Edisi: 009/Januari 2008
MENYONGSONG tahun 2008 ini pemberitaan media dihiasi masih menjalankan program intergratif Pemulihan Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) pada masyarakat korban gempa dengan sajian berita tentang bencana alam. Bencana tersebut dari banjir di sejumlah daerah seperti Solo, Kudus, sebagian Bantul, Yogyakarta. Jawa Timur karena luapan sungai Bengawan Solo, juga Banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab menjelang berakhirnya program tersebut pada April 2008 nanti. Adapun banyaknya daerah yang terkena bencana longsor akibat turunnya hujan dengan frekuensi tinggi. pertanyaan-pertanyaan tersebut misalnya, sejauhmana kemanfaatan Tidak hanya itu, bencana yang diterima warga 5 dusun (Kedungpring, Warungpring, Klisat, angin puting beliung yang menerpa kota Tegal Jawa Tengah, dan Ende, Kadisoro dan Joho) selama program ini berjalan?Apakah setelah program Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, berakhir warga akan tetap (Kompas, 2/1) menjadi salah satu menjalankan kegiatan tersebut? bagian cerita tentang bencana Adakah perubahan signifikan yang melanda negeri kita. terhadap warga dari program yang Mengapa sampai terjadi dijalankan masing-masing lembaga? bencana? Selain karena kekuatan alam, Dan masih banyak lagi pertanyaan manusia juga berperan penting yang tentunya mengharapkan sehingga menimbulkan bencana ini. jawaban positif atas program yang Salah satunya banjir yang disebabkan telah dijalankan oleh 12 LSM yang karena manusia tidak dapat menjaga keseimbangan alam, dengan Para redaktur Suara Merdeka usai mengikuti pelatihan singkat, merupakan jejaring Ford Foundation (FF). banyaknya hutan yang ditebang. berfoto bersama fasilitator di aula gedung Suara Merdeka Di sisi lain, optimisme Tidak hanya alam, sejumlah lembaga terkait akan perubahan yang lebih baik menghadapi masalah social seperti persoalan AIDS misalnya, masih saja mewarnai tahun ini. Sejumlah kegiatan terencana diharapkan sudah pemberitaan media di awal tahun 2008 ini. Salah satunya, pasien HIV tersusun. Seperti salah satunya yang dilakukan LP3Y pada yang pulang karena tertunda dirujuk rumah sakit RSUD dr. R Koesma, pertengahan bulan ini. Dalam foto cover yang memuat sejumlah Tuban Jawa Timur. Dalam berita yang bersumber dari Jawa Pos redaktur Suara Merdeka usai mengikuti pelatihan yang Online (8/1), pengidap HIV tersebut terpaksa ditunda untuk dirujuk diselenggarakan LP3Y. Keterangan selanjutnya tentang kegiatan ke RS. dr. Soetomo Surabaya karena jalur Tuban-Babat terputus akibat tersebut dapat disimak pada rubrik Dapur Info. banjir (www.aids-ina.org) Selain itu, Spesial Info kali ini menampilkan analisis tentang Dari pemberitaan itu, ternyata bencana alam dapat stereotip tentang AIDS pada dunia perfilman Indonesia. Dengan berdampak pada salah satu masalah seperti HIV/AIDS misalnya. diberi judul oleh penulisnya “Stereotipi AIDS dan Budaya Namun, kita juga jangan berkecil hati. Masih ada banyak kegiatan Menonton”, pembaca akan diajak untuk melihat bagaimana film yang positif mengisi awal tahun ini di antaranya dengan adanya bertema AIDS terhindar dari stereotip. pemberitaan tentang penyuluhan HIV/AIDS pada 120 tukang Selanjutnya, masih banyak lagi yang bisa pembaca Newsletter cukur atau Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemerintah simak pada edisi kali ini. Seperti dalam rubrik Sumber info yang memuat Provinsi DKI Jakarta yang siap mencegah penularan baru HIV salah satu makalah Diseminasi Hasil Studi Seksualitas dan Perawatan pada tahun 2010 (www.aids-ina.org). Organ Intim Perempuan (Vaginal Practices) atau pada rubrik Profil Dengan masih banyaknya kegiatan positif yang dilakukan, yang kali ini menampilkan salah satu anggota jejaring FF yakni Institusetidaknya kita punya harapan di tahun ini dan selanjutnya. tion for Community Behaviour Change (ICBC). Selamat membaca. Setidaknya juga untuk kegiatan intern lembaga yang saat ini
Edisi: 009/Januari 2008 | 1
Dapur Info
PELATIHAN SINGKAT, CEPAT DAN PADAT * Catatan dari Pelatihan Redaktur Suara Merdeka “TIDAK terasa, waktu tiga hari ini cepat berlalu, terasa sekejap. dilaksanakan selama enam hari. Namun karena berbagai Pelatihan yang begitu penting dan menarik ini terasa begitu pertimbangan, akhirnya dipadatkan menjadi tiga hari, dengan singkat. Sehingga waktu tiga hari berlalu begitu saja,” kata durasi efektif pelatihan 15 jam. Setiap hari dimulai pukul 08.30 Gufron Hasyim, salah seorang redaktur Harian Suara Merdeka WIB, selesai pukul 14.00 WIB. (SM) Semarang, Sebanyak Minggu (20/1) 25 peserta siang lalu. mengikuti acara, Siang itu terdiri atas Gufron sedang redaktur senior memberi kata yang sudah sambutan berpengalaman mewakili 29 15 –20 tahun dan redaktur Suara b e b e r a p a Merdeka pada redaktur muda acara penutupan dengan jam pelatihan bagi terbang satu redaktur Suara tahun sebagai Merdeka di aula desk editor. gedung lantai Namun, tiga, Jalan Raya p a d a Kaligawe Km 5 kenyataannya, Semarang. jumlah itu masih Begitulah, d i t a m b a h selama tiga hari dengan tiga berturur-turut, peserta non aktif, mulai Jumat (17/ para redaktur Peserta pelatihan serius ketika materi disampaikan salah satu fasilitator 1) hingga pelaksana. Minggu (20/1) Meski pada LP3Y mengadakan pelatihan bagi redaktur harian terbesar di perkembangannya, peserta non aktif itu akhirnya menjadi aktif Jawa Tengah itu. juga pada beberapa sesi tertentu. Mungkin tergelitik untuk Memang, pelatihan tidak diselenggarakan di kampus LP3Y, mengikuti diskusi atau hendak ikut urun rembug, memberi seperti biasanya. Sebab, atas permintaan pihak SM, acara komentar. diadakan di Semarang. Dengan demikian, tim dari LP3Y –terdiri Materi pelatihan penyuntingan, diberi secara menyeluruh empat orang— selama empat hari tiga malam harus boyongan mulai dari aspek teknis, kelayakan, akurasi, etika, struktur tulisan, sementara ke ibukota Provinsi Jawa Tengah, kota berhawa panas judul, lead, sudut pandang (angle) pemerkayaan berita hingga dan selalu dikepung banjir akibat air pasang (rob) dari Laut keterangan foto (caption). Jawa itu. Tentu saja, bagi peserta yang sudah berpengalaman, materiSemestinya, sesuai rancangan semula, pelatihan dengan materi itu tidak asing lagi karena merupakan “makanan” mereka materi utama penyuntingan (editorializing) itu, akan sehari-hari. 2 | Edisi: 009/Januari 2008
Dapur Info Beda halnya dengan para redaktur muda, materi pelatihan barangkali merupakan hal baru, karena mengenalkan mereka pada konsep-konsep penyuntingan secara menyeluruh, lengkap dan detil. Sehingga mereka kemudian mengetahui kerja dan tanggung jawab redaktur semestinya. Bagaimana pun, kesepahaman persepsi sebagai redaktur, itulah yang hendak ditekankan. Diharapkan hal itu bisa muncul dan melahirkan kesepakatan sebagai pedoman kerja bersama di news room. Pengertian itu menepis anggapan bahwa peserta pelatihan dianggap belum mengerti atau dianggap bodoh, seperti dikatakan Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Sasongko Tedjo. “Tentu, bukan berarti Anda semua kami anggap sebagai pesakitan. Sebab, bagi para redaktur senior, pelatihan ini ditujukan sebagai upaya untuk menyegarkan kembali. Sedangkan bagi redaktur muda, pelatihan ini sebagai pengenalan bagaimana semestinya yang harus dilakukan oleh seorang redaktur,” ujar Sasongko pada acara pembukaan pelatihan.
