Dari semua kasus distosia yang ditemui, hingga saat ini yang menjadi penyebab tersering distosia adalah disporposi sefalopelvik dan failure to progress. Disporposi sefalopelvik merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan terhambatnya persalinan dikarenakan oleh adanya kesenjangan antara dimensi kepala janin dengan pelvis ibu saat persalinan pervaginal.
Abnormalitas tenaga pendorong Dilatasi serviks dan pendorongan dan pengeluaran janin disebabkan oleh kontraksi uterus, dibantu oleh aksi otot dinding perut yang disadari maupun tidak. Kedua faktor ini mungkin saja kurang intens dan berakibat pada tertundanya atau terganggunya persalinan. Diagnosis disfungsi uterus pada fase laten sangat sulit dilakukan dan terkadang hanya dapat dilakukan dengan metode retrospektif. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah melakukan penatalaksanaan disfungsi uterus pada wanita yang belum berada pada fase persalinan aktif. Ada tiga hal yang penting diperhatikan dalam penanganan disfungsi uterus, yakni: a. Semakin lama persalinan terjadi maka semakin besar tingkat mortalitas dan morbiditas pada masa perinatal b. Penggunaan infus intravena dilusi oksitosin dapat dilakukan pada sejumlah tipe disfungsi uterus c. Lebih baik menggunakan metode cesar ketika penggunaan forceps yang dibantu dengan oksitoksin gagal memberikan hasil yang lebih baik.
Tipe – tipe disfungsi uterus. Reynolds dkk. (1948) menemukan bahwa kontraksi uterus pada persalinan normal ditandai oleh adanya gradien aktifitas myometrial, yang terasa kuat dan lama pada fundus lalu kemudian hilang secara bertahap di daerah serviks. Caldeyro-Barcia dkk. (1950) pernah memasukan balon kecil dalam myometrium pada berbagai kedalaman. Mereka melaporkan selain adanya gradien aktivitas, terdapat pula waktu diferensial pada onset kontraksi di fundus, zona tengah, dan segmen bawah rahim. Larks (1960) menguraikan bahwa stimulus diawali pada sebuah cornu dan kemudian beberapa milidetik kemudian terjadi pada kornu yang lain, proses ini kemudian bergerak dari daerah fundus hingga segmen bawah rahim seperti gelombang. Grup Montevideo juga memastikan bahwa batas terendah tekanan kontraksi yang dibutuhkan untuk mendilatasi serviks adalah 15 mmHg. Namun ada juga temuan lain oleh Hendricks dkk. (1959), yang melaporkan bahwa kontraksi normal yang spontan sering mengeluarkan tekanan kira – kira 60 mmHg. Dari
dua penemuan ini, sangat mungkin untuk mendefenisikan 2 tipe disfungsi uteri, yakni disfungsi uteri hipotonik dan disfungsi uteri hipertonik. Pada Hypotonic uterine dysfunction, tidak terdapat hipertonus basal dan kontraksi uterine memiliki pola gradien yang normal (sinkron), tapi kenaikan tekanan selama kontraksi tidak cukup untuk mendilatasi serviks. Sedangkan pada hypertonic dysfunction uterine atau inkoordinate uterine dysfunction, disebabkan oleh peningkatan cukup besar hipertonik basal atau karena gradien tekanan yang berubah – ubah dan tidak sinkron. Kacaunya gradien tekanan dapat disebabkan oleh kontraksi yang lebih kuat pada segmen bawah uterus dibanding fundus atau asinkronisme sempurna impuls yang bermula dari tiap kornu ataupun kombinasi keduanya.
Kelainan fase aktif. Abnormalitas persalinan secara klinik dibagi menjadi 2 yakni, progres yang lebih lambat dari normal atau persalinan yang memanjang dan henti persalinan. Seorang wanita harus berada di fase aktif persalinan dengan dilatasi serviks minimal 3 sampai 4 cm agar dapat didiagnosa pada dua kategori kelainan persalinan. Handa dan Laros (1993) mendiagnosa terhentinya fase aktif , jika tidak terjadi dilatasi serviks selama 2 jam atau lebih. Protraction disoorder tidak terlalu banyak ditemukan sebab interval waktu yang dibutuhkan untuk diagnosis belum dapat didefenisikan. WHO mengajukan penanganan persalinan dengan partograf yang mana protaction didefenisikan sebagai dilatasi serviks yang kurang dari 1 cm/jam selama minimal 4 jam. Kriteria yang diajukan oleh ACOG untuk diagnosis proctation dan henti persalinan adalah sebagai berikut: Pola Persalinan
Nullipara
Multipara
a. Dilatasi
< 1,2 cm/h
< 1,5 cm/h
b. Descent
< 1,0 cm/h
< 2,0 cm/h
a. No dilatation
>2 h
>2 h
b. No descent
>1 h
>1 h
Proctation Disorder
Arrest disorder
Hauth dkk. (1986, 1991) melaporkan bahwa ketika persalinan diinduksi secara efektif atau dipicu oleh oksitosin, 90% wanita dapat mencapai 200 hingga 250 Montevideo unit. Hasil ini memberikan referensi mengenai aktivitas uterine minimum yang harus dicapai sebelum melakukan operasi caesar pada kasus distosia. Menurut ACOG, sebelum diagnosis henti persalinan dibuat selama fase pertama, maka ada 2 kriterai yang harus dipenuhi yakni:
a. Fase laten sudah dilewati, dengan dilatasi cervix mencapai 4 cm atau lebih b. Pola kontraksi uterin adalah 200 unit Montevideo atau lebih dalam periode 10 menit selama 2 jam tanpa adanya perubahan serviks.
Namun Rouse dkk. (1999) menantang aturan 2 jam ini dengan mengajukan waktu yang lebih lama yakni diperlukan waktu 4 jam untuk dapat menganggap fase aktif persalinan telah gagal.
Second-Stage Disorder. Turunya janin dari rahim diikuti oleh dilatasi lengkap serviks. Hingga saat ini