Debit Metode Rasional

  • Uploaded by: Rezki Arham AR
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Debit Metode Rasional as PDF for free.

More details

  • Words: 5,089
  • Pages: 24
METODE RASIONAL Oleh: Muh. Ansar, SP., M.Si.

PENDAHULUAN Latar Belakang Luas hutan yang ideal untuk menunjang keseimbangan ekosistem seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Dengan luasan tersebut diharapkan sebagian curah hujan yang turun pada musim hujan dapat disimpan dalam lapisan tanah, dan dialirkan sebagai aliran dasar (base flow) pada musim kemarau. Fluktuasi debit sungai pada sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia cenderung meningkat, yaitu relatif besar pada musim hujan (seringkali menyebabkan banjir) dan relatif kecil pada musim kemarau (seringkali menyebabkan kekeringan).

Kondisi ini memberikan gambaran tentang telah

terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun. Perubahan tata guna lahan daerah aliran sungai (DAS) memberikan pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir. Fenomena tersebut juga terjadi di Sub DAS Kertek yang merupakan bagian wilayah DAS hulu yang berada di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah.

Kawasan Sub DAS Kertek

merupakan daerah tangkapan air hujan (catchments area) bagi sungai Kertek yang mempunyai peranan strategis sebagai penyumbang aliran air (aliran bawah dan aliran permukaan). sehingga keberadaannya sebagai kawasan resapan air menjadi sangat diperhatikan. Namun saat ini kondisi Sub DAS Kertek yang berada di kawasan hulu telah mengalami perubahan tata guna lahan dari kawasan non terbangun (hutan) menjadi kawasan terbangun (pertanian dan pemukiman). Hal ini berakibat air hujan yang jatuh di kawasan Sub DAS Kertek tidak banyak lagi yang dapat meresap kedalam tanah melainkan lebih banyak melimpas (run-off) sehingga meningkatkan debit banjir di sungai Kertek terutama di hilir sungai. Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi menjadi kawasan terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Banjir adalah aliran/genangan air yang

1

menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 2004).

Aliran/genangan air ini dapat

terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi 1987).

Hal

tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampang sungai, maka akan meyebabkan banjir. Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim hujan) dan debit minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas suatu daerah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian dapat dialirkan pada musim kemarau. Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang bersangkutan. Semakin curam hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Debit limpasan menyebabkan banjir pada musim hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai pada musim kemarau. Peningkatan debit banjir juga dapat berdampak pada kegagalan bangunan pengendali banjir, seperti waduk, bendung, tanggul, dan saluran drainase.

Hal ini disebabkan karena

bangunan pengendali banjir tidak mampu menahan beban gaya akibat debit banjir yang telah mengalami peningkatan akibat perubahan tata guna lahan. Tujuan Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji salah satu metode prediksi debit aliran permukaan, yaitu metode rasional yang diterapkan untuk memprediksi aliran permukaan yang terjadi pada Sub DAS Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.

2

METODOLOGI Metode Rasional Menurut Wanielista (1990) metode Rasional adalah salah satu dari metode tertua dan awalnya digunakan hanya untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Ide yang melatarbelakangi metode Rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi (Tc). Waktu konsentrasi Tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai run off coefficient (C) dengan (0 ≤ C ≤ 1) (Chow 1988). Hal di atas diekspresikan dalam formula Rasional sebagai berikut ini (Chow, 1988) : Q = 0,277 C I A ……………………………… (1) Keterangan : Q C I A

: debit puncak (m3/dtk) : koefisien run off, tergantung pada karakteristik DAS (tak berdimensi) : intensitas curah hujan, untuk durasi hujan (D) sama dengan waktu konsentrasi (Tc) (mm/jam) : luas DAS (km2)

Konstanta 0,277 adalah faktor konversi debit puncak ke satuan (m3/dtk) (Seyhan, 1990). Beberapa asumsi dasar untuk menggunakan formula Rasional adalah sebagai berikut (Wanielista 1990) : a.

Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.

b.

Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan intensitas yang tetap, sama dengan waktu konsentrasi.

c.

Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan.

d.

Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.

3

Koefisien Limpasan (runoff coeffisien) (C) Dalam penghitungan debit banjir menggunakan Metode Rasional diperlukan data koefisien limpasan (runoff coeffisien).

