Edward C. Mangedong
Tentang Puing-puing Hati
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
Tentang Puing-puing Hati Oleh: Edward C. Mangedong Copyright © 2018 by Edward C. Mangedong
Penerbit Edward C.M Ig :@edward_christianto Email :
[email protected]
Desain Sampul: Nulisbuku.com
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com ~2~
Ucapan Terimakasih Terima Kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
untuk
penyertaan-Nya
di
sepanjang
hidupku. Buku ini akhirnya sampai pada ungkapan terima kasih. Pertanda buku ini segera siap menuju kepadamu untuk segera kamu baca. Terima kasih untuk orangtua yang setia memberikan motivasi kepadaku untuk berkarya. Para sahabat yang selalu berbagi cerita dan menginspirasi saya hingga buku ini boleh terbit dan kalian boleh membacanya. Aku ucapkan terima kasih. Untuk para pembaca dan calon pembaca, Terima kasih dan selamat membaca. ~3~
Salam hangat,
Rangkaian Kisah Usaha Melupakanmu……(5)
Senja yang Tak Ku Inginkan……(24)
Kesedihan Laras……(46) Walau Kau Tak Lagi Mengingatku, Aku Tetap Menyayangimu……(74) Pada Akhirnya Akulah yang Terluka…… (111) Berdamai dengan Masa Lalu……(130)
~4~
Hancur sudah……(140)
Usaha Melupakanmu Aku masih ingat kejadian 2 tahun lalu di tempat ini. Saat aku melihat dia menggandeng wanita lain tepat di depan mataku. Ketika itu mereka sepertinya ingin masuk ke kafe ini sambil
bergandengan.
Namun
Roy
tidak
menyadari bahwa aku berada di kursi depan. Dia baru menyadari keberadaanku setelah aku mencoba menelponnya. “Bejat kau Roy!” Amarahku sudah tidak bisa ku tahan lagi. “Kamu kenapa?” Tanyanya yang purapura tak tahu. ~5~
“Lihat di belakangmu!” Seketika itu aku matikan handphoneku. Dia lalu menoleh ke belakang. “Karin, kamu ngapain disini?” Dia datang menghampiriku. Nampaknya dia mulai panik saat itu. Aku sudah tidak bisa menahan tangis sakit hatiku di depannya. “Sudah cukup Roy!” Aku mengambil tasku lalu bergegas pergi. “Tunggu dulu Karin,” dia menahanku. “Aku salah Roy. Harusnya aku tak membiarkan rasa ini tumbuh di hatiku. Sekarang akulah yang tersakiti oleh rasa ini. Aku sudah cukup denganmu Roy. Tak perlu lagi ada kita setelah ini.” Aku tak mau mendengar lagi katakata pembelaan darinya. Sesegera mungkin aku berlalu keluar dan tidak mempedulikan dia lagi. *****
~6~
Ya, persis di bangku ini. Lamunanku membawaku ke masa itu bersama derasnya hujan yang terus memaku pandanganku di sudut kafe ini. Cukup lama memang waktu terjadinya kejadian itu. Aku berharap bisa melupakanmu segera, setelah kau merobek hatiku saat itu. Aku berharap bahwa kita tidak akan bertemu lagi setelah kau khianati rasaku saat itu. Aku masih tak habis pikir atas perlakuan jahatmu. Apakah aku terlalu mudah untuk kau sakiti? Apakah aku masih terlalu polos untuk kau permainkan? Atau memang kaulah orang yang paling kejam dan berani menghancurkan segalanya yang aku harap akan menjadi indah. ***** “Hey!” “Sorry aku telat, macet soalnya.” “Ohh gak apa-apa kok.” ~7~
“Udah nunggu lama?” “Gak kok, baru aja nyampe 5 menit yang lalu.” Kurang lebih begitulah saat itu aku mulai dekat dengan Roy. Hanya dia teman tugas kelompokku yang laki-laki saat itu. Dia pendiam tapi pekerja keras. Mungkin dapat dihitung dengan jari, pendapat yang dia utarakan setiap kami berdiskusi. Tapi tidak pernah sekali pun dia absen saat satu kelompok sepakat untuk mengerjakan tugas bersama. Mungkin kalimat “Talk
less
do
more”
cocok
untuk
menggambarkan siapa dirinya. Akhirnya benar-benar hanya dia yang datang. Meskipun telatnya sudah keterlaluan, aku tidak mengoceh kepadanya. Setidaknya dia sudah berusaha benar-benar untuk datang tepat waktu dibanding dengan teman-temanku yang lain yang tidak hadir dengan alasan hujan deras. ~8~
Padahal
sebenarnya
mereka
bisa
saja
menggunakan jasa taksi online. Kadang kita perlu menghargai usaha seseorang meskipun hasilnya kadang tidak seperti yang kita harapkan. Tapi bukankah lebih baik
mencoba
lalu
gagal.
mencoba sama sekali. *****
~9~
Daripada
tidak
Kadang kita perlu menghargai usaha seseorang meskipun hasilnya kadang tidak seperti yang kita harapkan. Tapi bukankah lebih baik mencoba lalu gagal. Daripada tidak mencoba sama sekali.
~ 10 ~
5 jam pun berlalu dan masih saja hujan tidak mau mengalah dan membiarkan kami untuk segera pulang dan membaringkan badan untuk melepas lelahnya menyelesaikan tugas ini. “Karin, aku pulang duluan ya?” “Heh? Di luar masih hujan loh.” “Aku naik grab kok.” “Oh oke, makasih yaa. Hati-hati di jalan.” Tampaknya dia sudah memesan jasa taksi online ketika aku masih sibuk melihat hujan yang ku harapkan segera reda. Sendirilah aku berharap hujan reda sambil mendengar lagu dari iphoneku yang tersambung dengan earphone. Lagu itu pun yang kuputar kembali saat ini dengan suasana yang sama, yaitu saat hujan. ***** ~ 11 ~
“Hai Karin! Kita gak barengan lagi loh. Sedih banget.” ”Yaaaaa, setelah
akhirnya
5 semester
kita
sekelas.
terpisahkan
Akhirnya
aku
terbebas dari jeratan orang jahat yang selalu menggangguku di kelas.” “Enak aja, kamu tuh orang jahatnya. Selalu gangguin orang lagi belajar.” “Lahh kok ngegas?” Kami pun tertawa lepas karena gurauan itu.
Hanya
sedikit
mengejeknya,
namun
sebenarnya dalam hati yang terdalam sedih sekali harus berpisah dengannya. ***** Mari kuperkenalkan.
Namanya Dinda,
orang yang pertama kali aku kenal di kampus ini. Kami sudah mengenal satu sama lain saat masa orientasi mahasiswa baru, saat kami masih menggunakan seragam hitam putih. ~ 12 ~
Dinda sahabatku yang paling mengerti aku. Orangnya pintar, baik, cantik, manis, pokoknya semua yang baik ada pada dirinya. Kami tak sungkan untuk saling menceritakan apapun, mulai dari hal yang tak penting sampai hal yang tergenting sekali pun. Tak ada satu kisah pun yang tak terceritakan oleh kami selama sekelas. Setelah sekian lamanya kami sekelas dan telah melewati banyak hal bersama, akhirnya sang waktu tak mengijinkan kami bersama lagi dalam satu kelas. Itulah mengapa sedih rasanya pisah kelas dengan Dinda. Aku berjalan menuju kelasku yang baru. Suasana kelas masih sepi. Aku sepertinya yang datang paling cepat. Aku melirik ke jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ternyata masih 30 menit, pantas saja kelas masih sepi. Aku pun memilih untuk duduk di barisan tengah. Tidak paling depan dan tidak terlalu di belakang. Ku ambil iphone dan earphone dari ~ 13 ~
kantong tasku lalu aku mendengarkan lagu-lagu yang sudah aku susun dalam satu playlist. Satu persatu orang pun datang. Seseorang melambaikan tangan ke arahku. “Hai Karin!” sepertinya kata itu yang digambarkan oleh gerak bibirnya kepadaku. “Hai Duta!” Ku balas sapaannya
dan
melepaskan
earphone
dari
telingaku. “Eh, kamu di kelas ini Rin?” “Hehehe,iya Dut. Kamu juga?” “iya Rin. Di sini kosong?” “Iya. Duduk di sini aja” “Oke.” Aku memberikan tempat untuknya di sebelahku agar aku punya teman bercerita di kelas saat kuliah yang membosankan. Duta orangnya ramah banget, pintar pula. Tak heran banyak perempuan-perempuan kampus yang berusaha dekati dia. Tapi, satu hal yang kurang ~ 14 ~
dari
Duta,
dia
perempuan. Entah
menutup
hatinya
untuk
mengapa. Mungkin
dia
trauma berpacaran atau mungkin mau fokus sama pendidikannya dulu baru mau memahami yang namanya cinta. *****
~ 15 ~
Waktu harus memberi batas pada sebuah pertemuan dan memberi kesempatan untuk perpisahan.
~ 16 ~
“Hai Rin apa kabar? Sudah lama tak berkabar. Btw, kita sekelas ya, hehe.” “Ini siapa?” “Ini aku, Roy.” Orang yang aku sudah lupakan 2 tahun ini kembali lagi menyapaku lewat pesan singkat. Ada apa dia menghubungiku? Apakah dia ingin memintaku kembali? Setelah perlakuan tak pantasnya
kepadaku.
Setelah
dia
berhasil
meruntuhkan tembok kepercayaan yang sudah aku bangun untuknya dan dia runtuhkan sendiri dengan kebodohannya. “Ada apa menghubungiku kembali?” “Gak apa-apa. Aku hanya menyapa dan setelah melihat daftar kelas ternyata kita sekelas lagi.” “Ohh iya.” Sesingkat itu aku menjawab pesan singkat darinya. Aku memberi tanda kepadanya supaya ~ 17 ~
dia tidak perlu mendekatiku lagi. Rasa yang dulu ku beri untuknya kini sudah ku buang jauh-jauh bersama waktu yang telah berlalu dan jangan harap akan ku beri lagi untuknya. Aku sudah cukup membuang waktuku untuk hal yang sama sekali
tak
menghargaiku.
Pesan-pesan
berikutnya pun hanya aku baca tanpa ku balas satu pun. ***** Seperti biasa, sore itu sebelum pulang ke kost, aku menyempatkan diri bersama Dinda untuk jajan di kantin kampus dulu. Kebiasaan ini sudah sering kami lakukan sejak menjadi maba (mahasiswa baru). Karena pada sore hari mahasiswa
lain
sudah kembali
ke rumah
masing-masing dan hanya sedikit yang masih tinggal. Biasanya yang tinggal hanya mahasiswa yang bertugas diorganisasi kampus atau yang ingin mencicil tugasnya sebelum pulang ke rumahnya. ~ 18 ~
Aku bercerita kepada Dinda tentang Roy yang ternyata teman sekelasku dan kembali menyapaku dengan rasa tak bersalahnya setelah kejadian waktu itu. “Aku
tak
menyangka
dia
berani
menyapaku lagi, Din. Seharusnya dia sadar bahwa dia sudah mengkhianati aku 2 tahun lalu dan aku dapati dengan mata kepalaku sendiri dia sedang berduaan bersama Rea. Apa yang dia inginkan lagi?” “Kayaknya dia pengen kamu balikan lagi sama dia Rin. Apalagi sekarang aku dengar dia sudah putus dengan Rea. Karena Rea selingkuh dengan
mahasiswa
dari
jurusan
ilmu
komunikasi. Kalo aku gak salah dengar sih. Saranku Rin, kamu tetap pada pendirianmu. Aku khawatir kalo kamu balikan sama dia, dia bakalan melakukan hal yang seperti dulu lagi Rin.”
~ 19 ~
Percakapan yang sangat panjang dengan Dinda
sore
itu
membuatku
semakin
meneguhkan pendirianku. Tak akan ada lagi nama Roy di hatiku. Percayalah!! ***** Kehidupan kuliahku disemester ini tak berbeda dengan semester sebelumnya. Hanya saja
orang-orang
yang
hadir
bersamaku
melewati semester inilah yang berbeda. Juga ilmu yang berbeda tentunya. Kehadiran Duta di sebelah mejaku di ruang kelas membuat kehidupan perkuliahanku di kelas tidak hambar. Dia tahu kapan aku mulai merasa bosan di kelas dan langsung mengajakku ngobrol. Setidaknya meskipun Dinda tidak sekelas lagi denganku, kehadiran Duta membuat rasa bersama Dinda itu tetap ada. Aku tak mengerti apakah Duta berusaha mendekati
diriku
perhatiannya
dia
sehingga
kepadaku ~ 20 ~
sebegitu
ataukah
dia
menganggapku hanya sebatas teman. Yang jelas apapun itu, bila memang telah digariskan untuk bersama Duta aku tidak akan menolak. Biar waktu yang terus berproses karena meskipun aku sempat terluka aku tak menutup hatiku untuk siapa pun. Selama aku tetap berpegang pada pendirianku. Aku tak tahu kehidupan Roy lagi dan tak mau tahu setelah dia berusaha berulang-ulang kali menghubungiku dan berhenti setelah aku mengatakan jangan ganggu hidupku lagi dan jangan berusaha mengejarku lagi. “Aku pernah menjadi orang yang paling bahagia dan seketika menjadi hancur setelah kau hempas dengan keras ke atas tanah dan menjadi keping-keping rasa yang tak berbentuk lagi. Bahkan daun yang sudah layu dan gugur dari pohonnya tak bisa lagi menempati tempatnya di atas ranting pohon dan akan jatuh ke tanah lalu busuk termakan waktu.” ~ 21 ~
*****
~ 22 ~
Bahkan daun yang sudah layu dan gugur dari pohonnya tak bisa lagi menempati tempatnya di atas ranting pohon dan akan jatuh ke tanah lalu busuk termakan waktu.
