dan sebagainya. Sesudah itu, liputan media massa kembali semakin jarang. Sekali dua, persoalan yang terjadi selama pelaksanaan

Analisis Info program pemulihan muncul dalam pemberitaan suratkabar. Yang terbanyak diberitakan adalah kasus penyimpangan seperti pemotongan dana rekonstruksi. Demikianlah berlangsung hingga menjelang dua tahun pascagempa. Sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini, tidak ada laporan komprehensif suratkabar tentang pencapaian program pemulihan pascagempa yang akan segera berakhir.

Gaung melemah

Program pemulihan pascagempa yang dilaksanakan Pemkab Bantul sudah tentu merupakan kewajiban pemerintah terhadap warganya. Bahkan dalam keadaan normal sekalipun, pemerintah berkewajiban memberi bantuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Maka, begitu program ini dicanangkan dan memasuki masa pelaksanaan, sikap jurnalis terhadap program ini mulai berubah. Sebagai realitas yang akan diberitakan, gaungnya tidak lagi sekeras seperti saat gempa terjadi, atau saat penanganan masa tanggap darurat yang membuat kawasan terkena bencana gempa dipenuhi kesibukan luar biasa. Gaung program pemulihan pascagempa menjadi sama seperti program lain yang dijalankan pemerintah, sebagai sesuatu yang rutin. Lagi pula, program pemulihan pascagempa bukanlah suatu program dengan target yang muluk-muluk. Dana pemerintah terbatas, sehingga target yang muluk-muluk hanya menjadi beban. Oleh sebab itu, program pemulihan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan atas keterbatasan dana dan prioritas, disertai ketetapan bahwa waktu pelaksanaan hanya dua tahun. Dengan kebijakan ini, setelah dua tahun, program dihentikan. Perubahan sikap pers terhadap pelaksanaan program pemulihan dengan memandangnya sebagai sesuatu yang rutin dengan sendirinya menjelaskan mengapa intensitas pemberitaan suratkabar semakin surut. Memang, sebagaimana diungkap di atas, sekali dua masih muncul berita tentang kasus-kasus penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan pemulihan, seperti pemotongan dana rekonstruksi. Akan tetapi, ketika menjelang akhir pelaksanaan program pemulihan pascagempa laporan komprehensif suratkabar belum juga muncul, timbul kesan bahwa perubahan sikap itu menunjukkan kepedulian yang semakin melemah, kepedulian yang tidak konssten.

Konsistensi kepedulian

Pers, termasuk suratkabar, sebagai institusi sosial memikul tanggungjawab untuk menjalankan fungsi kontrol. Fungsi kontrol ini sudah tentu harus dijalankan secara konsisten. Menjalankan fungsi kontrol secara konsisten hanya dapat dilakukan apabila didukung kepedulian yang konsisten pula. Itu

berarti tidak cukup bagi suratkabar hanya memberitakan telah terjadi suatu persoalan yang menyangkut kehidupan banyak orang dan persoalan itu mendapat perhatian masyarakat luas. Sebagai konsekuensi dari fungsi kontrol yang diembannya, suratkabar dituntut untuk memberitakan pula bagaimana persoalan tersebut ditangani, serta apakah penanganan yang dilakukan sungguh mampu mengatasi persoalan itu. Program pemulihan pascagempa bagaimanapun merupakan suatu kebijakan publik yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Bantul. Dalam konteks itulah mengapa laporan komprehensif menjelang akhir pelaksanaan program pemulihan pascagempa menjadi penting. Di satu satu sisi, laporan dimaksud bisa dilihat sebagai bentuk konsistensi kepedulian suratkabar dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan suatu kebijakan publik. Di sisi lain, laporan komprehensif menjadi penting mengingat kemanfaatannya sebagai informasi bagi masyarakat luas untuk memahami bagaimana suatu kebijakan publik dijalankan, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama, masyarakat luas memperoleh informasi lengkap seperti apa pencapaian program pemulihan pascagempa selama dua tahun. Jadi, masyarakat tidak hanya memperoleh informasi tentang program itu saat dimulai, tetapi juga mendapat informasi mengenai proses pelaksanaan hingga akhir. Kedua, laporan komprehensif merupakan upaya media massa untuk membangun budaya akuntabilitas dan transparansi. Artinya, pemerintah setempat sebagai pelaksana program pemulihan pascagempa didorong untuk mengutamakan prinsip akuntabilitas dan tranparansi dalam pelaksanaan program tersebut. Liputan media massa bisa menjadi sarana untuk mempertanggungjawabkan bagaimana program pemulihan dilaksanakan. Ketiga, masyarakat diajak untuk bersikap kritis dan obyektif terhadap pelaksanaan program tersebut. Jadi, bahkan masyarakat korban gempa sebagai pihak penerima bantuan tidak perlu memandang posisi itu sebagai ganjalan yang menghalangi mereka untuk bersikap kritis dan obyektif terhadap pelaksanaan program pemulihan tersebut. Dengan demikian, peristiwa unjuk rasa dan perusakan kantor LOS DIY setelah lembaga ini mengeluarkan laporan evaluasi tentang pelaksanaan program pemulihan pascagempa, tidak perlu terjadi. Keempat, berbagai kawasan di negeri ini diketahui potensial terkena bencana alam yang diakibatkan banjir, tanah longsor, gempa, angin puting beliung, letusan gunung berapi, dan sebagainya. Laporan komprehensif media massa tentang program pemulihan pascagempa di Bantul bisa menjadi sumber pelajaran berharga bagaimana program pemulihan pascabencana dilaksanakan. *** (ron) Edisi: 012/April 2008 | 