Koefisien limpasan adalah rasio

jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, dimana nilainya tergantung pada tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan. Pada daerah aliran sungai (DAS) berhutan dengan tekstur tanah liat berpasir, nilai koefisien limpasan berkisar antara 0,10 – 0,30. Pada lahan pertanian dengan tekstur tanah yang sama, nilai koefisien limpasan adalah 0,30 – 0,50. Dalam tulisan ini data koefisien limpasan disesuaikan dengan kondisi lapangan seperti pada Lampiran Tabel 1, 2, dan 3. Intensitas hujan (I) Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi (Loebis 1992). Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit. Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura (Suyono dan Takeda 1993). Intensitas hujan adalah volume rata-rata curah hujan yang terjadi selamasatu unit waktu (mm/jam). Intensitas hujan juga bisa diekspresikan sebagai

4

intensitas sesaat atau intensitas rata-rata selama kejadian hujan. Intensitas rata-rata curah hujan secara umum dirumuskan sebagai berikut : i=

P Td

………………………………………… (2)

Keterangan : i = intensitas hujan (mm/jam) P = jumlah hujan (mm) Td = lama hujan (jam) Pada tulisan ini digunakan data hujan dari alat pencatat hujan otomatis yang terpasang pada alat pencatat tinggi muka air (Automatic Water Level Recorder (AWLR)) yang terpasang di outlet DAS Kertek. Waktu konsentrasi (Tc) dapat dihitung berdasarkan persamaan Kirpich, 1940 dalam Chow, et. al, 1988 sebagai berikut. Tc = 3,97*L0.77*S-0.385 …………….…………….. (3) Keterangan : Tc L S

= waktu konsentrasi (jam); = panjang sungai (km); = landai sungai (m/m). Luas DAS (A)

Wilayah Sub DAS Kertek ditentukan berdasarkan batas-batas tangkapan hujan dalam peta topografi skala 1 : 50.000. Batas dari DAS ditentukan dengan melihat garis batas DAS dan berdasarkan garis ketinggian dan arah aliran air. Luas DAS dihitung melalui analisis SIG (sistem informasi geografis) dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3.

5

ANALISIS DATA Analisis Koefisien Limpasan (runoff coeffisien) Penggunaan lahan di Sub DAS Kertek disajikan pada Tabel 1. Sementara itu peta kenampakan relief dan penggunaan lahan Sub DAS Kertek disajikan pada Gambar 1 dan 2. Tabel 1. Penggunaan Lahan Di DAS Kertek No.

Penggunaan Lahan

Luas m2

%

1.

Tembakau/Jagung

308.000

85,2

2.

Teh

47.500

13,1

3.

Jalan

6.200

1,7

361.700

100,0

Total Perhitungan

koefisien

aliran

permukaan

dilakukan

dengan

memperhitungkan proporsi luas penggunaan lahan, kelerengan dan periode ulang serat jenis tanah. Diperkirakan untuk wilayah Sub DAS Kertek, kelerengan untuk pertanian dibagi menjadi dua bagian yaitu curam dan sedang dan jenis tanah di lokasi tersebut adalah liat dan lempung berdebu. Perhitungan koefisien aliran permukaan adalah sebagai berikut : C DAS

= (%wilayah L. curam x ((C pertanian + C jenis tanah)/2)) + (%wilayah L. sedang x ((C pertanian + C jenis tanah)/2)) + (%wilayah jalan x C jalan)

Untuk T = 2 tahun C DAS

= (50% x ((0.39+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.35+0.60)/2)) + (1.7% x 0.73) = 0.51

Untuk T = 5 tahun C DAS

= (50% x ((0.42+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.38+0.60)/2)) + (1.7% x 0.77) = 0.53

6

Gambar 1. Kenampakan Relief Sub DAS Kertek

Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan Di Sub DAS Kertek

7

Analisis Curah Hujan Jumlah hujan di Sub DAS Kertek berkisar antara 2000 - 3000 mm pertahun, dengan bulan - bulan kering terjadi sekitar 6 bulan yaitu dari Mei - Oktober. Pola umum curah hujan bulanan di Sub DAS Kertek disajikan pada Gambar 3. Sedangkan Grafik kurva IDF, disajikan pada Gambar 4. 600 500 CH (mm)

400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des bulan

Gambar 3. Distribusi hujan bulanan di DAS Kertek (data tahun 2002)

80

70

60

(mm/jam)

Gambar 4. Kurva IDF Untuk Data Hujan Di AWLR DAS Kertek

50 8

Data hujan didapatkan dari alat pencatat hujan otomatis yang merekam data intensitas hujan 6-menitan selama 6 tahun, yaitu dari tahun 2000-2005. Data intensitas hujan 6-menitan tersebut dikonversi menjadi data intensitas hujan jamjam-an untuk membuat kurva IDF. Untuk keperluan perhitungan debit puncak dengan menggunakan metode rasional, digunakan data intensitas hujan pada saat terjadinya Tc. Perhitungan periode ulang (T) intensitas hujan dilakukan untuk T = 2 tahun dan T = 5 tahun dengan menggunakan fasilitas analisis frekuensi yang ada di perangkat lunak Rainbow versi 1.1. Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa untuk waktu konsentrasi (Tc) 1.6 jam maka intensitas hujannya adalah 55 mm/1.6 jam untuk T= 2 tahun dan 62 mm/1.6 jam untuk T = 5 tahun, sehingga intensitas hujan rata-rata untuk T = 2 tahun dan 5 tahun berturut-turut adalah 34.4 mm/jam dan 38.8 mm/jam.