~ 23 ~
Senja yang Tak Ku Inginkan Perkenalkan aku Banu dan ini kisah menyedihkanku tentang rindu. Banyak orang percaya bahwa senja itu indah. Tanda bahwa siang
kan
berganti
malam,
matahari
kan
berganti bulan, dan terang kan berganti gelap. Tapi aku tak sependapat dengan kebanyakan orang. ***** Tirza namanya. Wanita yang aku kenal sejak pertama kali masuk sekolah menengah atas di kota Balikpapan. Terlalu banyak cerita indah yang kami lalui bersama. Dia memberikan alasan kepadaku mengapa senja itu baginya indah dan aku percaya kepadanya. Setiap sepulang
sekolah
dia
sering
~ 24 ~
bermain
ke
rumahku. Orangtuaku pun senang setiap Tirza datang berkunjung ke rumah. “tok..tok” “Eh nak Tirza, Banunya ada di atas langsung naik aja.” “iya tante, permisi tante.” Hampir
setiap
hari
dia
datang
ke
rumahku. Kami selalu menghabiskan waktu di atas atap rumahku. Lewati jendela kamar dan langsung duduk berdua tepat mengarah ke arah matahari sore. Hampir tak ada senja yang terlewatkan oleh kami berdua kecuali bila hujan datang. “Woiii.”
Dia
mengagetkanku
yang
sementara sedang memperbaiki mainan tamyaku. “Busettt.” kagetku. “Kalo masuk tuh ketuk pintu dulu kek. Kebiasaan amat nih cewek masuk kamar orang gak ketuk pintu.”
~ 25 ~
“Yaelah gitu aja marah bos. Lagian situ tuh yang gak tutup pintu. Kamu lagi ngapain sih?” “Ini nih, lagi bongkar-bongkar tamya-ku. Banyak yang mau diganti nih. Sayang banget kalo rusak. Kok aku gak dengar kamu masuk?” “Kamu gak tutup pintu sih.” “Masa? Oalahhhhh.” Dia tetap berada di sampingku saat itu. Memperhatikanku
memperbaiki
mainan
kesukaanku. Aku tak pernah lagi menanyakan apa yang maksud dan tujuannya datang ke rumahku saking seringnya dia berkunjung kemari. Dia hampir tak pernah menanyakan bagaimana kabarku. Karena apabila kami tak berkabar, antara aku atau dia yang akan datang langsung mengunjungi satu sama lain.
~ 26 ~
Orangtua kami sudah saling mengenal karena seringnya kami berkunjung satu sama lain. Tapi untuk menghabiskan sore tentu rumahku menjadi tempat favorit untuk melihat fenomena itu. Karena rumahku tempatnya paling tinggi dari rumah-rumah yang lain. Sehingga
tidak
ada
yang
menghalangi
pandangan kami melihat senja. “Banu, kita tak bisa selalu menghabiskan sore bersama. Entah aku atau pun kamu yang akan pergi lebih dulu. Maka setiap sore yang telah terlewatkan jangan kamu lupakan. Simpan dalam kepalamu dan teruskan ke hatimu dan biarkan dia tinggal di sana. Agar bila suatu saat kita saling merindukan, ingatan itu akan muncul dari hati dan naik kepalamu lalu kau tersenyum untuk itu.” Aku tidak akan pernah lupa ucapannya barusan. Kini aku lebih menghargai waktu bersama setelah dia mengucapkan kata-kata ini. ~ 27 ~
Mungkinkah dia akan pergi? Aku tak tahu. Yang jelas saat ini kami masih bisa menikmati senja berdua. Aku mungkin salah satu laki-laki yang paling berbahagia di dunia ini. Karena memiliki wanita seperti Tirza. Aku bersyukur setiap kali kami masih bisa saling menatap mata. Aku bersyukur
setiap
kami
masih
bisa
saling
mendengarkan suara satu sama lain. Aku bersyukur setiap kami masih bisa menyesuaikan langkah kami saat kami berjalan berdua. ***** “Udahan dulu, capek,” kataku kepada teman-temanku di lapangan basket. Langkahku yang terseok-seok lelah meraih tempat duduk dan mengambil handik kecil dalam tasku di pinggir lapangan basket. “Belikan kita air dong Nu, panas banget nih, hehe,”kata Er. ~ 28 ~
“Ya udah. Nih duitnya. Beli 5 botol, kembaliannya balikin ya. Awas lu korup!” “Sip bos Banu.”Dia berlari menuju kantin yang letaknya lumayan jauh dari lapangan basket. Erlangga nama sebenarnya. Hanya saja terlalu
panjang
bila
menyebutkan
nama
Erlangga. Mengapa tidak dipanggil Erlang atau Rangga? Nama itu juga sudah ada di sekolah kami. Jadi untuk mempermudah penyebutan dan agar berbeda dengan yang lain, kami memanggilnya Er. Cukup keren bukan? Kepiawaiannya dalam mengolah bola basket membuat dia dikagumi siswa-siswa putri di sekolahku. Apalagi dengan keperawakannya yang tinggi dan parasnya yang tampan membuat dia semakin diidola-idolakan di sekolah. Satu hal lagi yang merupakan satu keahliannya, dia mampu membuat kami tertawa dalam setiap kondisi apapun. ~ 29 ~
Pernah dulu dia bercerita tentang kejadian yang menimpanya di jalan saat hendak berangkat ke sekolah untuk berlatih bola basket. Sesampainya di sekolah dia mengatakan bahwa dia terjatuh dari motor karena menghindari lubang di jalan dengan kecepatan yang tinggi. Dia malah menyalahkan pemerintah yang tidak segera memperbaiki jalan yang berlubang. Yang membuat lucu adalah caranya menyampaikan rasa kekesalannya itu bak seorang komika Stand Up Comedy yang membuat rasa kasihan kami berubah menjadi malah menertawakannya. “Ini bos,”dengan menyodorkan air minum bersama uang kembaliannya. “Nu, setelah tamat dari sekolah ini, kamu lanjutkan kuliah kemana?” “Aku belum tahu Er. Sepertinya aku akan tetap
di
Balikpapan
untuk
melanjutkan
pendidikanku. Aku akan mendaftar di kampus di ~ 30 ~
pinggiran kota. Kata orang-orang kampus itu bagus.” “Kamu gak pengen kuliah di luar kota? Trus Tirza gimana?”tanyanya padaku. “Aku belum menanyakan hal ini ke dia. Tapi aku rasa dia sudah punya planning yang matang
tentang
kuliahnya.
Kamu
sendiri
gimana?” “Aku mau ke Jakarta minggu depan. Mau ikut tes di perguruan tinggi swasta di sana. Jagajaga aja siapa tau gak keterima di PTN kan? hehehe” Seperti
itulah
Er,
penuh
dengan
perancangannya. Cita-citanya menjadi arsitek sudah dia tanam dalam hatinya sejak awal masuk SMA. Entah dia terinspirasi dari siapa, yang jelas dia sudah memikirkan itu matangmatang. Berbeda denganku yang selalu tiba masa tiba akal. Aku tak terlalu memikirkan dimana aku akan menyelesaikan pendidikanku. ~ 31 ~
Yang terpenting aku bisa bekerja, berkeluarga dan mampu membiayai keluargaku. “Aku duluannya Nu. Aku udah dijemput.” “Oke. Hati-hati bro” “sip.” ***** Orang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah. Masa dimana setiap insan mulai
memikirkan
masa
depannya.
Masa
dimana setiap insan mulai memilih jalan hidupnya masing-masing. Juga masa dimana cinta itu tumbuh dan terus berkembang. Dan besok adalah hari terakhir aku dan teman-teman angkatanku untuk saling melihat mata, saling berbalas sapa dan juga saling berpegangan. Sedih rasanya, 3 tahun terasa begitu cepat berlalu bagiku. Tapi bukankah berpisah adalah salah satu cara kita agar kita dapat menghargai
~ 32 ~
rasa bersama. Bukankah hidup ini pada akhirnya akan saling meninggalkan? “Halo sayang. Kamu lagi ngapain? Sudah makan blum?” “Eh, tumben manggil sayang. Iya aku udah makan kok. Ini lagi baring-baring.” “Aku ke rumahmu ya?” “Boleh kok, mama udah masakin tempe bacem loh.” “kebetulan nih aku belum makan. Oke aku ke situ ya. Dahhhh” Ada hal yang perlu aku bicarakan dengan Tirza dan sepertinya lewat telpon bukanlah pilihan
yang
baik.
Aku
segera
mungkin
berangkat ke rumahnya yang jaraknya kira-kira hanya 4 kilometer dari rumahku. “Selamat malam!”
~ 33 ~
“Eh, nak Banu. Silahkan masuk nak. Ayo makan dulu. Tante udah masak tempe bacem loh. Makanan kesukaanmu.” “Boleh tante. Makasih ya tante. Oh ya om dimana, tante?” “Ohh, om lagi ada di kamar tuh. Pulang kerja, mandi, makan, trus langsung tidur. Om kecapekan, sudah 3 hari dia harus gantikan kerjaan temannya yang sedang cuti.” “Oke deh tante. Aku makan dulu ya?” “Okee. Silahkan nak. Piringnya ambil sendiri aja ya?” *****
~ 34 ~
Tapi bukankah berpisah adalah salah satu cara kita agar kita dapat menghargai rasa bersama.
~ 35 ~
“Selamat malam tuan putri!” “Tunggu bentar. Masuk-masuk. Lama amat datangnya?” Dia menuruhku masuk dan memberiku kursi untuk duduk. “Tadi di bawah aku makan dulu baru naik kesini makanya lama. Hehe” “Kamu lagi ngapain?”Aku sambung. “Baring-baring aja. Eh udah siap untuk besok belom?” Tanyanya padaku. “Siap tidak siap ya harus siap. Tak terasa 3 tahun sudah kita dan lainnya menghabiskan waktu bersama di sekolah. Perasaan baru kemarin kita saling mengenal. Sekarang udah mau pisah aja. Mau gimana lagi, udah bagian dari hidup. Bener gak?” “Bener kok. Aku juga merasa sebagian dari diriku seakan terlepas secara perlahan. Karena mereka sudah aku anggap sebagai diriku sendiri.” ~ 36 ~
“By the way, kamu mau lanjut dimana?” “Nu, Sepertinya aku akan melanjutkan pendidikanku
di
menguruskan
Jerman.
semuanya
Bapakku
yang
untukku.
Aku
rencananya akan mengambil kuliah kedokteran disana dan aku akan tinggal di apartemen dekat kampusku disana. Maaf aku baru kasi tau. Bapakku juga sampai di rumah baru kasi tau aku. Kamu sendiri?” Matanya berkaca-kaca. “Aku sepertinya akan tetap tinggal disini. Aku tak punya rencana mau kuliah keluar kota apalagi keluar negeri. Sepertinya aku akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi di kampus di pinggiran kota. Tidak apa-apa Tirza. Semua ini demi masa depanmu. Aku tak apa bila harus ldr-an. Kan kita punya hp. Kita masih bisa komunikasi kok. Terlalu banyak pilihan dalam hidup ini. Dan kamu sudah membuatkan daftar prioritas untuk ~ 37 ~
pilihan-pilihan itu. Jadi lakukanlah bila itu memang yang terbaik untukmu.” Perbincangan kami malam itu sangatlah panjang. Kami saling menitipkan pesan karena besok sore dia harus segera pergi ke Jerman. Aku kaget setelah mengatakan dia akan pergi besok. Secepat itu rasanya. Tidak ada persiapan buat kami untuk berpisah. Aku telah menitipkan salamku untuknya. Takut bila besok tidak sempat mengantarnya ataupun menemuinya. Aku juga menitip salam kepada ibunya. Siapa tahu aku tidak bisa ikut mereka mengatar Tirza. ***** Inilah
hari perpisahan
kami.
Begitu
meriah rasanya. Deraian air mata bahagia dan air mata kesedihan sudah tidak bisa terlihat bedanya. Kami menitipkan salam dan pesan agar kelak di tempat yang baru kami mendapatkan ~ 38 ~
apa yang kami cita-citakan dan juga kami tidak saling melupakan segala sesuatu yang telah terjadi pada hari-hari kemarin dan hari ini. “Nu, dicariin Tirza di depan gerbang. Sepertinya dia akan segera pergi dengan ibu bapaknya.” “Oke, Er. Makasih ya.” Aku
hampir
saja
melewatkan
perpisahanku yang paling dalam dengan Tirza. Aku ikut dengan kedua orangtua Tirza ke bandara, mengantarkan anak mereka yang mereka percayai akan menjadi sukses di negri orang. “Kalian sudah bahas tentang ini?” “Sudah om.” jawabku. “Baguslah. Kalian sudah dewasa, jadi om harap kalian kalian bisa saling mengerti dan saling menerima. Ya kan ,ma?”