Sumber Info

Pemberdayaan, Kemitraan, Gerakan Menabung* UPAYA Perkumpulan Untuk Kajian dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan (PKPEK) untuk mendorong financial education for the poor, perlu mendapatkan apresiasi. Program PKPEK adalah ikhtiar lain pengentasan kemiskinan. Hal yang menarik adalah digunakannya pendekatan lain dalam melihat persoalan kemiskinan. Financial education for the poor melihat problem kemiskinan dari sudut “tekanan keuangan”, antara lain berkaitan dengan kemampuan rakyat (miskin) dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan. Alternatif pandangan dalam melihat problem kemiskinan tentu saja positif, mengingat kompleksitasnya. Pandangan holistik mencerminkan: Pertama, meluasnya kesadaran, spirit baru, komitmen dan keterlibatan semua pihak terhadap tantangan kemiskinan. Kedua, meluasnya pemahaman dan pluralitas pandangan mengenai sebab-sebab kemiskinan, yang dengan sendirinya memperkaya upaya pengentasan kemiskinan. Ketiga, meluasnya stakeholders dalam proses pengentasan kemiskinan. Tentu saja kesemuanya harus diletakkan dalam kerangka pemberdayaan.

Pemberdayaan Rakyat

Setiap upaya Pemberdayaan, setidaknya menyangkut: Pertama, upaya untuk mengatasi keterbatasan. Bentuk konkretnya antara lain: (1) pemberian bantuan terutama untuk pemenuhan kebutuhan dasar; (2) pengurangan beban, antara lain biaya kesehatan dan pendidikan. Kedua, upaya untuk memperkuat kemampuan. Bentuk konkretnya antara lain berupa upaya pemberian fasilitas, peningkatan sumber daya manusia dan perlindungan. Ketiga, upaya untuk memperluas akses dan meningkatkan aset. Pada tahap ini, yang dilakukan adalah meningkatkan skala usaha, jaringan dan kapasitas. Sebagaimana kemiskinan, pemberdayaan tidak tunggal, melainkan jamak, plural dan kompleks. Masing-masing pihak berhak memiliki pandangan tersendiri terhadap upaya pemberdayaan. Hal yang terpenting adalah agar semua pendekatan pemberdayaan, tidak saling menegasi di *)

lapangan dan tidak menjadikan rakyat dalam kebingungan dan ketidakpastian serta keresahan, Tidak ada satu pihakpun yang berhak mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran mutlak, dan meniadakan peran dari pihak lain. Di sinilah kita memandang pentingnya dialog, kerja sama, kemitraan dalam proses pemberdayaan rakyat.

Kemitraan

Pasca gempa bumi di Kabupaten Bantul berkembang begitu banyak prakarsa, dalam rangka membantu korban bencana. Sekadar sebuah contoh, sekitar awal tahun lalu, beberapa pimpinan LSM, datang ke ruang Bupati, memaparkan rencana mereka untuk mengembangkan program pemulihan sosial ekonomi secara integrative di 5 dusun di Bantul, yang akan melibatkan sekitar 12 LSM yakni: Lembaga kajian Perilaku Sehat dan Ramah Lingkungan, Perhimpunan Solidaritas Buruh, Koalisi Perempuan DIY, Lembaga Perhimpunan Syarikat Indonesia, PP Lakpesdam NU, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPUK), IDEA Yogyakarta, Rifka Annisa, Pusat Studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial (CHPSC), Forum LSM DIY, Persekutuan Rumah Seni Cemeti dan LP3Y. Program ini menerima grant (bantuan hibah) dari The Ford Foundation. Program yang dikembangkan 12 LSM ini merupakan sebuah contoh dari adanya upaya bersama (kemitraan) dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, dengan pendekatan multi-program dan tentu saja dengan berbagai sudut pandang. Dari program tersebut, tercermin adanya: Pertama, kepedulian dalam kebersamaan. Kedua, kebersamaan dalam keragaman. Dan ketiga, keragaman dalam pemberdayaan. Segi pokok yang kita harapkan dapat berkembang dalam kegiatan bersama adalah proses pembelajaran dan praktik nyata, dalam kerangka pemberdayaan. Selain itu kerja sama seperti ini hendaknya dapat berkembang lebih jauh, menjadi suatu model kemitraan dalam pemberdayaan, yang tidak saja melibatkan LSM,

Drs HM Idham Samawi, Bupati Bantul, Artikel ditulis dalam rangka program promosi: menggagas layanan menabung dalam perspektif financial education for the poor, kerja sama PKPEK & PD BPR Bank Bantul dan KR.

 | Edisi: 012/April 2008

Sumber Info melainkan juga dunia usaha, dan berbagai kelompok lain, dalam sebuah format yang didasarkan pada mutual trust dan mutual respect. Bagi kita, ujung dari pemberdayaan adalah meningkatnya kemampuan diri, berkurangnya intervensi dari luar dan secara bertahap terjadi berbaikan kehidupan rakyat serta kemandirian.