Tetap ada PR Hari pertama, peserta digelontor berbagai konsep dan filosofi tentang pemahaman jurnalisme, serta visi dan misi suratkabar. Materi disampaikan oleh Direktur LP3Y, Ashadi Siregar, diikuti antusias peserta. Praktis, setelah acara seremonial, pada hari pertama seluruh sesi diisi dengan berbagai macam konsep hingga memasuki rehat siang. Diskusi, tanya jawab bahkan sempat menyentuh peristiwa aktual saat itu, yakni bagaimana riuh-rendahnya pemberitaan tentang Soeharto – bekas presiden kedua RI— yang saat itu sedang sakit. Usai istirahat, setelah konsep visi dan misi, dilanjutkan dengan materi diskusi tentang penempatan dan pemilihan berita. Peserta dibagi dalam empat kelompok dibentuk, membandingkan koran SM dengan media lain. Mengkritisi keunggulan dan kelemahan pemilihan berita yang disajikan SM. Peserta mendiskusikan satu edisi koran SM, dibandingkan dengan dua koran lain yang terbit pada edisi hari dan tanggal sama. Berdasarkan diskusi itu muncul beragam pendapat dan argumen, tercermin dalam presentasi kelompok secara singkat. Ada yang mengatakan berita SM sudah kuat, lebih unggul, punya kelebihan angle, hingga judul dibuat bersahaja karena kesantunan sebagai dasar pemilihan kata judul, dan sebagainya. Sebagai “pekerjaan rumah” bagi peserta, mengakhiri hari pertama diberikan soal pemilihan dan penempatan berita. Termasuk di dalamnya redaktur diharuskan memberi argumen mengapa berita tertentu ditempatkan di kolom tertentu, dijadikan head line atau hanya satu kolom. Demikian pula alasan mengapa sebuah berita yang dipilih menduduki rangking lebih tinggi dibanding berita lain. Dengan demikian, kesepahaman tentang bagaimana kerja di newsroom sesuai visi dan misi koran itu, bisa tercermin. Sebagaimana pelatihan yang senantiasa diterapkan LP3Y, setiap paparan konsep selalu harus disertai dengan tugas latihan. Maka, PR kali ini pun wajib diberikan, sebagai tugas latihan.
Memasuki hari kedua, materi pelatihan adalah berbagai aspek teknis penyuntingan. Sebelum masuk kelas, peserta mengumpulkan hasil kerja yang diberikan pada akhir sesi hari pertama sebagai pekerjaan rumah. Sebagai redaktur, materi yang dibahas tentu sudah dikerjakan sehari-hari. Namun, justru karena sudah menjadi “makanan” harian itulah, kadang masih ada beberapa hal yang luput dan terselip dari perhatian serta kewaspadaan. Tidak saja tentang bagaimana redaktur harus menyunting naskah, tapi juga fungsi manajerial yang kadang dilupakan. Barangkali karena saking menariknya materi, seorang peserta bahkan mengatakan agar LP3Y berada di Suara Merdeka selama satu bulan untuk memahami lebih jauh bagaimana tulisan dan berbagai bahan berita yang tersedia selama ini. Sebab, dalam paparan konsep disampaikan, seorang redaktur dituntut harus kejam kepada anak buahnya, sekaligus kepada hasil tulisan sang reporter. Di sanalah fungsi, tugas dan tanggung jawab seorang redaktur yang tidak hanya sebatas pada menyunting berita, tapi juga mengarahkan dan membina kinerja reporter agar hasilnya sesuai dengan apa yang telah digariskan sebagai kesepakatan di newsroom. Contoh kasus dan saran diberikan pada peserta setiap paparan konsep usai disampaikan. Pun pada hari ketiga, hari terakhir, ketika diberikan contoh kasus dalam sesi struktur tulisan. Para peserta tak bisa menahan tawa saat diajak kembali membaca hasil kerja mereka yang sudah termuat di koran SM. Mereka melihat bagaimana struktur tulisan pada sebuah berita di halaman pertama yang ternyata masih “amburadul”. Mereka seakan menertawai diri sendiri. Dari sana sebenarnya tampak semangat untuk terus memperbaiki diri, terus belajar agar tidak mengulang kesalahan. Dari kenyataan itulah, kecil kemungkinan muncul sikap resisten terhadap pelatihan itu. Hal tersebut terbukti selama tiga hari acara berlangsung, dan muaranya seperti dituturkan salah satu peserta di bagian awal tulisan ini. Manajer Diklat SM, Zainal Abidin, selaku penyelenggara pelatihan, mengatakan, pihaknya merasa bersukacita karena seluruh rangkaian acara berlangsung dengan baik sesuai ranangan dan harapan. “Tak seorang pun meninggalkan arena selama pelatihan berlangsung. Bahkan para senior telah memberi contoh yang baik dengan tekun mengikuti acara ini hingga selesai,” ujar Zainal pada acara penutupan. Di luar arena, ada pengalaman tersendiri bagi tim LP3Y. Pertama, bisa merasakan sensasi naik mobil di tengah jalan penuh air pasang (rob) bak sedang naik perahu amfibi. Pengalaman yang sangat mustahil bisa didapatkan di Yogyakarta. Pengalaman kedua, menikmati pemandangan elok kota Semarang di malam hari, dari atas ketinggian 99,9 meter, ketika berada di menara Masjid Agung Jawa Tengah. Salah satu peserta adalah pengurus masjid terbesar di Jawa Tengah itu. Dialah sang pemandu. Ternyata, dari menara masjid di dalam kompleks bangunan yang didesain mirip Masjid Nabawi Arab Saudi itu, kota Semarang tidak hanya lumpia.(awd)
Edisi: 009/Januari 2008 | 3
Analisis Info
Berita Upaya Pemberdayaan Usaha Kecil Pascagempa
TIDAK MEMBERI GAMBARAN MEMADAI SEPERTI apa upaya pemulihan pascagempa untuk membantu usaha kecil agar bangkit dari keterpurukan, sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi rakyat kecil korban gempa di Bantul? Apakah laporan suratkabar menyajikan gambaran yang jelas atas upaya tersebut? Pertanyaan tersebut diajukan, mengingat setiap kali bencana terjadi, rakyat kecil korban bencana menghadapi persoalan paling berat. Selain ada yang kehilangan anggota keluarga, mereka juga kehilangan harta benda dan mata pencaharian. Mereka ini memerlukan bantuan melalui upaya pemberdayaan ekonomi. Upaya membantu UKM terutama yang bermodal paspasan, dipandang strategis sebagai bagian dari upaya pemberdayaan ekonomi rakyat kecil korban gempa di Bantul. Di daerah ini terdapat berbagai sentra kerajinan. Kebanyakan usaha kerajinan termasuk kategori UKM yang sebagian besar merupakan industri rumahan, dan merupakan tumpuan sebagian rakyat kecil untuk mencari nafkah. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil pengamatan atas berita suratkabar tentang upaya pemulihan pascagempa di Bantul, khususnya mengenai pemberdayaan ekonomi rakyat kecil melalui pemulihan UKM.