Analisis Peta Topografi Sub DAS Kertek, merupakan DAS mikro yang terletak di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. DAS ini memiliki luasan 36.17 Ha, dengan penggunaan lahan sebagian besar untuk pertanaman jagung dan tembakau. Parameter fisik DAS Kertek adalah sebagai berikut (Kartiwa, 2004) : -

luas DAS Kertek (A) = 0.3617 km2.

-

kemiringan sungai (S) = 10 m/m.

-

panjang sungai (L) = 1.2 km. Berdasarkan karakteristik fisik DAS, dapat dihitung nilai Tc sebagai berikut : Tc = 3,97*L0.77*S-0.385 Tc = 3,97 x (1.2)0,77 x (10)-0,385 = 1.6 jam = 0.07 hari.

9

Analisis Debit Banjir Dengan menggunakan Metode Rasional didapatkan debit banjir (Q) seperti disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Debit Banjir Di Outlet DAS Kertek No.

Periode Ulang (T) (Tahun)

Koefisen Runoff (C)

Intensitas hujan (I) (mm/jam)

Luas DAS (A) (km2)

Debit (m3/detik)

1.

2

0.51

34.4

0.3617

1.78

2.

5

0.53

38.8

0.3617

2.06

Berdasarkan hasil analisis debit 6 menitan yang terekam dari pada AWLR di DAS Kertek untuk periode pengamatan selama 6 tahun, diketahui bahwa debit maksimal terjadi pada kejadian hujan tanggal 25 November 2001 dari jam 12.00 – 24.00, dengan volume debit 2336 l/dt atau sama dengan 2.3 m3/dt (Gambar 5). Fluktuasi debit sepanjang pengamatan episode hujan di tahun 2001 disajikan pada Gambar 6. Nilai debit puncak tersebut lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan debit puncak yang dihasilkan dengan menggunakan metode rasional dengan T = 5 tahun. 2500

0

5

2000

Debit Total (l/dt) 10

Aliran dasar (l/dt)

1500

Aliran permukaan (l/dt) Intensitas hujan (mm/6-mnt)

1000

15

20

500

25

0

30

11/ 25/2001

11/25/ 2001

11/25/ 2001

11/ 25/2001

11/ 25/2001

11/25/ 2001

11/25/ 2001

11/25/ 2001

11/ 25/ 2001

11/ 25/2001

11/26/ 2001

12:00

13:12

14:24

15:36

16:48

18:00

19:12

20:24

21:36

22:48

0:00

Waktu

Gambar 5. Fluktuasi Debit Pada Episode Hujan 25 November 2001

10

2500.0

0.0 Intesité max (mm/6min) Q max (l/s)

2.0

2000.0

4.0

6.0

CH

Debit

1500.0

1000.0 8.0 500.0

10.0

0.0

12.0 1

6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

pengamatan ke

Gambar 6. Fluktuasi Debit Di Episode Hujan Tahun Pengamatan 2001 Penyebab ketidaktepatan nilai prediksi debit tersebut dimungkinkan karena sebagian besar wilayah DAS (85.2%) diusahakan untuk pertanaman tanaman semusim

(Jagung/Tembakau).

Tanaman

semusim

memiliki

fase-fase

pertumbuhan yang berbeda-beda untuk setiap musimnya sehingga akan berpengaruh terhadap penutupan lahan. Pada awal musim, persentase penutupan lahan lebih rendah dibandingkan pada saat pertumbuhan vegetatif maksimal yaitu pada saat menjelang panen.

Persentase penutupan lahan yang minim

menyebabkan energi kinetik hujan yang jatuh ke permukaan tanah tidak tereduksi tajuk dengan baik, sehingga porsinya lebih kuat dan volumenya lebih besar sehingga menyebabkan peluang terjadinya aliran permukaan lebih tinggi dibandingkan jika penutupan tajuknya rapat (pada saat pertumbuhan vegetasi maksimal) (Arsyad, 2006).

Sementara itu Bulan November merupakan awal

musim hujan di wilayah Sub DAS Kertek dan merupakan awal musim tanam, sehingga persentase penutupan lahan yang masih kecil dan curah hujan yang memiliki intensitas tinggi menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya volume aliran permukaan yang besar.