Gerakan Menabung

Peningkatan keberdayaan rakyat, tidak dapat berjalan linear, melainkan bergerak secara dinamis. Sejalan dengan PKPEK, sinergisitas pemberdayaan akan lebih memiliki makna jika diikuti dengan upaya “peningkatan kemampuan” rakyat (miskin) dalam merencanakan dan mengelola keuangan. Kemampuan terakhir ini, dibutuhkan, terutama agar setiap keluarga (miskin) dapat menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran. Hidup dengan pola besar pasak daripada tiang, harus dapat dihindari, dan ditransformasikan menjadi hidup baru dengan kemampuan menyimpan dan mempersiapkan “masa depan”. Kita mengakui bahwa konsep menabung yang hidup di masyarakat telah mengalami distorsi, sehingga menabung seakan-akan bermakna sebagai “menyisihkan sisa uang belanja”. Dengan pengertian ini, sangat wajar jika rakyat cenderung sulit menabung, karena dalam kenyataan kebutuhan hidup terus berubah dan berkembang, seberapa pun pendapatan,

akan segara habis terbelanjakan. Oleh karena itulah, dibutuhkan kemampuan merencanakan, atau kemampuan untuk mengestimasi, membuat kalkulasi (sederhana) mengenai besarnya mendapatan, kebutuhan riil, momentum belanja yang tepat dan strategi agar dapat menabung. Untuk menumbuhkan tradisi menabung, dibutuhkan lebih dari sekadar kapasitas, melainkan juga suatu lingkungan sosial, budaya dan kelembagaan. Menabung tidak hanya bermakna tata keuangan, melainkan budaya dan cara hidup. Dengan pemahaman ini, sangat jelas bahwa gerakan menabung tidak mungkin dilakukan oleh satu atau dua pihak melainkan membutuhkan kerja sama banyak pihak. Pemerintah dalam hal ini, siap bersinergi dengan semua pihak, terutama untuk membangun budaya menabung. Beberapa hal yang terus dikembangkan pemerintah adalah: Pertama, upaya untuk menurunkan beban hidup rakyat miskin dan pada sisi yang lain dilakukan langkahlangkah untuk meningkatkan pendapatan, melalui usaha ekonomi. Kedua, upaya untuk meningkatkan kualitas kebersamaan dan solidaritas komunitas, dengan suatu maksud untuk menumbuhkan karakter lokal sebagai counter culture terhadap budaya konsumtif. Ketiga, upaya meningkatkan akses terhadap permodalan clan lembaga keuangan, dengan mendorong agar layanan perbankan lebih “nguwongke rakyat” atau lebih ramah kepada rakyat miskin. bersambung ke halaman...9

sambungan dari halaman...3 memiliki tempat tinggal yang layak. Yang semula belum ada MCK, melalui program ini bisa melengkapinya. Perempuan usaha kecil yang semula tak tersentuh program bantuan, kini bisa kembali berbisnis dengan bantuan modal dana bergulir yang dikelola mereka melalui LKP (Lembaga Keuangan Perempuan) dan bantuan fasilitas alat kerja. Usaha baru pun banyak bermunculan. Warga menjadi tahu bahwa kekerasan di rumah tangga – yang sebelumnya tabu untuk dipersoalkan – merupakan persoalan bersama bahkan bisa menjadi urusan polisi Meskipun demikian, warga di lima dusun mengemukakan bahwa kehadiran JFF dengan begitu banyak program dan melibatkan banyak warga menyebabkan kesibukan warga bertambah. Warga perempuan mengeluhkan banyaknya mengikuti kegiatan menyebabkan keluarga terbengkalai. Belum lagi soal jadwal kegiatan di dusun yang bertabrakan memberi kesan bagi warga soal koordinasi yang kurang baik. Kemudian, muncul juga penilaian bahwa program JFF belum bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga dusun. Itu sebagian kecil dari catatan warga yang penting sebagai masukan bagi seluruh anggota JFF. Menjawab keinginan warga, khususnya tentang keberlanjutan pendampingan, anggota JFF bersepakat untuk meme-

nuhinya. Namun, berbekal pengalaman setahun lalu anggota JFF sepakat untuk membenahi desain program dan kerja. “Kalau dilihat kebutuhannya adalah bagaimana memperbaiki desain yang sudah berjalan dan bagaimana mengembangkan modal yang sudah ada,” kata Yuli E Nugroho (PSB). Bagi Leni Herawati (PO Rifka Annisa), “Kerja-kerja kita juga tidak dari awal (lagi), tapi melanjutkan dan menambah proses yang sudah ada.” Dengan bahasa lain, program selanjutnya adalah maintenance dari program. ”Tahun kemarin membangun dasarnya dan ini adalah maintenance,” kata Grant Coordinator JFF, Slamet Riyadi. Yang terpenting tentu saja bagaimana program itu dirancang bersama, seperti disampaikan Sri Surani (PO Forum LSM DIY). “Kalau melanjutkan berjejaring, mari kita susun bersama dengan tidak dari belakang meja kemudian masing-masing lembaga bisa melihat output programnya. Sehingga tidak seperti kemarin lagi,” katanya berapi-api. Forum rapat itu pun lalu menyepakati pada awal Mei bertemu lagi untuk mulai membicarakan detail rencana tindak lanjut dan merancang desain program bersama-sama. Hanya saja tanpa teman dari Rumah Seni Cemeti. Kata Direktur RS Cemeti, Mella Jaarsma, pihaknya tak mempunyai personal. Ini tentu PR tambahan bagi JFF. (*) Edisi: 012/April 2008 | 