Keterpurukan UKM Laporan suratkabar banyak menyoroti dampak bencana gempa 27 Mei 2006 terhadap perekonomian di Bantul, termasuk UKM. Tidak sedikit UKM lumpuh oleh gempa. Kerugian utama yang dialami UKM mencakup bangunan tempat usaha runtuh, kerusakan bahan baku, peralatan, kerusakan produk setengah jadi maupun produk yang belum sempat dipasarkan. Persoalan lain yang dihadapi UKM akibat gempa: pesanan tidak bisa dikirim sesuai perjanjian, pekerja yang tidak masuk karena juga menjadi korban gempa. Semua itu memerlukan pemulihan. Diberitakan, berdasarkan survai Bank Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan Yoyakarta, diperkirakan perlu 4 | Edisi: 009/Januari 2008
waktu setahun untuk pemulihan ekonomi secara keseluruhan. Untuk dunia usaha, waktu pemulihan diperkirakan lebih cepat, sekitar 3 – 6 bulan (Kompas, 6 Juni 2006). Sudah tentu kemampuan untuk pulih kembali berbeda bagi masing-masing UKM Bagi UKM yang hanya mengalami kerusakan ringan atau sedang, tetapi mempunyai modal cadangan, upaya pemulihan bisa dilakukan secara bertahap. Tidak demikian halnya dengan UKM yang bermodal paspasan, namun menghadapi persoalan yang lebih berat akibat gempa. Kebanyakan UKM yang tergolong kategori ini menjadikan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha. Ketika gempa merobohkan tempat tinggal mereka, itu berarti merusak tempat usaha, peralatan, bahan baku, produk setengah jadi, dan produk jadi yang belum sempat dipasarkan. Dengan kata lain, mereka kehilangan modal. Karena modal memang pas-pasan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka butuh bantuan. Tetapi, pihak mana yang mau memberi bantuan segera? Seperti diberitakan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Bantul Drs Yahya, mengemukakan bahwa pemerintah daerah Bantul mengutamakan penggunaan keuangan daerah untuk membantu perawatan korban terluka akibat gempa, perbaikan rumah warga, dan pendidikan (Kompas, 3 Juni 2006). Dana bantuan untuk pemulihan ekonomi baru dipikirkan kemudian, setelah masalah pokok di atas tertangani. Pemerintah daerah setempat tidak mampu apabila diminta mengeluarkan dana untuk pemulihan ekonomi. Harus ada bantuan keuangan dari pemerintah pusat.
Antara yang Bangkit dan Alih Profesi Bulan kedua dan ketiga pascagempa, berbagai suratkabar memberitakan beberapa UKM telah kembali aktif. Di Kasongan, sebagai misal, kios penjualan produk kerajinan gerabah dan keramik sudah mulai dibuka. Beberapa UKM yang tergolong eksportir diberitakan sudah mengirimkan produk pesanan ke luar negeri. Selain itu, diberitakan pula pemberian bantuan dari berbagai pihak, berupa modal, peralatan, atau bahkan kesempatan
Analisis Info pameran produk kerajinan. Sebagai contoh, sampai bulan Mei 2007, Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi telah mengucurkan dana stimulan untuk usaha kecil sebesar Rp 5 milyar (Kompas, 21 Mei 2007). Akan tetapi, delapan belas bulan pascagempa Bantul, muncul berita bahwa di wilayah Panjangrejo, Pundong, tidak semua perajin keramik dan gerabah mampu bangkit dari keterpurukan akibat gempa. Mereka ini terpaksa beralih profesi seperti menjadi buruh tani, karena tidak mempunyai modal, peralatan rusak, serta kesulitan akses pasar (Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 2008). Pada berita yang sama juga disebutkan bahwa jumlah perajin yang masih aktif berproduksi kini menurun drastis. Memang tidak disebutkan berapa jumlah perajin yang masih berproduksi hingga sekarang. Angka yang dimunculkan hanya keadaan sebelum gempa, yaitu tercatat ada 254 perajin aktif dengan jumlah tenaga kerja sekitar 450 orang. Tapi keterangan bahwa terjadi penurunan drastis, jumlah perajin yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan akibat gempa dan karena itu terpaksa beralih profesi semestinya jauh lebih banyak dibanding yang masih aktif berproduksi sampai saat ini. Ketidakmampuan perajin bermodal pas-pasan untuk bangkit kembali dari keterpurukan akibat gempa yang menyebabkan mereka alih profesi, seperti perajin di wilayah Panjangrejo, Pundong – sudah tentu menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah mereka tidak termasuk perajin yang mendapat bantuan? Atau, apakah bantuan yang diberikan itu tidak cukup efektif untuk mengangkat mereka dari keterpurukan? Bukankah berbagai pihak diberitakan sudah memberi bantuan, baik berupa modal, peralatan, termasuk dana stimulans?