Seperti terlihat pada Gambar 6,

peningkatan debit terbesar terjadi di awal musim tanam pertama (MT 1) dan musim tanam ke dua (MT 2). Untuk

rancangan

sistem

drainase/pengairan

disamping

kita

memperhitungkan debit puncak dengan metode rasional, jika memungkinkan perlu dipertimbangkan analisis frekuensi dari data debit hasil pengukuran apabila data tersebut tersedia di DAS. 11

PEMBAHASAN Siklus Hidrologi dan Aliran Permukaan Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem hidrologi yang tersusun oleh masukan, proses dan luaran. Proses yang terjadi di dalam suatu DAS akan mengalihragamkan masukan yang berupa hujan menjad luaran yang berupa hasil air (kualitas, kuantitas dan sedimen). Apabila proses yang terjadi di dalam DAS masih berjalan dengan baik, maka fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS mempunyai perbedaan yang relatif kecil dan kandungan sedimen, baik yang melayang maupun di dasar sungai juga relatif kecil. Proses yang terjadi di dalam DAS dipengaruhi oleh faktor hidrologi, geomorfologi, geologi, topografi, klimatologi, tanah dan penggunaan lahan. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lainnya dan penggunaan merupakan faktor yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan tingkat sosial ekonomi masyarakat (Fakhrudin 2003). Siklus hidrologi didefinisikan sebagai proses aliran air dalam rentang ruang dan waktu yang luas dan panjang yang dipengaruhi oleh kekuatan gaya gravitasi bumi dan energi matahari yang bersirkulasi melalui sistem lingkungan, baik yang terjadi di atas permukaan tanah atau daratan maupun lautan (Chow 1988). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut : curah hujan merupakan masukan dalam sistem lingkungan dan akan terurai menjadi tiga bagian, yaitu evapotranspirasi, debit air dalam saluran dan air yang ada di tanah. komponen ini tergantung pada beberapa sub komponen.

Ketiga

Evaporasi atau

penguapan total, yaitu penguapan dari tanah, salju, es, tumbuhan (vegetasi) dan permukaan air bebas (danau. Waduk, sungai, lekukan dan lainnya), ditambah dengan transpirasi, yaitu penguapan air oleh vegetasi, sehingga dengan demikian evapotranspirasi sangat terkait dengan evaporasi (penguapan air yang tertahan di dalam tanah) dan transpirasi. Evaporasi tergantung pada daerah air di permukaan (luas danau, sungai, situ dan kepadatan sungai atau drainase) dan iklim mikro yang ada di sekitarnya, yaitu temperatur, tekanan, kelembaban dan radiasi matahari. Transpirasi sangat tergantng pada jenis vegetasi yang ada di daerah tersebut. Setiap vegetasi memiliki indeks transpirasi yang menentukan seberapa 12

besar jumlah air yang kembali ke udara akibat menguap menjadi uap air oleh vegetasi yang ada. Debit dalam saluran merupakan kombinasi dari sub-sub komponen, yaitu jenis dan tekstur tanah, lebar sungai atau saluran drainase, kepadatan sungai, dan kemiringan lereng. Perubahan jumlah air dalam tanah ditentkan oleh faktorfaktor, antara lain : peresapan (infiltrasi) yaitu pergerakan pergerakan air di atas permukaan tanah, perkolasi yaitu gerakan air melalui atau di bawah tanah, intersepsi, yaitu penambatan air hujan oleh tumbuhan penutup (canophy vegetation). Intersepsi tergantung pada jenis vegetasi. Infiltrasi tergantung pada penggunaan lahan, di mana setiap fungsi lahan mempunyai indeks penyerapan air yang ada pada suatu catchment area.

Sedangkan perkolasi tergantung pada

struktur geologi, permeabilitas jenis tanah dan kedalaman efektif tanah. DAS (catchment area, basin, watershed) adalah daerah atau wilayah dengan kemiringan lereng atau topografi bervariasi yang dibatasi oleh punggungpunggung bukit atau gunung yang dapat menampung seluruh curah hujan sepanjang tahun, di mana air terkumpul di sungai utama yang dialirkan terus ke laut, sehingga merupakan suatu ekosistem kesatuan wilayah tata air. Oleh karena itu daerah ini ditetapkan berdasarkan aliran air permukaannya dan bukan oleh air di bawahnya (Harto 1993).

Nama DAS diambil dari nama sungai yang

bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol yang umumnya merupakan stasiun hidrometri.