Spesial Info

Mengkritisi Pemberitaan Media tentang Hari Kartini Pada April ini atau biasanya mendekati tanggal 21, banyak orang, sekolah ataupun kantor-kantor turut memperingati hari lahirnya Raden Ajeng Kartini. Kartini dikenal banyak orang sebagai pahlawan membela hak kaum perempuan. Sebagai perempuan yang tinggal dan dibesarkan dengan tradisi budaya Jawa yang sarat dengan nilai-nilai patriarkhis, Kartini mampu berjuang untuk membela kaumnya. Dari perjalanan hidupnya itu, banyak orang mengenang Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan. Dari cita-cita yang dimiliki Kartini itulah kemudian terbentuk harapan dan perubahan untuk perempuan. Dahulu, perempuan hanya pantas bergelut di wilayah domestik, sudah sepatutnya diubah. Saat ini perempuan juga dituntut memiliki hak dan kewajiban, sama halnya dengan laki-laki. Perempuan juga dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya, tanpa ada diskriminasi, yang mana itu tidak didapat pada masa Kartini hidup. Berkaitan dengan keadaan itulah, setiap tahun orang mengenang Katini karena jasanya membela kaum perempuan. Namun, sepanjang perjalanan sejarah untuk mengenang Kartini, masih banyak orang yang salah kaprah dalam memperingati hari lahirnya. Terlihat ketika mendekati tanggal kelahirannya, kebanyakan orang memperingati dengan caracara konvensional dan dari tahun ke tahun selalu diulangulang. Apakah ini warisan masa orde baru yang “mengemas” seorang pahlawan perempuan untuk tujuan mengukuhkan domestifikasi perempuan? Coba tengoklah sekolah-sekolah, dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Lanjutan Atas memperingatinya dengan cara para siswa dan guru memakai pakaian daerah (kebaya). Tak kalah menariknya, masih banyak para murid TK mengadakan karnaval ke jalan atau di sekitar sekolahnya. Tidak hanya sekolah, kantor-kantor ataupun instansi  | Edisi: 012/April 2008

pemerintah maupun swasta turut memperingatinya dengan cara yang sama. Coba diamati, biasanya pada tanggal tersebut, para perempuan pegawai bank misalnya, memakai pakaian nasional atau kebaya. Media juga tidak mau ketinggalan. Pada hari itu banyak media yang memuat artikel tentang Kartini. Isi dari artikel tentang Kartini biasanya beragam, ada yang mengupas tentang hak-hak perempuan, atau isu-isu yang sedang hangat saat itu yang kemudian dikaitkan dengan semangat Kartini sebagai perempuan yang terus berjuang membela kaumnya. Begitu pula keesokan harinya (22/4), media seringkali juga memuat seputar kegiatan tentang memperingati hari lahirnya Kartini. Seperti beberapa suratkabar nasional yakni Kompas, The Jakarta Post, dan Republika, pada halaman pertama menampilkan foto seorang supir perempuan, bus Trans Jakarta memakai pakaian adat Palembang. Lengkap dengan asesoris kepala yang menjuntai bak putri yang hendak melangsungkan pernikahan. Dengan adanya berbagai cara untuk memperingati hari lahirnya Kartini, ini juga sebagai tanda atau bukti kita mengenang Kartini sebagai sosok pahlawan. Tetapi dengan hampir selalu menggunakan kebaya/pakaian adat, ini yang menimbulkan pertanyaan, mengapa selalu dengan kebaya? Jika tujuan awalnya melestarikan budaya melalui pakaian daerah, itu tidak masalah. Sehingga kebetulan hari Kartini sebagai momentum yang sangat berharga untuk melestarikan budaya tersebut. Persoalannya, bagaimana jika orang hanya mengidentikkan kebaya dengan Kartini? Karena hampir setiap liputan tentang hari Kartini selalu diiringi dengan kebaya atau pakaian adat. Media sangat berperan dalam memberikan informasi dibalik adanya peringatan tersebut. Media seringkali hanya menampilkan sosok perempuan dengan kebaya atau foto

Spesial Info tentang peringatan Kartini tersebut. Jika diamati, sangat jarang media atau wartawannya yang menulis fakta tentang peringatan tersebut dengan analisis tajam tentang makna perjuangan Kartini. Dengan adanya kenyataan tersebut, dikhawatirkan dapat menimbulkan pengukuhan di mata pembaca awam bahwa Kartini identik dcngan kebaya. Itu saja.

Siapakah Kartini Sebenarnya?