Laporan Permukaan Kenyataan pahit yang dialami perajin di Panjangrejo, Pundong, bisa dialami pula oleh perajin lain di tempat berbeda di wilayah Bantul. Karena itu, bagaimana sesungguhnya upaya pemberdayaan terhadap UKM bermodal pas-pasan dilakukan? Berapa banyak UKM ini yang berhasil bangkit, berapa yang gagal? Berapa yang mendapat bantuan, berapa yang tidak? Apakah yang mendapat bantuan itu semua berhasil bangkit? Apakah yang tidak mampu bangkit itu karena tidak mendapat bantuan, atau ada sebab lain?
Cukup alasan untuk berharap bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut akan bisa ditemukan pada laporan suratkabar. Seperti disebutkan di atas, persoalan yang dihadapi UKM pascagempa tidaklah luput dari pemberitaan suratkabar. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan, kebanyakan berita itu hanya menggambarkan persoalan-persoalan yang terjadi di permukaan. Persoalan seperti mengapa sebagian perajin tidak mampu bangkit kembali, tidak mendapat kejelasan. Dengan kata lain, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sebagai contoh, diberitakan bahwa hingga April 2007 baru sekitar 1.100 industri kecil dan koperasi yang mendapat bantuan (Radar Jogja, 21 April 2007). Namun keterangan tentang upaya apa saja dan bagaimana upaya itu dilaksanakan untuk membantu UKM tersebut, tidak dilaporkan secara jelas. Selain itu, pada berita yang sama disebutkan lebih dari 2.000 unit usaha kecil terpuruk akibat gempa. Itu berarti, ada 900 lebih unit usaha kecil yang belum mendapat bantuan. Lantas, bagaimana nasib unit usaha kecil yang belum memperoleh bantuan itu? Laporan suratkabar tentang upaya pemberdayaan UKM, juga belum memberi gambaran sejauh mana hal itu bermanfaat bagi upaya pemberdayaan ekonomi rakyat kecil korban gempa. Sebab, keberadaan UKM juga menyangkut nasib pekerja, yang notabene adalah rakyat kecil. Bagaimana nasib pekerja, bila kemudian ternyata UKM tempat mereka mencari nafkah tidak lagi beroperasi seperti sebelum gempa? Laporan mendalam tentang hal sebagaimana dikemukakan di atas penting disajikan suratkabar secara berkesinambungan. Pada awal pemulihan, laporan dimaksud berguna untuk menggugah perhatian berbagai pihak agar segera memberi bantuan. Saat pelaksanaan, laporan sejenis bisa memberi gambaran apa saja upaya yang dilakukan dan bagaimana upaya itu berlangsung, apakah upaya itu efektif untuk membantu UKM agar bangkit dari keterpurukan, apakah upaya memberdayakan UKM bermanfaat langsung terhadap upaya pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, dan sebagainya. Melalui laporan seperti dimaksud, suratkabar tidak hanya memberi gambaran tentang upaya pemulihan pascagempa yang dilaksanakan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat kecil melalui pemberdayaan UKM. Lebih dari itu, melalui laporan semacam itu, suratkabar sesungguhnya bisa dikatakan ikut memberi gambaran yang bermanfaat sebagai masukan tentang bagaimana upaya pemulihan ekonomi rakyat kecil di daerah bencana seyogyanya dilaksanakan. (ron)
Edisi: 009/Januari 2008 | 5
Sumber Info
KONSTRUKSI GENDER DAN ORGAN INTIM PEREMPUAN
Pengatar redaksi: Pada Sabtu, 5 Januari 2008 di Hotel Grand Mercure, redaksi Newsletter mengikuti acara Diseminasi Hasil Studi Mengenai Gender, Seksualitas dan Perawatan Organ Intim Perempuan di Yogyakarta 2005-2006. Berikut ini salah satu rangkuman penyajian hasil studi yang kala itu disampaikan oleh Basilica Dyah Putranti. PADA power point yang disampaikan pemakalah Basilica Dyah Putranti sebagai wakil dari 6 peneliti lain yakni Ninuk Widyantoro, Herna Lestari, Laily Hanifah, Iwu Dwisetyani Utomo dan Yustinus Tri Subagya, diberi judul Gender, Seksualitas, dan Perawatan Organ Intim Perempuan (Vaginal Practices) Hasil Penelitian Kualitatif di Yogyakarta, 2005. Beberapa yang menjadi latarbelakang pentingnya studi perawatan organ intim Perempuan (POIP) adalah pertama, masih terbatasnya studi tentang prevalensi, motivasi dan dampak POIP terhadap kesehatan, seksualitas dan gender dalam masyarakat Indonesia. Kedua, makin meluasnya industri berupa produk-produk POIP berupa jamu baik modern maupun tradisional di kota maupun desa. Ketiga, belum adanya kebijakan untuk menguji produk-produk POIP di laboratorium dalam rangka melindungi konsumen. Alasan Yogyakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan sebagai salah satu pusat industri jamu tradisional dan kraton sebagai kerajaan dengan tradisi yang masih kuat. Pada penelitian menyebutkan prevalensi POIP di Indonesia, sebagai observasi di Yogyakarta, perempuan paling sering membersihkan vagina dengan air sirih dan minum kunyit asam. Sedangkan observasi di Jakarta ditemukan gurah vagina, kendedes (perawatan yang terdiri dari rangkaian pijatan pada tubuh, penggosokan badan, spa badan dan aroma terapi serta 6 | Edisi: 009/Januari 2008
sauna pengasapan vagina diikuti dengan minum jamu untuk memelihara organ seksual perempuan), ozonisasi vagina (proses membersihkan vagina dengan prosedur medis menggunakan empat tipe yang berbeda dari cairan dan ozon yang mempunyai fungsi antiseptik,membunuh bakteri dan jamur sebagaimana mengharumkan vagina), spa vagina, dan modifikasi vagina (namun jarang dilakukan). Jamu sebagai bagian POIP memiliki mitos terkini yakni sebagai kebugaran dan pengobatan penyakit, kecantikan dan peningkatan kemampuan seksual termasuk kondisi vagina ideal ”kesed” atau “peret” serta memperbaiki kemampuan dan “penampilan” vagina. Mengenai determinan status sosial ekonomi ditemukan perempuan ekonomi menengah-bawah biasanya meracik jamu sendiri atau membeli dari Mbok Jamu. Sedangkan perempuan ekonomi menengah-atas membeli bubuk/kapsul jamu di toko besar/dari penjual jamu ternama, melakukan POIP di salon kecantikan atau operasi vagina oleh profesi medis. Konsep tubuh yang ideal bagi perempuan Jawa digambarkan dalam bentuk tubuh langsing, singset, luwes, gemulai dan tidak berbau (lahiriah), di samping tutur kata yang halus dan sopan (batiniah). Perawatan tubuh dengan minum jamu disertai praktik asketis berpuasa dalam rangka memancarkan kepribadian cantik yang tersembunyi dalam diri seseorang. Pendekatan siklus hidup terhadap penggunaan jamu untuk perawatan vagina menjadi bagian dalam disiplin tubuh “menjadi perempuan” yang terlihat sebagai berikut: - Sebelum dan setelah menstruasi — cebok air sirih untuk mengurangi bau “amis” pada vagina dan rasa gatal akibat keputihan, minum kunyit asam untuk melancarkan darah haid.
