Pada hari Rabu, 17 Desember 2008 yang lalu, secara resmi DPR mensahkan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pengesahan undang – undang kontroversial itu terang saja mendapatkan reaksi penentangan dari mayoritas kalangan mahasiswa yang selama ini selalu menolak eksistensi undang – undang ini. Serempak mahasiswa dari sejumlah universitas di Indonesia, berduyun – duyun turun ke jalan untuk memprotes pengesahan itu. Mahasiswa Unhas yang dikenal cukup spartan dalam pergerakan kemahasiswaan juga tidak lupa ambil bagian dalam protes ini. Seperti yang dilansir oleh Tribun Timur, terhitung 6 orang mahasiswa Unhas diciduk dan seorang satpam kampus terluka karena terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian ketika demonstrasi berlangsung di depan pintu I Unhas. Penolakan mahasiswa terhadap undang – undang yang didukung oleh pemerintah ini bukannya tanpa alasan. Kekhawatiran mahasiswa yang menentang Pengesahan UU BHP tersebut dikarenakan ada beberapa pasal yang ditengarai dapat menjadikan Pendidikan hanya dijadikan sebagai barang komoditas. Mereka juga berpandangan UU BHP akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat, mereka pun berpandangan RUU BHP bertentangan dengan UUD karena di BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Mereka mengkhawatirkan biaya pendidikan lebih mahal dan UU lebih kejam dari pada bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sedangkan pemerintah tetap bersikukuh pada pendirian bahwa UU BHP tidak akan mengarah pada komersialisasi pendidikan seperti yang ditentang oleh mahasiswa. Menurut pemerintah seperti yang dikutip dari situs Dikti (http://dikti.go.id), UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh UndangUndang BHP harus dilandasi oleh prinsipprinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar. Entah siapa yang benar, pemerintah atau mayoritas mahasiswa, isu UU BHP kemungkinan besar akan terus bergulir. Hal ini tampak dari adanya sejumlah LSM yang
juga menentang UU BHP berencana melakukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (http://antara.co.id). Pemerintah sendiri melalui Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menyatakan tidak gentar seandainya UU BHP diuji materilkan di MK. Isu BHP di mata mahasiswa FK Unhas Terlepas dari benar atau salahnya mahasiswa dalam masalah UU BHP ini, ancungan jempol patut diberikan kepada sejumlah mahasiswa. Sikap kritis terhadap setiap perubahan social dan politik masih diperlihatkan oleh agent of changes ini. Sayang, “penyakit” kekritisan ini tidak menular pada semua mahasiswa. Di tengah memanasnya isu BHP yang diwarnai dengan sejumlah kekerasan dan penangkapan terhadap mahasiswa, ternyata masih ada juga kawan – kawan mahasiswa yang tidak tahu apa – apa mengenai BHP. Bahkan lebih parahnya lagi, ada juga mahasiswa yang hingga UU BHP disahkan, masih saja tidak tahu kepanjangan akronim BHP. Kedengaran mengada – ada bukan? Tapi inilah kenyataan yang terjadi. Dan lebih disayangkan lagi, ironi ini justru terjadi di lingkungan civitas akademik Fakultas Kedokteran Unhas. Dari hasil wawancara terhadap sejumlah mahasiswa fakultas kedokteran, fakta – fakta tersebut di atas terungkap. Salah satu mahasiswa yang sempat diwawancarai berinisial AG (07) menyatakan bahwa dia tidak peduli apakah UU BHP ini bakal disahkan atau tidak. Dan dia menganggap demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa yang menentang hal ini tidak akan mengubah keadaan. Ketidakpedulian AG, terhadap isu BHP mungkin masih berada dalam taraf yang “wajar” jika dibandingkan dengan ketidakpedulian RJ. Panasnya isu BHP tampaknya tidak mampu mencairkan ketidakpeduliannya terhadap masalah yang langsung berhubungan dengan dunia kemahasiswaan yang notabene menjadi dunianya saat ini. Mungkin ini tampak berlebihan, tapi penyakit ketidakpeduliannya sungguh kronis. Bagaimana tidak, isu BHP yang telah menjadi isu nasional selama beberapa tahun terakhir ini, serta sudah mengakibatkan sejumlah kekerasan dan penangkapan terhadap beberapa kawan mahasiswa ini, ternyata tidak memiliki arti apa – apa baginya. Saat ditanya mengenai apa yang diketahui tentang BHP, dia justru balik bertanya apa itu BHP? Sungguh mengejutkan. AG dan RJ hanyalah representasi dari potret ketidakpedulian mahasiswa FK Unhas terhadap isu social di sekitarnya. Masih banyak mahasiswa FK Unhas lainnya yang terkena penyakit yang sama dengan keduanya. Bahkan mungkin lebih parah.
