Diperlukan Sikap Bijak Tatkala Mengajak Ber-Islam Saya pernah bertempat tinggal di kalangan orang kampung yang seumur hidup mereka belum pernah sholat secara tertib, sekalipun jika ditanya mereka mengaku beragama Islam. Kampung yang saya ceritakan ini, sebelumnya adalah merupakan basis kegiatan Wanita Tuna Susila atau WTS. Aktivitas perzinaan ini sudah sekian lama berjalan di kampung itu. Maksiat seperti ini, di manapun tidak pernah berjalan sendiri, selalu beiring kelindan dengan kegiatan dosa lainnya. Maksud saya, selain aktivitas perzinaan, juga telah sempurna dengan kegiatan tak sehat lain seperti kebiasaan judi, minum memabukkan, mencuri, dan serupa lainnya. Berbekal semangat berbuat yang terbaik untuk masyarakat, saya melakukan sesuatu yang saya pandang bisa memperbaiiki keadaan. Saya merasa tidak tahan membiarkan kegiatan yang saya anggap menyimpang dari nilai-nilai agama. Saya menganggap bahwa mereka melakukan kegiatan hidup seperti itu, hanya lantaran belum mengerti. Namun saya tahu bahwa mengubah keadaan masyarakat seperti itu tidak mudah. Mereka tidak akan sadar bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah salah dan harus dihindari. Langkah yang saya lakukan ketika itu adalah merintis pendirikan masjid. Saya menganggap masjid adalah instrumen yang paling tepat untuk dijadikan pusat pengembangan masyarakat. Kebetulan di daerah sekitar itu belum terdapat masjid atau tempat ibadah lainnya. Saya berpandangan setidak-tidaknya dengan adanya masjid orang akan merasa sungkan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keberadaan masjid. Kebetulan ide membangun tempat ibadah di tempat itu diterima oleh masyarakat. Momentum yang sangat menguntungkan ketika itu, bersamaan dengan memulai mengembangkan kegiatan keagamaan ini, muncul kebijakan pemerintah berupa menertibkan kegiatan prostitusi dengan cara memindahkan WTS liar ke lokalisasi khusus yang jauh dari kampung tersebut. Tetapi karena usia tradisi prostitusi di tempat itu sudah berjalan sekian lama, ----sekalipun WTS sudah tidak ada, kegiatan yang menyertainya, seperti kebiasaan judi, minum minuman keras, dan lain-lain, masih berlanjut. Saya ketika itu bertekat harus bisa mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik, dalam arti sekalipun pelan dan bertahap, suatu ketika di kampung ini harus ada nuansa kehidupan agama. Dalam proses upaya-upaya mengenalkan ajaran agama, saya menemukan fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat ini. Ternyata, sekalipun seseorang memiliki kegemaran berbuat tercela,-----berzina, berjudi, minuman keras, tokh mereka juga tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah dosa. Sehingga amat menarik, bahwsa mereka tidak ingin para anak-anaknya melakukan hal yang sama. Mereka ingin agar apa yang mereka lakukan tidak ditiru oleh anak-anak mereka. Mereka ingin agar anaknya kelak menjadi baik. Karena itu, tawaran saya mendirikan masjid dan mengajak mengaji anakanak, direspon dengan positif. Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan sesunguhnya tidak selayaknya dijalankan oleh siapapun, termasuk oleh dirinya dan juga oleh anak-anak mereka. Mereka juga tidak membenci kegiatan mengaji, asalkan tidak menyinggung perasaan dan juga tidak menganggu kegiatan mereka. Mereka juga paham bahwa pendidikan agama sesungguhnya adalah baik. Hanya, mereka juga menuntut agar para guru agama juga konsisten, artinya perilaku yang dikembangkan sehari-hari seiring dan sejalan apa yang mereka ajarkan sehari-hari.