Sumber Info -
-
-
Pra nikah — laku prihatin (puasa/pantang 40 hari, kulum cengkeh untuk mengurangi nafas bau, cebok air sirih untuk membersihkan vagina, minum kunyit asam sebagai antibiotik bila terjadi perlukaan setelah hubungan seks, minum delima putih supaya vagina kembali rapat), paket pre-weeding di salon. Sebelum dan setelah persalinan — paket jamu untuk melancarkan ASI, pengeluaran darah nifas, mengurangi bau tak sedap, membuat vagina kembali rapat. Perempuan menikah — minum kunyit asam, galian singset, paitan dan sari rapet untuk membuat vagina “kesed” atau “peret”.
Praktik POIP di Yogyakarta ini beberapa fakta dalam penelitian ini menemukan, sebagian perempuan ada yang mengatakan bahwa minum jamu bisa untuk menjaga kesehatan, agar badan tidak gemuk setelah melahirkan. Ada pula perempuan yang mengatakan bahwa dengan minum sari rapet rasanya jadi lebih percaya diri (kalau berhubungan intim dengan suami). Sedangkan pendapat laki-laki dalam POIP ini, ada informan yang berpendapat tentang vagina yang ideal seharusnya sehat, tidak terlalu basah dan bebas dari keputihan, menurutnya dapat tercapai dengan mencuci dengan air daun sirih yang segar maupun yang dikemas dalam botol. Dan yang lainnya ada juga yang berpikir bahwa ketika cairan vagina terlalu banyak berarti vagina mengalami infeksi, sehingga pada kasus ini penggunaan jamu sangat diperlukan untuk menyembuhkan infeksi tersebut. Namun ada juga salah seorang informan laki-laki berumur 53 tahun yang menyatakan bahwa ia tidak menyuruh istrinya minum jamu. Semua terserah istrinya yang akan melayani sebaik mungkin dengan segala cara. Sedangkan bagi pekerja seks, pada penelitian ini didapati sejumlah temuan di antaranya: - pekerja seks mengeksplorasi segala bentuk POIP termasuk jamu, gurah vagina dan tongkat madura.
-
Air sirih konsentrasi tinggi untuk membersihkan/ menyembuhkan perlukaan pada vagina Teknik modern jarang ditemukan karena alasan ekonomi.
Kesimpulan penelitian Air sirih dan kunyit asam paling sering digunakan untuk “menjaga kesehatan”, di samping sari rapet dalam konteks perkawinan. - Suami cenderung membebaskan istrinya untuk menggunakan/tidak menggunakan jamu. Pekerja seks lebih bereksplorasi dalam menggunakan jamu dibandingkan perempuan pada umumnya. Tenaga kesehatan tidak menganjurkan, namun juga tidak sepenuhnya menentang penggunaan jamu sejauh tidak membahayakan kesehatan -
-
-
-
-
Rekomendasi: Hasil studi menunjukkan masih diperlukan studi klinis untuk mendalami manfaat dan efek samping yang mungkin ditimbulkan dari praktik-praktik ini. Sangat penting untuk menyebarkan temuan dari studi ini ke masyarakat khususnya perempuan untuk menjadi lebih kritis dalam melakukan praktik-praktik ini. Media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai praktik-praktik perawatan vagina harus dikembangkan dengan metode praktis menggunakan bahasa sederhana sehingga perempuan lebih memiliki pengetahuan dalam menjaga kesehatan dan hak reproduksi serta seksual mereka. Tenaga kesehatan harus lebih cermat dalam mengantisipasi kemungkinan perempuan melakukan praktik-praktik perawatan vagina yang membahayakan. Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan harus melindungi perempuan dari praktik-praktik perawatan vagina yang membahayakan.***
Edisi: 009/Januari 2008 | 7
Spesial Info
STEREOTIPI AIDS DAN BUDAYA MENONTON Masduki*
SEIRING makin maraknya produksi film dan sinetron (sinema) di Indonesia pasca reformasi 1998, pertanyaan yang selalu mencuat adalah (1) Bagaimana pertumbuhan kreatifitas di lingkungan sineas sebagai ujung tombak peningkatan kualitas film dan sinetron? (2) Apakah kreatifitas itu berkorelasi dengan sikap kritis dan edukatif kepada penonton selaku subyek dari karya mereka? (3) B a g a i m a n a perubahan perilaku dan selera konsumsi khalayak terhadap sinema sebagai produk budaya massa? Persoalan kreatifitas menjadi kajian dan isu penting ketika karya sinema baik untuk layar lebar maupun televisi tidak semata harus sukses secara bisnis, tetapi menjadi penanda idealisme. Apalagi jika ia mendapat beban untuk menjadi produk yang edukatif, di tengah minimnya pengetahuan dan komitmen terhadap prinsip dasar kemanusiaan. Apa yang terjadi dengan penonton Indonesia, khususnya ketika mereka menyaksikan film bertema khusus seperti AIDS? Ada dua asumsi kondisi aktual seperti dapat digambarkan berikut ini:
1.
Ketika konsumsi masih menjadi budaya dominan, maka penonton tidak suka digurui. Budaya menonton film awalnya adalah praktek konsumsi yang berkorelasi dengan waktu luang (leisure time) dari masyarakat urban. Mereka dengan rela atau tergoda oleh promosi sebuah film, berdatangan ke bioskop, membayar mahal tiket tanda masuk sebagai bagian dari rutinitas di akhir pekan atau sebentuk pencarian ruang bercengkrama alternatif bagi sepasang kekasih. Mereka dapat terhibur dan senang tetapi juga dapat kecewa dan sedih oleh materi sinema yang umumnya berasal dari Amerika atau Asia. Fenomena ini berlaku pula untuk film bertema khusus seperti film AIDS. Bagi penonton awam, menyaksikan film bertema AIDS adalah praktek konsumsi yang kemudian berkombinasi dengan upaya edukasi personal. Dalam situasi ini, film yang terasa datar, menggurui akan menjadi asing bahkan ditolak secara terbuka oleh
*Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 8 | Edisi: 009/Januari 2008
Spesial Info
2.
mereka, dinilai sebagai bukan film yang mudah dikonsumsi. Apabila perluasan penonton sebagai obyek edukasi AIDS, maka kondisi sikap penonton tersebut akan membuat tujuan edukasi AIDS jelas tidak tercapai. Dalam beberapa karya sinema terkait topik AIDS, masih ditemukan sejumlah stereotipi yang mencuat disela narasi, visual dan dialog yang berulang-ulang, sikap “satir”: pengakuan terinfeksi HIV, istilah yang keliru: penyakit, dan lain-lain. Problem-problem klasik yang masih dianut oleh masyarakat awam dan menjangkiti nalar primitif sineas ini seperti tak berujung kepada kesadaran reflektif. Ketidaktahuan, kekeliruan atau populer dengan istilah stereotipi yang terjadi di masyarakat justru dieksploitasi sedemikian rupa.
