A. Asal-usul dinasti fatimiyah Dinasti fatimiyah mengambil nama dari Fatima binti Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib sebagai menantunya. Berdirinya dinasti ini mulai dari sebuah gerakan di afrika utara yang mencapai kekuasaan di bawah pimpinan ubaidillah al-mahdi yang berakar pada sekte syi’ah isma’iliyah yang doktrin-doktrin nya berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial serta para pengikutnya yang mengharapkan lahirnya almahdi. Berdirinya dinasti fathimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10 pada saat kekuasaan dinasti abbasiyah di baghdad mulai melemah dan kekuasaanya yang luas tidak terkoordinasi lagi dengan baik. Keadaan ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi abbasiyah yang lemah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok yang selama ini merasa tertindas serta membuka kesempatan bagi kelompok syi’ah, khawarij, dan kaum mawali untuk melakukan kegiatan politik. Kelompok syi’ah isma’iliyah mengonsolidasikan gerakannya di afrika utara, dan pada tahun 909, ubaidillah al-mahdi berhasil memproklamasikan berdirinya khalifah fathimiyah yang terlepas dari kekuasaan abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mengonsolidasikan kekhalifannya di tunisia dengan bantuan abdullah asy-syi’i, yaitu seorang yang penganut isma’iliyah yang sanagt berperan dalam mendirikan daulah fathimiyah di tunis. Waktu itu muncul pula penolakan dan perlawanan dari kelompok-kelompok pendukung abbasiyah, kelompok yang berhubungan dengan dinasti umayyah di andalusia maupun kelompok khawarij dan barbar, terhadap munculnya dinasti fathimiyah ini. Sesudah basis kekuasaan khilafah fathimiyah di tunis ini kuat, maka khilafah fathimiyah di bawah pimpinan al-mu’iz (khalifah keempat) dengan panglimanya jauhar al-katib al-siqili dapat menguasai mesir pada tahun 969, ia mendirikan kota baru yang disebut al-qahirah (kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian mejadikannya sebagai ibukota khilafah fathimiyah pada masa-masa selanjutnya. Pada periode mesir ini, dinasti fathimiyah mencapai puncaknya, terutama pada masa kepemimpinan al-mu’iz, al-aziz, dan al-hakim. Puncaknya adalah pada masa al-aziz. Istananya dapat menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan dapat terjamin dengan baik. Selain itu, dinasti ini juga
berhasil membangun perekonomian, baik sektor pertanian, perdagangan, maupun industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu. Tidak hanya itu, dalam bidang kebudayaan pun dinasti ini juga mencapai kemajuan yang cukup pesat, terutama setelah didirikannya masjid al-azhar yang sekarang dikenal dengan jami’ah al-azhar (universitas al-azhar) yang berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, masjid al-azhar juga telah di manfaatlan dengan baik oleh kelompok syi’ah dan sunni. Kemajuan dinasti fathimiyah ini antara lain karen didukung oleh militernya yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu pengetahuannya yang berkembang, dan ekonominya yang stabil. Namun dalam bidang politik dalam dan luar negeri, tampaknya dinasti ini kurang berhasil. Dinasti ini misalnya kurang berhasil menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang lebih dahulu mapan di mesir. Kemudian setelah berakhirnya masa pemerintahan al-aziz, pamor dinasti fathimiyah menurun karena banyak khalifahnya yang diangkat pada usia yang masih sangat muda belia, sehingga disamping mereka hanya menjadi boneka para wazir (menteri) juga timbul konflik kepentingan dikalangan pejabat istana dan dikalangan militer antara unsur barbar, turki, bani hamdan, dan sudan. Terlebih-lebih lagi, ketika para penguasa itu selalu gemar dengan kehidupan yang mewah, pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni. Dalam keadaan khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara para pejabat dan militer serta ketidak puasan rakyat atas kebijakan pemerintah, maka muncul bayang-bayang serbuan tentara salib. Merasa tidak sanggup menghadapi tentara salib, maka khalifah al-zahir melalui wazir nya ibn salar minta bantuan pada nuruddin al-zanki, penguasa suriah di bawah kekuasaan baghdad. Nuruddin al-zanki kemudian mengirim pasukan nya ke mesir di bawah panglima syirkuh dan shalahuddin al-ayyubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke mesir. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi persaingan perebutan kekuasaan dalam tubuh dinasti fathimiyah, terutama untuk jabatan wazir, dalam persaingan ini bahkan ada yang mengundang kembali tentara-tentara perancis (salib) untuk dijadikan backing. Dalam keadaan demikian, maka pada tahun 1167 pasukan nurudding alzanki kembali memasuki mesir dibawah pimpinan syirkuh dan shalahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga menguasai mesir. Dari pada mesir dikuasai tentara salib lebih baik mereka sendiri
yang menguasainya. Apalagi perdana menteri mesir pada waktu itu, syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka mengalahkan tentara salib sekaligus juga menguasai mesir. Semenjak itu kedudukan salahuddin di mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas sunni. Kesempatan ini, yang juga bertepatan dengan sakitnya al-adil, oleh nuruddin digunakan untuk menghidupkan kembali khilafah abbasiyah di mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat dinasti fathimiyah di mesir yang telah bertahan selama 262 tahun. B. Lembaga-lembaga pendidikan pada masa dinasti fathimiyah Perkembangan kebudayaan islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini disebabkan berkembanganya penerjemah dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing seperti bahasa yunani, persia, dan india ke dalam bahasa arab yang banyak mendorong para wazir, sultan, dan umara’ untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan sastra. Diantara lembaga-lembaga pendidkan pada masa dinasti fathimiyah antara lain : 1. Masjid dan istana Diceritakan salah seorang wazir dinasti ini ya’qub bin yusuf ibn killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni, sehingga setiap hari kamis, ia selalu membacakan karangannya di depan masyarakat. Perkumpulan ini dihadiri oleh para hakim, fuqaha, ahli qira’at dan nahwu serta tokoh hadits. Setelah ia selesai membacakan karangannya maka para ahli syair akan memujinya dengan pantun dan lagu. Pada masa dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fikih khususnya ulama yang menganut mazhab syi’ah isma’iliyah juga para wazir dan hakim. Mereka berkumpul membuat buku tentang mazhab syi’ah isma’iliyah yang akan diajarkan kepada masyarakat. Diantara tokoh yang membuat buku itu antara lain ya’qub ibn killis. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran mazhab syi’ah tesebut. Dengan demikian tampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi sarana bagi penyebaran ideologi mereka. Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pengembangan intelektual dalam hal ini madrasah pada masa klasik tidak hanya dijadikam sebagai sarana penyebaran satu mazhab saja sebagaimana dilakukan pada Dinasti Fathimiyah juga Abbasiyah pada masa Nizham al-Mulk.
Madrasah Al-Mustanshiriyyah pada masa Khalifah Al-Mustanshir dari Dinasti Abbasiyah, madrasah dijadikan sarana penyebaran bagi empat mazhab karenanya ia memberikan empat ruang untuk masing-masing mazhab dengan fasilitas dan dukungan yang sama. Dukungan fasilitas terhadap sekolah-sekolah ini adalah lepas dari persaingan antar mazhab karena semakin meningkatnya jumlah sekolah akan semakin besar sokongan dan dukungan dana bagi fasilitas madrasah, berikut sekolah tinggi mazhab Syia’ah dan Sunni di Islam Timur (Merebak kira-kira 1050 sampai 1250) Sesungguhnya madrasah sebagai media pengembangan intelektualitas umat didirikan tidak sekedar untuk memenuhi faktor pendidikan dan agama lebih dari itu terdapat juga motif politik dan sosial 2. Perpustakaan Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan masjid dalam penyebaran akidah syi’ah isma’iliyah di masyarakat. Untuk para khalifah dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan terbesar yang dimiliki dinasti fathimiyah ini diberi nama “dar al ‘ulum” yang masih memiliki keterkaitan dengan perpustakaan “baitul hikmah”. (perpustakaan dinasti abbasiyah). Perpustakaan ini didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah fathimiyah al-aziz (975-996 M). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-qur’an berhiaskan emas dan perak dan disimpan diruang terpisah. 3. Dar al-‘ilm Pada bulan jumadil akhir tahun 395 H/1005 M atas saran perdana menterinya ya’qub bin killis, khalifah al-Hakim mendirikan jamiah ilmiyah akademi (lembaga riset) seperti akademi-akademi lain yang ada di baghdad dan di belahan dunia lain. Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al-hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-‘ilm (rumah ilmu).Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim menyuntikkan dana besar yang 257 dinar diantaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan lainnya. Disinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Pada hari kedelapan saat jumadil tsani 309 H, bangunan yang disebut rumah keijaksanaan (baitul hikmah) telah dibuka.Gedung ini dibangun Para pelajar
dapat mengambil tempat mereka. Buku-buku dipinjam dari perpustakaanperpustakaan di istana yang dijaga, tempat tinggal khalifah fatimiyah dan masyarakat pun diizinkan memasukinya. Siapapun bebas menyalin beberapa buku yang diinginkan, atau siapapun yang ingin membaca buku tertentu dapat dilakukan di perpustakaan itu. Di perpustakaan ini para pelajar dapat mempelajari fikih syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falak, kedokteran, matematika, falsafah, serta mantik. Para cendekiawan belajar al-qur’an, astronom, tata bahasa, leksiko-grafi dan ilmu kedokteran. Gedung tersebut juga diperindah dengan karpet, dan pada semua pintu dan koridor terdapat tirai. Untuk perawatannya ditugakan manager, pelayan, penjaga, dan pekerja kasar lainnya. Al-hakim memberikan hak masuk bagi setiap orang tanpa perbedaan tingkat, siapa yang ingin membaca dan menyalin buku. Pada tahun 403 H khalifah al-hakim mulai mengadakan majelis ilmu rutin yang dihadiri oleh para ahli kesehatan, mantik, fikih, kedokteran dan bersama-sama mengkaji berbagai masalah. Demikianlah al-hakim sebagai khalifah terpelajar memfasilitasi segala yang berhubungan dengan perkembangan intlektual pada masa pemerintahannya. C. Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Fathimiyah 1. Bahasa dan Sastra Di antara ulama yang terkenal pada masa ini adalah Abu Thoir An-Nahwi, Abu Ya’qub Yusuf bin Ya’qub, Abu Hasan Ali bin Ibrahim yang telah mengarang beberapa buku sastra dan belum sempat diterjemahkan bukunya tersebut oleh Ibn Khalikan. Ia memiliki perpustakaan yang sangat luas berisi karya-karyanya 2. Kedokteran Dinasti Fathimiyah memberikan perhatian besar pada keahlian kedokteran. Dinasti ini menempatkan posisi dokter ditempat yang tinggi dengan memberikan penghargaan berupa uang dan kedudukan yang terhormat. Selain penguasaannya terhadap ilmu kedokteran para dokter ini menguasai pula ilmu filsafat serta bahasa asing khususnya bahasa Suryani dan Yunani. Di antara dokter itu adalah : Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Said An-Namimi. Tokoh kedokteran lain yang terkenal adalah Musa bin al-Azzar, Abu Hasan Ali al-Ridwan. Selain terdapat banyak ilmu yang berkembang pada masa ini seperti matematika, Ilmu falak, Sejarah dan lain-lain. 3. Syair
Para penyair pada masa ini melakukan pujian-pujian terhadap khalifah dengan menghina syair-syair ahli Sunnah, dengan pekerjaan ini mereka banyak mendapat banyak imbalan dari Khalifah diantara penyair adalah Ibnu Hani’. Para penyair ini bersama para khalifah mencoba menyebarkan dotrin Syi’ah Ismailiyah melalui pantun dan syair.Khalifah al-Mu’idz melalui Ja’far dan Yahya bin Ali bin Ahmad bin Hamdan al-Andalusi mengantarnya menjadi penyair istana. 4. Filsafat Tokoh filsafat yang terkenal pada masa Dinasti Fathimiyah ini adalah yang disebut dengan Ikhwan al-Shafa. Sementara itu filsuf yang terkenal pada masa ini adalah : Abu Hatim al-Razi (322 H) yang menjadi tokoh pada masa khalifah Ubaidillah al-Mahdi merupakan orang yang dalam bidang sastra, filsafat. Ia merupakan tokoh propagandis di wilayah Rayy. Pengaruh propagandanya sangat besar yang dilakukannya di madrasah-madrasah yang dibangun oleh Ubaidillah alMahdi yang berada di Afrika Utara.