~ 39 ~
“Benar sekali. Toh kalian masih bisa telponan, chatting-an bahkan video call-an.” “Iya tante. Kami sudah paham kok tante. Lagipula ini untuk kebaikan kita semua.” ***** “Ma, pa aku pamit dulu ya?”Tirza pun berpamit. “Ingat pesan bapak sama ibu ya? Di sana tidak ada yang ingatin kamu untuk ini-itu. Kamu sudah dewasa. Sudah bisa bedakan mana baik dan mana yang buruk. Kami hanya bisa berdoa buat kamu di sini. Ingat belajar yang rajin ya!” Ayah Tirza pun sudah melepaskan anaknya dengan hati yang tegar. “Oke boss. Siap laksanakan!” Jawab Tirza yang berusaha menahan tangis. “Tirza, kalo sampai di sana kabari ya? Trus jangan suka malas-malasan. Entar lama
~ 40 ~
jadi dokternya. Ohiya, jangan lupa pesan untuk kita yang waktu itu ya?”Aku pun melepaskannya. “Siap komandan!” Jawabnya dengan derai air mata tak tertahankan. Aku
memeluknya
erat
mencoba
menguatkan dia sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan kami untuk hidupnya yang baru di sana. ***** Ada yang berubah selama 1 tahun ini selama kepergiannya 2 tahun yang lalu. Dia sudah jarang berkabar kepadaku. Aku tahu dia sedang sibuk. Tapi dia tak pernah sampai jarang menelpon atau mengangkat telponku. Perbedaan zona waktu antara Balikpapan dan Munich membuat
perjuanganku
menunggu
kabar
darinya
untuk seakan
begadang sia-sia.
Orangtuanya pun pindah tugas 1 tahun yang lalu ke sebuah kota besar di pulau Jawa. ~ 41 ~
Aku percaya kepada sang senja yang dia ceritakan
kepadaku
untuk
aku
berikan
harapanku agar dia baik-baik saja. Aku benarbenar sepi tanpanya. Hari-hariku tidak seperti biasanya. Kebiasaannya mengunjungi rumahku pun hanya tinggal aku kenang. Kini senja disetiap hari, aku pandangi sendiri. Aku merasa senja sudah tak lagi mendengarku.
Namun
aku
tak
pernah
memikirkan yang tidak-tidak dengan dirinya. Apalagi kami sudah bersama kurang lebih 4 tahun. ***** Tahun ketiga setelah dia pergi. Benarbenar dia tak berkabar lagi. Aku semakin putus asa. Kuliahku pun menjadi berantakan karena setiap waktu memikirnya. Rasanya dia sudah melupakan aku. Foto yang sering dia upload ke akun sosial medianya bersama laki-laki lain dia katakan hanya teman kelompok. Namun apakah ~ 42 ~
ada teman kelompok selalu bersama selama 2 tahun? Aku
dulu
selalu
berfikir
positif
tentangnya. Kini tak lagi demikian. Setelah dia memblok aku dari seluruh akun sosial medianya, akhirnya
aku
sadar
bahwa
dikatakannya itu hanyalah
semua
yang
hisapan jempol
belaka. Dia benar-benar tak ingat lagi dengan kata-katanya. Tak ada kata ‘putus’ darinya tentang hubungan kami. Entahlah, apakah dia takut aku akan terluka? Atau mungkinkah dia memang ingin mempermainkan perasaanku? Mulai saat ini tidak akan ada lagi cerita tentang dia. Aku harap sudah usai sampai disini. Walaupun bila nanti kau kembali, aku tidak akan mengemis cinta padamu lagi. Dan kini senja tidak lagi ku sukai. Senja dulu yang kau bilang sebagai tempat kita membuat harapan kini tak ku rindukan lagi. ~ 43 ~
Bagiku senja kini biasa saja. Senja hanya waktu sesaat yang membawaku dari terang menuju gelap yang menakutkan karenamu. *****
~ 44 ~
Walaupun bila nanti kau kembali, aku tidak akan mengemis cinta padamu lagi.
~ 45 ~
Kesedihan Laras Siang ini, cuacanya sangat indah. Laras dan keluarganya sudah tiba di pantai ini dari pagi
tadi.
Tampaknya
mereka
akan
menghabiskan akhir pekan ini bersama di pantai ini. Wanita yang berlari itu namanya Laras. Ini kali pertama Laras datang ke Pantai ini semenjak dia pulang menempuh pendidikan Sarjananya di Tokyo. Pantai ini memang baru dibuka sejak 2 tahun yang lalu. Orang-orang sering menyebut pantai ini dengan nama Pantai Batu Karang. Mungkin karena pantai ini satusatunya pantai di daerah ini yang memiliki jumlah batu karang yang banyak. Ditambah batu karang di pantai ini sangat tersusun rapi secara alami. ~ 46 ~
“Pasti tidak ada pantai seindah ini di Tokyo
kan?”
Tanya
ayah
Laras
sembari
mengeluarkan peralatan pancingnya dari dalam box di bawah kakinya. “Banyak kok. Tapi tidak seindah ini yah” Balas Laras seakan tak terima ucapan sang ayah. “Pantai ini baru buka ya, yah? Kok aku baru tahu?” Tanya Laras penasaran. “Baru 2 tahun dibuka untuk umum. Dulunya sih tempat ini hanya terbuka untuk orang-orang tertentu.
Katanya
sih
untuk
keperluan
penelitian.” Kata ayah Laras. “Pantesan saja tempat ini indah sekali. Ternyata tempat ini tempat penelitian toh.” Sambung Laras. Ayah Laras akhirnya menuju ketengah laut untuk memancing dengan menggunakan kapal kecil yang beliau sewa pada nelayan di tepi pantai. Ibu Laras sedang asyik menemani Clara dan Linda, adik perempuan Laras bermain istana pasir. Sementara itu Laras tetap berada di bawah pondok, menikmati pemandangan pantai ~ 47 ~
dan
hembusan
angin
pantai
yang
kerap
membuat rambut Laras terurai terbang hingga kecantikannya tak bisa tertutupi. Orang bilang anak perempuan itu dekat dengan ayahnya, begitu pun Laras. Dari kecil Ayahlah yang mengajarkan Laras banyak hal. Seperti bagaimana menyisir rambut,
bagaimana
caranya
mengendarai
sepeda,
bagaimana
mengenakan
sepatu,
bagaimana menyelesaikan masalah sendiri, dan banyak hal yang lain lagi. Termasuk tugas-tugas dari sekolahnya dulu. Bila Laras mengalami keulitan
dalam
menyelesaikan
tugas
dari
sekolahnya ayahnyalah yang membantunya. Tapi
bukan
berarti
ibunya
tidak
melakukan apa-apa. Ibunya Laras pun seperti ibu-ibu yang lain, mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik, mengurus anak dengan baik, mengurus suami dengan baik pula. Hanya saja ~ 48 ~
mungkin naluri seorang anak perempuan yang membuatnya lebih dekat dengan ayahnya. Urusan jodoh pun Laras tak sungkan bercerita kepada sang ayah. Pernah satu waktu Laras menangis dipelukan ayahnya karena patah hati. Sebagai ayah, tugasnya adalah menghibur anaknya. “Belum tahu dia anak ayah cantiknya gimana?”Ucap ayah menghibur Laras. “Pasti dia nyesal sudah putusin anak ayah. Apalagi yang model kayak gini cuman satu-satunya di bumi ini. Carikan ayah yang kayak gini! Kalau ada, nanti ayah belikan dia batagor satu gerobak, hehehe” Sambung ayah yang mampu membuat Laras yang patah hati kala itu kembali tersenyum dan tertawa. Ayah Laras adalah sosok yang humoris. Dia
pernah
mengatakan
kepada
Laras,
“Sebenarnya ayah ini gak ganteng amat. Cuman karena ayah ini orangnya humoris, ibumu pun ~ 49 ~
akhirnya luluh dengan ayah.” Pokoknya, ayah Laras mampu merubah menjadi riang dengan candaannya. Ada
satu
momen
yang
tak
pernah
terlupakan oleh Laras, yaitu malam terakhir sebelum Laras akan berangkat ke Tokyo. “tok..tok..tok..”Ayah
mengetuk
pintu.
“Laras?” Suara ayah memanggil anaknya. “Iya yah. Masuk aja gak dikunci kok.” Ayah lalu masuk ke kamar Laras. “Jangan ada yang ketinggalan ya! Besok kita berangkat lebih awal, takutnya macet di jalan,” kata ayah Laras. “Oke ayah.” Sepertinya Laras sudah mempersiapkan barang-barang yang akan dia bawa jauh-jauh hari. Sehingga tinggal dia masukkan ke dalam koper. Sambil
memperhatikan
anaknya
berkemas-kemas, air mata ayah Laras pun ~ 50 ~
membasahi pipi tanpa beliau dan Laras sadari. Sepertinya ayah Laras belum siap melepaskan anaknya untuk pergi jauh meninggalkannya. Kedekatan mereka sebagai ayah dan anak sungguh sangat erat. Sampai ayahnya harus segera
melepaskan
anaknya
demi
cita-cita
anaknya. “ayah mengapa menangis?” Tanya Laras heran. “Ehhh, ayah nangis ya?” Sepertinya ayah Laras tak sadar bahwa beliau sedang menangis. “Kayaknya mata ayah kemasukkan pasir ini.” “Mana ada pasir di kamarku ayah. Adaada aja ayah nih.” Laras tertawa mendengar guyonan ayahnya malam itu. Tapi Laras tahu sebenarnya ayahnya menangis di malam itu karena beliau tidak rela kehilangan Laras untuk waktu
yang
lama.
Hanya
menyembunyikannya. ~ 51 ~
saja
Laras
***** “Laras! Ayo kita berangkat nak, nanti kita kejebak macet.” Teriak ayah dari depan pintu. “Ayokk yah,” menjawab ayahnya sembari menuruni tangga. “Sudah tidak ada yang tertinggal, Laras?” Tanya ayah memastikan. “Sudah tidak ada, ayah. Semua sudah Laras masukkan ke koper.” “Kalu gitu yuk. Ibu, Linda dan Clara sudah di dalam mobil.” “Yuk yah.” Mereka bandara. berangkat
akhirnya
Memang 3
jam
berangkat
mereka lebih
sengaja
awal
dari
menuju untuk jadwal
keberangkatan Laras. Antisipasi bila nanti ada hal yang tak diinginkan terjadi di jalanan, seperti macet. ~ 52 ~
“Dokumen-dokumenmu tidak ada yang tertinggal?” Tanya ibu. “Tidak ada bu. Sepertinya sudah Laras bawa semua. Nanti Kalau ada yang tinggal, ibu gojek-in aja, hehehe.” Jawab Laras dengan candaan. “Kamu nih ada-ada aja. Sama aja kayak ayahmu. Suka becanda mulu. Tapi itulah yang ibu suka dari ayah.” Ayah hanya tersenyum mendengar ibu berkata seperti itu. “cie.. cie..” Clara dan Linda pun tak diam mendengar itu. Perjalanan ke bandara pun tak terasa jauh karena sepanjang perjalanan Laras sekeluarga tak berhenti bercanda. Laras yakin setiap orangtua pasti ingin anaknya jauh lebih baik dari mereka. Tidak ada orangtua menginginkan anaknya celaka apalagi sampai mencelakakan anaknya sendiri. Tempat beristirahat paling tenang di siang yang terik adalah
pohon.
Seperti ~ 53 ~
itulah
Laras
menggambarkan betapa tenang dirinya bila berada dekat dengan orangtuanya. Waktu 5 tahun bersekolah di luar negeri berhasil Laras lewati dengan baik. Laras berhasil menjadi lulusan terbaik di kampus yang ia tempati disana. Ayah, ibu, dan adik-adiknya tentu bangga dengan keberhasilan sang anak dan kakak mereka. ***** “Laras, kok diem-diem aja. Ayok main dengan adekmu.” Sepertinya ibu memperhatikan Laras dari tadi. “Sebentar bu. Anginnya enak.” Jawab Laras sembari menikmati hembusan angina yang bertiup padanya. 4 Jam kemudian ayah Laras pulang dari tengah laut. Tak terlihat satu ekor pun hasil tangkapan dari tangan sang ayah.“Ayah kok cepat amat kembalinya? Ikannya mana yah?” ~ 54 ~
Tanya Clara. ”Ikannya sudah kenyang semua sepertinya. Umpan ayah gak ada yang mereka makan. Daripada berlama-lama di tengah laut mending ayah balik ke darat.” Jawab ayah pada Clara. “Ya sudah. Ayah bakar ikan yang kita beli di pasar tadi pagi ya? Kalian pasti sudah lapar.” Ayah
segera
menuju
pondok
dan
mempersiapkan makan siang untuk sekeluarga. “Ayah, aku bantuin ya?” tanya Laras pada ayah. “Boleh. Yuk!” Siang itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Laras. Karena untuk pertama kalinya Laras datang ke Pantai ini, apalagi dengan keluarga tercinta. ***** Ada dua hal yang tidak mampu dibeli oleh manusia, yaitu waktu dan kesehatan. Umur yang tidak muda lagi bagi ayah Laras membuat beliau sering sakit-sakitan. Namun tidak melunturkan semangat kerja ayah Laras dengan alasan demi ~ 55 ~
mencukupi kehidupan keluarganya di rumah. Sampai satu ketika ayah Laras harus dilarikan ke rumah
sakit
sehingga
karena
bekerja
tubuhnya
tak
terlalu
keras
mampu
lagi
mengimbangi semangat kerja dari ayah Laras. “Ayah, kata dokter ayah harus banyakbanyak istirahat. Ayah terlalu memaksakan tubuh ayah untuk bekerja terlalu keras.” Kata Laras sembari memegang tangan ayahnya yang terbaring
di
ruang
inap
dengan
tangan
tersambung dengan alat infus. “Laras sudah menghubungi Pak Toni, kata beliau kerjaan ayah nanti
beliau
istirahatlah
yang
yang
gantikan.
cukup,”
Jadi
sambung
ayah Laras.