Selanjutnya untuk membangun masjid di tempat itu, saya membentuk panitia pelaksana dengan melibatkan orang-orang muallaf. Pada setiap minggu, mereka saya ajak berkumpul untuk membicarakan pembangunan tempat ibadah tersebut, dengan mengambil tempat secara bergantian dari rumah ke rumah panitia. Kegiatan itu selain untuk mempererat silaturrahiem, juga dimaksudkan untuk mengevaluasi kegiatan, baik menyangkut pengumpulan dana maupun pelaksanaan pembangunan. Akhirnya tidak sampai setengah tahun masjid tersebut selesai dibangun. Memang ketika itu, untuk menghimpun dana tidak terlalu sulit. Banyak orang yang segera membantu, terutama orang luar kampung ini. Mungkin, kampung ini dikenal sebagai aneh, sebab semula dikenal sebagai daerah hitam, mendadak ada rencana membangun masjid. Setelah masjid selesai, maka segera diresmikan penggunaannya bersama-sama. Ketika itu, agar kegembiraannya terasa sempurna, para jama’ah baru diberikan kain sarung, kopyah dan baju taqwa dan demikian pula ibu-ibu dicarikan mukena. Hampir semua jama’ah, kecuali satu dua, masih belajaran sholat. Malahan masih banyak yang belum hafal bacaan sholat, bahkan membaca al Fatekhah sekalipun. Tetapi saya yakinkan bahwa sekalipun bacaan sholat belum sempurna tidak mengapa, hafal surat al Fatekhah sudah bagus. Dan kalau pun belum hafal, separo juga tidak mengapa, bahkan jika separo belum hafal membaca bismillah tidak mengapa. Tawaran saya ini disambut baik dan rupanya menggembirakan, paling tidak mereka tidak merasa terbebani. Hal aneh, dua hari sebelum pelaksanaan peresmian masjid,seorang anggota panitia pembangunan masjid datang ke rumah. Dengan menggunakan bahasa halus, sopan, dan hati-hati, dia minta ijin agar diperkenankan, -----sehari sebelum peresmian masjid, seperti biasa memasak daging babi. Dia mengatakan bahwa permintaan ini adalah untuk memenuhi keinginan anak-anaknya. Dia berdalih, tokh sholatnya masih akan dimulai pada besuk hari Kamis sore bersamaan peresmian masjid. Dia minta ijin makan daging babi untuk kali terakhir, yakni hari Rabu, sehari sebelum peresmian masjid. Menghadapi permintaan itu, saya secara spontan saya menjawab, boleh, dan silahkan. Asalkan hari Kamis pagi harus mandi kramas---mandi besar, dan selanjutnya sore harinya mengikuti sholat berjama’ah di masjid dan mulai hari itu juga kegiatan mengkonsumsi daging babi harus berhenti. Dia sepakat, dan ternyata sejak itu sekeluarga mulai belajar sholat dan doa-doa lainnya, hingga akhirnya keluarga itu menjadi santri, aktif berjama’ah di masjid baru. Ketika memberi respon permintaan ijin orang mau masak daging babi itu, saya tidak menggunakan pedoman fiqh. Bagi saya, mereka itu jangan sampai tersinggung perasaannya. Mereka harus memiliki kepercayaan dan menyenangi ajaran Islam secara sungguh-sungguh. Saya yakin jika permintaan itu ditolak, apalagi saya tunjukkan kemarahan saya, dia akan segera meninggalkan dan bahkan akan memusuhi kegiatan ibadah yang baru saja saya rintis. Inilah saya katakan “bijak” ternyata suatu saat sangat diperlukan, melebihi pertimbangan lainnya. Sudah barang tentu, toleransi seperti ini tidak tepat berikan misalnya, jika yang meminta adalah orang yang bukan muallaf, apalagi mahasiswa perguruan tinggi Islam yang sudah mengenal banyak tentang Islam. Lewat tulisan ini saya hanya ingin mengatakan, Islam agama yang benar dan indah ini harus diperkenalkan secara terus menerus tanpa henti, dan melalui cara-cara yang lembut dan bijak, bukan dengan kekerasan. Wallohu a’lam.