Untung saja tidak semua mahasiswa terjangkit pandemic ketidakpedulian ini. Masih ada juga beberapa mahasiswa FK Unhas yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap isu ini. Ada yang menunjukkannya dalam bentuk penolakkan, ada juga yang menunjukkannya dalam bentuk dukungan. Meskipun yang terakhir disebut ini sangat jarang ditemukan. Kepedulian ini tampak dari pengetahuan mereka mengenai isu BHP. Berbeda pandangan dalam isu ini tidak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi masalah sekarang pada mahasiswa FK adalah kurangnya tingkat kepedulian mahasiswa terhadap sejumlah isu social khususunya isu BHP yang saat ini sedang sedang menjadi perbincangan. Kebanyakan dari mereka yang masih menunjukkan kepedulian terhadap isu BHP cukup mengetahui materi apa dari UU BHP yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Taufiq salah satunya. Mahasiswa angkatan 2007 ini bias dijadikan salah satu contoh mahasiswa yang dengan getol menyuarakan penolakan terhadap UU BHP. Bahkan penolakan ini sudah dilakukannya semenjak UU BHP masih dalam tahap bentuk rancangan. Sejumlah konsolidasi, diskusi maupun aksi telah dilakukannya untuk menunjukkan kepeduliannya pada masalah ini. Ada sejumlah mahasiswa lain yang sepikiran dengan Taufiq. Mahasiswa FK Unhas yang menolak BHP dijadikan representasi mahasiswa yang kritis terhadap berbagai isu bukannya bermaksud untuk menunjukkan dukungan terhadap upaya penolakan terhadap UU BHP. Tetapi hal ini lebih disebabkan oleh bentuk perjuangan dan kepedulian mahasiswa yang kontra-UU BHP lebih terlihat nyata dibandingkan aksi mahasiswa yang pro-BHP. Terlepas dari efektif tidaknya aksi itu.
Sungguh hal yang patut dipertanyakan, mengapa mahasiswa fakultas kedokteran yang notabene memiliki tingkat intelektualitas di atas rata – rata mahasiswa biasa ternyata memiliki tingkat kepedulian yang begitu rendah? ”Teman – teman kita saat ini tidak dapat menunjukkan kepedulian terhadap isu BHP karena mereka sedang berada dalam zona kenyamanan.” Itulah jawaban yang diberikan Taufiq saat pertanyaan sebelumnya ditanyakan kepadanya ketika dia sedang berorasi menolak BHP di taman FK Unhas. Nada bicaranya ketika memberikan jawaban itu menyiratkan kegetiran, tampaknya efek orasi yang tanpa sambutan antusias itu, menjadi salah satu penyebabnya. Meskipun begitu dia tetap saja meneriakan dengan lantang argument – argumen penolakannya. Tampaknya teriakan selantang apapun tidak akan mampu membangunkan mahasiswa FK Unhas dari tidur panjang yang nyaman di ruang kelas ber-AC, bahkan mungkin rintihan yang mampu meledakan gunung pun masih belum cukup membuat mereka mengalihkan perhatian mereka dari indahnya berselancar di dunia maya dengan fasilitas WiFi. Apalagi hanya untuk isu “sekecil” BHP . Hal itu sepertinya tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan pendidikan mahasiswa FK Unhas. Padahal di luar sana, ada begitu banyak mahasiswa yang kini was-was dengan masa depan akademik mereka dengan pengesahan UU BHP ini. Kapan kita akan peduli akan hal itu?
Ketidakpedulian mahasiswa FK terhadap isu BHP hanyalah fenomena gunung es dari semua bentuk ketidakpedulian mahasiswa FK terhadap lingkungan sekitarnya.
Gambar Posko BHP di FK yang Terabaikan
Gambar Posko BHP di FK yang Terabaikan 2
Suasana FK Unhas Ketika Orasi Anti-BHP
Suasana FK Unhas Ketika Orasi Anti-BHP