Dalam suatu sistem DAS terjadi proses-proses hidrologi yang

sebenarnya adalah merubah besaran curah hujan (transformasi) sebagai masukan pada sistem DAS menjadi debit limpasan yang terukur di sungai atau laut. Proses hidrologi yang dimaksud antara lain adalah intersepsi, infiltrasi, perkolasi yang pada intinya merupakan proses kehilangan air (losses atau abstraction), baik karena tertampung pada lapisan tanah ataupun untuk diuapkan kembali. Persamaan dasar hidrologi atau neraca air (water balance) adalah : Inflow (I) = Outflow (O) ± S (Storage change) Atau dengan kata lain, kapasitas hidrologi suatu DAS ditentukan oleh berbagai faktor yang dapat digambarkan secara sederhana dengan persamaan berikut (Harto 1993) : Pt = Et + Q + S

13

Di mana : Pt = curah hujan, salju dan kondensasi (untuk Indonesia hanya curah hujan saja. Et = evapotranspirasi Q = debit aliran saluran S = perubahan banyaknya air dalam tanah Proses hidrologi yang terjadi pada suatu DAS, terbagi dalam tiga tahapan yang saling berinteraksi, yaitu sebagai berikut (Fleming 1975 dalam Hardiana 1999). 1) Pada permukaan lahan (surface streamflow). Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta mempengaruhi kondisi hidrologi pada permukaan lahannya, yaitu : o

Intersepsi, yaitu pengaruh permukaan vegetasi dalam menahan

air hujan mulai dari daun hingga ke tanah melalui akar tanaman. o

Tampungan depresi (depression storage), yaitu cekungan-

cekungan tempat aliran limpasan (runoff) yang tertahan di permukaan tanah sebelum sempat mencapai saluran drainase dan sungai, dan merupakan bagian air yang hilang akibat proses infiltrasi. o

Infiltasi atau daya serap air ke dalam tanah beserta kapasitas (laju

infiltasi maksimum pada suatu jenis tanah tertentu) dan luas daerah kedap air (daerah dengan infiltrasi nol). o

Limpasan aliran permukaan yang terjadi di daerah kedap air, baik

untuk kawasan pedesaan maupun perkotaan. Besarnya bervariasi dan tergantung pada topografi

(kemiringan dan profil penampang) serta

penggunaan lahan. o

Evapotranspirasi merupakan komponen yang paling penting

berhubungan dengan kehilangan air akibat penguapan (transformasi) air yang terjadi di permukaan tanah beserta pengaruh penggunaan lahan pada suatu DAS. 2) Di bawah permukaan lahan (groundwater flow). Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta mempengaruhi kondisi hidrologi lapisan bawah permukaannya, yaitu tampungan kelembaban tanah, infiltrasi dan aliran permukaan. 3) Pada jaringan saluran.

14

Pada fase ini menunjukkan bagaimana pengaruh sistem jaringan saluran yang ada, baik drainase alami (sungai) maupun yang buatan. Dalam sistem suatu DAS terjadi proses interaksi antara faktor-faktor meteorologis (cuaca dan iklim), hidrologi dan akyivitas manusia. Oleh karena itu, perlu diperhatikan seberapa besar kemampuan DAS dalam mendukung pengembangan suatu wilayah.

Hal ini dapat ditentukan dengan cara melihat

kualitas DAS yang sebenarnya merupakan refleksi dari tanggapan DAS terhadap perubahan kondisi hidrologisnya. Untuk dapat menilai tingkat kualitas suatu DAS atau Sub DAS, maka dapat diukur dari dua faktor, yaitu tingkat erosi yang dialami dan fluktuasi debit sungai atau aliran permukaan dalam beberapa kondisi curah hujan yang berbeda. Fungsi suatu DAS adalah sebagai penampung air hujan (presipitasi) serta penyaluran aliran permukaan melalui sungi-sungai. Oleh karena itu, fungsinya merupakan fungsi gabungan dari faktor-faktor vegetasi, topografi, geologi, tanah, serta penggunaan lahan akibat aktivitas manusia. Apabila terjadi perubahan pada suatu faktor, maka ekosistem DAS akan terpengaruh dan selanjutnya menyebabkan gangguan pada fungsi DAS, misalnya besarnya curah hujan yang dapat diserap berkurang, sistem tampungan alirannya menjadi longgar, penyaluran aliran permukaan terhambat. Musim hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan berakibat melimpahnya aliran permukaan dan terjadi sebaliknya pada musim kemarau.

Fluktuasi aliran debit antara dua musim yang tajam

mengindikasikan terganggunya fungsi DAS serta adanya degradasi kualitas DAS. Besarnya fluktuasi debit aliran sebanding dengan tingginya tingkat erosi dan keduanya sangat ditentukan dengan besarnya aliran permukaan (Hardiana 1999). Aliran permukaan terjadi bila curah hujan melebihi laju infiltrasi tanah dan tampungan permukaan tanah serta intersepsi. Semakin besar laju infiltrasi tanah, maka aliran permukaan semakin kecil. Perubahan penggunaan lahan menurut US SCS (1971) akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan (surface storage) atau gabungan antara keduanya, dan efek selanjutnya adalah mempengaruhi aliran permukaan.