Ilmu dan Kearifan Orang seringkali terlalu fanatik pada ilmunya. Ia mengira bahwa ilmu dapat digunakan menyelesaikan semua persoalan. Pandangan itu didasarkan pada alasan bahwa karena ilmu diperoleh dengan cara obyektif, rasional, terbuka, dan dapat diuji oleh siapapun. Pandangan yang bukan diperoleh dengan cara itu dianggap sepele dan karena itu harus ditolak. Benarkah pandangan itu ? Jika kita menengok Qur’an, ternyata di atas ilmu masih ada lagi yang lebih tinggi, yaitu hikmah. Jika dibahasakan secara sederhana, hikmah adalah kearifan. Disebut sebagai orang arif, jika dia bisa mengimplementasikan ilmunya itu secara tepat. Kearifan tidak semua orang memilikinya. Dan ternyata, kearifan tidak selalu dimonopoli oleh orang berpendidikan tinggi saja. Orang arif dan bijak bisa dimiliki oleh kalangan manapun. Untuk memahami tentang kearifan ini, ada baiknya dikemukakan cerita sederhana berikut ini. Seorang raja yang kebetulan hanya memiliki mata satu, sedang mata satunya lagi sejak kecil cacat, menghendaki dirinya dilukis. Sebagai seorang raja ia ingin agar lukisan tentang dirinya, dipasang di berbagai tempat yang dianggap penting. Maka, dipanggilah pelukis untuk melukisnya. Setelah selesai lukisan itu, diserahkanlah kepada sang raja. Tanpa diduga raja sangat marah melihat dirinya dilukis secara tepat, yakni matanya dikelihatkan tidak sempurna. Pelukis itu dimarahi dan akhirnya bahkan dihukum. Masih belum berhasil mendapatkan lukisan yang menyenangkan, dipanggilah pelukis lainnya. Pelukis kedua ini tahu kalau pelukis pertama, dengan sikap obyektif, dihukum maka ia mencoba melukis raja dengan wajah sempurna. Sekalipun matanya yang satu tidak sempurna, dilukis seolah-olah kedua matanya dalam keadaan sempurna. Selesai lukisan itu dibuat maka diserahkanlah lukisan itu, dan ternyata raja juga marah. Pelukis kedua ini dianggap menghinanya karena melukis yang tidak senyatanya. Pelukis kedua inipun akhirnya dipenjarakan. Raja masih tetap berkeinginan dirinya dilukis secara tepat. Maka, dihadirkanlah pelukis ketiga. Pelukis ini tahu bahwa sudah ada dua korban untuk memenuhi keinginan raja tersebut. Baik pelukis obyektif, yakni melukis apa adanya mapun pelukis subyektif, yakni pelukis yang mengubah gambar wajah yang tidak sempurna menjadi sesempurna mungkin, ternyata keduanya dianggap salah dan dihukum. Pelukis ketiga tidak ingin menjadi kurban berikutnya. Dia tahu bahwa sang raja memiliki kegemaran menembak. Maka sebelum melukisnya, ia bawakan sebuah senapan yang paling modern, yang belum pernah disentuh oleh tangan sang raja itu. Maka, diserahkankanlah senapan itu kepada sang raja, dan dengan cara yang sopan, pelukis memohon agar sang raja berkenan mencoba menggunakan alat berburu yang menjadi hobinya itu. Raja pun mau mencobanya. Tentu siapapun yang mencoba menggunakan senapan, tidak terkecuali raja, tatkala sedang mengintai sasaran dengan menggunakan senapan, pasti menggunakan mata satu. Tatkala raja sedang mencoba untuk membidik sasaran tembak itulah oleh pelukis ketiga, penguasa negeri bermata satu itu dilukis. Akhirnya melihat hasil lukisan itu raja sangat bahagia, ia dilukis dalam keadaan sedang melakukan peran kegemerannya, yakni sedang menembak. Selain itu, dengan posisi itu raja tidak akan kelihatan bahwasanya ia bermata satu. Lukisan itu sangat pantas dipasang di mana saja, bahkan dengan posisi menembak, sang raja tampak dirinya dalam keadaan sempurna. Melalui gambaran dari cerita ini, hal yang bersifat obyektif ternyata dalam kehidupan
sosial, justru tidak tepat digunakan. Sebaliknya, tidak juga berarti harus memilih yang bertolak belakang, yakni yang bersifat subyektif. Dalam kehidupan sosial, banyak hal yang menuntut agar pilihan-pilihan itu didasarkan pada kearifan. Wawasan ilmu yang luas, seringkali belum cukup jika tidak disepurnakan dengan kearifan. Maka, setiap pemimpin selain dituntut cerdas dan menyandang ilmu yang luas, juga harus arif dan bijak. Wallahu maha tahu