“Belakangan ini pekerjaan ayah menumpuk dan ayah harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum pertengahan tahun ini. Sehingga ayah harus bekerja lebih ekstra agar pekerjaan ini cepat selesai,” jawab ayah Laras.
~ 56 ~
Ayah Laras sepertinya sadar bahwa sudah waktunya
beliau
pensiun.
Selain
karena
umurnya yang sudah memasuki usia pensiun juga karena tubuhnya yang semakin melemah seiring bertambahnya hari. Laras sedih melihat keadaan ayahnya yang semakin lemah. Dia ke toilet dan menangis tepat di depan cermin. Rasanya kemarin dia bersama ayahnya baru saja belajar naik sepeda. Rasanya
kemarin
ayahnya
masih
mampu
menggendong badannya bersama bersama adikadiknya. Rasanya kemarin rambut ayahnya masih
hitam,
kulitnya
masih
mulus
dan
badannya masih kekar. Namun itulah kekuatan sang waktu. Bila kau menunggu sang waktu berlalu dia akan melambatkan langkahnya. Tapi bila waktu tak kau tunggu, dia akan berlari membawamu semakin cepat ke masa depan.
~ 57 ~
3 hari Laras bergantian dengan ibunya menjaga ayahnya di rumah sakit. Karena Linda dan Clara tak bisa selalu berada di rumah sakit. Mereka berdua harus berangkat ke sekolah dan menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan
rumah
mereka. Jadi Laras dan ibunya selalu bergantian antara mengurus rumah dan mengurus ayah. ***** “Kak, kapan ayah pulang?” tanya Clara yang sedang membantu Laras menyiapkan sarapan untuk dai dan saudaranya, Linda. “Kata dokter besok ayah sudah boleh pulang kok. Kamu berdoa ya supaya ayah kembali sehat dan cepat pulang.” Dengan Penuh kasih Laras menjawab pertanyaan Clara. “Oke kak. Clara dan Linda selalu berdoa kok supaya ayah cepat sembuh dan bermain dengan kita lagi.” Sepertinya, Clara dan Linda merindukan kehadiran ayah di rumah. Tanpa ayah, rumah terasa sangat sepi. Biasanya Pagi~ 58 ~
pagi ayah sudah berteriak memanggil Laras dan adik-adiknya turun ke dapur untuk sarapan. Namun hari ini, di rumah hanya ada Laras, Clara dan Linda. Ibu sedang berada di rumah sakit menjaga ayah. “Linda, sarapan sudah jadi. Ayok turun!” Laras memanggil Linda untuk sarapan sebelum mengantar adik-adiknya berangkat sekolah. “Sebentar kak. Pakai dasi dulu.” “Buruan ya.” Linda tak lagi membalas suara Laras. Clara
dan
Linda
pun
segera
menghabiskan sarapannya dan bergegas untuk ke sekolah diantar oleh Laras. “Kalian belajar yang baik ya. Dengar pesan guru dengan baik. Jangan nakal! Nanti siang kakak jemput kalian di sini.” Laras menitipkan pesannya kepada adik-adiknya.
~ 59 ~
“Baik kak. Kami pamit dulu. Dadahhh kak” Tak lupa Clara dan Linda mencium tangan Laras untuk pamit sebelum mereka masuk ke kelas masing-masing. *****
~ 60 ~
Ada dua hal yang tidak mampu dibeli oleh manusia, yaitu waktu dan kesehatan.
“Anak-anak, ayah pulang!” Laras dan adik-adiknya pun berlari keluar menuju pintu menyambut kedatangan ayah dengan hati yang gembira sekali. Mereka ~ 61 ~
menghampiri ayah lalu memeluk ayah dengan sangat erat. Seperti melepas rindu untuk orang yang sudah lama tidak berjumpa. “Ayah sudah sembuh?” Tanya Linda sembari meraba-raba pundak ayahnya. “Sudah dong! Ayah buktiin ya?” Ayah langsung menggendong Linda. “Ayah, aku juga?” Clara pun tidak mau ketinggalan. Kini, rumah pun terisi kembali dengan tawa canda keluarga Laras. ***** 2 tahun telah berlalu. Laras sudah mendapatkan
pekerjaan
di
salah
satu
perusahaan besar di Kota ini. Laras sangat mencintai pekerjaannya. Dia selalu bercerita tentang hal-hal menarik yang selalu dia alami di kantor setiap makan malam bersama keluarga. Clara dan Linda pun sudah menjadi siswa sekolah menengah pertama di salah satu sekolah ~ 62 ~
terbaik di kota ini. Wajar saja, mereka termasuk lulusan terbaik di sekolah mereka dulu. Ibu kini sudah punya bisnis sendiri di rumah, ‘Laras Taylor’. Ya, benar. Ibu kini banyak menghabiskan waktunya untuk menjahit. Kata ibu, daripada tidak ada kerjaan di rumah saat ayah dan Laras bekerja, juga Clara dan Linda sekolah, lebih baik ibu buka usaha jasa menjahit. Lumayan untuk jajan Clara dan Linda. ***** Di satu siang, “grrtttt..grttt” handphone ibu bergetar. Ibu lalu mengangkat handphonenya tanpa melihat siapa yang menelpon beliau. “Apa benar ini ibu Sukma, suami dari bapak Dirman?” Tanya seseorang dari dalam handphone.
~ 63 ~
“Iya, benar saya ibu Sukma suami dari bapak Dirman. Maaf ini dengan siapa?” Ibu mulai penasaran. “Ibu Sukma, kami dari Rumah Sakit Ramah Hati ingin melaporkan kepada ibu bahwa suami ibu meninggal dunia pada pukul 14.32 WIB
dikarenakan
serangan
jantung.
Almarhum…” Belum sempat orang dari dalam handphone itu selesai berbicara seketika itu juga tangan ibu menjadi lemas sehingga handphone yang digenggamnya pun terjatuh. Ibu menangis sekuat-kuatnya. Perasaan beliau campur aduk, antara sedih dan tidak percaya dengan berita yang baru saja beliau dengar. Untuk
memastikan,
ibu
langsung
menghubungi Pak Toni, teman sekerja ayah. “Pak Toni, apakah suami saya sedang bekerja?” Tanya ibu memastikan. ~ 64 ~
“Maaf bu Sukma, Pak Dirman baru saja kami larikan ke rumah sakit. Saya harap ibu sudah mendengar informasi dari rumah sakti tentang kondisi pak Dirman. Saya sedang di Rumah Sakit Ramah Hati saat ini.” “Baik pak. Terima kasih infonya.” Ibu lalu menelpon Laras atas apa yang baru saja menimpa keluarga mereka. “Halo!” “Halo, iya bu. Ada apa?” “Bapak sudah meninggal nak.” “Bukannya bapak tadi pagi bapak masih sehat-sehat ya bu? Tadi pagi bapak berangkat ke tempat kerja kan bu?” Laras masih tidak percaya omongan ibunya barusan. Detak jantung Laras mulai berdegup cepat, matanya mulai berkacakaca. “Ibu dapat telpon dari Rumah Sakit Ramah Hati. Katanya, bapak meninggal karena ~ 65 ~
serangan Jantung. Kamu cepat pulang nak. Kita kerumah
sakit
sekarang.”
Ibu
mencoba
menerangkan apa yang terjadi kepada Laras. “Tutttttt.” Laras memutuskan sambungan telponnya dengan ibu karena tidak mampu lagi mendengar berita dari ibu dan juga tak kuat lagi menahan air matanya. Laras menangis di kubikelnya. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Hatinya dan pikirannya pun kacau saat itu. Orang yang dia sayangi harus pergi lebih cepat dari yang dia pikirkan, tanpa berpamitan dengan ibu dan adik-adiknya. Teman-teman di tempat kerja Laras mendatangi
kubikel
Laras.
Mencoba
menenangkan Laras tanpa menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Laras. Mereka tahu mencoba menenangkan lebih baik dari sekedar mengetahui apa yang menimpa Laras. ~ 66 ~
“Laras, kamu yang sabar ya?” Salah seorang teman Laras mengusap punggung Laras agar Laras dapat lebih tenang. Laras sudah dapat menenangkan dirinya. “Makasih ya. Kalian sudah peduli sama aku.” “Sama-sama Laras.” “Aku akan ke rumah sakit bersama ibuku. Aku minta tolong ya? Kalo Pak Mulyo datang dan menanyakan dimana aku.” Laras tidak memberitahu ke teman-temannya apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengambil tasnya, merapikan
mejanya
dan
segera
pulang
menjemput ibu dan bersama ibu pergi ke rumah sakit. “Oke, Laras. Nanti kami kabarkan ke pak Mulyo.” ***** “Ibu Sukma. Benar?” Tanya seorang dokter. ~ 67 ~
“Benar dok.” “Dan?” “Saya Laras dok. Anaknya pak Dirman.” Laras memotong pertanyaan dokter. “Oh oke. Jadi Ibu Sukma dan Laras. Saya harap ibu dan Laras sudah mendengar kabar tentang almarhum. Almarhum pak Dirman terkena
serangan
jantung
mendadak
dan
langsung dilarikan oleh rekannya, Pak Toni. Namun, begitu almarhum sampai ke IGD, kami mendapati
jantung
almarhum
sudah
tidak
berdetak lagi. Kami sudah melakukan berbagai upaya kembali
untuk
membuat
berdetak.
jantung
Namun
almarhum tidak
ada
perkembangan. Saya minta ibu Sukma dan Laras tabah dan sabar atas kejadian ini. Mari saya antar ibu Sukma dan Laras untuk melihat jenazah almarhum Pak Dirman.” ***** ~ 68 ~
Jenazah pak Dirman langsung dibawa pulang oleh ibu dan Laras dengan menggunakan mobil
ambulans
milik
rumah
sakit.
Ibu
menemani almarhum, sedangkan Laras pulang menggunakan mobilnya. Sesampainya di rumah sanak saudara dan rekan-rekan kerja ayah Laras dan Laras sudah menunggu kedatangan almarhum, ibu Laras dan Laras. “Ada apa ini?” Tanya Clara yang baru saja pulang sekolah bersama Linda. “Ibu dimana om?” Tanya Linda kepada seorang laki-laki, rekan sekerja ayah mereka. “Ada di dalam nak.” Mereka langsung berlari masuk ke dalam rumah dan mendapati ayah jenazah ayah mereka yang sudah terbaring tak bernyawa. Seketika itu juga meeka menangis histeris melihat keadaan ayah mereka. ~ 69 ~
“Ayahhh.”
Teriak
mereka
sekuat
mungkin. “Ayah
jangan
pergi.
Katanya
mau
menemani Clara dan Linda mengerjakan pr.” Mereka masih tidak menduga ayah mereka sudah tiada. Mereka menggoyang-goyangkan tubuh almarhum, mencoba meyakinkan bahwa ayah mereka sebenarnya sedang tidur. “Sudah nak. Sudah. Ayah sudah pergi. Kalian yang sabar.” Ibu mencoba menguatkan ketiga anaknya yang merasa sangat kehilangan sosok sang ayah yang sangat mereka sayangi. Hari itu, rumah Laras seperti lautan air mata. Banyak orang yang merasa kehilangan sosok ayah Laras. Bagi mereka, ayah Laras adalah orang yang selalu ceria. Yang mampu membangkitkan semangat kerja teman-teman sekerjanya. Ibu, Laras, dan adik-adiknya sudah bisa melepas kepergian sang ayah. Mereka sadar ~ 70 ~
bahwa apapun yang mereka lakukan tidak mampu merubah kenyataan. Mereka selalu berdoa
keapda
Tuhan
agar
mereka
yang
ditinggalkan almarhum selalu dikuatkan dan diberi ketabahan hati dalam kejadian ini. ***** Laras mengerti satu hal. Ada banyak hal yang tidak bisa manusia rubah di dunia ini, salah satunya adalah kematian. Kenangannya bersama ayahnya kini menjadi sebuah cerita yang tidak akan dia lupakan. Kesempatan dulu bertemu ayah selalu dia gunakan dengan baik. Hidup ini pada akhirnya akan saling meninggalkan. Entah siapa yang akan lebih dulu meniggalkan.
Maka
belajarlah
menghargai
waktu. Karena waktu tidak akan pernah mau berbalik lagi. Untuk merubah kisah pahit menjadi manis, kisah sedih menjadi bahagia, juga rasa kecewa menjadi bangga. ***** ~ 71 ~
~ 72 ~
Maka belajarlah menghargai waktu. Karena waktu tidak akan pernah mau berbalik lagi. Untuk merubah kisah pahit menjadi manis, kisah sedih menjadi bahagia, juga rasa kecewa menjadi bangga.
Walau Kau ~ 73 ~
Tak Lagi Mengingatku, Aku Tetap Menyayangimu Kara, wanita yang ku kenal 9 tahun yang lalu kini aku putuskan untuk menjadikannya kekasih hatiku. Dan ini, kisah cintaku dan dia. Tentang arti cinta sejatiku. Perjumpaan pertama kali bisa dibilang merupakan pertemuan yang tidak disengaja. Waktu itu aku mengantar temanku menuju kampus untuk mengikuti kegiatan ospek. Saat itu aku hendak kembali ke kostku. Belum jauh dari kampus aku melihat seorang perempuan yang sedang memberi makan kucing liar di jalan. Sepertinya dia juga mahasiswa baru. ~ 74 ~
Baju
yang
dikenakannya
seragam
dengan
pakaian temanku, hitam putih. Kebaikan hati perempuan itu menggugah hatiku. Dia tidak terlalu cantik namun manis. Yang terpenting adalah kebaikan hatinya. Belum pernah aku menemukan perempuan yang baik hatinya seperti dia. Terlalu cepat memang aku mengatakan dia orang baik hanya karena dia memberi makan kucing liar di jalan. Namun ketahuilah, tidak banyak orang yang dapat melakukan itu apalagi di jalanan. Selama 3 hari aku mengantar temanku mengikuti kegiatan ospek, selama tiga hari itu juga aku melihat dia melakukan hal yang sama. Semakin
tergugahlah
hatiku
dengan
sikap
baiknya itu. Aku lalu mengambil fotonya dengan diam-diam. Niatku ingin ku tunjukkan pada temanku. Siapa tahu dia kenal.