Penurunan kapasitas

infiltrasi lebih berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, sedangkan

15

tampungan permukaan lebih berpengaruh pada pelambatan (delay) aliran permukaan untuk mengalir sampai outlet DAS. Pengaruh Penggunaan Lahan Hutan Terhadap Debit Sungai Pada lahan hutan, permukaan tanah sebagian besar dipenuhi dengan serasah yang berfungsi menahan pukulan air hujan, memperlambat aliran permukaan dan karena proses lebih lanjut dapat meningkatkan bahan organik tanah, sehingga tanah lebih gembur, mikroorganisme tumbuh dengan subur. Semua itu akan menambah kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah.

Selain itu, akar

tumbuhan juga meningkatkan kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah. Tumbuhan dengan berbagai jenis vegetasi dalam kondisi iklim tertentu, sangat penting artinya dalam siklus hidrologi. Apabila terjadi proses alih fungsi lahan pada hutan atau adanya pengembangan kawasan menjadi lahan pemukiman, maka kondisi hidrologi yang ada umumnya berubah dengan drastis. Hal ini disebabkan dampak pembangunan berupa pembukaan hutan (land clearing) yang bertujuan meratakan tanah dengan menggunakan peralatan berat dapat membuat lapisan tanah yang subur hilang, sehingga mempengaruhi sifat fisik tanah. Selain itu juga dapar merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau terhambat, sehingga dapat terjadi erosi. Dari uraian di atas dapat terlihat peran dan fungsi lahan hutan yang sangat besar dalam meperkecil aliran permukaan, sehingga debit maksimum akan dapat diperkecil. Sedangkan sisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak untuk dapat menjaga ketersediaan jumlah aliran air tanah sepanjang tahun. Pengaruh Penggunaan Lahan Pertanian Terhadap Debit Sungai Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan, berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian mampu mempertahankan tanah dari proses kerusakan akibat erosi. Penggunaan lahan untuk pepohonan yang sejenis seringkali juga disebut hutan, misalnya hutan tanaman industri, hutan pinus, hutan jati, dan hutan mahoni. Namun penggunaan lahan untuk pepohonan tanaman industri (kopi, karet, teh, kakao, sawit) tidak disebut hutan melainkan kebun. Kebun tanaman industri yang komposisinya

16

lebih dari satu species dan dibiarkan sehingga tumbuh semak dan aneka tanaman bawah (understorey) kelihatannya mirip hutan dinamakan sistem agroforestri. Beberapa tahun terakhir terjadi penebangan pepohonan besar-besaran dan serentak di hutan maupun di perkebunan baik secara legal maupun ilegal (penjarahan). Penebangan pohon serentak secara legal atau ilegal, akibatnya sama saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama.

Pada musim

kemarau terik sinar matahari mengenai permukaan tanah secara langsung, akibatnya terjadi percepatan proses-proses reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi sehingga memukul tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya aliran air di permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-bahan lain termasuk bahan organik (erosi). Penghutanan kembali diyakini dapat menghambat proses degradasi lahan, namun tidak semua lahan dapat dihutankan kembali karena adanya desakan kebutuhan manusia.

Penanaman lahan terbuka dengan pepohonan non-kayu

seperti buah-buahan dan tanaman industri (misalnya kopi, karet, kakao, dsb) diharapkan dapat menahan degradasi lahan yang sudah terbuka itu. Pertumbuhan pepohonan biasanya amat lambat untuk bisa menutupi tanah secara penuh dan mengembalikan bahan organik yang hilang. Ada periode di mana tanah masih tetap terbuka walaupun sudah ditanami dengan pepohonan pada tahun-tahun awal. Urbanisasi yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti indonesia pada umumnya merubah penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, dari lahan hutan menjadi lahan pertanian atau dengan kata lain dari lahan yang mempunyai fungsi resapan air hujan tinggi menjadi lahan resapan rendah.

