DASAR TEORI DAN YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK 2.1 DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa dasar teori: 1.
Teori Asuransi Teori asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara.
2.
Teori Kepentingan Teori kepentingan diartikan sebagai Negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak, membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan.
3.
Teori Gaya Pikul Dasar teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran.
4.
Teori Gaya Beli Teori ini menunjukan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara dimaksudkan untuk memelihara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga negara.
5.
Teori Bakti Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.
2.2 YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK UU PPh Indonesia menganut 3 asas yang merupakan cara pemungutan pajak, diantaranya : 1. Tempat tinggal seseorang atau asas domisili merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Lebih mudahnya dapat dijelaskan jika suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang bersangkutan atau seluruh penghasilan dimana pun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga negara asing. Negara yang menganut asas domisili akan menentukan dalam UU berapa lama seseorang bertempat tinggal di negara tersebut. Pasal 2 ayat 3 UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) salah satunya yang menyebutkan definisi subyek pajak dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
2. Kebangsaan seseorang atau asas kebangsaan merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu negara. Dimana suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan. Negara yang menganut system ini salah satunya adalah Amerika Serikat. Untuk UU PPh tidak menganut asas kebangsaan, dan ini dibuktikan melalui pasal 2 ayat 4 UU PPh yang menyebutkan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari disebut sebagai subyek pajak luar negeri. Bahkan dalam Peraturan Dirjen Pajak No.2/PJ/2009 diatur bahwa pekerja Indonesia di luar negeri adalah subjek pajak luar negeri dan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja Indonesia di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia. 3. Sumber dimana penghasilan diperoleh atau asas sumber Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu negara, maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada. Dalam kondisi ini jelas bahwa objek pajak dapat berupa dividen atau royalty. 2.3 STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK 1.
Stelsel Nyata Dalam setelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari waijb pajak. Pemungutan pajak dengan sistem ini dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan pada akhir tahun pajak.
2.
Stelsel Anggapan Dalam stelsel ini besarrnya pajak yang harus ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Penghasilan dalam satu tahun dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.
4. Stelsel Campuran Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.
2.4 PENGGOLONGAN JENIS PAJAK 1. Menurut Sifatnya
a. Pajak Langsung : Pajak yang bebannya haru dipikul sendiri oleh Wajib Pajak ( WP )dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Misal : PPh. b. Pajak Tidak Langsung : Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa tertentu saja. Misal : Pajak Pertambahan nilai. 2. Menurut Sasaran/Objeknya a. Pajak Subjektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi WP (subjeknya) b. Pajak Objektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan memperhatikan objeknya baik berupa keadaan perbuatan/ peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat : jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Contoh : Dirjen Pajak. Hasil pemungutan pajak pusat dimasukkan sebgai bagian dari APBN Macam-macam Pajak Pusat : -
PPh
-
PPN dan PnBM
-
PBB
-
Pajak/BPHTB
-
Bea Material
b. Pajak Daerah : Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dipenda. Hasih pemungutan pajak daerah dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD. Macam-macam Pajak Daerah : Pajak Daerah Tk. 1 : o Pajak Kendaraan Bermotor o Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor o Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Daerah Tk. 2 : o Pajak Hotel dan Restoran o Pajak Hiburan o Pajak Reklame o Pajak Penerangan Jalan o Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C o Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Selain memungut pajak, pemerintah juga melakukan pemungutan dengan nama retribusi yaitu pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tiga jenis retribusi antara lain : 1. Retribusi Jasa Umum yang terdiri atas : Retribusi pelayanan kesehatan ; pelayanan kebersihan 2. Retribusi Jasa Usaha yang terdiri atas : Retribusi pemakaian kekayaan daerah ; retribusi terminal
3. Retribusi Perizinan Tertentu yang terdiri atas : retribusi izin peruntukan penggunaan tanah, retribusi izin mendirikan bangunan. 2.5 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK Ada 3 sistem pemungutan pajak, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With holding Tax System. Di Indonesia menerapkan ketiga sistem tersebut. 1. Offsicial Assessment System Adalah sistem pemungutan pajak yang wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak terletak pada fiskus atau aparat pemungut pajak. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pengenaan pajak langsung . Dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. Sistem diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jad waji pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar. 2. Self Assessment System Adalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak terletak pada pihak wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib pajak sifat aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri, sedangkan fiskus hanya memberi penerangan, pengawasan atau sebagai verifikasi. Sistem ini diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan mauoun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN 3. With Holding Tax System Adalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus mauoun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Diterapkan dalam mekanisme pemotongan atau pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat 2, PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan
REFERENSI : -
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, 2010, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat
-
Ayunanda, Citra, 2012, Sistem pemungutan pajak, diakses pada 22 Februari 2013,
-
Pratama, Oggy. 2012, Dasar Teori Pemungutan Pajak, diakses pada 22 Februari 2013,