~ 75 ~
Aku mencoba bertanya ke temanku siapa perempuan itu. Aku ceritakan semuanya ke dia tentang perempuan itu. “Dimas, kamu kenal cewek ini gak?” “Coba ku liat.” Dimas memperhatikan foto itu dengan teliti. Butuh usaha yang lebih untuk dia mengenali perempuan dalam foto itu. Karena gambarnya agak sedikit blur. “Oh,
ini
namanya
Kara,
teman
sekelompokku waktu ospek. Kamu kenal dari mana, Bar?” Dia penasaran. “Ohh namanya Kara.” Akhirnya aku tahu siapa namanya. “Aku lihat dari pertama kalian ospek. Dia tuh selalu kasih makan kucing-kucing liar di depan toko bangunan itu. Aku kagum dengan sikapnya itu.” “Kamu mau gak aku kenalin?” ~ 76 ~
“wah, boleh tuh.” “Oke. Besok aku kabari lagi,” kata Dimas padaku. “Sip bos.” ***** Tidak cukup lama bagiku untuk mencari tahu siapa perempuan itu. Berkat bantuan temanku, Dimas. Aku bisa mengetahui nama gadis itu. Aku mencoba mendekatkan diri kepadanya. Siapa tahu dia mau. “Bara, sepertinya untuk mendekati Kara kamu harus usaha lebih deh. Soalnya banyak teman kampusku apalagi senior yang mencoba mendekati dirinya. Tapi semuanya ditolak oleh Kara.”
Sepertinya
Dimas
ragu
aku
dapat
mendekati bahkan mengambil hati Kara. “Ohiya.
Bagus
dong.
perempuan yang selektif.”
~ 77 ~
Artinya
dia
“Bukan
begitu.
Kara
itu
orangnya
pendiem, dingin banget orangnya. Kalau bicara hanya seperlunya saja.” “Oke. Tapi aku tidak akan menyurutkan niatku untuk mendekati Kara.” Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dimas? Aku mulai ragu mendekatkan diriku padamu Kara. Tapi, tetaplah kamu menjadi sulit untuk didapatkan hatinya. Bukankah untuk mendapatkan emas di dalam tanah, perlu ada usaha untuk menggali lebih dalam? Begitu pun kamu yang menjadi emas bagiku dan aku akan terus mencoba menggali hatimu. Siang itu, aku sengaja menjemput Dimas di kampusnya. Aku berharap akan bertemu Kara dan mulai berkenalan dengan dirinya. Dari kejauhan aku melihat Dimas dan Kara sedang jalan berdua keluar dari gedung kampus mereka. Aku langsung berteriak memanggil Dimas. ~ 78 ~
“Dimas!” Teriakku pada Dimas. Berharap Dimas
mengerti
apa
maksudku
berteriak
padanya. Dimas melihatku, dan sepertinya dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengajak Kara bersamanya berjalan ke arahku. “Kara, kenalin dia Bara teman baikku.” Dimas memperkenalkan aku pada Kara. “Bara.”
Aku
menyodorkan
tangan
kananku. “Kara.” Kara membalas salamku. “Eh aku tinggal bentar ya. Mau beli minum dulu. Kalian ngobrol-ngobrol aja dulu.” Sepertinya Dimas sengaja meninggalkan kami berdua. “Hai kara. Kamu satu kelas dengan Dimas?” Tanyaku padanya. “Iya.” “Tinggal dimana?” ~ 79 ~
“Di Jl. Perjuangan. Kamu tinggal sekost dengan Dimas?”Tanyanya padaku. “iya. Tapi beda kamar.” “Ohh, okeyy.” Mungkin kami masih terlalu canggung untuk saling bicara. Tapi ketahuilah hari itu menjadi hari bersejarah bagiku. Karena akhirnya aku dapat berbicara langsung dengan Kara. Dimas pun kembali dengan membawa minuman dingin untuk kami bertiga. “Ini
untuk
kalian
berdua.”
Dimas
menyodorkan minuman bersoda kepadaku dan Kara. “Makasih Dimas.” Kata Kara. “Sama-sama,Kara,” Jawab Dimas. “Eh, aku pulang duluan ya. Kalian hatihati di jalan.” Kara berpamitan kepada kami.
~ 80 ~
“Oke. Hati-hati di jalan ya.” Dimas membalas ucapan perpisahan Kara hari itu. Aku dan Dimas langsung pulang setelah Kara berjalan meninggalkan kami. Aku yakin untuk mendapatkan Kara aku hanya butuh bersabar. Karena mengenal Kara tak sesulit apa yang ku bayangkan. ***** Sabtu pagi ini, aku bertemu dengan Kara di tempat biasanya dia singgah memberi makan kucing
liar.
Aku
memberanikan
diri
menyapanya, “Hai,Kara!” Sapaku pada Kara yang sedang memberi makan 6 kucing liar. “Oh, Hai! Hmmm.. Bara?” Sepertinya dia lupa namaku. “Iya. Aku Bara” Jawabku. “Oh, maaf Bar. Aku lupa namamu. Padahal baru kemarin kita bertemu.” ~ 81 ~
“Ah, gak apa-apa kok. Santai aja.” Aku memakluminya. “Kamu sedang apa di sini? Dimas mana?” Tanya dia. “Aku abis olahraga pagi. Terus aku liat kamu dari jauh. Ku samperin deh. Dimas masih tidur. Padahal tadi pagi aku udah ajak dia jogging pagi.” “Oalah. Dasar anak itu, hehehe.” “Kamu
suka
kasih
makan
kucing?”
Tanyaku padanya yang ingin tahu apa alasannya. “Iya. Aku kasihan melihat mereka tidak terurus. Apalagi yang ini. Kucing yang kurus ini punya anak empat dan dia harus memberi makan ke-empat anaknya. Sedangkan tidak ada seorang
pun
yang
menaruh
hati
untuk
memberinya makan. Kucing-kucing ini kan juga makhluk hidup” Dia menjawab pertanyaanku sambil mengelus kepala seekor kucing putih ~ 82 ~
dengan belang-belang berwarna
oranye di
tubuhnya. Aku terkagum dengan jawaban Kara. “Wahh! Aku salut dengan kamu Kara. Meskipun ini mungkin bagi sebagian besar orang adalah hal yang sepele, kamu tetap peduli dengan mereka.” Ternyata dugaanku terhadap Kara ternyata benar. Dia benar-benar orang baik. “Boleh aku bantuin gak?” Aku mencoba menawarkan bantuanku untuk memberi makan kucing-kucing ini. “Boleh banget kok. Nih makanannya.” Dia menyodorkan padaku sebagian makanan kucing di piring yang dia pegang. “Eh, kamu udah makan belom?” Tanyaku pada Kara sambil memberi makan kucing. “Belum sih.”
~ 83 ~
“Habis ini, kita cari makan bareng ya?” Aku mencoba mengajaknya untuk sarapan bersama. “Boleh, boleh.” Akhirnya dia menerima tawaranku. Pagi itu, akhirnya aku dapat berbicara lama dengan Kara. Selangkah demi selangkah aku dapat mendekatkan diriku kepadanya. Dia benar-benar tidak seperti yang aku dengar dari orang lain. Dia orangnya ramah dan asyik diajak bicara. Apalagi, pagi ini dia cantik sekali. ***** Aku mengajaknya sarapan nasi kuning di tempat langgananku. Kara tidak terlalu banyak menuntut mau makan ini atau mau makan itu. Katanya, apa pun itu selama masih ada, syukurilah. Masih banyak orang di luar sana
~ 84 ~
yang nasibnya tidak seberuntung kita yang masih bisa makan nasi, apalagi nasi kuning. “Kar, kamu asli Malang?” “Iya. Rumahku dekat sini. Kalo dari tempat kita kasih makan kucing-kucing tadi tuh, lurus sedikit, trus belok kanan, lurus lagi sampai dapat belokan kiri ketiga. Nah disitu rumahku. Tepat di belokan jalan.” Jawabnya. “Kamu sepertinya bukan asli Malang ya?” Dia mencoba menebakku. “Iya. Aku dari Bandung. Kebetulan aku diterima di Kedokteran Brawijaya tahun lalu. Ternyata Malang lebih dingin ya dari tempatku.” “Oalah. Aku kira kita seangkatan. Soalnya aku lihat kamu dan Dimas sangat akrab seperti teman seumuran.” Kara tak menyangka aku tua setahun dari dia.
~ 85 ~
“Aku memang tua setahun dari Dimas. Dimas itu teman sepermainanku di rumah dan kebetulan dia kuliah di sini juga.” “Hahaha.” Dia tertawa. Karena tidak menduga hal ini. Perbincangan kami tak cukup lama. Karena pekerjaan
Kara
harus
pulang
rumahnya.
mengerjakan
Kami
berbegas
menghabiskan sarapan kami. “Aku duluan ya,” Pamitnya padaku. “Kara, aku boleh minta kontak line atau wa-mu?” “Oh boleh kok. Nih, aku kasih dua-duanya ya?
Aku
jarang
buka
line
soalnya.”
Dia
memberiku kedua kontaknya dengan senang hati. “Oke. Makasih ya Kara,” ucapku. “Sama-sama. Aku dulan ya.” Dia pamit kepadaku sambil berlari pulang. ~ 86 ~
“Hati-hati Kara.” Teriakku pada Kara yang berlari dan semakin menjauh. Perasaan senangku tak bisa lagi ku sembunyikan. Aku tersenyum sendiri atas apa yang baru saja terjadi padaku pagi ini. ***** Tak terasa sudah 3 bulan aku dan Kara melakukan pendekatan. Kami sudah saling memaklumi kekurangan masing-masing. Kami sudah hafal hal-hal yang paling disukai dan halhal paling kami tidak sukai dari masing-masing kami. Aku tahu tentang Kara, dan Kara tahu tentang aku. Sudah banyak waktu yang kami lewati bersama, termasuk memberi makan kucingkucing
liar
di
jalan
tempat
biasa
Kara
melakukannya. Sampai-sampai kucing-kucing di sana itu sudah menganggapku sebagai majikan mereka. ~ 87 ~
Terima mengajarkan
kasih aku
Kara. bahwa
Kamu
sudah
Tuhan
telah
menitipkan pesan kepada kita sebelum kita keluar dari Rahim ibu kita untuk melakukan kebaikan kepada semua ciptaannya, termasuk kucing-kucing ini. “Heyy! Kok ngelamun? Lihat tuh, dia udah nungguin loh.” Kara menyadarkanku dari lamunanku tentang dia dan menununjuk seekor kucing yang duduk manis di depanku yang sedang melamun sambil memegang piring berisi makanan kucing. “ Oh, Hey! Tidak ada masalah?” Aku mencoba menyembunyikan rasa maluku karena lamunanku yang mengarah kepadanya. “Haloo, caty. Kamu lapar ya? Ini aku bawakan makanan enak untukmu.” Kucing di depanku namanya Caty. Dia kucing betina. Aku sudah memberi makan dia ~ 88 ~
sejak 3 bulan yang lalu saat Caty masih jadi anak kucing. Dari dulu aku ingin sekali membawa Caty pulang.
Tapi
aku
merasa
kasihan
bila
memisahkan dia dari induknya. Tiba-tiba
Kara
menanyakan
tentang
kejadian barusan, “Kamu tadi mikirin apa?” Tanya Kara padaku. “Gak kok. Gak mikirin apa-apa.” Aku menyembunyikannya dari Kara. “Oh yaudah. Kirain ada apa-apa, hehehe.” Kara
tahu
ada
sesuatu
yang
aku
sembunyikan darinya, tapi dia tidak memaksaku mengatakannya. “Kar, besok kan kalian libur. Kita ke Paralayang yuk?” ajakku. “Boleh. Jam berapa?” ~ 89 ~
“ Aku jemput kamu jam 5 pagi.” “Aku ijin dulu ke mamaku ya? Nanti malam aku wa kamu kepastiannya.” “Oke kalo gitu.” Akhirnya mama Kara mengizinkan Kara dan aku untuk pergi melihat mentari pagi di kawasan Paralayang di kota Batu. Padahal aku mengira orangtua Kara tak mengizinkanku. Tapi ternyata, nasib baik sedang berpihak padaku. ***** Subuh itu tepat pukul 4.50 aku sudah berada di depan rumah Kara. Aku tidak mengetok pintu, takut orangtua Kara masih tertidur. Aku menelpon Kara. Lalu,
Kara
membuka
pintu
dan
menyuruhku untuk masuk dulu. “Masuk dulu, Bar. Aku ganti baju dulu.” ~ 90 ~
Terlihat
seorang
perempuan
sedang
memasak di dapur dan begitu aku masuk, perempuan itu menoleh ke arahku. “Halo, Bara. Masuk nak. Sarapan dulu baru
berangkat.”