Banyak orang beranggapan Kartini adalah seorang pahlawan yang membela kaum perempuan. Kartini juga sering diidentikkan dengan kata “emansipasi”. Apa arti kata emansipasi, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah persamaan hak di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Kartini adalah seorang perempuan Jawa yang lahir tepatnya pada 21 April 1879. Ayahnya, R.M. Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara. Sedangkan ibu Kartini, Ngasirah adalah seorang anak mandor pabrik gula Mayong yang dijadikan selir atau istri kedua. Sebagian besar, kehidupan Kartini tinggal bersama ayahnya dan saudara-saudara dari ibu tirinya. Namun itulah nasib Kartini sehingga ia dapat masuk sekolah Belanda yang pada saat itu sangat sulit bagi perempuan untuk bersekolah. Pergolakan batin seorang perempuan Jawa yang hidup di tengah-tengah nilai patriarkhis itulah yang dituangkan Kartini dalam surat-suratnya yang ia kirim kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar, di Belanda. Sebagai perempuan Jawa yang hidup di tengah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi itu, akhirnya mampu membangkitkan pemikiran kritis tentang keberadaan kaum perempuan saat itu. Perjalanan hidupnya sebagai bagian dari representasi dalam melukiskan kegundahan hatinya. Bagaimana ia diperlakukan ketika pertama kali bersekolah, ketika ia melihat nasib ibunya, dirinya dan hak-hak yang seharusnya ia dapati sebagai makhluk hidup atau manusia. Masih banyak lagi yang menjadikan ia terus menerus menulis tentang dirinya. Bagaimana melalui suratsuratnya ia melukiskan kehidupan atau problem-probelem yang dihadapinya. Dalam konteks inilah adanya pengeksposan media tentang bagaimana masyarakat memperingati hari Kartini menjadi problem tersendiri. Pemberitaan media hanya sekadar memuat fakta di lapangan tanpa memberikan analisis, apa dibalik fakta

yang tertulis. Hal inilah yang ditakutkan, seperti yang tertulis dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” (Ananta Toer: 2000), Pramudya mengkritisi keberadaan Kartini yang disebut-sebut di berbagai hari peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmat candu mitos. Padahal Kartini sesungguhnya jauh lebih agung ketimbang mitos. Itulah sebabnya liputan media tentang adanya peringatan Kartini sebaiknya dirumuskan kembali untuk mencoba memberikan makna dibalik fakta tersebut. Sepertinya memang perlu, karena jika tidak, lama kelamaan masyarakat juga akan kritis menanggapi fakta tersebut. Seperti salah satunya yang termuat dalam rubrik surat Pembaca Kompas edisi 8 Mei lalu. Seorang pembaca mengkritisi tentang Sopir bus Trans Jakarta yang berpakaian adat Palembang tersebut. Yang kemudian memunculkan pertanyaan si pembaca, apakah hari Kartini perlu dirayakan sedemikian rupa sehingga perlu memakai pakaian yang dianggap dapat mengganggu kenyamanan pengemudi. Dilihat dari aksesori yang dikenakan pengemudi tersebut di kepala begitu menjuntai yang dianggap dapat mengganggu konsentrasi pengemudi. SemangatKartinimenuruthematsaya,tidakperluditunjukkan dengan cara berlebihan atau malah dapat menimbulkan persepsipersepsi keliru bagi mayarakat. Pertanyaan selanjutnya bagaimana kita mampu memupuk semangat Kartini meski zaman terus berubah, dan dengan cara bagaimana kita tetap menggunakan semangat itu sebagai wujud mengenang bahwa Kartini adalah pahlawan pembela hak-hak perempuan. Cara klasik yang setiap tahun dilakukan (seperti memakai kebaya), tidak perlu berlebihan. Sekali lagi, jika tujuannya untuk membudayakan pakaian tradisional, itu tidak masalah. Namun jika perayaan itu semakin mengukuhkan peran perempuan, itu yang harus dihindari. Semangat Kartini dapat dimiliki terus untuk setiap perempuan yang mempunyai cita-cita dalam hidupnya. Seperti Walimah (55), perjuangannya menghidupi anak-anaknya sebagai penambal ban di perempatan pojok Beteng, salah satu kawasan di Kota Yogyakarta sebagai pengganti suaminya karena tak lagi mampu bekerja (Kompas, 21/4). Walimah tidak kenal apa arti emansipasi. Cita-citanya sangat sederhana, ia ingin menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ya, itulah yang sebenarnya sosok Kartini saat ini. (may)***

sambungan dari halaman...7 Dunia perbankan, dalam konteks ini, perlu untuk diajak duduk bersama untuk membahas peluang pembukaan akses yang lebih besar pada rakyat miskin, dengan sifat memudahkan dan meringankan. Akses baru bagi rakyat miskin, tentu membutuhkan kesadaran, formula dan cara kerja baru. Kita percaya, bahwa dengan dukungan pemerintah daerah, perbankan setempat dimungkinkan untuk mengembangkan

skema yang dimaksud. Rintisan PKPEK ini kiranya dapat menjadi pembuka jalan, bukan saja untuk mentransformasi paradigma perbankan agar lebih peka terhadap rakyat miskin, akan tetapi juga mengembangkan sinergi tiap pilar demi memajukan kualitas kehidupan rakyat. (Tulisan ini dimuat di suratkabar Kedaulatan Rakyat

edisi 15 April 2008)