Dalam diskusi mengupas sebuah film fiksi bertema AIDS di LP3Y akhir tahun 2007 yang lalu, penulis merinci beberapa isu stereotipi yang diadopsi oleh film, terutama film fiksi romantis bersegmen remaja. Misalnya: 1. AIDS = Kesehatan = Dokter. AIDS = Kesetiaan = Rekan Sebaya. 2. ABC: Abstain (tidak sex) yang sulit karena bukan keputusan sendiri. Be Faithful (Setia) yang justru berisiko dari pasangan yang tidak setia, dan Condom yang kontroversial, dilematis. 3. Solusi: keluar dari lingkaran ABC. Di masa lalu, kini dan untuk beberapa tahun ke depan, kita mungkin masih akan menyaksikan film dengn topik khusus seperti AIDS, baik bersifat pesanan ataupun yang dibuat secara sukarela/independen. Dalam sejarah sinema di Indonesia, pernah muncul sinetron Kupu Kupu Ungu (dibintangi artis senior Nurul Arifin), sinetron Pelangi Di Matamu (Angel Karamoy) dan seterusnya. Juga sudah pernah digelar Q! Film Festival (Q!FF) digelar di Jakarta dan Bali 24 Agustus-2 September 2007. Dari Indonesia, film yang mewakili adalah Coklat Stroberi dan Jakarta Undercover. Q!FF merupakan salah satu festival film internasional yang mengupas isu orientasi seksual dan HIV/ AIDS. Dengan tema Youth Revisited, Q!FF memutar 80 judul film dari 22 negara yang terdiri dari film dokumenter, film pendek dan film panjang. Film komersial termutakhir produk sutradara terkenal Rudi Soedjarwo adalah Mengejar Mas-Mas. Dalam film ini isu AIDS
hanya “di mulut”, menjadi gosip kecil di tengah kompleksnya isu lokalisasi. Lagi-lagi stereotipi. Berasumsi dengan kebutuhan dasar remaja akan informasi dasar tentang AIDS, kita bisa berdebat seputar apa yang perlu disampaikan dan apa yang tidak perlu. Namun yang lebih utama dari itu adalah bagaimana mengemas pesan yang perlu disampaikan, agar tidak menggurui, tidak datar dan terhindar dari stereotipi, eksploitasi dan sejenisnya. Kiranya para pegiat sinema selaku penyedia menu kepada penonton harus selalu menegaskan beberapa prinsip berikut: 1. Problem HIV tidak terletak pada ODHA tetapi terletak pada sikap lingkungan dan orang terdekat mereka! 2. Diskriminasi terhadap ODHA bisa dicegah oleh pemahaman yang lengkap terhadap penyebab infeksi virus itu sendiri. 3. Sikap terbuka ODHA akan membantu bagaimana ia diterima oleh publik. Beberapa prinsip ini menarik diadopsi terus-menerus, dikumandangkan aktivis melalui komunikasi yang sistemik baik dalam bentuk iklan, pelatihan hingga produksi bersama dengan sineas. Harus ada kemauan kuat untuk bersinergi dalam rangka membangun budaya menonton dan karakter penonton yang tidak hanya menyukai film hiburan berbasis isu HIV tetapi mendapatkan nilai edukatif dari film itu. Terdapat kecenderungan kurangnya komunikasi langsung antara aktivis-sineas dan penonton sebelum dan pasca produksi sebuah sinema. Dalam konteks ini, organisasi jurnalis internasional (IFJ) merekomendasikan kepada jurnalis audio visual sebagai mitra penting dari sineas untuk mengedepankan isu jurnalisme berikut: 1. People Living with ODHA sebagai fokus 2. Diversitas isu dan cara pandang terhadap problem AIDS menjadi kunci agar edukasi khalayak dapat makin cepat misalnya tidak hanya melihat AIDS sebagai isu kesehatan atau isu agama. Fokus film yang hanya soal penyebaran (transmission) atau tingkat kerawanan infeksi HIV pada obyek tertentu harus digeser kepada proses solidaritas internasional dan lokal dan penemuan teknologi dan harapan untuk kesembuhan bagi ODHA. Ketika film dan sinetron bergenre remaja sedang laris manis, maka peluang memasukkan isu AIDS amat terbuka, sepanjang ia mampu disajikan dengan pendekatan sinematografi yang menghibur namun tetap edukatif. Semoga.