Seorang
perempuan
memanggilku dari dapur. Perempuan itu adalah mama Kara. “Oiya tante. Makasih tante. Tadi udah sarapan di kost.” Padahal aku belum sarapan sama sekali. “Sudahlah nak. Tidak usah malu-malu. Yuk!” Mama Kara menarik tanganku dan membawaku ke meja makan untuk sarapan. Aku pun mengambil piring dan sendok. Menaruh nasi dan lauk yang tersedia di meja dan melahapnya. “Kara sering cerita tentangmu. Katanya kamu itu baik, perhatian sekali dengan Kara. Kalian pacaran?” Tanya mama Kara. ~ 91 ~
“Gak kok tante, Kami tidak pacaran.” Mama Kara banyak bercerita tentang Kara. Beliau sudah seperti teman sebaya bagi Kara. Kara tak pernah sungkan untuk bercerita apapun kepada mamanya. Beliau orang yang sangat baik. “Tante kirain kalian pacaran. Tambah lagi nasi sama lauknya, Bara.” Sepertinya mama Kara melihat makanan di piringku sudah mulai habis. “Sudah kenyang tante. Makasih ya buat sarapannya. Jarang-jarang sarapan enak tante, hehehe.” “Sama-sama Bara. Piringnya taruh aja di meja. Nanti tante yang cuci.” Kara sudah turun dari kamarnya. “Yuk?” ajaknya.”Mama, kami pergi dulu ya.” Pamit Kara.
~ 92 ~
“Tante kami berangkat dulu ya?” aku pun tak lupa berpamit kepada beliau. “Yaaa. Kalian hati-hati ya. Bara, jangan ngebut-ngebut ya?” Pesan mama Kara kepada kami. “Baik tante.” Kami pun segera menuju tempat wisata paralayang.
Perjalanan
menuju
paralayang
lumayan jauh. Ditambah dengan udara yang dingin. Seakan jaket yang kami kenakan tidak mampu memproteksi diri kami. ***** Sampailah kami di wisata Paralayang, Batu.
Tempat
yang
sangat
indah
untuk
menikmati sunrise. Gunung Bromo pun terlihat seperti
menembus
awan.
Indahnya
pemandangan dari tempat ini. Sungguh Karya Tuhan yang luar biasa.
~ 93 ~
Tempat mengambil
ini
sangat
gambar
cocok
atau
foto
untuk dan
mengunggahnya ke media sosial. Latar belakang berupa pemandangan kota dan Gunung Bromo membuat hasil tangkapan kamera menjadi lebih indah. Aku dan Kara duduk di sabuah pondok, sambil sejenak melepas penat selama perjalanan dengan melihat indahnya alam pagi ini. Aku menunggu satu momen yang tepat dan akhirnya tiba, “Kara, mataharinya bagus ya. Semua mendapat
sinarnya
sehingga
tidak
ada
keindahan yang tertupi oleh gelap.” “Iya Bara. Sebelumnya aku belum pernah ke sini pagi-pagi sekali. Ternyata ini begitu indah.” “Kara!”Aku menoleh kepadanya. “Ya?” Dia pun menoleh kepadaku. ~ 94 ~
“Aku rasa hidupku semakin hari menjadi semakin berarti semenjak bertemu kamu. Aku tak pandai bergombal tentang cinta. Tapi semoga matahari pagi ini tak hanya menyilaukan mata tapi juga menyinari hatimu. Kara, kamu mau gak jadi pacarku?” Akhirnya aku mengungkapkan apa yang selama ini aku sembunyikan dari Kara. Aku menuggu
watu
yang
tepat
untuk
mengungkapkannya. “Iya, Bar. Aku tahu kamu sudah mengenal siapa aku dan aku pun mengenal siapa kamu. Aku mau Bar jadi pacarmu.” Hari itu juga adalah hari bahagiaku dengan Kara. Paralayang adalah saksi cinta kami, dan matahari pagi itu pun tersenyum melihat kami yang begitu senang. Tidak
ada
kata
terlambat
untuk
menyatakan cinta. Bila suatu hari kau terlambat mengatakan cintamu dan kau melihat dia ~ 95 ~
dengan yang lain. Percayalah, bila memang jodoh, dia akan kembali untukmu. Bukankah kita percaya bahwa semuanya kan indah pada waktunya? *****
~ 96 ~
Tidak ada kata terlambat untuk menyatakan cinta. Bila suatu hari kau terlambat mengatakan cintamu dan kau melihat dia dengan yang lain. Percayalah, bila memang jodoh, dia akan kembali untukmu. Bukankah kita percaya bahwa semuanya kan indah pada waktunya?
~ 97 ~
Kini waktuku banyak ku habiskan dengan Kara. Aku menjadi lebih sering mengantar dan menjemputnya ke kampus atau tempat lain yang ingin dia datangi. Aku tidak pernah mengeluh padanya. Bila aku lelah, sebisa mungkin aku menyembunyikan itu dari Kara. Aku tidak ingin Kara kecewa. Kara mengerti bahwa hidupku bukan tentang dia saja. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya bila aku tidak mampu melakukan itu untuknya. Begitu pun denganku, aku tidak banyak menuntut dia seperti yang aku mau. Kami sadar, aku dan dia tidak luput dari kekurangan. Karena itu kami selalu memahami dan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk aku ke dia, dia ke aku. Sudah 3 kali kami melakukan perayaan anniversary. Artinya sudah 3 tahun kami bersama dan setiap momen yang telah kami buat tidak akan kami hancurkan. Setiap kenangan ~ 98 ~
yang terangkai tidak akan pupus dari ingatan. Hari-hari yang terlewati telah membuat kami menjadi lebih menghargai arti kebersamaan. Hubunganku dengan orangtua Kara pun menjadi lebih dekat. Aku sudah tidak sungkan lagi untuk menerima ajakan makan mama Kara. Aku tidak lagi takut dengan Papa Kara. Malahan kami sering berdebat tentang bola. Mama dan Papa Kara sering menanyakan kabarku dan kuliahku. Kata mereka kuliahku itu memang
berat,
jadi
Mama
Kara
selalu
membuatkan aku kopi dan beberapa makanan ringan
untuk
menemaniku
begadang
bila
menjelang ujian. Aku sering bercerita ke ibu dan bapakku tentang
mereka.
Mereka
pun
menyetujui
hubunganku dengan Kara. “Kalo pacaran jangan lupa belajar ya?” pesan bapak dan ibuku selalu ketika aku pualng kembali ke rumahku. ~ 99 ~
Aku tidak pernah lupa tujuan utamaku merantau ke Malang. Aku senang karena orangorang yang ku cintai selalu mendukungku dan menyemangatiku dalam menempuh pendidikan Kedokteranku. Termasuk Kara dan orangtuanya. ***** 5
tahun
sudah
berlalu,
aku
sudah
menyelesaikan pendidikanku dan bekerja di suatu rumah sakit swasta di Kota Malang. Kara telah menjadi pegawai negeri sipil di Kota ini. Aku sudah matang-matang memikirkan masa
depanku
dan
Kara.
Hingga
aku
memutuskan untuk melamar dia untuk menikah denganku. Sampai aku menentukan satu malam yang tepat. Malam hubungan kami yang akan genap berusia 8 tahun. Aku mengajaknya untuk makan di satu restoran di Malang. “Selamat hari jadi, sayang!” Ucapku. ~ 100 ~
“Happy
anniversary
too,
sayang!”
Balasnya. Aku mulai mengeluarkan cincin dari saku celanaku yang sebelumnya telah aku persiapkan untuk saat ini. “Sudah 8 tahun kita bersama melewati hari demi hari sampai hari ini. Sudah 8 tahun kita berbagi suka dan duka. Sudah 8 tahun kita saling berusaha mengenal dan mengerti satu sama lain. Dan hari ini aku akan memastikan kamu untuk menjadi pendamping hidupku yang siap menemaniku hingga rambut memutih, tangan tidak mampu menggenggam, kaki tidak lagi mampu berjalan hingga jiwa dan raga pun berpisah. Maukah kamu menikah denganku?” Kara
mulai
menangis
mendengar
ucapanku barusan. Dia terharu mendengar komitmenku untuk sehidup semati dengan dia. Ini adalah keputusan yang besar bagi dia. ~ 101 ~
“Aku siap menjadi istrimu, Bara. Dalam situasi apa pun aku akan selalu bersamamu. Sampai kita tua, sampai kita jadi debu.” Aku memasangkan cincin ke jari manis Kara. Mengusap air mata bahagia Kara dan melanjutkan menghabiskan makanan di atas meja kami. Tak lama setelah aku melamar Kara. Aku melamar Kara di hadapan orangtuanya. Kami telah mengatur acara pernikahanku dengan Kara dengan sangat matang. ***** Hari Pernikahanku dengan Kara telah usai. Kini aku dan Kara menjalani kehidupan yang baru sebagai sepasang suami dan istri. Hari-hari kami terlewati seperti pasangan suami
istri
kebanyakan.
Kara
menyiapkan
sarapan dan makan malam untukku saat aku berangkat dan pulang bekerja. Dia memijat ~ 102 ~
punggungku yang letih sepanjang hari bekerja. Dia menyemangatiku kala aku sedang dalam kesusahan. Dia menjalankan tugasnya sebagai istri dengan sangat baik. ***** Sementara Kara memijat punggungku, telpon genggamku berbunyi. Sepertinya ada panggilan masuk. Kara meraih handphone-ku dan mengangkatnya. “Halo!” “Halo, Kara? Ini aku Dimas.” Ternyata orang yang menelponku adalah Dimas. Aku sudah tidak bertemu dengan Dimas sekitar 4 tahun. Setelah dia diwisuda dan bekerja di Surabaya. “Dimas? Ya ampun. Kamu apa kabar? Sudah lama loh kita gak bertemu. Sekitar 4 tahunan kalo aku gak salah ingat” Kara mencoba
~ 103 ~
menghitung sudah berapa lama dia tidak bertemu dengan Dimas. “Puji Tuhan aku sehat. Kalian gimana?” “Puji Tuhan aku dan Bara juga sehat.” “Maaf ya, aku gak bisa datang ke pernikahan kalian. Tugas kantorku banyak dan tidak bisa ditinggal. Ohiya, Selamat ya buat kalian. Semoga di kehidupan yang baru ini kalian boleh menjalankan kehidupan sebagai suami istri yang baik.” “Makasih Dimas untuk ucapannya.” “Kara, lusa aku akan menikah. Aku harap kalian bisa hadir. Entar aku kasih alamatnya via Line ya? Aku udah kirim undangannya kok. Tapi mungkin belum sampai di situ.” Dimas akan menikah 2 hari lagi. Hari itu aku dan Kara berencana akan ke Surabaya untuk menghadiri pernikahan Dimas. Kebetulan aku libur di hari itu. ~ 104 ~
***** Kejadian tak terduga menimpahku dan Kara. Aku dan Kara mengalami kecelakaan di perjalanan saat hendak ke Surabaya. Kejadiannya terjadi pada malam hari. Saat itu jalan sepi dan gelap. Aku menyetir mobil dengan kecepatan yang tidak terlalu kencang. Tiba-tiba sebuah truck dari arah arah kanan melaju dengan cepat dan menabrak mobilku dengan sangat keras. Hantaman
truk
itu
membuat
kendaraanku harus terlepar sejauh 20 meter. Aku dan Kara langsung tidak sadarkan diri setelah tabrakan yang keras itu. Aku pun terbangun setelah 3 hari tak sadarkan diri. Ibu dan Bapakku yang tertidur langsung terbangun ketika aku menyebut nama Kara. Aku pun dibawa mereka menuju kamar kara. ~ 105 ~
Kara masih tak sadarkan diri. Dia masih koma. Aku berupaya membangunkan Kara. “Kara, kamu dengar suaraku?” Berkali-kali aku mencoba menyadarkan Kara sampai akhirnya Kara pun terbangun. Aku merasa sangat terpukul saat Kara menanyakan
siapa
aku.
“Kamu
siapa?”
Sepertinya Kara sudah lupa ingatan. Aku mencoba membantu Kara mengingat siapa aku. Namun semua usahaku sia-sia. Dia sudah tidak mengenal aku lagi. ***** Aku membawa Kara pulang untuk setelah dokter memperbolehkan kami pulang. Aku tetap mencoba mengembalikan ingatan Kara. Namun tetap hasilnya nihil. Aku terpukul dengan kejadian ini. Aku tidak menyangka dari miliaran orang, mengapa harus aku yang mengalami penderitaan ini. ~ 106 ~
Kara yang dulu selalu memasakkan makanan
untuk
dilakukannya.
kami
Kara
kini
yang
tidak
dulu
lagi
memijat
punggungku ketika aku pulang bekerja kini tidak lagi
diingatnya.
Kara
menjadi
was-was
kepadaku. Kami seperti orang yang baru saja bertemu dan harus tinggal satu rumah. Aku tidak putus asa dengan keadaan ini. Segalanya harus aku mulai lagi dari nol. Seperti dulu, aku berusaha mendapatkan hati Kara. Perhatianku kepadanya tidak berkurang sedikit pun. ***** “Meskipun kamu tidak mengenalku lagi, aku tetap menyayangimu.” Ucapku kepada Kara setiap malam saat dia sudah tertidur pulas dan aku masih terjaga. Cintaku kepada Kara tidak berkurang sedikit pun meskipun dia tidak mengingatku lagi. ~ 107 ~
Setahun
aku
berusaha
untuk
mengembalikan ingatan Kara, namun tidak ada hasilnya. Hari demi hari telah ku lewati dengan saba dan tabah dengan Kara. Kara pun akhirnya luluh dengan caraku memperlakukannya selama masa-masa sulit yang kami jalani. “Meskipun aku tidak lagi mengingatmu. Tentang siapa kamu yang dulu, tentang siapa kita
yang
dulu.