Edisi: 012/April 2008 | 

Info Buku

Melacak Jejak Pers Indonesia Berapakah jumlah wartawan Indonesia? Adhi Soerjo. Tokoh ini mangkat secara tragis Sungguh, pasti sangat banyak. Catatan setelah memberikan segala-gala hidupnya mutakhir mencapai puluhan ribu orang. untuk pers dan pembebasan bangsanya. Ia Namun, hanya seratus orang yang dipilih dalam mencoba banyak hal dan merintis perlawanan buku ini. Mengapa? Tentu ada alasan dan latar rakyat dengan cara baru yang di kemudian belakangnya. Mengenal sepak terjang pembuka hari menjadi sangat berpengaruh. jagat pers di negeri ini, adalah salah satu alasan Bersandar pada nilai dan semangat itu. Lainnya, barangkali mencatat kiprah dan yang telah ditorehkan Tirto Adhi Soerjo prestasi, juga fenomena yang melekat pada itulah, buku ini ditulis oleh beberapa penulis sang tokoh. muda berusia di bawah 25 tahun. Semangat Inilah buku yang layak dibaca oleh menapaktilasi jejak Tirto yang sudah terjun ke jurnalis. Di tengah merebaknya model dunia jurnalistik profesional di usia 22 tahun, jurnalisme infotainmen yang memaknai fakta saat menjadi pemimpin redaksi Pemberita secara dangkal dengan mengobral ruang privat Betawi dan pada usia 23 tahun membuat koran seseorang, buku ini bisa menjadi petunjuk pertama bertendens nasional, Soenda Berita. atau setidaknya inspirasi. Terutama Judul Buku : TANAH AIR BAHASA Beberapa tokoh, meski sudah bagi jurnalis muda, atau mereka yang tiada, tetapi kiprah jejaknya masih Seratus Jejak Pers Indonesia ingin menjadi jurnalis, agar bisa lebih Penulis tetap aktual hingga saat ini. Mochtar : Taufik Rahzen, et.al memahami, betapa jurnalisme tidak Penerbit Lubis misalnya, wartawan kawakan : I:BOEKOE : xiv + 460 hanya sejumput niat dan keterampilan Tebal itu sangat dikenal sebagai jurnalis : 2008 teknikalitas, tetapi juga harus dibangun Tahun yang keras pada prinsip dalam dengan sepenuh hati dan jiwa. menegakkan keadilan dan kebenaran. Seratus tokoh pers Tanah Air dalam buku ini, terentang Suara lantangnya menentang korupsi tak pernah lekang dari masa ke masa, mulai dari era pra kemerdekaan atau masa dimakan waktu hingga ia tutup usia, pada 2004. Mendiang pergerakan, pers perjuangan, lantas pers pembangunan hingga dilahirkan di Padang, Sumbar 22 Maret 1922. memasuki era pers industri saat ini. Tersebutlah nama-nama, Akibat prinsipnya itulah, ia sering jadi penghuni berbagai antara lain Douwes Dekker, HOS Tjokroaminoto, Parada penjara. Ia dijebloskan penguasa yang tak kuasa meredam Harahap, Soekarno, Moh Hatta, Adam Malik, BM Diah, upayanya membongkar praktek korupsi yang berkedok di Rosihan Anwar, Alex Mendoer, Mochtar Lubis, PK Ojong, balik kekuasaan. Korannya, Indonesia Raya dibredel rezim Jakob Oetama, Remy Silado, Ashadi Siregar, Surya Paloh, Orde Baru tahun 1974. “Korupsi memang seperti tak matiGoenawan Mohamad, Dahlan Iskan, Arswendo Atmowiloto, mati, bahkan makin gila. Apakah perjuangan saya untuk Saur Hutabarat, Bondan Winarno, Ilham Bintang, juga ada membongkar korupsi dari dulu hingga sekarang sia-sia? nama jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin. Tidak juga. Pemberantasan korupsi memang harus melibatkan Maka, dipilihlah Tirto Adhi Soerjo sebagai pembuka banyak orang, banyak pihak. Saya hanya menyelesaikan apa atau tokoh nomor satu. Tokoh ini disebut sebagai dinamo yang menjadi bagian tugas saya,” tulis Mochtar Lubis dalam pers pergerakan, jurnalis Jawa paling tua dan pendiri pers undangan ulang tahun ke-80 (hal 214). pribumi. Bagi para jurnalis usia muda, buku ini bisa dijadikan Sebagaimana ditulis dalam pengantar, ihwal nama Tirto panduan sebagai penuntun memahami jejak perjuangan para Adhi Soerjo dan 99 tokoh pers lain dalam buku ini dipilih, tokoh pers yang turut membangun negeri ini. Juga untuk karena memang ada latar belakangnya. memahami, pada suatu masa ada genre dengan sebutan Pada 7 Desember 2007, di Gedung Indonesia Menggugat, jurnalisme lher, ada pula masanya jurnalisme kuliner yang Bandung, sekelompok penulis muda yang peduli dengan dunia “mak nyus” itu. Namun, juga ada masa kelam saat jurnalis yang pers mendeklarasikan Hari Pers Indonesia. Merujuk pada bertugas sebagai penyaksi, tapi kesaksiannya justru dibungkam, kronik, tanggal itu bertepatan dengan hari penguburan Tirto nyawa sang jurnalis dihilangkan secara paksa. (awd) 10 | Edisi: 012/April 2008