Edisi: 009/Januari 2008 | 9
Info buku
SAATNYA JURNALIS PEDULI TERHADAP ANAK “BOCAH 8 Tahun Diduga Dianiaya Orang Tua anak sebagai anak nakal misalnya, ketimbang melihat Angkat”. Itulah salah satu judul berita tentang anak latar belakang mengapa anak menjadi berbuat demikian. yang dimuat salah satu media cetak pada tanggal 19 Dalam buku setebal 153 halaman ini, yang Februari 2008. merupakan panduan bagi jurnalis untuk meliput isu Pemberitaan tentang anak yang diungkap meanak, salah satunya disinggung bagaimana jurnalis dia memang tidak sesering seperti berita yang perlu memiliki perspektif atau sudut pandang anak mengandung unsur politik atau ekonomi. Berita anak ketika meliput soal anak. Pemahaman atas perspektif yang sering disajikan biasanya berkaitan dengan ini diperlukan agar pemberitaan diharapkan memberi terjadinya peristiwa, seperti pada contoh kasus di pembelaan terhadap anak. Hal ini mengingat anak tidak atas ketika ada kasus yang menimpa anak. Atau di seperti orang dewasa yang mampu mengidentifikasi sisi lain media juga akan menyajikan berita berkaitan persoalan serta mengambil keputusan atas pilihannya, dengan anak, ketika adanya hari anak misalnya. dan dia dianggap belum mampu membuat keputusan Mengapa anak perlu mendapat perhatian meuntuk dirinya sendiri sendiri. (bab 4) dia? Banyak faktor yang menjadi latar belakang Untuk itulah UU no 23 Tahun 2002 itu hadir agar pertanyaan itu, tetapi salah satunya anak mendapat perlidungan dari Judul Buku : Jurnalisme Peduli Anak, Panduan bagi dikarenakan posisi anak yang sejumlah perlakuan diantaranya, Jurnalis Meliput Isu Anak seringkali tidak pernah “dianggap”, diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, : Eko Bambang dan Luviana karena ia adalah hanya manusia kecil. Penulis kekerasan, penganiayaan dan lain Sehingga dengan adanya anggapan Penerbit : Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagainya. : 2007 inilah anak kerap mengalami Tahun Namun, adanya pemikiran sejumlah kekerasan, penindasan dan Halaman : x, 153 tentang pentingnya isu anak tidak pengabaian hak. Padahal anak juga begitu saja diterima media. Isu anak makhluk tuhan yang sama derajatnya dengan orang dewasa. Ia juga saat ini belum menjadi prioritas media. Alasannya, berdasarkan hasil punya hak sebagai manusia yang harus dipenuhi baik oleh orang pemetaan yang dilakukan AJI, dalam buku ini ditemukan sejumlah tuanya (dewasa) atau negara. alasan di antaranya; isu anak kurang seksis dan kurang diminati Dengan banyaknya kasus yang sering menimpa anak, maka pembaca sehingga tidak berdampak baik secara ekonomi, pembaca lahirlah Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan lebih tertarik isu politik, kriminal bahkan infotainment, masyarakat masih Anak. UU tersebut lebih menegaskan bahwa anak perlu dilindungi menomorduakan anak, halaman terbatas, banyak terhambat di lapangan, dan mendapatkan hak-haknya. seperti minimnya data dan memerlukan waktu khusus (hal. 10). Buku yang diterbitan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Memang tidak mudah melakukan liputan tentang anak. Selain bekerja sama dengan Unicef ini bermaksud menggugah para jurnalis jurnalis harus menguasai kode etik jurnalistik dan berempati terhadap sebagai pelaku media bahwa isu anak merupakan salah satu isu penting anak, jurnalis juga harus menguasai sejumlah produk hukum dan peraturan yang perlu diangkat. Hal itu dilatari dengan adanya perhatian media yang berkaitan dengan anak. Karena tujuan menguasi aspek hukum selama ini yang belum begitu peka terhadap persoalan anak. Kurangnya dan sejumlah peraturan ini akan membantu jurnalis untuk mendapatkan kepekaan jurnalis dalam melakukan liputan isu anak ini terutama ketika pemahaman akan posisi anak dalam masyarakat. (hal 47) anak menjadi korban kekerasan, perkosaan atau tindakan destruktif Selanjutnya, setelah jurnalis menguasai seluruh aspek di atas, lainnya. Dalam hal ini jurnalis kerap mengabaikan faktor psikologis jurnalis juga perlu paham terhadap prinsip-prinsip dasar dalam meliput anak dalam proses liputannya. anak. Seperti dikutip penulis dari International Federation of JourSelain itu, soal perspektif tentang hak anak. Dalam penulisan nalist (IFJ), sejumlah panduan tentang prinsip dasar ini antara lain: berita tentang anak, seringkali jurnalis hanya melihat dari sisi peristiwa jurnalis harus berjuang untuk mempelajari soal standar akurasi berita semata. Aspek terpenting yang jarang dieksplorasi lebih lanjut adalah dan belajar soal sensitifitas isu anak, menghindari eksplotasi dan hak-hak mereka sebagai anak yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi sensualisme anak, konsisten untuk tetap menuliskan informasi anak, oleh orang tua, masyarakat dan negara, terkadang sama sekali tidak menghindari seksual image terhadap anak di media, tidak mengekspose tersentuh. Sehingg terkadang jurnalis malah terkesan menyalahkan anak secara berlebidhan dan lain sebagainya. (may)
10 | Edisi: 009/Januari 2008
Info buku
PEREMPUAN, KORBAN BERBAGAI PIHAK SEBAGIAN dari pembaca barangkali masih ingat Buku berisi kumpulan makalah penulis kasus Zarima Mirafsur, yang oleh media massa tentang isu-isu gender ini pada dasarnya ingin dijuluki Ratu Ecstasy. Perempuan yang pernah menunjukkan bahwa perempuan, disadari menjadi bintang sinetron ini, karena kasus ataupun tidak, dijadikan atau menjadi korban kriminalitasnya sebagai pengedar narkoba, berbagai pihak. Perempuan menjadi atau dijadikan menjadi komoditas pemberitaan yang luar biasa. berada pada posisi itu sebagai akibat Ada dua hal mengapa media mengangkat ketidakadilan dan bias gender di tengah sosok Zarima sedemikian rupa. Pertama, karena dia kehidupan sosial-budaya yang patriarkhi. sosok prominence, sebagai artis (meskipun bukan Dalam hal ketenagakerjaan, formal maupun artis papan atas). Kedua, karena dia perempuan. non formal, misalnya, terjadi diskriminasi Masalahnya, media tidak menempatkan terhadap perempuan dalam pengupahan dan Zarima (perempuan) sebagai korban dari sebuah perlindungan (Bab1). Ketika menjadi pekerja struktur kekuasaan atau kekuatan (dipegang rumahan para perempuan nyaris tak tersentuh lelaki) yang menjadikan perempuan sebagai alat hukum ketenagakerjaan dan kebijakan dalam kejahatan. pembangunan, mereka dianggap : Perempuan, Kesetaraan & Keadilan: Itu analog dengan perlakuan Judul bukan pekerja (Bab 6). Dalam Suatu Tinjauan Berwawasan Gender media terhadap perempuan yang relasi antara negara dan warga, Penulis : Romany Sihite membunuh bayi atau menggugurkan perempuan pun menjadi pihak kandungan karena bayi atau Penerbit : PT Raja Grafindo Persada yang nyaris selalu jadi sasaran : 2007 janinnya tidak dikehendaki, misal Tahun korban kekerasan bahkan akibat perkosaan, hubungan di luar Halaman : xviii, 248 menjadi tindakan yang nikah, yang intinya bisa “disahkan”, misal