Aku
mencintaimu.
Aku
mencintaimu dengan caramu mengurus aku dan dengan segala perhatianmu kepadaku.” Aku
akhirnya
menerima
semua
ini.
Kenangan yang telah terangkai dulu harus sirna semuanya. Cerita kita yang dulu terukir kini hanya bisa ku ceritakan kembali kepadamu sebagai cerita dongeng yang sangat menarik bagimu. Dan kini cerita yang nyata kita coba ukir lagi, ~ 108 ~
benar-benar denganmu yang mau bersamaku sampai kita menua lalu mati. *****
~ 109 ~
“Cerita kita yang dulu terukir kini hanya bisa ku ceritakan kembali kepadamu sebagai cerita dongeng yang sangat menarik bagimu. Dan kini cerita yang nyata kita coba ukir lagi, benar-benar denganmu yang mau bersamaku sampai kita menua lalu mati.” -Bara-
Pada Akhirnya ~ 110 ~
Akulah Terluka
yang
Sore ini taman tidak terlalu ramai. Jaka memutuskan untuk menikmati sore hari dengan bersantai di taman kota. Kebetulan taman kota sore ini tidak terlalu ramai. Setelah membeli beberapa makanan ringan, Jaka duduk di salah satu bangku di taman itu, mendengarkan musik, menikmati makanan, sambil melihat orangorang yang berjalan-jalan di taman itu. Pandangan
Jaka
pun
terarah
pada
seorang wanita yang sedang menangis di bangku taman yang lain. Dia penasaran. Sepertinya dia mengenal wanita itu. Dia menghampiri wanita itu untuk memastikan apa dia benar-benar mengenal wanita itu. Ternyata, Helda. Wanita yang dia sukai setahun belakangan ini, namun tidak bisa dia ~ 111 ~
dapatkan karena Helda lebih memilih Bagus, teman baik Jaka. Jaka
mendekati
Helda.
Dia
memperhatikan sekeliling dari tempat Helda apa yang
sebenarnya
terjadi
sebelum
dia
menanyakan langsung kepada Helda. Tidak jauh dari tempat itu Jaka melihat Bagas sedang memegang tangan seorang wanita. Dia mencoba untuk tidak berpikiran megatif tentang hal ini. Tapi satu hal yang tidak bisa diterima oleh Jaka, perempuan itu memeluk Bagus dengan erat layaknya orang pacaran. Mungkin ini juga yang dilihat oleh Helda. Jaka duduk disebelah Helda dan mencoba menenangkan Helda. “Helda, ini aku Jaka.” Sambil memegang pundak Helda. “Kamu kenapa nangis?” Tanya Jaka yang jawabannya sudah dia ketahui. ~ 112 ~
Helda tetap diam. Tidak mampu bersuara sedikit pun. Tangisnya sudah membendung mulutnya untuk berucap sepatah kata pun. “Karena
Bagas?”
Jaka
mencoba
memastikan. Seketika itu juga Helda memeluk erat Jaka. Dia tidak kuat menahan tangisnya sendiri. “hikss,hikss. Bagas jahat, Ka! Aku kira dia setia. Ternyata dia bermain di belakangku. Aku tidak bisa menerima semua ini Jaka. Hatiku rasanya seperti tertusuk pedang tajam. Aku pikir omongan
orang
lain
tentang
Bagas
tidak
benar,sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Bagas jahat, Jaka!” Helda
melampiaskan
semua
sakitnya
dalam pelukan Jaka. Jaka membiarkan Helda memeluknya erat. Jaka tahu bahwa Helda membutuhkannya sekarang.
~ 113 ~
“Tetaplah menangis Helda. Aku tidak akan berpindah dari sini sampai kamu sudah bisa menenangkan dirimu. Bila kamu ingin berteriak, silahkan! Aku disini menemani kamu menahan sakitnya patah hati.” Jaka tidak ingin Helda berlarut dalam kesedihan
yang
mendalam.
Baginya,
membiarkan seorang wanita menangis adalah cara terbaik menenangkan hati. Karena saat itu juga dia akan mengerti apa yang sudah terjadi padanya dan usaha menyembuhkan luka pun tidak akan lama. Semenjak hari itu Jaka selalu ada untuk Helda. ***** Helda
akhirnya
memutuskan
hubungannya dengan Bagas. Dia tidak ingin hatinya berlarut-larut dalam kepedihan. Tidak ada lagi yang bisa Helda jadikan alasan untuk bertahan dengan Bagas dan tidak ada lagi alasan ~ 114 ~
untuk Bagas membela dirinya yang sudah menduakan hati Helda. Kini Helda menganggap kisahnya dan Bagas telah selesai. “Bagas, aku sadar bahwa aku memang bukan wanita yang sempurna untukmu. Aku tidak lagi menjadi yang paling kamu banggakan. Dan kamu sudah tidak lagi menempati hatiku ini.
Melepasmu
adalah
cara
yang
terbaik
untukku dan untukmu. Agar kamu bisa membagi kasihmu seutuhnya dengan dia dan aku tidak lagi sengsara dalam kepedihan. Selamat ya, kamu
berhasil
mematahkan
sayapku
dan
membuatku jatuh ke bumi saat aku ingin terbang tinggi bersamamu.” Seperti itulah rangkaian kata-kata yang Helda ucapkan kepada Bagas, satu hari setelah kejadian pahit itu menimpa Helda. Tak satu pun kata-kata yang keluar dari mulut Bagas. Bahkan usaha menahan Helda untuk tidak memutuskan hubungan dengan ~ 115 ~
dririnya pun tidak dia lakukan. Sepertinya dia sadar apa yang sudah dia perbuat kepada Helda. Entah dia menyesal ataupun tidak, itu urusan Bagas. *****
~ 116 ~
Melepasmu adalah cara yang terbaik untukku dan untukmu. Agar kamu bisa membagi kasihmu seutuhnya dengan dia dan aku tidak lagi sengsara dalam kepedihan.
Tidak ada sedikit pun rasa senang dalam hati Jaka perihal patah hati Helda. Bagi dia bukan tentang Helda tidak lagi bersama Bagas,
~ 117 ~
tapi tentang kesedihan Helda yang menyentuh batin Jaka. Tidak butuh waktu yang lama bagi Helda untuk melupakan Bagas. Semua karena Jaka. Jakalah yang selalu memberi perhatian kepada Helda. Bukan tentang mencari kesempatan, Jaka melakukan itu. Tapi dia tulus melakukannya untuk Helda. Hubungan Helda dan Jaka pun semakin akrab. Setiap hari mereka menyempatkan waktu untuk bertemu. Taman itulah yang menjadi saksi perjalanan kedekatan Helda dan Jaka. “Jaka, beli cireng yuk! Lagi pengen makan cireng nih.” Pinta Helda dengan manjanya. “Tadi udah makan bakso loh di sana. Sekarang cireng lagi? Gak takut gendut bu?” “Emang siapa yang marah kalo aku gendut?” balasnya dengan senyum.
~ 118 ~
“ohiya ya, kan jomblo, hahaha.” Jaka meledek Helda. “ihh, kamu. Jadi bete nih.” Helda pun kesal. “iya iya, ayok kita makan cireng. Aku yang traktir. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang loh.” Tak butuh waktu lama bagi Jaka untuk mengembalikan mood Helda. Sepertinya Jaka dan Helda sudah saling memahami. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi sebuah pasangan. “Helda, aku suka sama kamu. Jauh sebelum kamu dan Bagas menjadi sepasang kekasih dulu.” “Maaf aku telah mengabaikanmu dulu. Sekarang aku sadar bahwa sebenarnya ada seseorang yang benar-benar peduli denganku,
~ 119 ~
dan itu kamu. Jaka, adakah kesempatan itu lagi untuk aku diam dalam hatimu?” Jaka terkaget. Kata-kata yang ingin dia utarakan, telah lebih dulu keluar dari mulut Helda. Senang dan terkejut menjadi satu dalam kepala
Jaka.
Senang,
karena
akhirnya
perasaannya pun sama dengan Helda. Terkejut, karena
untuk
pertama
kalinya
seorang
perempuan lebih dahulu menyatakan cinta dan berharap menunggu sebuah jawaban yang pasti. Helda dan Jaka, sepasang kekasih yang berbahagia mulai detik Jaka menyatakan “ya” pada Helda. Perihal pria harus menyatakan cinta dan wanita harus menunggu adalah keliru menurut Helda. Rasa bila sudah matang, ungkapkanlah. Tidak perlu saling menuggu. ***** Umur hubungan mereka memang masih seumur jagung. Waktu dimana perasaan itu masih seperti bunga yang sedang mekar.Namun ~ 120 ~
perasaan Helda sepertinya mulai luntur. Ada yang aneh dengan helda belakangan ini. Jaka selalu berfikir mungkin ada yang salah dengan dirinya sehingga tingkah Helda sudah tidak seperti awal mereka menyatukan rasa. Berbagai cara Jaka lakukan agar tidak satu pun kesalahan dia perbuat untuk Helda. Jaka mengajak Helda untuk jalan- jalan sore
di
taman.
Berniat
untuk
membahas
perubahan dalam diri Helda. Helda beranjak dari tempat duduknya, “Sayang, aku beli cireng dulu ya? Laper nih.” “Oke,
ehh
tapi
sambelnya
jangan
kebanyakan ya?” “Sipp.” Tidak sengaja Jaka melihat notifikasi handphone Helda yang terus berbunyi. Ternyata pesan masuk dari Bagas. Pesan ini bukan hanya ~ 121 ~
satu, namun banyak. Karena chatnya tak kunjung terbalas, Bagas pun menelpon. Jaka melihat panggilan masuk dari Bagas di hp Helda, namun dia tidak mengangkatnya. Mungkin Bagas ada pembicaraan penting sampai Bagas harus menelpon Helda. Jaka tidak berpikiran macam-macam. Dia yakin Helda tidak akan menyakiti hatinya. *****
Keesokan harinya di siang hari, Jaka yang berniat akan membelikan sesuatu untuk Helda di hari ulang tahun Helda. Dia memutuskan untuk melewati taman karena lebih dekat ke toko
bunga
lewat
taman
daripada
harus
memutar jauh ke arah POM bensin. Tidak sengaja pandangan Jaka tertuju pada Bagas yang sedang bersama seorang wanita yang nampaknya dia kenal. Mereka tampak mesra. Jaka mencoba mendekati Bagas, dan ~ 122 ~
ternyata wanita yang bersama Bagas adalah Helda. Betapa hancur hati Jaka melihat Helda bersama Jaka. Wanita yang dia sayang kini berbalik mengkhianatinya. Usaha Bagas untuk percaya bahwa semua akhir-akhir ini baik-baik saja dengan sekejap runtuh. Dia mengerti apa yang membuat Helda berubah akhir-akhir ini. Jaka tidak menghampiri Helda saat itu. Dia mencoba bersembunyi agar tidak terlihat oleh Bagas dan Helda. Dia mencoba menelpon Helda. “Helda, kamu dimana?” Tanya Jaka. “Aku lagi diluar nih. Mau ke bank buka rekening baru. Ada apa sayang?” “Gak apa-apa kok. Nanti kita ketemuann yuk jam 5 di tempat biasa!” Ajak Jaka. “Oke sayang, udah dulu ya? Love u.”
~ 123 ~
Jaka langsung memutuskan panggilannya tanpa
membalas
ucapan
terakhir
Helda.
Perasaan kecewa dan skit hati Jaka sudah menguasainya. Sehingga tidak ada lagi rasa untuk Helda tertinggal. Sore itu, seperti obrolan ditelpon, Jaka dan Helda bertemu di kursi tempat mereka biasa bersama di taman. “Hai, sayang! Udah nunggu lama ya? Sorry telat.” Sudah 30 menit Jaka menunggu Helda di taman. “Gak kok, baru juga aku nyampe. Tadi singgah dulu beli cemilan.” Jaka berbohong agar Helda tidak merasa mengecewakan dirinya. “ Mau cireng gak?” Tanya Jaka. “Boleh, yang. Kayak biasa ya, gak teralu pedes?hehehe” “Sippp.” ~ 124 ~
Jaka lalu pergi membeli cireng dan juga air minum untuk dia dan Helda. “Nih!” Jaka menyodorkan makanan yang dia beli tadi kepada Helda. “Makasih sayang.” Ucap Helda. Helda mulai merasa ada yang berbeda dengan Jaka. Jaka tidak seperti biasanya, ucapan sayang dari mulut Jaka tidak lagi terdengar. Helda mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, “Sayang.
Kamu
kok
akhir-akhir
ini
berbeda. Ada masalah ya?” Helda mencoba mencari tahu. “Gak kok. Aku gak apa-apa? Kalo makan jangan sampai ngomong dong. Entar keselek. Telan dulu makanannya.” 10 menit tidak ada satu pun kata-kata keluar dari mulut Jaka dan Helda. Dan akhirnya, ~ 125 ~
“Helda, sepertinya kita harus berhenti sampai disini. Aku sadar aku kurang sempurna untukmu.” “Kok kamu ngomong gitu. Kamu baik kok sama aku. Aku sayang sama kamu.” “Aku juga sayang sama kamu. Hanya saja aku tidak bisa berjalan bersama hati yang masih bersama masa lalunya. Aku tahu kamu masih mencintai Bagas dan kamu tidak perlu tahu dari mana aku tahu itu. Seandainya kamu jujur dari dulu bahwa kamu masih mencintai dia mungkin kita tidak akan sesakit ini. Memang jujur itu itu sakit tapi setidaknya dia tidak membuatmu mati. Mungkin bila aku tahu kamu belum bisa melupakan Bagas. Aku akan menuggumu benar-benar siap untuk jatuh cinta lagi lalu hubungan kita terjadi.