InfoBuku

Iklan dalam Perspektif Kesetaraan Gender BERBICARA soal iklan, sungguh menjadi aneh budaya Jawa, mengakibatkan sistem dan orientasi bagi khalayak jika tanpa perempuan di dalamnya. nilai-nilai yang ada, berkembang dan diyakini Artinya, produk apapun yang diiklankan, bisa masyarakat Jawa sarat dengan muatan ideologi dipastikan akan menggunakan ikon perempuan gender yang penuh dengan makna ketidakadilan, yang ditampilkan dari berbagai angle. terutama bagi perempuan. Sistem dan orientasi Bagi khalayak, awam sekalipun, wajah, nilai-nilai gender yang tidak menguntungkan atau sosok perempuan seolah sudah dianggap perempuan tersebut, paling tidak mengejawantah sebagai kewajaran dalam iklan produk apapun. dalam tiga bentuk stereotip konsepsi dan keyakinan Barangkali inilah yang membuat penulis buku ini kolektif. Antara lain stereotip perendahan harkat gelisah, sehingga ia menuliskan kajian soal iklan, dan martabat perempuan sebagai sosok second manipulasi dan dehumanisasi terhadap perempuan. sex, stereotip eksploitasi tubuh dan kecantikan Semangat utamanya adalah perspektif gender, perempuan serta stereotip eksploitasi seksualitas yakni betapa dalam setiap produk iklan, perempuan.(hal 108). perempuan hanya dijadikan obyek. Judul Buku : MANIPULASI dan DEHUMANISASI Maka, dari sana pula kajian PEREMPUAN dalam IKLAN Perkembangan iklan bisa merendahkan penelitian melebar tentang pePenulis : Kasiyan kemanusiaan perempuan. rempuan sebagai penanda iklan Penerbit : Ombak Sebagai teknik persuasi, demikian Tebal untuk produk kebutuhan dapur : xiv + 402 St Sunardi menuliskan pengantar buku Tahun (hal 287). Ada beberapa contoh : 2008 ini, iklan memang harus lihai dalam iklan yang dijadikan obyek kajian, mengecoh masyarakat agar masyarakat mulai dari iklan produk margarine, bihun, alat dapur, wadah terpikat oleh cara iklan menawarkan. Manipulasi pasti beras dan kulkas, pembersih dan pewangi pakaian, setrika dan tidak bisa dihindarkan. Meski secara kode etik manipulasi lain-lain. Semuanya menggunakan sosok perempuan sebagai dimungkinkan dan tidak ada kode etik yang dilanggar, akan upaya menarik konsumen. Maka iklan-iklan itu dikupas satu tetapi dominasi sosok perempuan (cantik dan seksi) dalam persatu, dari kekuatan bahasa verbal, bahasa visualnya. iklan memang menimbulkan kejenuhan di kalangan orang Tanpa disadari, ternyata wacana iklan semakin memtertentu. Di lain pihak, adalah fakta sosok perempuan cantik perkokoh pembakuan peran-peran gender yakni perandan seksi masih terus dipakai, hal itu menunjukkan bahwa cara peran yang dikenakan kepada kaum perempuan tersebut itu memang masih dianggap mujarab menjaring konsumen. sebenarnya telah terfeminisasi dalam bentuk konsep Memang, keberadaan iklan di media massa bukanlah domestikasi perempuan. Oleh karena realitas tersebut diyakini sebuah genre wacana yang langka dalam diskursus kultur kebenarannya dalam ruang dan waktu yang sangat lama, maka ekonomi kapital dan budaya massa. Dalam keseluruhan pada akhirnya dianggap menjadi semacam kebenaran yang kesadaran hidup dan budaya sehari-hari di zaman modern hampir mirip dengan konsep mitos. ini, memang sudah dipenuhsesaki oleh iklan. (hal 1). Buku ini memang mengetengahkan kajian menarik Pertanyaannya, mengapa perempuan selalu dijadikan obyek tentang iklan. Hanya saja secara teknis, agak sulit dibaca, dalam setiap pembuatan iklan, apapun produk yang hendak karena terlalu banyak mencantumkan catatan kaki yang nyaris ditawarkan itu? selalu ada di setiap halaman. Bahkan, ada satu halaman yang Dibagi dalam lima bagian, buku ini memaparkan berisi tiga baris kalimat, tetapi catatan kakinya mencapai 34 berbagai tinjauan yang bertumpu pada penelitian terhadap baris kalimat dengan ukuran huruf lebih kecil (hal 20). iklan. sejumlah iklan yang dimuat di majalah. Dengan landasan Kenyataan ini mengganggu. Tapi, apa boleh buat, karena teori yang dipilih, iklan dibedah dari berbagai sisi. Misalnya buku ini awalnya adalah tesis penulis dalam meraih jenjang dari sisi paradigma konstruksi ideologi gender dan feminisme, doktor. Dengan demikian, secara teknis, catatan kaki sebagai juga ditinjau dari sisi kekuatan bahasa. pertanggungjawaban penulis mengetengahkan teorinya, tidak Yang menarik, buku ini juga meninjau konsep ideologi bisa dihilangkan begitu saja, dan tentunya harus diketahui gender dalam budaya Jawa. Sistem budaya patriarki dalam khalayak.(awd) Edisi: 012/April 2008 | 11