dalam situasi menimbulkan aib bagi si perempuan. Media bagai menghakimi si konflik bersenjata antara militer dengan sipil (Bab 2). perempuan belaka, bahkan acap kali dengan pelabelan yang Karena stereotipe yang melemahkan perempuan pula, para memojokkan. Sementara sang lelaki, lepas dari penceritaan. Melalui perempuan menjadi korban pelecehan seksual di dunia kerja pemberitaan media, pada akhirnya si perempuan menjadi pihak yang (Bab 4). Di sektor kehidupan politik (Bab 8), penulis harus menanggung seluruh beban dan menjadi cibiran publik. menunjukkan, perempuan pun masih disisihkan dengan berbagai Dalam kejahatan narkoba, Zarima bukan satu-satunya alasan pembenar. Tak hanya itu, hukum, lembaga peradilan perempuan pelaku sekaligus korban dari sebuah kekuasaan pidana, belum memihak perempuan sehingga kerapkali keadilan yang memperalat perempuan sebagai kaki tangan, khususnya tidak diperoleh para perempuan (Bab 7). Belum lagi para dalam kriminalitas. perempuan yang menjadi dan dijadikan korban dalam Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (1994 perdagangan manusia yang sifatnya viktimisasi multidimensi dan 1995) menunjukkan bahwa ada indikasi laki-laki memperalat (Bab 10). perempuan untuk melakukan berbagai tindak kriminal dengan Dan lengkap pulalah status sebagai korban dari berbagai memanfaatkan stereotipe gender seperti kehalusan, kecakapan pihak tatkala di ranah domestik pun perempuan menjadi korban bertutur, dianggap makhluk lemah dan tidak memiliki keberanian. kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan seksual, Para perempuan dilibatkan dengan berbagai peran seperti sebagai ekonomi dan psikis dari pasangannya (Bab 11). kaki tangan anggota jaringan, perantara, kurir dan sekaligus teman Hanya sayang, “penceritaan” tentang nasib perempuan dekat atau pacar dari gembong narkoba. (hal 12-13). dalam buku ini terasa kurang nyaman (untuk tidak mengatakan Fakta tersebut hanya sepotong kecil dari sebuah kondisi tidak menarik) diikuti karena masing-masing bab/tulisan perempuan, khususnya di Indonesia, yang dipaparkan dalam disajikan secara kaku dengan format dan struktur penulisan buku ini. ilmiah/akademis. (ded) Edisi: 009/Januari 2008 | 11
Profil
EKSIBISI, ESUBESI, AISIBISI, ATAU I-CE-BE-CE?: NJELIMET AGAR DANA PEMBANGUNAN TIDAK HABIS SEKETIKA BAHAGIA rasanya ketika mendapatkan dana cuma-cuma (hibah), lalu membelanjakannya sampai habis untuk membangun rumah. Rumah jadi bagus, aman, tidak perlu mengurus administrasi berbelit-belit, dan tidak perlu juga pusing memikirkan bagaimana mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Gitu aja kok repot! Lain halnya yang terjadi pada sebuah cerita berikut. Suatu ketika, terjadilah bencana. Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan pada rumah penduduk. Ada pihak-pihak yang tersentuh hatinya, lalu menyumbangkan sejumlah dana untuk pembangunan kembali rumah korban bencana tersebut. Tampaknya dana tidak cukup untuk mencakup semua keluarga di dusun. Keluarga yang tidak mendapatkan dana pembangunan lalu merasa iri, sedih, dan marah. Ada yang bertanyatanya, “Memangnya kriterianya apa, sehingga dia dapat tetapi aku tidak?” Ada juga komentar, “Bagi rata saja semua dana, biar semuanya dapat!” Dengan segala kontroversi, dana dari para dermawan itu pada akhirnya disalurkan juga. Berlakulah plesetan dari iklan Mas Basuki almarhum, “Wess ewess ewess, bablas duite!” Dana habis. Cerita berakhir. *** Siapa sih ICBC? ICBC merupakan organisasi “termuda” di antara semua organisasi yang tergabung di jejaring Ford Foundation (JFF) untuk pemulihan pascagempa terpadu di 5 dusun di Bantul. ICBC bertanggung jawab atas program rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan di Dusun Klisat, Srihardono, Pundong, Bantul. Walaupun beraktivitas sejak tahun 2002, baru tanggal 26 April 2007 ICBC didirikan secara resmi di hadapan notaris. Visinya adalah mencapai masyarakat & lingkungan yang sehat melalui perubahan perilaku. Adapun Ruang lingkup kegiatan ICBC adalah sebagai berikut: Perpustakaan Interaktif. Kegiatan kami dalam ranah ini menggambarkan kepedulian kami untuk menciptakan iklim pembelajaran alternatif bagi siapa pun yang ingin lebih memahami isu-isu psikososial. Promosi Kesehatan Psikososial. Kegiatan kami dalam ranah ini menggambarkan kepedulian kami untuk memberdayakan kader kesehatan setempat untuk mempromosikan kesehatan psikososial. Program-program dalam ranah ini berkaitan dengan peningkatan kapasitas perempuan, peningkatan keterampilan hidup remaja, dan peningkatan keterampilan pengasuhan aspek emosional anak. Pendidikan Lingkungan. Kegiatan kami dalam ranah ini menggambarkan kepedulian kami dalam meningkatkan perilaku ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Program-program dalam ranah ini berkaitan dengan pemaduan bahan-bahan lingkungan setempat dengan pembelajaran sains, pengembangan teknologi 12 | Edisi: 009/Januari 2008
tepat guna yang menggunakan sumber energi ramah lingkungan, promosi perilaku membuang sampah yang tepat, dan Sanggar Anak Berbasis Komunitas. Peningkatan Keterampilan Psikososial. ICBC menyelenggarakan beragam seminar, lokakarya, dan paket pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan pementoran, pengelolaan emosi, fasilitasi, dan psikoterapi terapan. Selain itu, kami juga memasarkan keragaman sebagai Modal Sosial untuk demokrasi dan Masyarakat Madani. Pemulihan Psikososial Penyintas Bencana. Kegiatan kami dalam ranah ini menggambarkan kepedulian kami dalam memberdayakan penyintas bencana untuk melanjutkan hidup mereka setelah mengalami kedaruratan bencana. Kegiatan ini kami lakukan dalam dua basis, yaitu berbasis masyarakat daerah tinggal dan berbasis sekolah. *** Dalam mendampingi warga Klisat, banyak cerita menegangkan maupun lucu yang terjadi. Salah satunya adalah bagaimana nama ICBC dilafalkan. Ada yang melafalkan Eksibisi, ada yang Esubesi. Sampai-sampai staf ICBC pun susah memilih pelafalan mana yang mau disosialisasikan ke masyarakat: aisibisi atau icebece. Repot, memang. Proses pembuatan sistem dana bergulirnya pun tak luput dari kerepotan. Beberapa warga mengeluh, “Menyalurkan dana aja kok njelimet amat, sih?” Membuat sistem dana bergulir yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan berkelanjutan memang tidak mudah. Kita terbiasa menghabiskan uang untuk kepentingan sendiri, bukan mempertahankan dan mengembangkannya untuk kepentingan orang banyak. ICBC tidak ingin kedua kasus di awal tulisan ini terjadi pada masyarakat dampingannya. ICBC tidak akan menyerah untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. ICBC KANTOR 1: Jl. Ki Mangunsarkoro 27, Yogyakarta 55111. TELP/FAX: 0274-562990 KANTOR 2: Jl. Langenastran Lor, Gang Serma Soekahono PB III / 117A, Yogyakarta 55131. TELP.: 0274 650 4180 EMAIL: WEBSITE: http://www.icbc-indonesia.org