~ 126 ~
Kita tidak benar-benar menjadi kita bila masih ada orang lain. Karena kita adalah antara aku dan kamu. Kita sudah di ruang yang salah dan kita juga harus keluar dari ruangan ini. Aku harap kamu dan Bagas akan saling percaya dan tidak saling menyakiti. Karena aku tidak
ingin
lagi
kamu
bercerita
tentang
penyesalanmu yang telah menghancurkan aku.” “Maaf Jaka. Aku...” belum sempat Helda selesai berbicara. Jaka pun beranjak dari kursi. “Tidak perlu lagi ada penjelasan Helda. Ohiya,
aku
tidak
dendam
kepadamu..
Percayalah! Aku hanya kecewa. Aku harap kamu bisa belajar lebih baik setelah ini.” Jaka berjalan meninggalkan
Helda
sendirian
di
taman.
Sepertinya dia benar-benar kecewa dengan Helda. Dia sudah tidak peduli apapun lagi tentang Helda. ***** ~ 127 ~
~ 128 ~
Kita tidak benar-benar menjadi kita bila masih ada orang lain di dalamnya. Karena arti dari kita adalah antara aku dan kamu.
~ 129 ~
Berdamai dengan Masa Lalu Sore hari seperti biasanya di Jakarta. Stasiun Cawang selalu dipenuhi oleh orangorang yang akan kembali kerumahnya untuk bertemu orang-orang terkasih setelah berjuang sepanjang hari demi mendapatkan sesuap nasi. Begitu pun Lira. Setiap hari Lina selalu melalui stasiun ini untuk menuju Depok tempat dia bekerja. Hampir tidak ada yang berbeda disetiap hari Lina berangkat dan pulang kerja. Orang-orang selalu memadat di stasiun Cawang dan Stasiun Depok. ***** Di bangku stasiun Lina melihat seorang wanita sedang duduk tertunduk menangis. ~ 130 ~
Awalnya dia tidak begitu peduli. Namun hati kecil Lina pun mengatakan kepada Lina untuk menghampiri
wanita
itu.
Dia
berupaya
menenangkan wanita itu. Rupaya wanita itu menangis setelah mendapatkan kabar dari mantan kekasihnya bahwa
ia
harus
putus
dengan
mantan
kekasihnya karena mantan kekasihnya lebih memilih perempuan lain. Wanita itu sangat menyayangi lelaki itu namun apa daya kini wanita itu yang harus tersakiti oleh rasa cintanya. Lina lalu berupaya meredakan tangis wanita itu. Dia mengelus pundak wanita itu sambil menyemangati wanita itu untuk segera berhenti menangis. Dia mengajak wanita itu menuju kafetaria dekat stasiun untuk berbincang-bincang.
~ 131 ~
Rupanya kisah wanita itu sama dengan kisah yang dialami oleh Lina. “Aku juga sama dengan mbak. Aku dulu punya seseorang lelaki yang sangat aku sayangi. Dia menerimaku apa adanya dan aku pun menerima dia dengan adanya dia saat itu. Kami selalu
menghabiskan
waktu
bersama.
Dia
mengantar dan menjemputku bekerja setiap hari.
Dia
selalu
perhatian
kepadaku,
menanyakan gimana pekerjaanku, apakah aku sehat-sehat saja, apakah aku bahagia. Caranya memperlakukanku
sebagai
seorang
wanita
sangat menyentuh hatiku. Aku kira dia akan menjadi pendamping hidupku di dunia ini. Ternyata salah! Dia mendapatkan
meninggalkanku perempuan
yang
setelah
dia
lebih
baik
dariku. Aku hancur saat itu. Untuk menahannya pun aku tidak kuat. Aku menangis berhari-hari meratapi diriku yang malang saat itu. Sampai ~ 132 ~
akhirnya
aku
bisa
bangkit
lagi
dari
keterpurukanku dan menjalani hidupku yang baru dengan semangat. Hingga akhirnya aku menemukan cinta sejatiku, yaitu suamiku. Lelaki yang tidak sempurna namun bagiku dia yang terbaik
yang
Tuhan
titipkan
sebagai
pendampingku di dunia ini. Aku harap mbak bisa bangkit secepatnya dari kesedihan ini. Memang begitu mudah katakata bangkit dari keterpurukan keluar dari mulut dibanding dengan kenyataan. Tapi, mau sampai kapan harus seperti ini. Hidup harus jalan terus dan kita tidak boleh berdiam. Perlahan namun pasti aku yakin mbak akan menemukan yang lebih baik. Bila aku bisa melakukannya
tentu
mbak
juga
bisa
melakukannya.” Tak terasa 2 jam telah terlewati dengan perbincangan tentang perasaan antara Lina dan wanita itu. Lina belum juga sampai di rumah. ~ 133 ~
Biasanya jam 6 sore paling lambat Lina sudah sampai di rumah. Dan sekarang sudah pukul 18.30 petang. “Halo, sayang. Kamu dimana? Jam segini kok belum sampe rumah?” Tanya suami Lina yang menelpon karena khawatir. “Sayang, maaf. Aku singgah di kafe dekat stasiun.
Jemput
aku
ya
mas?
Mas
liat
kafenyakan?” “Oke. oke. Mas liat kok. Kamu tunggu di situ ya?” “Baik mas.” Suami Lina segera menjemput Lina di kafe itu. “Mbak, mau kemana?” Tanya Lina. “Saya langsung pulang mbak. Kejadian tadi membuatku harus menunda waktu pulang.” “Oh. Kalau gitu, mbak ikut saya aja. Suami saya jemput saya dan sedang dalam ~ 134 ~
perjalanan kemari. Maksudnya, sekalian aja biar hemat uang transport mbak.” Ajak Lina. “Aduh mbak. Saya jadi tidak enak.” “Ahh. Gak apa-apa kok mbak.” 15 menit kemudian mobil suami Lina pun tiba. Lina dan wanita itu segera masuk ke dalam mobil. “Malam mas. Maaf aku telat pulang aku tadi singgah dulu dengan mbak ini. Ayok masuk mbak.” “Oh, oke mbak.” Jawab wanita itu. “Oalah, harusnya kamu nelpon dulu dong sayang biar aku gak khawatir. Kamu lagi hamil loh sayang.” Ujar suami Lina. “Maaf ya mas sudah khawatirin aku. Ohiya antar mbak ini dulu ya mas.” “Oke baik.”
~ 135 ~
Suami Lina pun segera berangkat dan mengantar wanita itu ke alamat rumahnya yang sudah dia beritahu ke suami Lina terlebih dahulu. ***** Sepanjang perjalanan setelah mengantar wanita itu, Lina tidak berkata sepatah kata apapun. Dia terus mengingat cerita wanita tadi. Dia
teringat
dengan
kisah
cintanya
yang
menyedihkan dulu. Yang sempat membuat dirinya benar-benar merasa terbuang dan tidak memiliki hasrat hidup lagi. Kenangan pahit itu kembali muncul dalam ingatan Lina setelah kejadian sore itu. Dia tidak
menyadari
air
matanya
menetes
membasahi kedua pipi Lina. Suami Lina pun melihat Lina menangis, “Sayang, kamu kenapa nangis?” “Ah gak kok sayang.” ~ 136 ~
“Kamu kepikiran wanita tadi?” Tanya suami Lina penasaran. “Mas, cerita wanita tadi sangat mirip dengan masa laluku, mas. Tapi kehadiran mas dalam hidupku sudah membuatku bangkit lagi dan akhirnya kita dapat saling
menerima
satu
sama
lain
dan
memutuskan untuk menjadi suami istri dan sebentar lagi akan menjadi ayah dan ibu untuk anak kita ini.” “Sayang, kita tidak boleh melupakan masa lalu meskipun itu sangat pahit. Karena dari masa lalulah kita belajar untuk hidup semakin lebih baik. Berdamailah dengan masa lalumu. Karena dialah yang sudah membuat kamu menjadi seperti sekarang. Istriku dan calon ibu untuk anak-anakku kelak yang sangat aku cintai dan sayangi.” Kejadian hari itu membuat Lina semakin membuat Lina dapat berdamai dengan hatinya ~ 137 ~
untuk masa lalunya. Tidak ada lagi kesedihan lama yang melanda hati Lina. Dia sadar, menghargai masa lalu adalah salah satu cara untuk melangkahkan hidup menjadi lebih baik kedepan.
~ 138 ~
Menghargai masa lalu adalah salah satu cara untuk melangkahkan hidup menjadi lebih baik kedepan.
Hancur Sudah ~ 139 ~
“Kau sudah bosan denganku? Katakanlah! Aku tidak akan memaksamu bila kau ingin pergi,” kataku. Dia berubah. Dia bukan dia yang dulu ku kenal. Dari matanya sepertinya ada yang sesuatu yang
tersembunyi.
Namun
dia
tidak
mengungkapkannya. “Apakah aku masih ada di situ?” Aku menunjuk ke dadanya. Namun dia tidak berucap sepatah kata apapun. “Dira, aku tidak tahu apa yang ku rasakan sekarang. Semakin hari perasaanku kepadamu semakin memudar. Namun disisi lain aku tidak rela melepasmu.” “Oke. Aku sudah cukup menahan sakit hati
ini.
Aku
tidak
mau
menambah
penderitaanku. Harusnya aku tidak membiarkan hatiku terus tersiksa seperti ini dari dulu. Sayangku kepadamu sudah membutakan hatiku. Namun kini, aku akan pergi. Pergi dari hidupmu ~ 140 ~
dan tidak akan pernah lagi menemuimu. Terima kasih untuk hari-hari kemarin.” Aku mengambil tasku dan segera pergi meninggalkan dia. ***** Jangan harap kau dapat menemukan namanya dalam kisahku ini. Aku tidak ingin menyebut
namanya
lagi.
Cukup
perih
perasaanku atas sikapnya. Dia sudah tidak menganggap aku ada lagi. Kalian cukup mengenal namaku saja, Dira. Wanita malang yang tersakiti cintanya. Apakah
aku
terlalu
bodoh
untuk
mempertahankan hubungan ini selama 2 tahun tanpa ada balas sayang dari dia? Mungkin benar kata orang, perempuan itu lembut hatinya. Jadi bisa dengan mudah untuk lelaki dapat menyakitinya. Tapi ketahuilah bahwa perempuan tidak akan rela melepaskan cintanya
begitu mudah bila dia sudah sangat ~ 141 ~
menyayangi lelakinya. Karena terkadang rasa sayang mereka membutakan akal sehat mereka. ***** Sudah
sewindu
meninggalkannya,
aku
semenjak benar-benar
mendengar
kabar
tentangnya
jangankan
bertemu,
untuk
lagi.
aku tidak Jadi
berkomunikasi
dengan dia pun sudah tak pernah lagi. Aku sudah
memblokir
namanya
dan
teman-
temannya dari media sosialku. Aku ingin memulai hidupku yang baru lagi meski luka ini tetap membekas. Aku yakin keputusanku untuk pindah keluar kota adalah keputusan yang tepat untuk aku dan hatiku. Aku juga yakin di kota ini dia tidak akan bisa menemuiku lagi. Terlalu percaya diri bila aku mengatakan dia akan mencariku dan memintaku kembali. Namun kenyataannya,
seperti itulah
kebanyakan. Ya meskipun tidak semua. ~ 142 ~
lelaki
Semua pemberiannya termasuk tas yang dulu menjadi tas kesayanganku, kini sudah ku tinggalkan di apartemen lamaku. Aku sengaja meninggalkannya di sana. Karena bila aku membawanya bersamaku, yang ada aku selalu mengingatnya
lewat
barang-barang
pemberiannya
kepadaku.
Aku tidak peduli
dengan pemberianku kepadanya. Entah dia sudah
membuangnya
atau
dia
masih
menyimpannya untuk tetap mengingatku. Aku
tidak
dapat
mengukur
betapa
sakitnya hatiku. Ibarat sebuah kendi yang telah dibentuk menjadi sangat indah namun dia senggol dengan sengaja dan jatuh ke lantai menjadi puing-puing yang sudah tidak bisa direkatkan lagi. Yang tetap meninggalkan bekas patahan walau telah berusaha memperbaikinya menjadi seperti semula. Kini biarkan aku menjalani hidupku yang baru.
Bila
ada
yang
mencariku
~ 143 ~
katakan
kepadanya bahwa tidak perlu menemuiku lagi. Cukup sekali luka ini dia beri padaku. Karena luka ini tetap akan membekas. Dan untuk kalian yang sudah mau mendengar tentang sakit hatiku, terima kasih. Aku
tidak
mengasihaniku.
menuntut Aku
hanya
kalian sekedar
untuk ingin
bercerita. Cukup dengan bercerita aku sedikit lega. Ya meskipun tidak cukup untuk meredam sakit hatiku.
~ 144 ~
Karena terkadang rasa sayang membutakan akal sehat.
TENTANG PENULIS ~ 145 ~
EDWARD CHRISTIANTO MANGEDONG Dilahirkan pada 25 Mei 1998 di Tanah Grogot, sebuah kota kecil di Kalimantan Timur. Ini adalah buku pertamanya. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan sarjana kedokteran di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Selain menulis, ia juga hobby bermain musik dan aktif di media sosial instagram dengan nama : edward_christianto
~ 146 ~