Menurut Leopold (1968) pada prinsipnya pengaruh perubahan

penggunaan lahan terhadap aliran permukaan diklasifikasikan menjadi empat, yaitu : 1) perubahan karakteristik puncak aliran, 2) perubahan volume limpasan, 3) perubahan kualitas air, dan 4) perubahan atau pemunculan aliran air. Pengaruh Penggunaan Lahan Pemukiman Terhadap Debit Sungai Hardiana (1999) mengemukakan bahwa dampak penggunaan lahan pemukiman terhadap aliran permukaan walaupun tidak langsung dirasakan,

17

namun yang akan menjadi masalah adalah terjadinya perubahan fungsi lahan dan luas lahan yang berubah. Adanya pembangunan pemukiman dan perumahan, baik berupa bangunan, gedung, jalan dan prasarana lainnya menyebabkan perubahan penutupan tanah (building coverage) yang mengakibatkan bertambahnya daerah kedap air, sehingga daerah yang terbuka menjadi berkurang yang akan berakibat mengurangi daya serap (infiltrasi) tanah dan kapasitasnya. Sealin itu, penutupan permukaan juga mempengaruhi perubahan porositas dan permeabilitas tanah (tampungan air), sehingga menyebabkan kecepatan perembesan air ke dalam lapisan tanah berkurang yang berakibat air permukaan menjadi tergenang. Apabila terjadi curah hujan yang cukup besar intensiotasnya, maka dapat menyebabkan banjir setiap tahunnya. Genangan air permukaan pun selanjutnya dapat merusak sifat fisik tanah.

18

KESIMPULAN Berdasarkan analisis koefisien aliran permukaan, intensitas hujan dan luas wilayah Sub DAS Kertek, serta debit banjir yang terjadi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Metode rasional dapat digunakan untuk menghitung debit puncak yang akan digunakan untuk rancangan sistem pengairan. Untuk memprediksi debit puncak dengan menggunakan metode rasional komponen yang harus dipertimbangkan adalah : a)

Intensitas hujan pada periode ulang tertentu yang terjadi pada

waktu konsentrasi DAS. b)

Koefisien aliran permukaan, dengan mempertimbangkan proporsi

luas wilayah dari jenis tutupan lahan, kelerengan dan jenis tanah 2. Faktor dinamika dari penutupan lahan terutama untuk tanaman-tanaman semusim sebaiknya juga dipertimbangkan untuk mempertajam ketepatan prediksi dan mengakomodasi nilai debit maksimal pada saat persentase penutupan lahan minimal. 3. Jika memungkinkan, sebaiknya digunakan pula data debit aktual time series untuk analisis frekuensi. Sehingga prediksi debit puncak melalui metode rasional dan analisis frekuensi debit bisa dibandingkan untuk mendapatkan rancangan yang tepat.

19

DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press. Asdak C. 2004. “Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Chow VT, Maidment DR, and Mays LW. 1988. Applied Hydrology. New York: McGraw-Hill. Fakhrudin M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung denga Model Sedimot II. Bogor : Tesis Pascasarjana IPB. Haan CT 1979. Statistical Methods in Hydrology. Iowa : University Press, Ames.

The Iowa State

Hardiana D. 1999. Simulasi Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Perubahan Limpasan Air Permukaan Sub DAS Cipamingkis di Kawasan Jonggol. Bandung : Skeripsi ITB. Harto SB. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : PT Gramedia. Harto SB. 2000. Hidrologi Teori Masalah Penyelesaian. Yogyakarta : Nafiri Offset. Kartiwa, B. 2004. Modelisation du fonctionnement hydrologique des basins versants, application sur des bassins versants de Java et Sumatra. France : These de doctorat. Universite d’Angers. Kodoatie RJ, Sjarief R. Yogyakarta : Andi.

2005.

Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu.

Leopold LB. 1968. Hydrology for Urban Land Planning. Washington DC : Government Printing Office. Loebis J. 1992. Banjir Rencana Untuk Bangunan Air. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum. Martha WJ, Adidarma WK. 1982. Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi. Bandung : Nova. Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Soemarto CD. 1987. Hidrologi Teknik. Surabaya : Usaha Nasional. Sosrodarsono S, dan Takeda. 1999. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Wanielista MP. 1990. Hydrology and Water Quality Control. Florida-USA : John Wiley & Sons. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta. Unitet State Soil Conservation Service. 1971. Hydrology. Washington DC : National Engineering Handbook.