Profil

Berkoperasi Membangun Potensi Masyarakat Sipil Indonesia Meningkatkan kapasitas dan keahlian anggota koperasi dan masyarakat. Terkait dengan Program Terpadu Pemulihan Sosial Ekonomi Pascagempa Bantul Jejaring Ford Foundation (JFF) ini, CIRCLE Indonesia mendapatkan peran untuk menjadi tim pengkajinya. Sejak Agustus 2007, CIRCLE Indonesia bekerjasama dengan Ford Foundation (FF) melakukan penelitian terhadap program penanganan bencana yang dilakuAdapun, tujuan didirikannya CIRCLE Indonesia adalah kan mitra-mitra FF di Aceh dan Yogyakarta. Termasuk di untuk memperkuat masyarakat sipil Indonesia melalui pedalamnya program yang dilakukan JFF di Bantul. nyediaan jasa informasi, kajian, dan pendampingan dalam Naskah awal laporan riset yang bertajuk “Peluang dan bidang-bidang keahlian anggota koperasi. Tantangan untuk Mewujudkan Keadilan Sosial dan KesBentuk koperasi dipilih sebagai sebuah eksperimen etaraan Gender dalam Tanggap Bencana: Belajar dari Pendalam pengelolaan organisasi dengan mengedepankan nilaigalaman di Aceh dan Yogyakarta” itu telah dilokakaryakan di nilai keadilan dan kesetaraan yang dilandasi semangat etos Yogyakarta pada 18-19 November 2008 lalu. Lokakarya yang kerja keras untuk mencapai kesejahteraan bersama. menghadirkan para panelis ahli dan juga mitra-mitra FF, terCIRCLE Indonesia memberikan layanan jasa konsultasi masuk yang tergabung dalam JFF, itu khususnya dalam lingkup isu-isu menjadi ruang untuk mendiskusikan Bentuk koperasi dipilih sebagai pembangunan. Jasa konsultasi yang lebih jauh atas temuan-temuan yang disediakan tersebut menyoroti sesebuah eksperimen dalam didapat, sekaligus sebagai upaya unjumlah topik penting sesuai kapasitas tuk menyempurnakan laporan riset pengelolaan organisasi dengan para anggotanya, di antaranya Hak ini. dan Perlindungan Anak, Manajemen mengedepankan nilai-nilai keadilan Penelitian yang dilakukan CIRBencana dan Pengurangan Risiko dan kesetaraan yang dilandasi CLE Indonesia ini pada dasarnya Bencana, Perdagangan Adil (Fair merupakan upaya pendokumentasian semangat etos kerja keras untuk Trade), Kesetaraan Gender, Hak pembelajaran atas program penangaAzasi Manusia dan Hukum Kemanumencapai kesejahteraan bersama. nan bencana, khususnya di Aceh dan siaan, Perburuhan, Manajamen SumYogyakarta. Pembelajaran itu baik ber Daya Alam (Natural Resource Management), Pendekatan dalam aspek moda penyaluran bantuan (mode of delivery), Berbasis Hak dalam Pengurangan Kemiskinan, Kehidupan strategi pengembangan program, hingga indikasi awal pada Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods), Kekerasan terhadap perwujudan keadilan sosial dan kesetaraan gender. Sehingga, Perempuan, serta Hak-Hak Perempuan. lewat kajian ini muara akhirnya adalah semua pihak – Ford Setelah lebih dari dua tahun berkiprah, kini dengan 26 Foundation, mitra-mitra FF, komunitas penerima manfaat, anggota koperasi yang sekaligus merupakan para konsultan, CIRCLE Indonesia, dan masyarakat umum – dapat terus belaCIRCLE Indonesia tetap berkomitmen untuk mengusung jar dan mengambil pelajaran dari upaya penanganan bencana misi-misinya, yaitu (1) Mengembangkan aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan di Aceh dan Yogyakarta. perekonomian yang berdasarkan prinsip-prinsip koperasi dalam Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang rangka meningkatkan kesejahteraan anggota, mitra kerja dan lembaga ini silakan menghubungi CIRCLE Indonesia di masyarakat sipil; (2) Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui alamat Jl. Kaliurang Km. 9 No. 67, Klabanan, Ngaglik, penguasaan informasi dan teknologi yang membebaskan; (3) Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Telp/faksimili: Mengembangkan dan meningkatkan kapabilitas masyarakit 0274-884986, E-mail: [email protected]. Atau sipil guna memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri; (4) kunjungi situsweb: http//www.circleindonesia.or.id.

Cooperative for Civil Society Resources Development Indonesia atau dikenal dengan CIRCLE Indonesia merupakan sebuah Koperasi Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Sipil Indonesia yang didirikan pada 26 Februari 2006 di Yogyakarta.

12 | Edisi: 012/April 2008

Related Documents

Edisi April 08
December 2019 4
April 08
May 2020 12
Edisi Januari 08
December 2019 4
Edisi Maret 08
December 2019 5
Edisi Februari 08
December 2019 16