20

LAMPIRAN Tabel 1. Koefisien limpasan (C) untuk Metoda Rasional 1) Karakter Permukaan Daerah telah berkembang : Aspal Beton/atap Rerumputan (taman) : • Kondisi Jelek (penutupan < 50%): - Datar (0-2%) - Sedang (2-7%) - Curam (>7%) • Kondisi Sedang (penutupan 5070%): - Datar - Sedang - Curam • Kondisi baik (penutupan > 70%): - Datar - Sedang - Curam

2

Periode Ulang (tahun) 5 10 25 50 100

500

0.7 3 0.7 5

0.7 7 0.8 0

0.8 1 0.8 3

0.8 6 0.8 8

0.9 0 0.9 2

0.9 5 0.9 7

1.0 0 1.0 0

0.3 2 0.3 7 0.4 0

0.3 4 0.4 0 0.4 3

0.3 7 0.4 3 0.4 5

0.4 0 0.4 6 0.4 9

0.4 4 0.4 9 0.5 2

0.4 7 0.5 3 0.5 5

0.5 8 0.6 1 0.6 2

0.2 5 0.3 3 0.3 7

0.2 8 0.3 6 0.4 0

0.3 0 0.3 8 0.4 2

0.3 4 0.4 2 0.4 6

0.3 7 0.4 5 0.4 9

0.4 1 0.4 9 0.5 3

0.5 3 0.5 8 0.6 0

0.2 1 0.2 9 0.3 4

0.2 3 0.3 2 0.3 7

0.2 5 0.3 5 0.4 0

0.2 9 0.3 9 0.4 4

0.3 2 0.4 2 0.4 7

0.3 6 0.4 6 0.5 1

0.4 9 0.5 6 0.5 8

21

Daerah Belum berkembang: • Lahan diusahakan pertanian: - Datar - Sedang - Curam

0.31 0.35 0.39

0.34 0.38 0.42

0.36 0.41 0.44

0.40 0.44 0.48

0.43 0.48 0.51

0.47 0.51 0.54

0.57 0.60 0.61

• Penggembalaan : - Datar - Sedang - Curam

0.25 0.33 0.37

0.28 0.36 0.40

0.30 0.38 0.42

0.34 0.42 0.46

0.37 0.45 0.49

0.41 0.49 0.53

0.53 0.58 0.60

• Hutan: - Datar - Sedang - Curam

0.22 0.31 0.35

0.25 0.34 0.39

0.28 0.36 0.41

0.31 0.40 0.45

0.35 0.43 0.48

0.39 0.47 0.52

0.48 0.56 0.58

) Digunakan sebagai standard di Austin, Texas, USA.

1

Sumber : Ven Te Chow; D.R. Maidment; L.W. Mays (1988). Applied Hydrology. Mc Graw Hill, Singapore

22

Tabel 2. Koefisien runoff untuk metoda Rasional Tipe Areal

Koefisien C

Areal bisnis: - Downtown

0.70 - 0.95

- Neighborhood

0.50 - 0.70

Perumahan (residential) : - Single family

0.30 - 0.50

- Multiunits, detached

0.40 - 0.60

- Multiunits, attached

0.60 - 0.75

Residential (suburban)

0.50 - 0.70

Apartment :

0.50 - 0.70

Daerah Industri : - Industri Ringan

0.50 - 0.70

- Industri Berat

0.60 - 0.90

Taman (parks), kuburan (cemetries)

0.10 - 0.25

Taman bermain (playgrounds)

0.20 - 0.35

Railroad yard

0.20 - 0.35

Unimproved

0.10 - 0.30

Pavement: - Asphal atau concrete

0.70 - 0.95

- Pasangan bata (bricks)

0.70 - 0.85

Atap rumah (Roofs): Lawns, tekstur tanah berpasir : - Datar, 2%

0.05 - 0.10

- Medium 2-7%

0.10 - 0.20

- Curam > 7%

0.15 - 0.20

Lawns, tekstur tanah liat berat : - Datar, 2%

0.13 - 0.17

- Medium 2-7%

0.18 - 0.22

- Curam > 7%

0.25 - 0.35

Kerikil lintasan kendaraan dan pejalan kaki

0.15 - 0.30

Sumber: ASCE and WPCF (1969)

23

Tabel 3.

Koefisien limpasan C untuk metoda Rasional berdasarkan lereng, tanaman penutup tanah dan tekstur tanah.

Lereng (%) HUTAN 0-5 5 - 10 10 – 30 Padang Rumput 0-5 5 - 10 10 – 20 Lahan Pertanian (Arable land) 0-5 5 - 10 10 – 20

Lempung berpasir (sandy loam)

Liat dan debu berlempung (clay and silt loam)

Liat berat (tight clay)

0.10 0.25 0.30

0.30 0.35 0.50

0.40 0.50 0.60

0.10 0.15 0.20

0.30 0.35 0.40

0.40 0.55 0.60

0.30 0.40 0.50

0.50 0.60 0.70

0.60 0.70 0.80

Sumber :Schwab, Frevert and Barnes (1966), Soil and Water Conservation Engineering, Wiley, New York.

24

Related Documents

Debit Metode Rasional
June 2020 25
Debit
April 2020 26
Debit Card
July 2020 19
Bilangan Rasional
June 2020 25
Pengguna Rasional
June 2020 28

More Documents from ""